***"Semua bisa jadi kemungkinan besar jika Mbak mau mengusut kasus yang tengah menimpa korban. Kami dari pihak kepolisian hanya bisa mengikuti kemauan keluarga korban, Mbak.""Ada baiknya segera dimakamkan saja, Nit. Kasihan jenazah jika didiamkan terlalu lama," saran Halimah. "Mungkin memang ini sudah menjadi keputusan Citra. Jangan mencari kebenaran yang kamu sendiri merasa ragu untuk menguliknya. Bagaimana jika terbukti Citra memang bunuh diri, bukankah itu hanya akan menyakiti jenazah karena kita menahannya terlalu lama di dunia?"Anita termenung memikirkan ucapan Halimah yang memang ada benarnya. Apalagi selama ini beban yang Citra tumpu pada pundaknya cukup berat. Hamil dengan suami orang tanpa mendapat pertanggung jawaban adalah sebuah luka yang tidak bisa disembuhkan. "Tidak perlu ditindaklanjuti, Pak. Saya yang akan mengurus pemakaman jenazah korban."Keributan di sisi sungai mulai lengang. Anita dan para keluarga bergegas pulang dengan membawa jenazah Citra dibantu oleh pi
***Tetiba seluruh persendiannya terasa sangat lemas. Kedua kaki Ana bergetar hebat dengan kedua tangan yang mengepal kuat guna menyalurkan rasa takut yang baru saja menyerangnya. Bagaimana tidak?Lelaki yang menyandang gelar sebagai suami mengakui tentang sebuah kematian seseorang. Seorang wanita yang bahkan sudah berhasil memporak-porandakan hubungan rumah tangganya dengan mengakui kehamilannya di depan Ana dan Leo.Langkah Ana semakin mendekat. Air mata sudah sejak tadi menggenang di pelupuk mata dan bersiap meluncur detik ini juga. Kakinya yang terasa lemas sengaja dia seret dengan penuh ketegaran mendekati Leo yang meringkuk di sisi ranjang."Ana?" pekik Leo senang dan segera menghambur di pelukan Sang Istri. "Kupikir kamu pergi, An. Aku ... aku benar-benar takut kamu dan calon bayi kita meninggalkanku sendirian. Jangan pergi, kumohon maafkan semua kesalahanku, Ana."Tangis Leo terdengar begitu menyayat hati. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Ana mendengar suara tangis Leo yang
***Sorot mata Sea meredup. Kepalanya menunduk dalam seiring dengan banyaknya pasang mata yang menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.Sejauh dia mencoba membuat nama baik Anita hancur, sejauh ini pula ia merasa begitu kalut, takut jika keluarganya akan mengasingkan dirinya karena sudah bertindak cukup bodoh. Apalagi setelah kabar kematian Citra terdengar di telinganya, Sea merasa tersentak. Dia tidak menyangka jika wanita sebengis Citra akan mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri."Tolong maafkan aku, Nit. Ayah, Ibu ... Paman dan Bibi, juga ... Mas Bagas. Maaf karena tindakan bodohku membuat kalian malu. Aku ... aku menyesal karena tidak bisa merawat perasaan yang kumiliki hingga menjelma belati dalam hatiku. Aku menyesal!"Sea menutup kertas di tangan. Bahunya berguncang karena menangis sementara Gina mulai merengkuh bahu putrinya dan berbisik. "Kamu wanita hebat karena mau mengakui kesalahan, Nak. Jangan lukai Ibu dengan kebodohan yang lain. Cukup! Oke?"Sea mengangguk semba
***Bagas membanting setir ke kanan saat melihat seorang pengendara di depannya dengan ugal-ugalan. Motornya meliuk-liuk ke kanan dan kiri seakan pengendara yang lain tidak membutuhkan jalanan.Brak ....Bagas menghentikan mobilnya mendadak saat motor di depannya menabrak gerobak penjual es cendol di bahu jalan.Beberapa pengendara lainnya berhenti. Beberapa lainnya pula hanya melirik tanpa berniat ikut campur atau sekedar membantu."Keluar, Mas! Kasihan Bapaknya, Masya Allah, itu kocar-kacir isi gerobaknya," pekik Anita menahan geram.Bagas segera menepikan mobil, dia bergegas keluar dengan tergesa kemudian membantu beberapa orang yang sedang mengangkat gerobak yang sudah tergeletak di jalanan."Bapak baik-baik saja?" tanya Anita simpati. "Duduk dulu, Pak. Sini!" Ia menggandeng lengan lelaki tua agar duduk di salah satu kursi plastik yang disediakan untuk para pembeli. Napas lelaki tua itu tidak beraturan, bahkan terlihat tangannya yang keriput sedikit bergetar."Ini diminum dulu, Pa
***"Mesum!" pekik Sea dengan wajahnya yang memerah. "Mas Tirta sengaja kan berdiri di belakangku seperti ini, Mas Tirta tau kalau aku hendak berbalik, dasar mesum!" teriak Sea kesal. Dia menggosok-gosok keningnya menggunakan telapak tangan. Bahkan kening putih itu sekarang berubah menjadi kemerahan karena gesekan telapak tangan Sea disana."Aku nggak mau kerja disini!"Tirta membasahi bibir dengan ludahnya sendiri. Rasa hangat yang dia dapatkan dari kening Sea masih terasa bahkan setelah berkali-kali dia menyapukan lidahnya pada bibir merah miliknya."Kenapa kamu malah marah-marah sama aku? Salah sendiri dong balik badan nggak kasih aba-aba," kilah Tirta berusaha tenang padahal jantungnya di dalam sana berdebar tidak karuan. "Asal kamu tau, bibirku ternodai oleh keningmu, Sea! Kamu merampas paksa ciuman pertamaku!"Sea dibuat melongo oleh pengakuan Tirta di hadapannya. Kepalanya menggeleng tidak percaya pada apa yang Tirta katakan. Sedetik kemudian, wanita dengan setelan berwarna nud
***"Kenapa wajah kamu murung begitu, Gas?"Vano yang tengah menyeruput kopi di ruang tamu dibuat heran oleh raut muka Bagas. Halimah yang sibuk menyuapi Leha pun turut menoleh. "Sepuluh hari lagi, Gas. Masa sih gitu aja kelamaan?" goda Halimah terkikik. Leha menepuk lengan putrinya dan menggeleng samar. "Bercanda, Bu. Lagipula itu anak kebiasaan suka cemberut. Untung aja ada Anita yang mau sama dia."Bagas mendaratkan bokongnya di sisi Vano sedangkan Anita mulai mencium punggung tangan Halimah dan Leha bergantian."Saya yang harusnya bersyukur karena mendapat laki-laki seperti Mas Bagas, Bu," kata Anita jujur. Halimah mengusap kepala wanita muda di depannya seraya berkata. "Ibu dulu mikirnya gitu waktu dapat Ayah, Nit. Mereka memang Bapak dan Anak yang sangat bertanggung jawab," pujinya tulus.Anita mengangguk setuju. Dia meminta ijin mengambil alih piring di tangan Halimah dan mulai menyuapi Leha dengan pelan."Ibu buatkan minum dulu ya.""Nggak perlu, Bu. Tadi sudah banyak minum di
***Sea keluar dari ruangan mengingat semua pekerjaannya selesai. Dia berencana melihat-lihat Cafe peninggalan Handoko pada Astri. Cafe yang cukup mewah, bahkan sebentar lagi mungkin akan berubah menjadi sebuah restoran besar jika Tirta mau merombaknya."Selamat siang, Bu Sea. Butuh sesuatu, atau saya siapkan makan siang sekarang?"Sea menggeleng samar. Wanita berusia muda di depannya terlihat begitu sopan dan ramah. "Siapa nama kamu?""Renata, Bu."Sea manggut-manggut. "Sudah lama kerja disini?"Renata mendongak, dia menatap wajah Sea yang terlihat begitu segar dengan make up tipis. "Baru dua tahun ini sejak lulus sekolah.""Ada yang bisa saya bantu, Bu?"Sea menggeleng lagi. "Aku cuma mau lihat-lihat sekalian ingin mengenal kalian semua, Re. Lanjutkan pekerjaan kamu!"Renata mengangguk. Dia berlalu meninggalkan Sea di depan dapur dan ikut berkutat bersama teman-temannya yang lain. Suasana Cafe yang ramai membuat hati Sea menghangat. Selama ini dunianya terlalu kaku berkutat dengan l
***"Kalau kamu tertekan sama kelakuan Bagas, bilang sama Ayah, Nit."Bagas memamerkan barisan giginya sembari menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidak gatal."Ayah itu salah paham," elak Bagas. "Tadi aku lagi nolongin Anita gara-gara hampir jatuh ....""FTV sekali hidupmu, Gas," sindir Vano mencebik. "Jangan macam-macam sebelum halal, hargai calon istri kamu!"Bagas mengangguk lemah. Melawan Vano tidak akan menang pikirnya. Sementara Anita justru terkikik melihat wajah kesal Bagas."Makanya jangan centil," bisik Anita. Wanita itu berlalu meninggalkan Bagas yang tengah menatap punggungnya semakin menjauh. Senyum tipis seketika terbit di bibirnya, bayangan wajah cantik Anita menghiasi pikiran Bagas.Setelah urusan perbajuan selesai, mereka kembali ke rumah karena semua persiapan sudah selesai. Tidak ada adat pingit karena Anita tidak bisa menghandle semuanya sendiri apalagi dia hanya memiliki Haryati dalam hidupnya."Mau nikah kok sering keluar bareng, pamali," seru Diah ketika melihat
Dikira Miskin (Extra Part) *** Lima bulan kemudian .... "Hai ... lama tidak bertemu, usia berapa kandungan kamu?" Sea menoleh dan mendapati sosok Nando tengah berdiri dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana. "Se?" "Ah, maaf, Bang. Aku ... kaget aja tiba-tiba kamu muncul disini," celetuk Sea gugup. "Sendirian, Bang?" "Ya, karena wanita yang hampir menemani masa tuaku ternyata lebih memilih pria lain. Takdir memang selucu itu, Se." Sea membuang muka. Ada perasaan sedih ketika melihat Nando yang masih mengingat dirinya bahkan disaat dia dan Tirta sedang bahagia menanti buah hati mereka lahir. "Maaf, Bang." Nando terkekeh. "Aku baik-baik saja, Sea. Mungkin Tuhan memang melindungi kamu dari pria tua sepertiku." Sea menggeleng samar. Kedua matanya berembun melihat raut putus asa di wajah Nando. "Sudah kukatakan, kamu pasti mendapatkan wanita yang jauh lebih baik, Bang." "Sendirian?" tanya Nando mengalihkan pembicaraan. Sea mengangguk samar, "Mas Tirta sibuk ngurus Caf
Dikira Miskin (TAMAT)***Satu tahun kemudian ...."Pulang dulu, Sayang. Brian pasti nyariin kamu," kata Bagas lembut. Anita mendongak, kedua matanya memerah dengan bekas air mata yang di pipi. "Sebentar lagi ya, Mas. Sebentar saja," rengeknya manja. Jemarinya yang lentik mengusap-usap pusara kedua orang taunya bergantian, lalu beralih pada pusara Haryati yang nampak segar dengan bunga-bunga yang Anita taburkan barusan. "Brian sudah bisa berjalan, Yah. Kalau saja Ayah dan Ibu masih ada ....""Nit ...." Suara Bagas mengambang di udara. Kehilangan adalah hal yang paling menakutkan baginya. "Biarkan mereka semua tenang di alam sana. Ayo pulang!"Anita bergeming. Matanya semakin sembab karena sudah hampir satu jam ia menangis di pusara tiga orang tercintanya. Haryati sengaja di kuburkan tepat di samping anak dan menantunya. "Semua terasa begitu cepat, Mas.""Takdir Tuhan adalah misteri, apalagi kematian ... semua tidak ada yang tahu sampai kapan batas usia mereka, Sayang. Berhenti berse
***"Darimana kamu tahu kalau Bang Nando menaruh hati pada Sea, Sayang?"Anita mengedikkan bahu. Dia bangkit dan berjalan menjauhi Bagas yang saat ini nampak cengo karena keterkejutannya barusan."Anita ...," pekik Bagas tertahan mengingat sekarang dia sedang berada diantara banyak tamu undangan.Anita menghentikan langkah dan bergelayut manja di lengan Halimah. Wanita cantik itu sekarang tidak segan-segan untuk memeluk mertuanya karena selama ini Halimah memang mencurahkan perhatiannya pada Anita."Bawa Anita pulang, Gas. Dia pucat sekali," ucap Halimah panik. Dia mengusap-usap pipi menantunya dengan lembut. "Pulanglah, acaranya mungkin akan selesai agak malam. Kamu istirahat saja, biar Ibu yang menjelaskan pada Sea nanti."Anita mengangguk patuh. Dia mengikuti langkah Bagas dengan jemari yang saling bertaut. Acara pernikahan Sea memang di adakan di sebuah hotel ternama, perjalanan untuk pulang ke rumah mereka pun menempuh waktu sekitar dua puluh menit."Kamu belum menjawab pertanyaa
***"Nit, kami ...."Anita beralih menatap Tomi dan Gina. Sorot matanya penuh selidik sampai suara Sea membuatnya tiba-tiba terpekik dan berjingkrak bahagia seperti gadis kecil yang mendapat mainan. "Kami ... sebentar lagi akan menikah.""Hah? Serius, kalian ... tidak lagi membohongi aku kan?"Sea menggeleng. Dia merentangkan tangan untuk menyambut tubuh Anita, sahabat yang paling baik yang ia punya selama ini. Sea dan Tirta tertawa ketika Anita jingkrak-jingkrak senang dengan kabar yang ia dengar."Kamu membuatku takut, Se!" Anita mengusap air mata sambil memeluk Sea. "Kalian ... akhirnya. Ya Tuhan!" Anita kembali memekik bahagia. Dia mengurai pelukan dan berlari menuju Gina. Tanpa aba-aba lagi, kedua wanita beda generasi itu saling memeluk dan menangis lirih. Betapa Tomi merasa haru dengan suasana di depan matanya. Siapa sangka, restu yang ia berikan justru memberikan kebahagiaan bagi banyak orang, tidak hanya Sea dan Tirta. "Kami sudah lelah menangis, Nit. Ayolah, kalau kamu masi
***"Brengsek! Berani-beraninya dia ngusir kita, Mas?!" jerit Nayna marah. Bibirnya mengerucut sembari satu tangan mengusap dahi yang mulai berpeluh. "Harusnya kamu bisa tegas sama istrimu itu, Mas! Bagaimanapun kamu adalah kepala keluarga, jangan lembek gini dong!" Suara Nayna semakin membuat kepala Rayan berdenyut nyeri. "Diam, Nay!""Kenapa kamu malah bentak aku? Harusnya kamu bentak saja di Prisa yang kurang ajar itu!""Semua ini salah kamu! Murahan! Kamu bisa kan bersikap baik di depan Prisa bukan malah menyulut pertengkaran seperti ini!""Ya, ya! Salahkan saja aku terus, Mas! Bela wanita mandul yang tidak berguna itu! Aku muak melihat sikapmu yang lemah di depan Prisa!"Plak ....Nayna memegang pipi kanannya yang terasa panas. Tidak ada air mata melainkan hanya kemarahan yang bersarang di dadanya saat ini. "Tampak! Tampar yang banyak kalau perlu bunuh sekalian bayimu ini! Pria miskin! Aku menyesal mau mengakui anak ini sebagai darah dagingmu!"Rayan mengusap wajahnya kasar. Pe
***Tirta dan Sea bergeming. Ucapan Tomi membuat rasa percaya diri Tirta yang sempat tumbuh terasa dihempas begitu saja. Ternyata, setelah bisa mendapatkan kembali hati Sea, ia harus melalui satu jalan lagi yaitu Tomi dan Gina. "Ada banyak pria di luaran sana, Sea! Kamu cantik, mandiri dan ... kamu bisa mencari pria lain tanpa harus terjebak dengan pria yang sama!" ucap Tomi marah. "Kamu lupa ... dia bahkan rela memohon agar wanita yang sudah membuatmu celaka itu bebas. Jangan bodoh!"Sea menunduk. Bodoh! Ya, dia memang sudah bodoh karena setelah berbulan-bulan terlewati, perasaannya pada Tirta terus saja tumbuh tanpa sedikitpun berkurang. Gina mengusap lengan Tomi dengan lembut. Kedua matanya menatap Sea dengan nanar. Putri yang ia anggap sudah melupakan Tirta ternyata masih memiliki perasaan yang begitu besar untuk pria itu."Dia sudah membuatmu terluka, Se. Apa kamu pikir Ayah akan melepaskanmu dengan pria yang sudah pernah membuatmu kecewa?""Yah ....""Tidak!" sahut Tomi tegas.
***Sea dan Tirta terlonjak. Wanita itu mengurai pelukan saat kedua matanya mulai terbuka dan mendapati sosok Freya berdiri di ambang pintu dengan air muka kebingungan."Fre mau ikut peluk," ucapnya polos. Sea merentangkan tangan dan menghambur di pelukan Sea. Bibirnya terus mengukir senyum seolah-olah dua pasangan di depannya bukanlah sebuah ancaman bagi Papanya. "Ini siapa, Tante? Papa ...." Freya memanggil Hamka ketika pertanyaannya tidak kunjung mendapat jawaban dari mulut Sea. "Ayo, sini! Kita pelukan sama-sama!"Brenda membuang muka. Sedikit banyak dia mulai mengerti apa yang sedang terjadi di depan matanya. Melihat Freya yang begitu dekat dengan Sea sudah memberikan jawaban atas pertanyaan Brenda pada Hamka tadi."Kalian ... di-- dia kenal Sea?" tanya Brenda terbata. "Kalian ... sudah saling mengenal?"Hamka mengangguk sambil tersenyum tipis. Pria itu melangkah mendekati Freya dan meninggalkan Brenda di depan toko dengan rasa cemas yang luar biasa."Hai ...," sapa Hamka. "Maaf
***"Se, tolong dengarkan aku!" pinta Tirta memelas. Dia melangkah mendekati Sea yang memunggunginya sembari menutup telinga dengan dua tangan seakan-akan tidak ada yang ingin dia dengarkan dari mulut Tirta. "Aku datang hanya ingin menjelaskan semuanya. Setelah itu semua keputusan terserah padamu. Aku ... hanya ingin meminta maaf atas semua rasa kecewa yang kamu rasakan.""Untuk apa meminta keputusan dariku, Mas? Bukankah kamu sudah memutuskan semuanya sendiri? Kamu lebih memilih wanita itu daripada aku yang ... aku yang tidak sedang mengandung anakmu!" "Dia bukan anakku, Sea!""Dan aku tidak peduli!" teriak Sea. Air matanya berlomba-lomba untuk meluncur bebas ke pipi. "Anakmu atau bukan, yang jelas kamu sudah memilih Nayna daripada aku! Dan itu ... sudah cukup membuatku paham jika nama Nayna berada di posisi tertinggi dalam hatimu."Tirta menunduk. Langkahnya terhenti ketika Sea sudah berada tepat di depan matanya. "Bahkan setelah melukai hatiku berkali-kali, kamu datang dengan wani
***"Mana sarapan untukku?"Nayna duduk di kursi makan dengan melipat tangan. Persis seperti seorang anak kecil yang sedang menunggu sarapannya tersaji."Coba ulangi lagi!"Nayna mendengus kesal. "Ck! Jangan cari gara-gara ya, Mbak. Ini masih pagi, mood ku juga sedang buruk, kamu nggak mau kan kalau sampai aku ngadu ke Mas ....""Kamu pikir aku takut?""Ouh, jadi nantangin? Kamu mau tau siapa yang akan dipilih oleh suami kamu, begitu?" angkuh Nayna. "Lihat! Di perutku ada kehidupan lain, dia yang bertahun-tahun lamanya sangat diinginkan oleh Mas Rayan, yakin kalau aku merajuk dia bakalan lepas kamu begitu saja?"Wanita yang usianya jauh lebih tua di banding Nayna itu tertawa sumbang. Ya, tidak mengelak jika hadirnya seorang bayi adalah keinginan dia dan Rayan selama bertahun-tahun menjalani biduk rumah tangga. Tapi tidak dengan bayi dalam hubungan yang kotor. Rayan sudah mencurangi pernikahan mereka."Kenapa diam,