.
.
"Haduh, nggak banget lihat Maya. Pergelangan tangan kosong, jari-jarinya kosong, lehernya juga nggak ada perhiasan, cuma anting aja itu yang melekat di telinganya," Bu Surti berbicara sambil melirik jijik ke arah Maya.
"Maklum lah, Bu Sur ... suaminya cuma pegawai Restoran, mana bisa dia bebelian perhiasan macam kita," sahut Dahlia, tetangga depan rumah Maya.
"Kasihan sekali ya, masih muda tapi hidupnya susah. Beruntung kita-kita yang udah berumur matang ini nggak salah pilih suami," celetuk Bu Hanum. "Pakaian sih boleh bagus, tapi kalau nggak ada perhiasan yang nempel, ah ... ketahuan miskinnya."
Ketiganya terkekeh seakan membenarkan ucapan Bu Hanum. Maya yang menyadari sedang diperhatikan pun menoleh dan mengangguk samar pada trio julider's di Perumahan-nya. Wanita cantik itu berdiri sebentar di depan akses masuk tenda pernikahan yang sudah dihias banyak sekali bunga. Telepon dari Sang Suami membuatnya sedikit menjauh setelah mengangguk menyapa tiga tetangga yang ia kenal.
"Dih, pakai senyum-senyum lagi. Dikiranya kita level apa berteman sama dia. Ya nggak, Bu Sur?"
Bu Surti mengangguk, kemudian bergidik membuat Maya sedikit canggung dengan respon yang tetangga barunya itu berikan.
"Hati-hati, Bu Sur ... besok-besok kalau dia mau bertamu, pastikan dulu kedatangannya mau apa. Takutnya minjam duit," sambung Dahlia. "Ya ... antisipasi aja sih, jaman sekarang kan banyak orang susah. Apalagi Maya itu warga baru, pendatang juga. Jangan sampai Bu Sur kena tipu!"
Bu Surti lagi-lagi mengangguk. Selama ini ia memang dikenal sebagai orang paling kaya di perumahan ini. Perumahan biasa, bukan perumahan mewah yang rumahnya menjulang tinggi.
Setelah mematikan sambungan telepon, Maya berjalan mendekati Dahlia, tetangga yang dia kenal lebih dulu.
"Eh, dia berjalan kesini. Duh, enggak banget. Males sama model orang miskin, ya nggak sih, Bu?"
Bu Sur dan Bu Hanum mengangguk, kemudian membuang muka saat Maya sudah ada di depan meja mereka. "Boleh saya gabung ibu-ibu? Kebetulan belum banyak tetangga yang saya kenal," ucap Maya ramah.
Dahlia mengangguk kikuk sementara dua wanita di sebelahnya tidak menanggapi ucapan Maya.
"Lia, coba kamu lihat ... gelang saya ini model terbaru loh, Hesti yang beliin. Bagus kan?"
Dahlia antusias sekali melihat-lihat gelang keroncong di pergelangan tangan Bu Sur. "Wah, ini sih gelang mahal, Bu Sur. Hebat banget ya Mbak Hesti, pasti suaminya kaya makanya bisa beli banyak perhiasan buat Ibunya. Anak dan menantu yang berbakti," puji Dahlia menggebu-gebu.
"Iyalah, Lia. Jaman sekarang itu harus pintar-pintar cari suami. Kalau suami kaya, kita jadi Ratu. Kalau suami miskin yang ada kita jadi babu. Malu kalau keluar rumah nggak pakai perhiasan, kelihatan sekali kalau hidup orang itu nggak bahagia." Bu Hanum berbicara sambil sesekali melirik ke arah Maya.
Maya yang mendengar obrolan mereka hanya sesekali tersenyum tipis. "Ya nggak, Mbak Maya? Betul kan omongan saya?" tanya Bu Hanum.
"Ada benarnya, dan ada tidaknya menurut saya, Bu. Tidak semua suami kaya bisa memperlakukan istrinya seperti ratu, begitupun sebaliknya. Dan maaf, sepertinya tidak semua orang suka memakai perhiasan, jadi bagi saya ... perhiasan bukan tolok ukur kebahagiaan seseorang."
Bu Hanum mencebik. Dia meletakkan dua tengannya di atas meja dan memamerkan dua cincin di jari kanan serta tiga cincin di jari kiri. "Ah, kalau saya sih mikirnya gitu. Pasti orang-orang yang nggak pakai perhiasan itu tertekan hidupnya. Gimana enggak, buat makan aja susah apalagi buat bebelian emas. Kasihan!"
Maya lagi-lagi hanya mengulas senyum tipis. Bukan ia tidak mengerti arti sindiran ketiga tetangganya. Hanya saja, bagi orang baru seperti Maya lebih baik menghindari perdebatan untuk menjaga citranya sebagai warga pendatang.
"Yuk ah, itu pelaminannya udah sepi. Keburu sore ini," ajak Bu Sur. Tangannya sengaja ia naik turunkan ke atas agar gelang-gelang yang ia pakai mengeluarkan bunyi gemerincing. Belum lagi jilbab yang ia singkap ke belakang membuat kalungnya yang menjuntai panjang dengan bandul besar terlihat dari luar.
Ketiganya berdiri dan berjalan mendekati dua pengantin yang tengah berbahagia di atas pelaminan. Maya yang merasa tidak dianggap hanya mengekor di belakang. Tidak ada pilihan lain selain mengikuti tiga tetangga sombongnya daripada harus naik sendirian. Canggung.
"Selamat ya, Eti. Semoga menjadi keluarga yang Sakinah," ucap Bu Sur basa-basi. Lagi-lagi ia menggerakkan pergelangan tangannya. "Maharnya emas berapa gram?" bisik Bu Sur membuat Dahlia dan Bu Hanum terkekeh. "Pasti gede dong ya, secara suami kamu kan Bos."
"Tentu, Bu. Emas 30 gram termasuk kalung, gelang, tiga cincin dan satu gelang kaki," sahut Eti sombong.
Bu Sur, Bu Hanum dan Dahlia menganga lebar mendengar mahar yang didapatkan Eti. "Tuh kan, apa saya bilang ... kalau dapat suami kaya pasti bahagia. Soalnya punya banyak perhiasan jadinya kan." Suara Bu Hanum memecah keheningan. Tidak ada yang menimpali ucapannya karena Dahlia dan Bu Sur berkutat dengan pikirannya sendiri.
"Selamat ya, Mbak Eti. Semoga pernikahan ini langgeng," doa Maya sembari menyalami mempelai wanita. Tentu saja dengan menyelipkan amplop putih di tangan Eti.
"Makasih," sahut Eti enggan. Dia mengusap tangannya jijik setelah Maya terlihat turun dari atas pelaminan. Disusul Bu Sur, Bu Hanum dan Dahlia hingga ketiganya pun mengikuti langkah Maya.
Mereka pulang dengan berjalan kaki. Obrolan-obrolan seputar perhiasan pun masih menghiasi bibir merah tiga wanita beda generasi itu. Seperti biasa, Maya hanya menanggapi dengan tersenyum.
"Sombong sekali si Eti, tau nggak, Mbak Maya ... dia tadi usap-usap tangan waktu Mbak Maya udah turun. Udah macam orang paling kaya saja dia," kata Dahlia mengompori. "Baru punya perhiasan dari hasil mahar saja gayanya kayak yang udah paling kaya di Perumahan ini. Gemes!"
"Itu juga salah Maya, kamu nggak punya perhiasan ya?" tanya Bu Sur lancang. "Ya ... gimana ya, bagi kami kaya itu banyak perhiasan. Kalau cincin saja kamu nggak punya, pasti hidup kamu sengsara sekali, ya kan?"
"Alhamdulillah Mas Abian menafkahi saya lebih dari cukup, Bu," sahut Maya tak acuh. "Saya punya kok perhiasan, cuma memang jarang pakai saja. Buat tabungan."
Bu Sur mencebik, "Jangan sampai pinjam uang ke saya loh, kan kamu punya tabungan. Emas lagi," sindirnya ketus.
Maya menatap kepergian tiga wanita itu di depan rumahnya. Kebetulan rumah Maya berada paling ujung. Dahlia tanpa menoleh lagi sudah berbelok pulang setelah cipika-cipiki dengan Bu Sur dan Bu Hanum. Padahal rumah mereka hanya berjarak beberapa rumah saja.
"Ada-ada saja," gumam Maya.
***
Tiga hari kemudian ....
"Assalamualaikum, Dek ... bisa ke Restoran Cemara sebentar?"
"Waalaikumsalam, ada apa, Mas? Apa ada masalah serius?"
"Ah enggak, tadi Satria bilang banyak bahan dapur yang kosong tapi uang pendapatan bulan ini minus. Kamu cek ya, Mas masih ada urusan, pembangunan restoran baru kita sudah 90%, kalau enggak dipantau takut bakalan lama."
Maya mengangguk mengerti. "Mas belum cek pendapatan bulan ini? Kenapa nggak bilang sama aku?"
"Maaf, Sayang. Mas pikir Satria bisa dipercaya, lagipula kasihan kamu kalau harus bolak-balik dari rumah ke Restoran, lepas itu ke rumah Ibu. Capek di jalan!"
"Ck! Satria itu kepala dapur baru kan?"
"Iya, tolong ya?"
"Baiklah."
"Terima kasih, Sayang."
"Sama-sama. Cepat pulang, dan hati-hati ya."
"Tentu. Assalamualaikum, istriku."
"Waalaikumsalam."
Setelah mematikan sambungan telepon. Maya gegas berganti pakaian dan menyambar tas kecil di antara banyak sekali tas koleksi miliknya.
"Mau kemana, Mbak Maya? Itu rumah sepi sekali ya, suami kerja apa sih kok sampai nggak pulang-pulang, bukannya pelayanan restoran ya?"
Maya menghentikan gerakan tangannya yang sedang membuka pintu pagar. "Siapa bilang, Mbak?"
"Ah, banyak kok yang bilang. Ibu-ibu yang pernah nongkrong di restoran cempaka sering lihat suami Mbak Maya melayani pengunjung."
"Gitu ngakunya banyak emas, Mbak. Suaminya kerja jadi pelayan aja bicaramu sombong sekali."
Setelah mengatakan demikian, Dahlia berbalik hendak kembali masuk ke dalam rumah. Maya mematung di tempatnya sambil menatap punggung Dahlia yang hampir menghilang.
Sampai seseorang berhenti di depan rumah Dahlia dan berkata. "Kapan kau mau bayar cicilan emas-emas itu, Lia!"
"Jangan kau sukanya ngutang tapi nggak mau bayar ya! Capek aku nagih tiap minggu kesini tapi rumahmu selalu saja tertutup! Pandai kau ya main petak umpet samaku!"
Dahlia menoleh. Wajahnya memucat serta dengan cekatan tangannya menyembunyikan gelas serta dua cincin di balik jilbabnya yang lebar.
Bersambung
. . "A-- ah, ada Bu Joko. Mari masuk, Bu!" ucap Dahlia gugup.Bu Joko berkacak pinggang di depan rumah Dahlia. Wajahnya yang tegas membuat siapapun yang melihat pasti takut. Tapi memang itulah tujuannya, kalau wajah lembek sudah pasti banyak orang-orang licik yang tidak mau membayar cicilan utang padanya."Jangan bermanis-manis mulut kau, Lia! Sudah berapa kali aku kesini tapi rumahmu selalu tertutup, hah?"Dahlia meneguk ludahnya kasar sambil sesekali melirik ke arah Maya yang sedang mengeluarkan motor dari dalam halaman rumahnya."Waktu berhutang saja kau pandai merayu bilang mau nyicil tepat waktu segala macam. Sekarang apa ...? Bagaimana kenyatannya ...?""Aku tidak mau tau, hari ini juga cicil semua hutang-hutangmu atau emas-emas itu aku ambil!"Dahlia kelabakan. Hari ini suaminya belum gajian sementara uang bulanan dari Sang Suami pun sudah habis tak bersisa."Ehm ... anu, Bu Joko ....""Aku tidak menerima alasan apapun, Lia!" bentak Bu Joko.Dahlia segera menarik pergelangan
. . Di tengah jalan, Maya membuang semua prasangka buruk. Bisa saja ucapan Bu Joko tadi bukan dituduhkan olehnya namun kendati melupakan semua kejadian di depan rumahnya tadi, Maya tetap saja merasa janggal dengan ucapan Bu Joko yang mengatakan untuk berhati-hati ketika akan memberikan pinjaman pada tetangga seakan-akan Maya adalah peminjam dan Dahlia adalah penagih hutang.Sesampainya di depan Restoran, ia dibuat heran dengan banyaknya pengunjung siang ini. Hampir lima bulan Restoran ini dibangun, hanya sekali saja Maya menginjakkan kaki mengingat dulu tempat tinggalnya cukup jauh dari Restoran cabang kedua milik suaminya ini. Itupun ia datang bersama Suaminya setelah pulang dari rumah mertua.Beberapa pekerja memang mengingat Maya dengan baik, tapi para pekerja baru dan juga kepala pelayan baru belum pernah bertemu Maya sebelumnya."Mbak Maya?" sapa Eti kaget. "Mau cari suami ya? Ya ampun, segitunya jadi istri sampai suami kerja pun dicariin," cibirnya. "Tapi dari tadi aku duduk k
. . "Ah, banyak omong! Seret wanita ini keluar, tunggu apa lagi, hah?" Dua orang satpam saling pandang lalu menarik tangan Maya dengan kasar. Hampir saja ponselnya terlepas dari genggaman sehingga membuat Maya naik pitam. "Lepaskan!" bentak Maya geram. Bruk ...!!! Maya didorong kasar oleh seseorang yang tidak lain adalah Eti. "Bikin malu tau nggak, Mbak?" Dada Maya naik turun. Dia berusaha berdiri dan mengibaskan celananya yang kotor akibat terjatuh di halaman Restoran. "Nih lihat, video kamu viral di Perumahan kita," ucap Eti sinis. "Makanya, jangan cari gara-gara di Restoran suamiku. Sana pergi! Suamimu pasti ada di rumah wanitanya yang lain, buktinya saja dia tidak keluar dan membelamu. Menyedihkan!" Kedua tangan Maya mengepal. Belum sempat Eti berbalik, Maya dengan cepat menarik rambut tetangganya itu membuat Eti mengadu kesakitan. "Aakkkhhh ... Mas, tolong ...!!!" Satria berlari keluar dan berteriak, "Bantu istriku, bodo
. . "A-- apa sih, Mbak Maya! Tanya-tanya nggak jelas!" sahut Dahlia gugup. Maya bersedekap dada. Telinganya terngiang-ngiang ucapan sang suami bahwa setelah ini dia harus berani bersikap tegas dan pemberani. "Bagian mana yang nggak jelas? Ah, kalau begitu biar saya kirim rekaman CCTV di depan rumah saya ke grup, biar semua orang tau kalau sebenarnya ...."Bu Sur dan Bu Hanum saling pandang, lalu ...."Ha ... ha ... ha ...." Mereka tertawa lebar bersama membuat Dahlia pun mau tidak mau menarik garis bibirnya. "Rekaman CCTV? Setelah tabungan emas, bikin keributan di Restoran Eti, ngutang ke Lia, sekarang dia bilang kalau di depan rumahnya ada rekaman CCTV? Astaga, Mbak Maya ... sebegitu halu-nya ya, kamu," ucap Bu Hanum setelah meredakan tawanya.Bu Sur terlihat menyeka sudut matanya karena tertawa terlampau terbahak. "Sudahlah, Bu Hanum. Beri dia kesempatan buat nunjukin rekaman CCTV itu. Mana?""Sejujurnya aku takut kalau ternyata suami yang selama ini kamu akui itu ternyata suami o
. . "Buru-buru amat?" Abian menoleh, "Ada sedikit masalah di Restoran cabang. Titip urusan disini ya, kalau ada apa-apa segera hubungi aku." "Sudah kuduga ada yang nggak beres di Restoran kamu yang satu itu," sahut Dama. Abian menghela napas kasar. Dama adalah sepupunya yang merangkap menjadi orang kepercayaan Abian di Restoran pertama milik Abian. Restoran yang paling besar dibandingkan dengan Restoran cabang yang lain. Tentu. Anggap saja itu sebagi Restoran utama. Bisnis pertama yang Abian geluti bahkan sebelum menikah dengan Maya. "Beberapa hari belakangan saat kamu bilang Restoran itu sepi dan minus pendapatan per bulan ini, aku udah merasa janggal," papar Dama. "Pasalnya, tiga hari belakangan aku selalu melewati tempat itu, hanya saja ... maaf, Restoran itu masih tetap ramai seperti sebelum-sebelumnya, Bian." Abian mengurungkan dirinya masuk ke dalam mobil. Sore ini ia mendadak meminta Dama untuk datang ke tempat pembangunan Restoran baru untuk menggantikan dirinya meman
. . Maya membuka pintu dan bersedekap dada menatap Dahlia di depan pagar rumahnya."Keterlaluan kamu, Mbak Maya!" ucap Dahlia, "Sadar diri dong, Mbak ... kamu itu orang baru di sini, jangan bikin onar apalagi ngirim-ngirim rekaman CCTV di grup!"Maya menaikkan satu alisnya. "Memang ada larangan kalau orang baru nggak boleh membela diri, Mbak Lia?"Dahlia meradang. "Aku bisa laporkan ini ke polisi loh, Mbak Maya," ancamnya sambil tersenyum sinis. "Orang susah kayak kamu yakin bisa mengelak dari jerat hukum?"Maya tertawa lebar. Dia mengibaskan tangan di udara dan memilih masuk ke dalam rumah meninggalkan Dahlia yang mengomel di depan rumahnya. Tak jarang wanita itu mengumpat dan menghina Maya dengan teriakan-teriakan lantang.Ting ....|Karena grup mulai tidak kondusif, saya selaku ketua RT untuk sementara mengaktifkan mode senyap dan hanya admin yang bisa berkirim pesan||Sekiranya Mbak Lia memang bersalah, tidak ada salahnya meminta maaf pada Mbak Maya||Karena dari pengamatan saya
. . Maya sudah bersiap dengan setelan blazer berwarna nude dengan kaos ketat berwarna putih sebagai dalamannya. Tak lupa, kalung berlian berbentuk bulat dengan aksen mungil melingkar indah di lehernya yang putih dan jenjang. Satu gelang dan satu cincin emas putih menambah kesan betapa mewah dan elegan tampilan Maya kali ini. "Mau pakai mobil apa motor?" tawar Abian. Maya yang sedang memoles bibir pun menoleh. "Mobil dong, Mas. Sekalian ke rumah Ibu sepulang dari Restoran nanti."Abian mengangguk patuh. Dia memilih keluar dan memanaskan mesin mobil terlebih dahulu.Setelah dirasa cukup, Maya membuka lemari tas-nya dan mengambil salah satu koleksi tas paling mahal miliknya. Tas kecil berwarna putih semakin menyempurnakan tampilan Maya siang ini."Wah, Mbak Maya sudah siap juga ternyata. Mau ikut gabung di mobilnya Bu Sur?" Bu RT menyapa Maya yang kebetulan hendak membuka pintu pagar. "Saya bareng Mas Abian saja, Bu," tolak Maya halus. "Sepulang nanti mau sekalian berkunjung ke rumah
. . "Masih punya muka mau ikut makan-makan di Restoran Mas Sat, Mbak Maya?" sindir Eti. "Eh, pakai bawa-bawa suami lagi. Ketemu dimana, di rumah istri barunya?""Kalau aku jadi Mbak Maya, nggak kebayang gimana malunya, ya nggak, Bu Sur?" celetuk Bu Hanum sambil melirik Bu Sur yang terlihat mulai antusias. "Sudah bikin keributan, jambak-jambak rambutnya Eti, eh ... sekarang datang bawa suami mau makan gratis. Astaga ...."Dahlia dan Bu Sur tergelak. Juga beberapa ibu-ibu yang lain yang hidupnya hanya sebatas ikut-ikutan saja. Sementara Bu RT dan Bu Puji saling pandang, merasa suasana sebentar lagi pasti memanas."Kalau sudah puas menghina istri saya, mari masuk!" Abian merangkul bahu Maya dengan mesra membuat bibir Eti mencebik dan menoleh ke belakang dimana Satria berdiri terpaku dengan keringat dingin yang mulai bercucuran."Mas, ayo! Masa yang ngajakin ibu-ibu masuk malah dia sih, harusnya kan kamu. Tuan rumah di Restoran ini," teriak Eti kesal. "Jangan lupa sama janji kamu kemari
Tubuh Gading mematung. Lagi-lagi pertemuannya dengan Laura membawa kilas pedih pada masa lalu. "O-- oh, hai, Ra," sapa Gading kikuk. "Sama suami kamu lagi?"Laura bergeming sementara Hesty menatap heran ke arah suaminya. "Mas kenal suami Laura?" tanya Hesty menyelidik.Gading mengedikkan bahu. Dia menurunkan Seila dan menjawab. "Kapan hari kan Mas ketemu Laura sama suaminya. Gading, Mas!" Gading menjulurkan tangannya di depan Reyhan. "Reyhan, Mas," sahut mantan suami Hesty datar. "Kalau begitu kami pamit dulu. Permisi!"Reyhan berjalan sembari menggandeng tangan Mazaya sementara Laura mengekor di belakang mereka dengan air mata yang menganak sungai. "Mas ...." Panggil Hesty lirih. Gading menoleh. Wajahnya berubah sendu ketika bertemu Laura untuk yang kesekian kalinya. "Dia ... mantan suamiku," aku Hesty."Dia?"Hesty mengangguk. "Sepertinya dia baru keluar dari penjara. Entah bagaimana ceritanya, Mas Reyhan ... tidak mau membahas luka yang sudah aku ciptakan."Gading seketika men
"D-- dia istri kamu, Mas?" tanya Hesty gagap. Kedua matanya memanas melihat Mazaya, gadis kecil yang begitu Reyhan lindungi ternyata putri dari wanita yang sudah ia hancurkan rumah tangganya. "D-- dia ...?"Reyhan terkekeh getir. Dia melepaskan genggaman tangannya pada Mazaya dan mempersilahkan wanita di sampingnya menggendong putri kecil yang beberapa menit lalu ia cari-cari."Kalau wanita seperti kamu saja bisa membuangku tanpa berpikir dua kali, apa kamu pikir ada wanita lain yang mau menerimaku sebagai suami, Hes?" tanya Reyhan perih. "Aku hanyalah pria kotor yang rela melakukan apa saja demi memenuhi gaya hidup istriku dan keluarganya. Tapi itu dulu ... sekarang, aku hanyalah seorang pria yang berjuang untuk keluarganya. Untuk Emak dan Bapakku di kampung. Apalagi setelah aku tahu bahwa putriku hidup dengan layak, sepertinya memang aku harus meredam ego. Demi masa depannya. Demi mentalnya. Jaga dia!"Reyhan melengos sembari mengusap sudut matanya yang berair. Sejenak kemudian, dia
"Apa kabar, Hes?" Reyhan bertanya dengan nada dingin. Bertanya kabar mantan istrinya dengan air muka begitu tenang. "Putriku sudah sebesar ini ya? Boleh aku gendong?"Seila menggeleng kata tangan Reyhan terangkat ke udara. Gadis kecil itu berlari bersembunyi di belakang tubuh Bu Sur dan berceloteh gemas. "Kata Papa gak boleh! Jangan gendong Seila, Om," ucapnya cadel. Hati Reyhan berdenyut nyeri. Seila, bayi mungil yang dulu selalu nyaman berada dalam gendongannya kini menolak pelukan darinya dengan dalih dilarang oleh Papa. Papa siapa yang Seila maksud, batin Reyhan."Om cuma mau peluk. Boleh?"Seila menggeleng takut. Kedua mata Reyhan memanas dengan satu tangan yang kembali menggenggam erat jemari Mazaya. Gadis kecil yang usianya sepadan dengan Seila."M-- Mas sudah bebas?" tanya Hesty dengan suara bergetar. Ada perasaan bersalah yang teramat dalam untuk mantan suakmunya itu. Bagaimana dulu Hesty memilih bercerai karena Reyhan kedapatan tertangkap polisi sedang mengedarkan barang ha
"Nanti siang aku mampir ke Restoran ya, Mas?"Hesty yang sedang menyuapi putrinya berbicara manja pada Gading. Sejak setahun yang lalu suaminya bekerja di Restoran milik Abian dan kehidupan Hesty perlahan-lahan mulai membaik. Gaji yang Abian tawarkan memang tidak kaleng-kaleng. Apalagi selama ini Restoran itu terkenal dengan hidangan yang lezat. Ada harga, ada rasa."Memangnya nanti siang mau kemana?" tanya Gading menelisik. "Jalan-jalan?"Hesty nyengir. Dia mengangguk ragu dan melirik Bu Sur yang juga tengah sarapan bersama mereka di ruang makan. "Boleh ya, Mas?""Boleh, sekalian ajak Ibu."Bu Sur mengangkat kepalanya. Matanya memanas. Untuk pertama kalinya dia merasakan kehangatan dari hubungan rumah tangga Hesty. Kegagalan di masa lalu membuat wanita muda itu banyak belajar bahwa menerima kekurangan pasangan jauh lebih baik daripada harus saling menuntut."Bapak gak sekalian, Ding?"Gading tertawa lebar. "Ki
"Apa kabar anak Ayah hari ini? Bunda nakal gak? Kamu menyusu dengan baik kan?" goda Abian sembari mengambil alih sang putra dari gendongan Ibunya. "Jelas dengan baik lah, kan Ayah sudah kehilangan jatah menyusu," sahut Ibu sarkas.Maya dan Abian mematung. Keduanya tergelak ketika menyadari ucapan Ibu terlalu frontal sore ini."Ibu apa-apaan sih, ada Bu Saroh tuh, gak baik bicara seperti itu. Bikin kita malu aja!" gerutu Abian yang dibalas tawa renyah oleh Ibu."Diskusi apa sama Maya, Ibu boleh tau?"Abian mengangguk. Mereka berjalan menuju ruang makan sementara Abimanyu ia serahkan pada Bu Saroh."Tolong ajak Abimanyu sebentar ya, Bu.""Dengan senang hati, sini anak manis," sahut Bu Saroh yang tersenyum lebar mendapatkan tubuh Abimanyu yang mungil dalam dekapan. "Jadi aku tadi mampir ke rumah Mbak Hesty, Bu," kata Abian bercerita. "Kebetulan kepala dapur di Restoran Cempaka resign, dia ikut istrinya pulang kampung dan cari kerja disana saja katanya. Aku pikir, daripada aku ambil ora
Satu minggu kemudian ....Abian pulang dengan membawa rasa rindu pada istri dan anaknya. Bahkan pria itu sekarang lebih sering berada di rumah dan menghandle Restoran dari rumah. "Baru pulang, Mas Gading?" Abian yang menutup pintu pagar sengaja menyapa Gading yang baru pulang dari bekerja. Mamang pergi mengantar Emak dan Bapak yang sudah kembali ke kampung, itu sebabnya sekarang Abian membawa mobil sendiri."Iya, Mas," sahut Gading sambil mengulas selarik senyum. Gading terlihat kelelahan mendorong gerobak yang sudah ia pisahkan dari motornya. Peluh membasahi bajunya yang nampak lusuh. Benar-benar ... kesalahan membuat Gading dan Hesty berubah banyak beberapa bulan belakangan. Abian merasa kasihan. Dulu, ia sengaja menolak memperkerjakan Gading karena memang kurang suka dengan gaya bicara tetangganya itu. Apalagi dulu Gading masih menjunjung tinggi sikap sombong dan pongah membuat Abian jengah dan enggan beruru
"Oek ... oek ...."Suara tangis bayi memecah ketegangan dalam ruangan. Maya terengah, sementara Abian berulang kali mengecup pelipis Sang Istri tanpa lupa mengucap syukur atas kelahiran bayinya."Alhamdulillah, bayi laki-laki yang sehat dan lahir dengan kondisi tubuh lengkap tanpa kurang satu apapun. Berat sekitar 3,3 kg," papar suster menjawab rasa penasaran Abian.Maya tersenyum lega. Dia diberi kesempatan untuk memeluk bayinya sebelum Suster yang bertugas membersihkan Sang Bayi ke dalam ruangan khusus. "Bisa saya adzani dulu, Sus?""Tentu saja, Pak. Mari, silahkan!"Suster mengangguk dan mengarahkan telinga bayi tampan itu tepat di bibir Abian. Abian hampir saja tergugu jika dia tidak segera menguasai emosinya. Bayi mungil dengan wajah Maya membuat hatinya terenyuh. Penantian mereka akhirnya terbayar dengan memuaskan."Terima kasih," kata Abian. Suster mengangguk ramah dan segera membawa bayi Maya menuju ruangan terpisah. Sementara Maya sedang terbaring lemah dan mendapatkan pena
. . Dua bulan berlalu, perut Maya sudah semakin membuncit dan seminggu lagi adalah jadwal bayinya dilahirkan. Namun sepertinya Tuhan berkehendak lain, pagi ini ... istri Abian itu merasakan mulas yang teramat sangat. Celana tidur yang ia pakai sudah basah karena air ketuban yang pecah. Maya memanggil-manggil Abian yang sedang berada di dalam kamar mandi. "Kenapa, May?" Abian keluar hanya memakai handuk, bahkan buih sabun masih menempel di tubuhnya. Pria itu panik, takut jika ada apa-apa dengan istrinya menjelang melahirkan."Mas, sshhh ... perutku," keluhnya.Mata Abian melotot tatkala melihat sprei yang sudah basah ditambah dengan celana yang istrinya kenakan pun sama basahnya."Sepertinya mau lahiran," adu Maya sambil meringis.Abian mengusap sisa sabun di tubuhnya tanpa membilas lebih dulu menggunakan air. Dengan gerakan cepat, ia berganti pakaian tanpa peduli apakah Maya melihat
Laura hanya menoleh sekilas, lalu menatap bungkusan cilok yang ada di tangan keponakannya."Sudah beli jajannya? Ayo!"Abigail mengangguk. Dia berlari menuju dimana mobil Tantenya berada sementara Gading memanggil-manggil nama Laura membuat wanita itu terpaksa menghentikan langkah."Ba-- bagaimana kabar kamu?" tanya Gading basa-basi. Mantan istrinya terlihat begitu cantik dengan baju yang sedikit kedodoran."Menurut kamu?" sahut Laura balik bertanya. "Akta perceraian sudah aku kirim ke rumah istri kamu, sudah kamu terima kan?"Gading mengangguk. Kini, penyesalan terasa begitu menusuk ke dalam relung hatinya. Melepaskan Laura sama halnya dengan melepas berlian yang tengah bersinar indah."Maafkan aku, Ra!"Laura yang hendak berbalik kini lagi-lagi menghentikan langkah."Aku sadar kalau aku banyak salah, maaf sudah menyakiti kamu, Ra. Maaf sudah mengkhianati pernikahan kita dulu. Maafkan aku ...."Jantung Laura berdegup kencang. Perlahan tangannya mengusap perut yang masih rata. Entah.