.."Sudah, cukup!" Suara bariton Abian membuat suasana yang semula memanas jadi makin panas. "Kamu yang menjelaskan, atau saya yang mengatakan kebenarannya di depan semua orang, Satria?"Eti menoleh. Wajahnya memerah mendengar Abian memanggil suaminya tanpa embel-embel "Pak.""Ngelunjak ya kamu!" desis Eti. "Pekerja seperti ini masih kamu pertahanan? Iya, Mas?""Diam, Eti. Diam!" bentak Satria lantang. "Aku lama-lama muak mendengar suaramu. Bisa tidak kamu diam?"Eti terperanjat. Kedua matanya memanas bahkan kristal bening sudah siap meluncur karena ini kali pertama Satria membentaknya di depan banyak orang."Ka-- kamu bentak aku, Mas?""Kamu ... kamu lebih membela suami Mbak Maya ini daripada aku, iya?""Apa susahnya kamu pecat dia, Mas? Dia cuma tukang cuci piring, itu kan yang kamu bilang?""Setelah apa yang Mbak Maya lakukan ke aku, rambutku rontok, kepalaku pusing, dia jambak-jambak aku di depan Restoran dan sekarang kamu justru membela suaminya?" "Apa yang ada di otak kamu, Ma
"Keterlaluan kamu, Mbak Maya!" geram Eti. "Jangan mentang-mentang kamu istri dari pemilik Restoran ini lalu bisa bersikap seenaknya ya!"Maya tergelak. Dia bertepuk tangan melihat Eti yang sedang menangis. Playing victim!"Hei, bukankah kamu yang lebih dulu bersikap angkuh dan mentang-mentang sebagai istri dari kepala pelayan lalu dengan sombongnya mengusirku tanpa memberikan kesempatan buatku mengatakan siapa aku sebenarnya," sahut Maya. "Kamu yang keterlaluan, Mbak Eti! Kamu mendorongku sampai terjerembab di depan Restoran, tidak mendadak amnesia, bukan?"Eti melengos sementara Satria mati kutu tidak bisa menyangkal semua kebenaran yang Maya katakan. "Ta-- tapi itu bukan salahku. Lagipula kenapa semua pekerja disini tidak mengenalmu, hah?""Mbak Eti ingin tau jawabannya?" tanya Maya sinis. "Dia ... suami kamu sudah memecat semua pekerja dan menggantinya dengan pekerja baru tanpa ijin dari suamiku! Dia ... suami kamu yang berlagak seakan-akan ini adalah Restoran miliknya ... menilap
"Wah, siapa tuh? Cantik banget ya, jangan-jangan selingkuhannya Mas Satria," tuduh Dahlia.Eti yang mendengar celetukan Dahlia seketika menoleh dan melempar tatapan tajam."Kalian mau pulang kan? Kenapa masih ada disini, hah? Sana pulang!" usir Eti geram. "Tetangga seperti kalian hanya mau enaknya saja. Giliran ada yang kesusahan sok buta semuanya!"Bu Sur mencebik. Dia melangkah lebih dulu meninggalkan Restoran sembari memainkan gelang di tangannya."Beruntung Hesti bebelian emas tanpa menilap uang orang lain. Duh, ngeri sekali jaman sekarang ya," sindir Bu Sur. "Pantas saja maharnya emas sampai puluhan gram, eh ... nggak taunya. Ayo lah, ibu-ibu kita pulang saja."Wajah Eti memerah. Sejenak ia lupa pada sosok wanita cantik di depannya. Wanita itu terlihat heran dengan apa yang ia lihat di depan mata."Mas Satria lupa siapa saya?" tanya wanita itu. "Indira, Mas. Teman Nabila, istri kamu ..
"Nggak kebayang deh jadi Mbak Eti, udah suaminya tukang tipu, eh ternyata udah punya istri pula," celetuk Bu Sur memulai obrolan di dalam mobil.Mobil yang seharusnya muat hanya untuk delapan orang, terpaksa diisi sepuluh orang dengan bentuk tubuh yang beberapa diantaranya memang terlihat subur."Ah, biarin aja, Bu Sur! Salah sendiri sombong, bilang-bilang ke semua tetangga katanya mahar dari suaminya emas tiga puluh gram, belum lagi koar-koar katanya Satria mau beli Restoran. Eh ... nggak taunya," sahut Bu Hanum julid. "Orang sombong ya gitu emang. Ada aja balasannya."Bu Puji geleng-geleng mendengar ucapan Bu Hanum. Jika berbicara, wanita itu suka lupa berkaca. "Yang keterlaluan itu Mbak Maya, sudah tau Mbak Eti kesusahan, dapat masalah sama suaminya, eh ... masih saja ancam-ancam Satria mau dipecat. Nggak punya hati memang!" Dahlia mengompori. "Harusnya ikhlaskan saja uang segitu ya, itung-itung bantu tetangga. Ya kan?""Kalau bicara itu dipikir dulu, Mbak Lia," sela Bu Puji. Lida
"Tumben jalan-jalan sampai ke sini, Mbak Maya?" sapa Bu Sur basa-basi. Maya menoleh, dia melempar senyum tipis tapi enggan menanggapi pertanyaan tetangganya yang satu itu."Budek! Baru ketahuan kaya udah budek," gumamnya lirih.Maya mencebik. "Mau lihat-lihat rumah di sekitar sini, Bu," jawab Maya pada akhirnya. "Oh ya, rumah Mbak Lia kenapa dari kemarin tutup ya, Bu Sur tau dia kemana?"Bu Sur berdiri di depan rumah sambil menenteng satu kotak kue lapis khas Surabaya. "Eh, emang iya? Wah, padahal aku mau kasih kue ini ke Dahlia. Kasihan, dia itu tampang dan lagaknya aja sok kaya, padahal mah aslinya ....""Bu Sur, tumben banget ngobrol sama Mbak Maya. Nggak lagi cari kesempatan dalam kesempitan kan?" sindir Bu Hanum lantang. Wanita berusia matang itu berjalan mendekat. Maya menghela napas kasar. Rencana ingin melihat-lihat pembangunan rumah barunya pupus lah sudah karena ada dua manusia paling julid di perumahan tempatnya tinggal."Ck! Mbak Maya ini loh, Bu Hanum, katanya mau lihat-
"Nah, ini dia anak sama menantuku. Hesty dan Reyhan. Mereka juga pasangan sukses, sukses di usia muda," papar Bu Sur bangga.Hesty menunduk sambil sesekali melirik ke arah Abian yang masih menatapnya dengan tajam."Anaknya Bu Sur?" tanya Abian."Lah, Mas Abian gimana sih, kan sudah aku jelasin. Dia Hesti, dan itu menantuku namanya Reyhan. Malah tanya lagi!" gerutu Bu Sur. "Terpukau sama kecantikan Hesty, iya? Makanya, suruh Mbak Maya pakai perhiasan yang banyak biar berwibawa seperti anakku!"Abian mengerutkan kening mencoba mengingat-ingat apakah benar wanita di depannya saat ini adalah wanita yang ia temui di lampu merah tempo hari."Reyhan, Mas!" sapa Reyhan ramah sambil mengulurkan tangan. Abian terperanjat. "Ah, iya. Aku Abian dan ini Maya, istriku."Reyhan mengangguk menghadap Maya dan berkata. "Pantas saja lihatin Hesty sampai segitunya. Istrinya nggak pernah diajakin perawatan mahal?"Mahal cengo. Untuk pertama kalinya dia bertemu pria bermulut tajam seperti Reyhan."Istri say
Maya dan Abian masih saja tertawa mengingat kesombongan Hesty yang tanpa sengaja mereka bungkam dengan bantuan Bowo. Masih teringat jelas bagaimana malunya Bu Sur, mati kutunya Hesty ketika tau bahwa rumah yang dia akui miliknya ternyata adalah milik Abian dan Maya."Mimpi apa kita sampai punya tetangga absurd begitu, Dek," keluh Abian di sela-sela tawanya."Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, Mas," sahut Maya tergelak. "Bu Sur memang kalau bicara bisa sampai langit, eh ternyata menurun ke anaknya. Aku nggak kebayang gimana malunya Mbak Hesty tadi."Keduanya masih berbincang di ruang tamu setelah pulang dari melihat-lihat rumah baru mereka. "Assalamualaikum, Mbak Maya!"Maya menajamkan pendengaran ketika sayup-sayup ia mendengar seseorang memanggil namanya dari depan."Mbak Maya ...."Wanita itu beranjak disusul Abian di belakangnya. Tidak biasanya mereka menerima tamu saat menjelang maghrib begini. Selain karena masih memegang kental adat Jawa yang melarang membuka pintu pada saat
"Mas ...."Abian menoleh dan mendapati kedua mata istrinya sudah siap meluncurkan hujan."Lihat, ini Bu Saroh kan ... eh, eh ... tapi ... wah ternyata Bu Saroh berbohong ya, lihat ini, Bu RT!" Bu Puji menyodorkan ponsel yang sengaja ia bawa meskipun ke masjid sekalipun."Astaghfirullah, ternyata Bu Saroh ...."Kepalang malu, Bu Saroh melenggang pergi tanpa berkata-kata lagi. Hatinya kesal dan geram. Rencana yang sudah ia buat bersama Eti ternyata tidak berjalan mulus.Tetangga membubarkan diri dan melanjutkan langkah menuju masjid yang ada di ujung Perumahan Citra Kencana, sementara Abian sedang memeluk Sang Istri yang tengah menangis pilu."Hei, tenanglah, May!"Maya semakin terisak. Teringat bagaimana sumpah Bu Saroh terucap dengan begitu lantang di depan rumahnya. Bayi yang dia tunggu selama bertahun-tahun mendapat doa buruk dari orang lain. Bayi itu tidak akan hadir di rahimnya. May
Tubuh Gading mematung. Lagi-lagi pertemuannya dengan Laura membawa kilas pedih pada masa lalu. "O-- oh, hai, Ra," sapa Gading kikuk. "Sama suami kamu lagi?"Laura bergeming sementara Hesty menatap heran ke arah suaminya. "Mas kenal suami Laura?" tanya Hesty menyelidik.Gading mengedikkan bahu. Dia menurunkan Seila dan menjawab. "Kapan hari kan Mas ketemu Laura sama suaminya. Gading, Mas!" Gading menjulurkan tangannya di depan Reyhan. "Reyhan, Mas," sahut mantan suami Hesty datar. "Kalau begitu kami pamit dulu. Permisi!"Reyhan berjalan sembari menggandeng tangan Mazaya sementara Laura mengekor di belakang mereka dengan air mata yang menganak sungai. "Mas ...." Panggil Hesty lirih. Gading menoleh. Wajahnya berubah sendu ketika bertemu Laura untuk yang kesekian kalinya. "Dia ... mantan suamiku," aku Hesty."Dia?"Hesty mengangguk. "Sepertinya dia baru keluar dari penjara. Entah bagaimana ceritanya, Mas Reyhan ... tidak mau membahas luka yang sudah aku ciptakan."Gading seketika men
"D-- dia istri kamu, Mas?" tanya Hesty gagap. Kedua matanya memanas melihat Mazaya, gadis kecil yang begitu Reyhan lindungi ternyata putri dari wanita yang sudah ia hancurkan rumah tangganya. "D-- dia ...?"Reyhan terkekeh getir. Dia melepaskan genggaman tangannya pada Mazaya dan mempersilahkan wanita di sampingnya menggendong putri kecil yang beberapa menit lalu ia cari-cari."Kalau wanita seperti kamu saja bisa membuangku tanpa berpikir dua kali, apa kamu pikir ada wanita lain yang mau menerimaku sebagai suami, Hes?" tanya Reyhan perih. "Aku hanyalah pria kotor yang rela melakukan apa saja demi memenuhi gaya hidup istriku dan keluarganya. Tapi itu dulu ... sekarang, aku hanyalah seorang pria yang berjuang untuk keluarganya. Untuk Emak dan Bapakku di kampung. Apalagi setelah aku tahu bahwa putriku hidup dengan layak, sepertinya memang aku harus meredam ego. Demi masa depannya. Demi mentalnya. Jaga dia!"Reyhan melengos sembari mengusap sudut matanya yang berair. Sejenak kemudian, dia
"Apa kabar, Hes?" Reyhan bertanya dengan nada dingin. Bertanya kabar mantan istrinya dengan air muka begitu tenang. "Putriku sudah sebesar ini ya? Boleh aku gendong?"Seila menggeleng kata tangan Reyhan terangkat ke udara. Gadis kecil itu berlari bersembunyi di belakang tubuh Bu Sur dan berceloteh gemas. "Kata Papa gak boleh! Jangan gendong Seila, Om," ucapnya cadel. Hati Reyhan berdenyut nyeri. Seila, bayi mungil yang dulu selalu nyaman berada dalam gendongannya kini menolak pelukan darinya dengan dalih dilarang oleh Papa. Papa siapa yang Seila maksud, batin Reyhan."Om cuma mau peluk. Boleh?"Seila menggeleng takut. Kedua mata Reyhan memanas dengan satu tangan yang kembali menggenggam erat jemari Mazaya. Gadis kecil yang usianya sepadan dengan Seila."M-- Mas sudah bebas?" tanya Hesty dengan suara bergetar. Ada perasaan bersalah yang teramat dalam untuk mantan suakmunya itu. Bagaimana dulu Hesty memilih bercerai karena Reyhan kedapatan tertangkap polisi sedang mengedarkan barang ha
"Nanti siang aku mampir ke Restoran ya, Mas?"Hesty yang sedang menyuapi putrinya berbicara manja pada Gading. Sejak setahun yang lalu suaminya bekerja di Restoran milik Abian dan kehidupan Hesty perlahan-lahan mulai membaik. Gaji yang Abian tawarkan memang tidak kaleng-kaleng. Apalagi selama ini Restoran itu terkenal dengan hidangan yang lezat. Ada harga, ada rasa."Memangnya nanti siang mau kemana?" tanya Gading menelisik. "Jalan-jalan?"Hesty nyengir. Dia mengangguk ragu dan melirik Bu Sur yang juga tengah sarapan bersama mereka di ruang makan. "Boleh ya, Mas?""Boleh, sekalian ajak Ibu."Bu Sur mengangkat kepalanya. Matanya memanas. Untuk pertama kalinya dia merasakan kehangatan dari hubungan rumah tangga Hesty. Kegagalan di masa lalu membuat wanita muda itu banyak belajar bahwa menerima kekurangan pasangan jauh lebih baik daripada harus saling menuntut."Bapak gak sekalian, Ding?"Gading tertawa lebar. "Ki
"Apa kabar anak Ayah hari ini? Bunda nakal gak? Kamu menyusu dengan baik kan?" goda Abian sembari mengambil alih sang putra dari gendongan Ibunya. "Jelas dengan baik lah, kan Ayah sudah kehilangan jatah menyusu," sahut Ibu sarkas.Maya dan Abian mematung. Keduanya tergelak ketika menyadari ucapan Ibu terlalu frontal sore ini."Ibu apa-apaan sih, ada Bu Saroh tuh, gak baik bicara seperti itu. Bikin kita malu aja!" gerutu Abian yang dibalas tawa renyah oleh Ibu."Diskusi apa sama Maya, Ibu boleh tau?"Abian mengangguk. Mereka berjalan menuju ruang makan sementara Abimanyu ia serahkan pada Bu Saroh."Tolong ajak Abimanyu sebentar ya, Bu.""Dengan senang hati, sini anak manis," sahut Bu Saroh yang tersenyum lebar mendapatkan tubuh Abimanyu yang mungil dalam dekapan. "Jadi aku tadi mampir ke rumah Mbak Hesty, Bu," kata Abian bercerita. "Kebetulan kepala dapur di Restoran Cempaka resign, dia ikut istrinya pulang kampung dan cari kerja disana saja katanya. Aku pikir, daripada aku ambil ora
Satu minggu kemudian ....Abian pulang dengan membawa rasa rindu pada istri dan anaknya. Bahkan pria itu sekarang lebih sering berada di rumah dan menghandle Restoran dari rumah. "Baru pulang, Mas Gading?" Abian yang menutup pintu pagar sengaja menyapa Gading yang baru pulang dari bekerja. Mamang pergi mengantar Emak dan Bapak yang sudah kembali ke kampung, itu sebabnya sekarang Abian membawa mobil sendiri."Iya, Mas," sahut Gading sambil mengulas selarik senyum. Gading terlihat kelelahan mendorong gerobak yang sudah ia pisahkan dari motornya. Peluh membasahi bajunya yang nampak lusuh. Benar-benar ... kesalahan membuat Gading dan Hesty berubah banyak beberapa bulan belakangan. Abian merasa kasihan. Dulu, ia sengaja menolak memperkerjakan Gading karena memang kurang suka dengan gaya bicara tetangganya itu. Apalagi dulu Gading masih menjunjung tinggi sikap sombong dan pongah membuat Abian jengah dan enggan beruru
"Oek ... oek ...."Suara tangis bayi memecah ketegangan dalam ruangan. Maya terengah, sementara Abian berulang kali mengecup pelipis Sang Istri tanpa lupa mengucap syukur atas kelahiran bayinya."Alhamdulillah, bayi laki-laki yang sehat dan lahir dengan kondisi tubuh lengkap tanpa kurang satu apapun. Berat sekitar 3,3 kg," papar suster menjawab rasa penasaran Abian.Maya tersenyum lega. Dia diberi kesempatan untuk memeluk bayinya sebelum Suster yang bertugas membersihkan Sang Bayi ke dalam ruangan khusus. "Bisa saya adzani dulu, Sus?""Tentu saja, Pak. Mari, silahkan!"Suster mengangguk dan mengarahkan telinga bayi tampan itu tepat di bibir Abian. Abian hampir saja tergugu jika dia tidak segera menguasai emosinya. Bayi mungil dengan wajah Maya membuat hatinya terenyuh. Penantian mereka akhirnya terbayar dengan memuaskan."Terima kasih," kata Abian. Suster mengangguk ramah dan segera membawa bayi Maya menuju ruangan terpisah. Sementara Maya sedang terbaring lemah dan mendapatkan pena
. . Dua bulan berlalu, perut Maya sudah semakin membuncit dan seminggu lagi adalah jadwal bayinya dilahirkan. Namun sepertinya Tuhan berkehendak lain, pagi ini ... istri Abian itu merasakan mulas yang teramat sangat. Celana tidur yang ia pakai sudah basah karena air ketuban yang pecah. Maya memanggil-manggil Abian yang sedang berada di dalam kamar mandi. "Kenapa, May?" Abian keluar hanya memakai handuk, bahkan buih sabun masih menempel di tubuhnya. Pria itu panik, takut jika ada apa-apa dengan istrinya menjelang melahirkan."Mas, sshhh ... perutku," keluhnya.Mata Abian melotot tatkala melihat sprei yang sudah basah ditambah dengan celana yang istrinya kenakan pun sama basahnya."Sepertinya mau lahiran," adu Maya sambil meringis.Abian mengusap sisa sabun di tubuhnya tanpa membilas lebih dulu menggunakan air. Dengan gerakan cepat, ia berganti pakaian tanpa peduli apakah Maya melihat
Laura hanya menoleh sekilas, lalu menatap bungkusan cilok yang ada di tangan keponakannya."Sudah beli jajannya? Ayo!"Abigail mengangguk. Dia berlari menuju dimana mobil Tantenya berada sementara Gading memanggil-manggil nama Laura membuat wanita itu terpaksa menghentikan langkah."Ba-- bagaimana kabar kamu?" tanya Gading basa-basi. Mantan istrinya terlihat begitu cantik dengan baju yang sedikit kedodoran."Menurut kamu?" sahut Laura balik bertanya. "Akta perceraian sudah aku kirim ke rumah istri kamu, sudah kamu terima kan?"Gading mengangguk. Kini, penyesalan terasa begitu menusuk ke dalam relung hatinya. Melepaskan Laura sama halnya dengan melepas berlian yang tengah bersinar indah."Maafkan aku, Ra!"Laura yang hendak berbalik kini lagi-lagi menghentikan langkah."Aku sadar kalau aku banyak salah, maaf sudah menyakiti kamu, Ra. Maaf sudah mengkhianati pernikahan kita dulu. Maafkan aku ...."Jantung Laura berdegup kencang. Perlahan tangannya mengusap perut yang masih rata. Entah.