Kira-kira apa ya pesannya?
“Pi—maksudnya Pak Bayu, apa nggak pa-pa Olin ikut? Nanti kalau tiba-tiba ketemu kenalan Pak Bayu gimana?” tanya Olin ketika menemui Bayu di area lapangan golf. Bayu tersenyum mendengkus. “Tenang aja sayang, hari ini cuma ada kami di lapangan golf ini.” “Kami?” “Iya, teman-teman saya,” ucap Bayu. Tatapannya meneliti penampilan Olin dari atas sampai bawah, kemudian meletakkan tangannya di pundak Olin. “Nggak percuma saya minta kamu datang. Saya suka baju kamu hari ini.” Tank top putih dan rok senada di atas lutut yang kontras dengan warna kulit Olin seolah mengumbar daya tarik wanita itu. Dia amat percaya diri dalam memilih pakaian dan senang menonjolkan kelebihan yang dimilikinya. Meski tidak terlalu tinggi, tidak berkulit putih, tapi Olin memiliki pesonanya sendiri. “Oh ya? Berarti pilihan Olin tepat, dong. Olin udah nebak, ini pasti sesuai selera Papi,” kata Olin, melepaskan satu tangan Bayu dari pundaknya dan menggenggamnya. “Kamu tau, senyum manis kamu itu bahaya?” “Kenapa?”
Cantika bersandar di dinding tanpa bicara, sesekali melirik ibunya yang sibuk di dapur menuangkan makanan ke piring. Perasaannya tidak nyaman, tapi juga belum berani bicara. Sampai Arita menyadari tingkah aneh anak perempuannya. “Kenapa?” tanya wanita itu datar. “Kamu mau ngomong apa?” “Huh?” Cantika agak terperanjat mendengarnya. “Itu ... apa belakangan om Dany bertengkar sama tante Grace?” Arita membawa piringnya yang sudah terisi makanan, duduk lesehan di lantai karena mereka tak memiliki meja makan di rumah. “Kamu yang tinggal di sana, harusnya kamu lebih tau.” Memang benar apa yang dikatakan ibunya, tapi selama Cantika di rumah tante Grace, dia jarang melihat interaksi keduanya. Siang hari Dany bekerja, Grace juga lebih banyak menghabiskan waktu di luar bersama teman-teman arisannya atau entah ke mana. Malam hari, pamannya pulang larut. Kadang juga tidak pulang saat Cantika ada di sana. Atau sebenarnya Dany pulang, tapi Cantika tidak melihatnya? Entahlah. Sekali-kalinya Canti
Usai curhat pada Miko mengenai masalahnya kemarin, Cantika memutuskan menemui Olin dan bertanya secara langsung. Benar, orang yang diajak bertukar pikiran mengenai masalah om Dany adalah Miko. Orang terdekatnya, tapi juga tak cukup dekat untuk saling menyelami satu sama lain. Miko sebagai pihak yang sama sekali tidak mengenal keluarganya dan tidak punya masalah terkait orang ketiga, dianggap Cantika sebagai orang yang paling tepat untuk menumpahkan cerita. Hasilnya, Cantika jadi lebih lega setelah bercerita pada Miko. Perutnya yang malam itu melilit sakit sakit karena terlalu banyak pikiran, membaik. “Lin, lo yakin?” Sudah kesekian kalinya Cantika bertanya sampai ia bisa melihat raut muak Olin. “Delapan puluh lima persen,” kata Olin akhirnya. “Tapi buktinya?” “Emang lo mau apa?” “Mau kasih tau nyokab gue, biar negur adiknya. Kasian ‘kan tante Grace. Apalagi om gue punya tiga anak, Lin.” Kadang Olin sakit kepala dengan tingkah lugu Cantika yang keras kepala. Perkara ini bukan se
Sejak terakhir kali pergi untuk melihat-lihat bangunan, Ben belum bertemu lagi dengan Cantika sampai hari ini. Gadis itu juga membalas pesan singkat-singkat, tidak mengangkat telepon dengan alasan tak sadar ada panggilan masuk karena sibuk, tidak juga lari pagi sejak mereka putus waktu itu. Jujur saja Ben cukup kesulitan menghadapi mood gadis remaja yang baru beranjak dewasa itu. Apa ada yang salah dengan dirinya? Atau gadis itu sedang merajuk karena Ben belum sempat membantu tugasnya lagi? Saat tiba di rumah dan tidak melakukan apa-apa, Ben jadi kepikiran oleh gadis itu. Siapa yang menyangka, tiba-tiba Cantika mengirimkan pesan, bertanya apakah Ben ada di rumah malam ini. Ben menjawab pesan itu cepat setelah membacanya. Ben: Aku di rumah Ben: Wassup, babe? Kiara C: Boleh aku ke rumah kamu sekarang? Ben: Sure! Ben: Mau dijemput? Kiara C: Ga usah Ben tidak bisa menyembunyikan rasa senang sekaligus rasa khawatirnya sebab ini kejadian langka; Cantika yang lebih dulu datang ke rum
Intensitas air yang menetes ke lengannya semakin cepat seperti saling berlomba. Ben membiarkan Cantika menangis tanpa suara. Membalik tubuh gadis itu menghadapnya. Kedua telapak tangan Ben menangkup pipinya, sedang ibu jari Ben mengusap sudut mata Cantika yang basah. “You will be alright,” bisik Ben menundukkan kepala, agar tepat menatap wajah Cantika. Dikecupnya bagian bawah dahi gadis itu, di antara sepasang alis Cantika yang terbentuk rapi. Jujur saja, sejak tadi Ben mempertanyakan eksistensi gadis di hadapannya. Bagaimana bisa seorang perempuan yang menangis tetap tampak secantik ini di matanya? Padahal Ben sangat benci melihat wanita menangis. Dia akan berusaha sebisa mungkin berada dalam radius seratus meter dari perempuan yang mengeluarkan air mata. Selain merepotkan, baginya itu memuakkan. Tidak berlaku dengan Cantika, sisi lemahnya seolah membuat Ben turut merasakan kesedihannya, kecemasannya. Tanpa sadar membuat Ben bertekad dalam hati untuk menghibur gadis itu. Tak pernah
Cantika membuka mata perlahan dan menguap. Dia merasa bermimpi semalam. Mimpi luar biasa yang tidak pernah terbayangkan seumur hidupnya. Sambil mengulat pelan, ia menurunkan selimut. Menyadari ada yang tidak biasa dengannya ketika mencoba duduk di ranjang. Kakinya sakit, pangkal pahanya terasa ngilu, badannya pegal-pegal. Cantika langsung terkesiap saat sadar tak ada sehelai benang pun selain selimut yang membungkusnya. ‘Gila, ternyata itu bukan mimpi!’ Jika itu bukan mimpi berarti sekarang di sebelahnya ... Meski sudah memikirkan kemungkinannya, Cantika tetap tersentak juga saat jemarinya tanpa sengaja menyentuh otot lengan keras pria yang ada di sebelahnya. Menyalurkan ingatan tentang malam panas—dan juga mendebarkan—mereka melalui ujung-ujung jari. Hubungan yang semula dilabeli oleh Cantika sebagai hubungan yang dapat berakhir kapan saja, sekejap berubah menjadi hubungan yang lebih dalam dan tidak sesederhana itu. Namun masih dalam konteks yang sama, tanpa kata cinta. Jadi ben
Ben masih belum percaya pada apa yang dilihatnya ketika terbangun dari tidur. Perempuan yang belum lama ini tidak lebih dari sekadar fantasinya ada di sebelahnya. Bahkan ketika Ben memeluknya dan merasakan kehangatan yang nyata dari tubuh wanita itu, selaganya terasa menakjubkan. Tubuh Cantika berbeda dari wanita-wanita yang pernah bersamanya. Tubuhnya adalah yang paling lembut, dan aromanya paling menyenangkan. Satu malam bercinta dengannya tak akan cukup. Ben merasa tiga bulannya berpuasa dari aktivitas panas nan menghibur lebih dari sepadan saat ia bisa sepenuhnya menyentuh sang putri yang sempurna. Ternyata penantiannya tak sia-sia, kesabarannya berujung pada keberuntungan. Ben sempat ragu meski semua berjalan sebagaimana niatan awalnya; memanfaatkan Cantika. Setelah dia berkata jujur dan mengakuinya pada Cantika, pikirannya berubah. Sifat murah hati perempuan itu yang menggerakkan nuraninya. Namun, Ben tidak bisa menyimpulkan apa yang dirasakannya adalah cinta. Sama sekali tida
Apa yang terjadi di kampus siang tadi meyakinkan Cantika untuk mencari tahu. Kejadian itu cukup mengusiknya. Dia harus memastikan sendiri dengan bertanya langsung pada Ben. Setelah semua hal yang menimpa hubungan mereka, termasuk momen pertama Cantika, entah bagaimana dia jadi lebih sensitif, mudah curiga, dan tak tenang. Sama halnya dengan kafein yang bisa memberi dampak ketergantungan, perasaan gelisah, sulit tidur, jantung berdebar cepat dan tidak beraturan, serta sesak napas jika terlalu sering dikonsumsi. Seorang pria mampu memberi efek kafein pada Cantika. Dan pria itu adalah Ben. “Ben,” panggil Cantika saat makan malam bersama di rumah Ben. Pria itu tidak memasak, begitu pula Cantika. Jadi, akan lebih baik jika mereka berdua memesan layanan pesan antar makanan dibanding mencoba menghancurkan dapur mewah bergaya tropis yang sudah didesain sedemikian rupa oleh Ben dengan sentuhan granit mendominasi. “Yes, babe?” Ben bukan lelaki yang kaku akan tata krama di meja makan, yang me
“Kamu tau kan, aku udah kenal sama Pak Dany?” Ben buru-buru menambahkan saat melihat mata kecokelatan Cantika nyaris keluar dari tempatnya. Raut wanita itu bercampur antara ngeri, kaget, dan tak percaya “Karena kerjaan, aku sering pergi meeting sama Om kamu—desain rumahnya, desain kantor dan kantor cabangnya. Pak Dany orang yang ramah dan supel. Beberapa kali kami ketemu di luar jam kerja. Aku dikenalin ke circle teman-teman bisnisnya. Dari situ aku jadi tau, kalau dia pebisnis yang hebat, tapi bukan suami yang baik. Orang-orang yang aku temui itu kurang lebih punya skandal yang mirip atau bahkan lebih parah dari Pak Dany.” Informasi ini terlalu banyak untuk dicerna. Mulut Cantika sampai menganga bingung, merunut penjelasan dari Ben satu persatu. “Kamu pasti merasa canggung setiap ketemu Tante Grace. Karena itu yang aku rasain,” komentar Cantika kemudian. Ben tersenyum tipis sebagai tanda setuju. “Tapi, apa hubungannya sama Olin? Kenapa Om Dany nyuruh kamu ... sama ...” Kalimat C
“Kamu ingat, pertama kali kita ketemu?” Jemari tangan Ben tenggelam di antara helaian rambut hitam Cantika, menyisirnya lembut. Sementara Cantika menyandarkan kepala di ceruk leher Ben. Mengenang pertemuan awal mereka.Cantika masih berada di kamar hotel tempat Ben menginap. Sekian lama tidak bertemu, ada kesempatan duduk berdua dengan tenang. Rasanya sangat banyak yang ingin dibicarakan.“Mana mungkin lupa? Pertemuan paling absurd dan kacau seumur hidupku.”“Dan paling memalukan dalam sejarahku,” Ben tertawa. “Aku juga nggak tau, kenapa aku bisa segila itu. Kayaknya paling parah selama aku mabuk.”“Apanya yang paling parah? Kayaknya kebiasaan mabuk kamu memang jelek. Kalau bukan karena ada aku sama Ubay, malam itu kamu hampir terguling jatuh dari tangga kantor, nyaris jadi sushi roll. Jangan sampai kamu mabuk di depan orang lain, apa lagi cewek, malu-maluin!”Ben menyeringai, mengangkat dagu Cantika. “Kamu takut aku nyentuh cewek lain?”Selama dua detik Cantika menatap mata biru safi
Butuh waktu bagi Cantika untuk menceritakan semuanya pada Ben. Mulai dari pertengkaran dengan ibunya sebelum pergi, niatnya untuk menggugurkan kandungan yang kemudian dibatalkan, kepergiannya dengan bantuan petunjuk dari Sheril, higga kehidupannya di Sydney.Lalu, kecelakaan yang membuat Cantika mengalami pendarahan terjadi. Awal petaka bagi janinnya. Jika memaksakan untuk tetap mengandung dan melahirkan, kemungkinan lahir dengan fisik dan organ yang cacat adalah 90 persen, sementara hidupnya dipertaruhkan.Alasan mengapa teman-teman di tempat kerjanya begitu ketat menjaga dan melindungi Cantika adalah karena kecelakaan tersebut disebabkan oleh seorang penguntit yang mengikuti Cantika di jalan pulang.Ben amat marah mendengar rangkaian cerita itu. Bukan marah kepada Cantika, marah kepada dirinya yang tidak ada di sana melindungi Cantika dan anak mereka. Marah kepada pria-pria yang mengganggu Cantika.“Karena bukan pertama kalinya ada orang yang terang-terangan nunjukkin ketertarikan m
“Aku tau kamu masih marah, tapi jangan ambil keputusan impulsif kayak gitu, Can.”Ben mengikuti Cantika keluar dari kedai yang sudah tutup. Melewati selasar toko-toko menuju ke jalan besar. Paving tegel batu terbentang di sepanjang selasar, menguarkan nuansa abu-abu pada lorong itu.Kendati desain setiap toko berbeda, tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok sehingga tampak rapi dipandang mata. Tidak ada satu pun sampah di sana. Kebersihannya memanjakan penglihatan.“Iya atau nggak sama sekali?” desak Cantika berhenti melangkah.Ben terdiam dan memejamkan mata erat-erat. Lima menit mungkin cukup untuh menggerakkan hati Cantika. Lima menit mungkin bisa menggoyahkan pilihannya. Tapi ... apakah dia mampu?Cantika sudah terlampau terluka. Saat mereka bertemu, tidak ada lagi binar kerinduan yang pernah dilihatnya. Penyesalan, benci, dan muak mungkin telah menggantikan perasaan itu. Meski kemungkinan untuk membuat Cantika luluh sangatlah kecil, Ben tetap ingin memcoba memperbaiki mereka.“
“Maybe it’s too late, tapi aku pengin dengar sendiri dari kamu. Katanya ... kamu hamil. Gimana kabar kamu, gimana kabarnya? I am so sorry, you went through a lot withouth me,” ucap Ben sungguh-sungguh“Kabar? Kamu nanya kabar sekarang??” Nadanya meninggi. Cantika mendengkus sinis. “Jangan bercanda! Ke mana aja kamu selama ini?” Disentaknya tangan Ben kasar.“Aku diusir mamaku. Aku nggak punya tempat pulang. Biarpun Olin dan Miko rela nampung aku, tapi nggak ada satu hari pun tanpa rasa bersalah setiap bertatapan sama Miko. Aku juga nggak bisa libatin Olin di antara masalahku sama Miko. Menurut kamu, gimana kabarku? Apa aku bisa lebih baik-baik aja dari pada sekarang?” Cantika menunjukkan senyum getirnya.Ben berdiri dari bangkunya, menatap Cantika dalam. “Aku benar-benar menyesal. Harusnya saat itu aku di samping kamu. Aku terlalu egois dan berengsek karena cuma mikirin diriku sendiri.”Entah sudah berapa ribu maaf yang dilontarkan Ben, rasanya Cantika sudah muak. Pada akhirnya mereka
Nada sambung telepon yang menyambut di seberang membuatnya tak sabar. Ben terus mengentak-entakan kaki di lantai. Notifikasi pesan dari Theo yang sejak pagi diabaikannya berubah menjadi suatu urgensi ketika Ben membukanya malam ini.Pesan yang dikirim Theo belakangan ini sering tidak penting dan absurd. Theo melaporkan segala kegiatannya pada Ben setiap perjalanan kerja ke luar kantor membuat Ben kerap kali jengah dan mengabaikannya.Perkara hewan liar yang ditemui Theo di jalan, barang incarannya, sarapannya, makan siangnya, makan malamnya, tempat Theo pergi, kadang juga foto selfie! Orang lain yang melihatnya mungkin akan mengira Theo abnormal. Bahkan Ben sudah lebih dulu berpikir demikian.Namun dari sekian ribu pesan yang dikirim Theo, baru kali ini ada pesan yang berbobot. Foto seseorang yang diambil Theo berlatar kedai kopi. Itu sebabnya ketika panggilannya dijawab, Ben tidak membuang waktu.“Di mana lo ambil foto itu?” tanya Ben berusaha tetap datar.“Gue kan udah bilang gue ke
Seorang perempuan duduk dengan kaki bersilang di sebuah toko kue. Rambut panjangnya melewati bahu, lurus, dan terkuncir rapi. Kaus lengan panjang bergaris dan celana panjang linennya tampak sangat nyaman. Sesekali perempuan itu melirik keluar jendela kaca di sebelahnya sambil mendengarkan orang yang mengoceh dari airpods hitam yang menyumbat satu telinganya. “Gue nggak habis pikir ya, sama tuh anak. Dia anggap apa gue selama ini? Udah setahun, tapi masih nggak ada kabar sama sekali. Email atau chat pun nggak. Apanya yang jangan dicari? Apanya yang tenang aja? Kalo begini terus, dia bisa bikin gue darah tinggi! Awas aja kalau dia pulang sambil cengengesan atau pasang tampang centilnya kayak biasa, gue jitakin itu anak!” “Sabar, Lin. Sabar ...” Seorang perempuan berseragam toko membawakan segelas minuman ke mejanya. Ada gelas latte kosong dan sepiring pastry yang hanya tersisa sesuap lagi di hadapan perempuan berkuncir itu. “Gimana bisa sabar?! Ini bukan seminggu atau sebulan lagi, ud
Ben bukan jenis orang yang sering mengakses media sosial. Kendati pernah membuat akun insta, dia tidak menggemari media sosial yang populer di kalangan masyarakat luas itu. Selama lebih dari sepuluh tahun, foto yang bertahan di akunnya hanya lima.Sebelumnya Ben pernah mengisi feed-nya dengan beberapa foto Viona dan foto mereka berdua. Sekian tahun setelah putus, Ben lalu menghapusnya. Lebih tepatnya, sesaat setelah bertemu Cantika. Karena Ben baru mulai mengakses media sosialnya kembali saat itu.Ben juga tidak tertarik menggulir beranda insta-nya untuk melihat unggahan orang-orang. Namun ketika mengenal Cantika, ia mulai menjelajahi akun miliknya yang sudah berdebu itu.Sudah satu jam sejak Ben memeriksa profil Cantika. Tidak ada unggahan terbaru di feed maupun story-nya. Perempuan itu menghilang lagi tanpa jejak. Ben membaca kolom-kolom komentar, berharap ada tanda yang bisa membantunya. Namun usahanya nihil. Cantika hanya membalas komentar-komentar di postingannya sebagai bentuk b
Belum ada satu pun dari mereka yang berani bicara. Tiga orang yang sudah dewasa itu mati kutu di depan ibunya Cantika. Aura kelam Arita mengintimidasi. Mereka hanya diam memerhatikan ketika Arita membuka kunci pagar rumahnya.“Kalian mau terus di depan sana?”Olin menelan ludah susah payah dan menoleh pada Miko dan Ben bergantian. Dua pria itu juga menatapnya, menunggu petunjuk. Begitu Olin mengangguk pelan, mereka masuk ke rumah mengekori Arita.“Saya ingat kamu,” kata Arita pada Olin meski tidak menyebut nama. “Tapi kenapa kamu datang dengan suami Cantika?”Rumah mungil itu terasa seperti pengadilan untuk Olin. Jantungnya berpacu cepat saking takut dan gugupnya. Olin memang sudah terbiasa mengabaikan cemooh orang lain terhadap dirinya. Tetapi, ia masih tidak terbiasa dengan nada tajam dan sorot menuding Arita.Menyadari perubahan sikap Olin, Miko berusaha menggantikannya menjawab. “Umm ... begini—”Namun belum selesai kalimat Miko, Arita memotong. “Kamu teman perempuan ini?” Pasti y