Share

#59 Jangan Bilang-Bilang

Penulis: Lunetha Lu
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-07 19:19:34
“Gimana aku bisa percaya kamu?”

Ben sedikitnya sudah menduga, Cantika meragukan ceritanya. Ia mengambil ponselnya, memijat layar sentuh itu sejenak sebelum menyalakan mode pengeras suara.

Cantika menatapnya bingung. Tetapi Ben mengangkat satu jari telunjuknya ke depan bibir, mengisyaratkan agar gadis itu tidak bersuara. Pada nada sambung ketiga, panggilan itu diangkat.

“Ada angin apa kamu nelepon aku?” ucap suara di seberang sana. Suara seorang wanita, sedikit melengking dan bernada sinis.

“Aku peringatkan kamu, jangan pernah ikut campur urusanku. Jangan pernah, sekali pun, menampakkan muka kamu di depan Mama Ana lagi.”

Alis Cantika terangkat sebelah ketika mendengar panggilannya merujuk pada ‘Mama Ana’. Kenapa Ben membubuhkan nama pada sebutan ibunya? Bukan mengatakan kata kepunyaan seperti ‘mamaku’. Apakah wanita bernama Viona sudah menyebut ibunya Ben dengan ‘mama’?

“Are you drunk?” dengkus wanita itu. “Nelepon aku tiba-tiba cuma buat omong kosong?”

“Ini bukan omong kosong. R
Lunetha Lu

Kira-kira kamu percaya gak sama Ben?

| Sukai
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   #60 Jalur Hidup

    Olin mencengkeram sprei erat-erat, bersamaan dengan entakan kuat dari tubuh di atasnya. Napasnya memburu, tubuhnya berkeringat. Sudah beberapa kali ia melalui aktivitas malam bersama pria misterius itu. Meski pria itu bukan yang pertama dan entah yang ke berapa, tetapi ada sesuatu yang berbeda dirasakannya, seolah pria itu pria pertamanya. Jantung Olin berdebar kencang oleh hal-hal yang menurutnya biasa. Seperti setiap kali ia menunggu kehadiran lelaki itu di apartemennya, ketika ia berdiri di depan apartemen pria itu menunggu pintu dibuka, atau di saat seperti ini—ketika mereka melakukan penyatuan. “The last, kan?” tanya Olin padanya. Olin dapat merasakan pria itu mengangguk di ceruk lehernya sebelum beranjak pindah ke sisi sebelahnya, merengkuhnya erat dalam tubuh polos mereka di bawah selimut. Semua itu membuat perasaannya seperti musim semi, cerah dan hangat. Olin tak tahu kata apa yang benar-benar tepat untuk menggambarkan keseluruhan perasaannya. Tapi, anehnya dia benar-benar

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-07
  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   #61 Balikan

    “Astaga! Ngapain kamu di sini lagi?!” Hampir saja Cantika terjungkang jatuh dari tangga, kalau Ben tidak menahan punggungnya. Di saat yang bersamaan, orang itulah yang menjadi penyebabnya nyaris terjatuh. “Kamar Byan bocor, remember?” ujar Ben tersenyum, masih sambil menahan tubuh Cantika. Berada dalam jarak sedekat itu membangkitkan beberapa indranya. Apalagi saat aroma manis yang lembut dari rambut Cantika berhasil menggoda indra penciuman Ben. “Oh ....” “Kamu dari mana?” tanya Ben memerhatikan Cantika berpakaian santai. Kaus putih polos dan rok jins warna salem pendek di atas lutut. “Antar anak-anak les.” Keduanya sempat hanyut dalam pikiran masing-masing barang beberapa detik. Hingga Cantika menyadari posisi mereka belum berubah. “Permisi, aku mau lewat.” Tetapi Ben belum juga melepaskannya. Memerhatikan Cantika dengan pandangan yang sulit diartikan. “Lepasin, dong.” Cantika kira, Ben hendak pergi ketika mereka berpapasan di tangga. Tetapi lelaki itu malah kembali naik. Dan

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-07
  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   #62 Another Heart Beat

    “Mik, coba cium aku.” “Hah?!” Miko yang sedang minum nyaris saja tersedak. Pria itu jelas kaget dengan ucapan perempuan cantik yang duduk di sebelahnya. Namun, bukan Miko namanya kalau tidak bisa tetap bersikap tenang. “Cewek sableng!” Sedangkan Olin memukul kepala Cantika dengan gulungan flyer. “Kesambet apa lo?” semburnya. Ketiga orang itu berada dalam ruangan Olin seperti biasa. Yang satu menghabiskan waktu sepulang kerja, dan yang satu lagi sedang numpang melamun. Keduanya setia mengacau di studio Olin. Sambil bertopang dagu, Cantika menyahut tanpa beban, “Pengin tau rasanya dicium Miko, bisa hilang akal nggak?” Tampang Olin sudah meringis ngeri sekaligus geli mendengar teman bodohnya itu. “Nggak usah nunggu dicium Miko. Sekarang aja kewarasan lo udah ilang, Mimi Peri!” gerutu Olin bak ibu-ibu mengomeli anaknya. “Ini anak kapan gedenya, sih? Fisik aja yang dewasa, otak nggak tumbuh kembang.” “Jangan dong, masa otak gue numbuh kembang? Nanti jadi ladang bunga,” balas Cantika s

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-07
  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   #63 Pay Me

    Lady killer, sepertinya sebutan itu benar-benar cocok untuk Ben. Hanya dengan sedikit kalimat dan beberapa perlakuan, Cantika yang biasanya tidak peduli menjadi luluh seketika. Setelah dipikir lagi, kenapa dia begitu mudah menerima lelaki itu kembali? Jangan-jangan Cantika kena pelet? Duh, mikir apa sih?! batinnya mengetuk-ngetukkan pulpen ke kepala. Tidak boleh. Dia tidak boleh segampang ini terbujuk rayuan Ben. Cantika pun mengambil ponselnya, mengetik pesan singkat untuk lelaki itu. Kiara C: Kamu kapan ada waktu? Kiara C: Aku mau ketemu Pokoknya Cantika sudah bertekad akan putus. Dia akan bilang pada Ben bahwa apa yang terjadi kemarin hanyalah sebuah kesalahan. Dia terbawa suasana dan dalam keadaan tersudut hingga tanpa sadar menerima ajakan balikan dari lelaki itu. Di dalam kelas, Cantika mengepalkan tangan penuh keyakinan bahwa setelah Ben membalas pesannya nanti, dia akan menemui lelaki itu dan mengakhiri semuanya. *** “Lo udah kebayang mau bikin desain kayak apa?” tanya

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-07
  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   #64 Pesan

    Setelah selesai makan siang, Ben benar-benar membawa Cantika berkeliling. Mengajaknya ke Sequis Center, Alamanda Tower, Sampoerna Strategic Square, dan terakhir masih seputar mengamati arsitektur; Ben mengarahkan mobilnya ke pusat perbelanjaan yang berada di bilangan Sudirman. “Pacific Place?” tanya Cantika dengan alis berkerut. “Yup.” Ben turun dari mobil, membukakan pintu untuk Cantika. “Apa kamu tau, mal ini pernah meraih Awards untuk kategori Efficient Building?” Cantika menggelengkan kepalanya. Dia sama sekali tidak tahu soal ini. Apakah dia melewatkan sesuatu di kelas? Atau memang hal ini tidak pernah dibahas oleh dosennya? “Biarpun kelihatan mewah, mal ini menerapkan beberapa program peduli lingkungan; seperti recycle, readjust, replacing, and reschecule,” jelas Ben menggandeng tangan wanita di sebelahnya. “Aku baru tau. Aku jarang ke sini karena mahal.” Mendengar ucapan Cantika, Ben terkekeh. Semahal-mahalnya, pakaian dan tas tangan yang melekat pada gadis itu masih beras

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-14
  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   #65 Menjadi Dewasa

    “Pi—maksudnya Pak Bayu, apa nggak pa-pa Olin ikut? Nanti kalau tiba-tiba ketemu kenalan Pak Bayu gimana?” tanya Olin ketika menemui Bayu di area lapangan golf. Bayu tersenyum mendengkus. “Tenang aja sayang, hari ini cuma ada kami di lapangan golf ini.” “Kami?” “Iya, teman-teman saya,” ucap Bayu. Tatapannya meneliti penampilan Olin dari atas sampai bawah, kemudian meletakkan tangannya di pundak Olin. “Nggak percuma saya minta kamu datang. Saya suka baju kamu hari ini.” Tank top putih dan rok senada di atas lutut yang kontras dengan warna kulit Olin seolah mengumbar daya tarik wanita itu. Dia amat percaya diri dalam memilih pakaian dan senang menonjolkan kelebihan yang dimilikinya. Meski tidak terlalu tinggi, tidak berkulit putih, tapi Olin memiliki pesonanya sendiri. “Oh ya? Berarti pilihan Olin tepat, dong. Olin udah nebak, ini pasti sesuai selera Papi,” kata Olin, melepaskan satu tangan Bayu dari pundaknya dan menggenggamnya. “Kamu tau, senyum manis kamu itu bahaya?” “Kenapa?”

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-14
  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   #66 Menantu

    Cantika bersandar di dinding tanpa bicara, sesekali melirik ibunya yang sibuk di dapur menuangkan makanan ke piring. Perasaannya tidak nyaman, tapi juga belum berani bicara. Sampai Arita menyadari tingkah aneh anak perempuannya. “Kenapa?” tanya wanita itu datar. “Kamu mau ngomong apa?” “Huh?” Cantika agak terperanjat mendengarnya. “Itu ... apa belakangan om Dany bertengkar sama tante Grace?” Arita membawa piringnya yang sudah terisi makanan, duduk lesehan di lantai karena mereka tak memiliki meja makan di rumah. “Kamu yang tinggal di sana, harusnya kamu lebih tau.” Memang benar apa yang dikatakan ibunya, tapi selama Cantika di rumah tante Grace, dia jarang melihat interaksi keduanya. Siang hari Dany bekerja, Grace juga lebih banyak menghabiskan waktu di luar bersama teman-teman arisannya atau entah ke mana. Malam hari, pamannya pulang larut. Kadang juga tidak pulang saat Cantika ada di sana. Atau sebenarnya Dany pulang, tapi Cantika tidak melihatnya? Entahlah. Sekali-kalinya Canti

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-14
  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   #67 Sia-sia

    Usai curhat pada Miko mengenai masalahnya kemarin, Cantika memutuskan menemui Olin dan bertanya secara langsung. Benar, orang yang diajak bertukar pikiran mengenai masalah om Dany adalah Miko. Orang terdekatnya, tapi juga tak cukup dekat untuk saling menyelami satu sama lain. Miko sebagai pihak yang sama sekali tidak mengenal keluarganya dan tidak punya masalah terkait orang ketiga, dianggap Cantika sebagai orang yang paling tepat untuk menumpahkan cerita. Hasilnya, Cantika jadi lebih lega setelah bercerita pada Miko. Perutnya yang malam itu melilit sakit sakit karena terlalu banyak pikiran, membaik. “Lin, lo yakin?” Sudah kesekian kalinya Cantika bertanya sampai ia bisa melihat raut muak Olin. “Delapan puluh lima persen,” kata Olin akhirnya. “Tapi buktinya?” “Emang lo mau apa?” “Mau kasih tau nyokab gue, biar negur adiknya. Kasian ‘kan tante Grace. Apalagi om gue punya tiga anak, Lin.” Kadang Olin sakit kepala dengan tingkah lugu Cantika yang keras kepala. Perkara ini bukan se

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-14

Bab terbaru

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   139 Komitmen (END)

    “Kamu tau kan, aku udah kenal sama Pak Dany?” Ben buru-buru menambahkan saat melihat mata kecokelatan Cantika nyaris keluar dari tempatnya. Raut wanita itu bercampur antara ngeri, kaget, dan tak percaya “Karena kerjaan, aku sering pergi meeting sama Om kamu—desain rumahnya, desain kantor dan kantor cabangnya. Pak Dany orang yang ramah dan supel. Beberapa kali kami ketemu di luar jam kerja. Aku dikenalin ke circle teman-teman bisnisnya. Dari situ aku jadi tau, kalau dia pebisnis yang hebat, tapi bukan suami yang baik. Orang-orang yang aku temui itu kurang lebih punya skandal yang mirip atau bahkan lebih parah dari Pak Dany.” Informasi ini terlalu banyak untuk dicerna. Mulut Cantika sampai menganga bingung, merunut penjelasan dari Ben satu persatu. “Kamu pasti merasa canggung setiap ketemu Tante Grace. Karena itu yang aku rasain,” komentar Cantika kemudian. Ben tersenyum tipis sebagai tanda setuju. “Tapi, apa hubungannya sama Olin? Kenapa Om Dany nyuruh kamu ... sama ...” Kalimat C

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   138 Rahasia Terakhir

    “Kamu ingat, pertama kali kita ketemu?” Jemari tangan Ben tenggelam di antara helaian rambut hitam Cantika, menyisirnya lembut. Sementara Cantika menyandarkan kepala di ceruk leher Ben. Mengenang pertemuan awal mereka.Cantika masih berada di kamar hotel tempat Ben menginap. Sekian lama tidak bertemu, ada kesempatan duduk berdua dengan tenang. Rasanya sangat banyak yang ingin dibicarakan.“Mana mungkin lupa? Pertemuan paling absurd dan kacau seumur hidupku.”“Dan paling memalukan dalam sejarahku,” Ben tertawa. “Aku juga nggak tau, kenapa aku bisa segila itu. Kayaknya paling parah selama aku mabuk.”“Apanya yang paling parah? Kayaknya kebiasaan mabuk kamu memang jelek. Kalau bukan karena ada aku sama Ubay, malam itu kamu hampir terguling jatuh dari tangga kantor, nyaris jadi sushi roll. Jangan sampai kamu mabuk di depan orang lain, apa lagi cewek, malu-maluin!”Ben menyeringai, mengangkat dagu Cantika. “Kamu takut aku nyentuh cewek lain?”Selama dua detik Cantika menatap mata biru safi

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   137 Restart

    Butuh waktu bagi Cantika untuk menceritakan semuanya pada Ben. Mulai dari pertengkaran dengan ibunya sebelum pergi, niatnya untuk menggugurkan kandungan yang kemudian dibatalkan, kepergiannya dengan bantuan petunjuk dari Sheril, higga kehidupannya di Sydney.Lalu, kecelakaan yang membuat Cantika mengalami pendarahan terjadi. Awal petaka bagi janinnya. Jika memaksakan untuk tetap mengandung dan melahirkan, kemungkinan lahir dengan fisik dan organ yang cacat adalah 90 persen, sementara hidupnya dipertaruhkan.Alasan mengapa teman-teman di tempat kerjanya begitu ketat menjaga dan melindungi Cantika adalah karena kecelakaan tersebut disebabkan oleh seorang penguntit yang mengikuti Cantika di jalan pulang.Ben amat marah mendengar rangkaian cerita itu. Bukan marah kepada Cantika, marah kepada dirinya yang tidak ada di sana melindungi Cantika dan anak mereka. Marah kepada pria-pria yang mengganggu Cantika.“Karena bukan pertama kalinya ada orang yang terang-terangan nunjukkin ketertarikan m

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   136 Akhir Penyesalan

    “Aku tau kamu masih marah, tapi jangan ambil keputusan impulsif kayak gitu, Can.”Ben mengikuti Cantika keluar dari kedai yang sudah tutup. Melewati selasar toko-toko menuju ke jalan besar. Paving tegel batu terbentang di sepanjang selasar, menguarkan nuansa abu-abu pada lorong itu.Kendati desain setiap toko berbeda, tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok sehingga tampak rapi dipandang mata. Tidak ada satu pun sampah di sana. Kebersihannya memanjakan penglihatan.“Iya atau nggak sama sekali?” desak Cantika berhenti melangkah.Ben terdiam dan memejamkan mata erat-erat. Lima menit mungkin cukup untuh menggerakkan hati Cantika. Lima menit mungkin bisa menggoyahkan pilihannya. Tapi ... apakah dia mampu?Cantika sudah terlampau terluka. Saat mereka bertemu, tidak ada lagi binar kerinduan yang pernah dilihatnya. Penyesalan, benci, dan muak mungkin telah menggantikan perasaan itu. Meski kemungkinan untuk membuat Cantika luluh sangatlah kecil, Ben tetap ingin memcoba memperbaiki mereka.“

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   135 Lima Menit Terakhir

    “Maybe it’s too late, tapi aku pengin dengar sendiri dari kamu. Katanya ... kamu hamil. Gimana kabar kamu, gimana kabarnya? I am so sorry, you went through a lot withouth me,” ucap Ben sungguh-sungguh“Kabar? Kamu nanya kabar sekarang??” Nadanya meninggi. Cantika mendengkus sinis. “Jangan bercanda! Ke mana aja kamu selama ini?” Disentaknya tangan Ben kasar.“Aku diusir mamaku. Aku nggak punya tempat pulang. Biarpun Olin dan Miko rela nampung aku, tapi nggak ada satu hari pun tanpa rasa bersalah setiap bertatapan sama Miko. Aku juga nggak bisa libatin Olin di antara masalahku sama Miko. Menurut kamu, gimana kabarku? Apa aku bisa lebih baik-baik aja dari pada sekarang?” Cantika menunjukkan senyum getirnya.Ben berdiri dari bangkunya, menatap Cantika dalam. “Aku benar-benar menyesal. Harusnya saat itu aku di samping kamu. Aku terlalu egois dan berengsek karena cuma mikirin diriku sendiri.”Entah sudah berapa ribu maaf yang dilontarkan Ben, rasanya Cantika sudah muak. Pada akhirnya mereka

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   134 Too Late

    Nada sambung telepon yang menyambut di seberang membuatnya tak sabar. Ben terus mengentak-entakan kaki di lantai. Notifikasi pesan dari Theo yang sejak pagi diabaikannya berubah menjadi suatu urgensi ketika Ben membukanya malam ini.Pesan yang dikirim Theo belakangan ini sering tidak penting dan absurd. Theo melaporkan segala kegiatannya pada Ben setiap perjalanan kerja ke luar kantor membuat Ben kerap kali jengah dan mengabaikannya.Perkara hewan liar yang ditemui Theo di jalan, barang incarannya, sarapannya, makan siangnya, makan malamnya, tempat Theo pergi, kadang juga foto selfie! Orang lain yang melihatnya mungkin akan mengira Theo abnormal. Bahkan Ben sudah lebih dulu berpikir demikian.Namun dari sekian ribu pesan yang dikirim Theo, baru kali ini ada pesan yang berbobot. Foto seseorang yang diambil Theo berlatar kedai kopi. Itu sebabnya ketika panggilannya dijawab, Ben tidak membuang waktu.“Di mana lo ambil foto itu?” tanya Ben berusaha tetap datar.“Gue kan udah bilang gue ke

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   133 Sydney

    Seorang perempuan duduk dengan kaki bersilang di sebuah toko kue. Rambut panjangnya melewati bahu, lurus, dan terkuncir rapi. Kaus lengan panjang bergaris dan celana panjang linennya tampak sangat nyaman. Sesekali perempuan itu melirik keluar jendela kaca di sebelahnya sambil mendengarkan orang yang mengoceh dari airpods hitam yang menyumbat satu telinganya. “Gue nggak habis pikir ya, sama tuh anak. Dia anggap apa gue selama ini? Udah setahun, tapi masih nggak ada kabar sama sekali. Email atau chat pun nggak. Apanya yang jangan dicari? Apanya yang tenang aja? Kalo begini terus, dia bisa bikin gue darah tinggi! Awas aja kalau dia pulang sambil cengengesan atau pasang tampang centilnya kayak biasa, gue jitakin itu anak!” “Sabar, Lin. Sabar ...” Seorang perempuan berseragam toko membawakan segelas minuman ke mejanya. Ada gelas latte kosong dan sepiring pastry yang hanya tersisa sesuap lagi di hadapan perempuan berkuncir itu. “Gimana bisa sabar?! Ini bukan seminggu atau sebulan lagi, ud

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   132 Jangan Dicari

    Ben bukan jenis orang yang sering mengakses media sosial. Kendati pernah membuat akun insta, dia tidak menggemari media sosial yang populer di kalangan masyarakat luas itu. Selama lebih dari sepuluh tahun, foto yang bertahan di akunnya hanya lima.Sebelumnya Ben pernah mengisi feed-nya dengan beberapa foto Viona dan foto mereka berdua. Sekian tahun setelah putus, Ben lalu menghapusnya. Lebih tepatnya, sesaat setelah bertemu Cantika. Karena Ben baru mulai mengakses media sosialnya kembali saat itu.Ben juga tidak tertarik menggulir beranda insta-nya untuk melihat unggahan orang-orang. Namun ketika mengenal Cantika, ia mulai menjelajahi akun miliknya yang sudah berdebu itu.Sudah satu jam sejak Ben memeriksa profil Cantika. Tidak ada unggahan terbaru di feed maupun story-nya. Perempuan itu menghilang lagi tanpa jejak. Ben membaca kolom-kolom komentar, berharap ada tanda yang bisa membantunya. Namun usahanya nihil. Cantika hanya membalas komentar-komentar di postingannya sebagai bentuk b

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   131 Bertamu

    Belum ada satu pun dari mereka yang berani bicara. Tiga orang yang sudah dewasa itu mati kutu di depan ibunya Cantika. Aura kelam Arita mengintimidasi. Mereka hanya diam memerhatikan ketika Arita membuka kunci pagar rumahnya.“Kalian mau terus di depan sana?”Olin menelan ludah susah payah dan menoleh pada Miko dan Ben bergantian. Dua pria itu juga menatapnya, menunggu petunjuk. Begitu Olin mengangguk pelan, mereka masuk ke rumah mengekori Arita.“Saya ingat kamu,” kata Arita pada Olin meski tidak menyebut nama. “Tapi kenapa kamu datang dengan suami Cantika?”Rumah mungil itu terasa seperti pengadilan untuk Olin. Jantungnya berpacu cepat saking takut dan gugupnya. Olin memang sudah terbiasa mengabaikan cemooh orang lain terhadap dirinya. Tetapi, ia masih tidak terbiasa dengan nada tajam dan sorot menuding Arita.Menyadari perubahan sikap Olin, Miko berusaha menggantikannya menjawab. “Umm ... begini—”Namun belum selesai kalimat Miko, Arita memotong. “Kamu teman perempuan ini?” Pasti y

DMCA.com Protection Status