“Kita itu ... sebetulnya apa?” Pertanyaan Cantika membuat Ben menghentikan segala aktivitasnya. Sedangkan Cantika segera tersadar akan apa yang baru saja ditanyakannya. Gadis itu buru-buru menutup mulut rapat-rapat, kelihatan salah tingkah, wajahnya merona. “M-maksud aku ...” Mendadak dia gelagapan. Ben memutar tubuh menghadap Cantika. Senyum tipis terbit di wajahnya. “Kamu maunya apa? Aku jadi selingkuhan kamu?” Kata selingkuhan sama sekali tidak terdengar baik di telinga Cantika. Lebih dari itu, dia membencinya. “Aku udah putus.” Sepasang iris husky milik Ben pun mengerjap memandangnya. “Kamu udah putus?” ulang pria itu dengan dahi berkerut. Cantika melirik Ben ragu-ragu dan mengangguk. Memalukan. Rasanya dia seperti baru saja menyatakan perasaan pada pria itu. Di mana dirinya yang biasa mampu mengambil kontrol? Dia selalu tidak berkutik di depan Ben. “Then, will you be my girlfriend?” Napas Cantika terasa seperti tersangkut di kerongkongan. Jantungnya berdentum-dentum menggi
“Wah! Givenchy?!” serunya heboh. Mata Cantika langsung berbinar-binar ketika melihat tas tangan dari merek ternama yang mendunia di atas meja kerja Olin. “Ori?” “Mm-hm,” sahut wanita itu singkat. “Waa, gila sih temen gue yang satu ini, udah sukses kayaknya studionya.” Cantika bersandar di tepi meja, bertepuk tangan dengan ekspresi takjub dan terkesan. Turut senang jika usaha temannya berjalan lancar. “Bukan beli, itu hadiah,” Olin memutuskan untuk menjawab jujur. Tepukan tangan Cantika mendadak berhenti. Raut wajah cerahnya berubah datar tak bersemangat. Olin tahu persis apa yang sedang dipikirkan sahabatnya. “Om itu royal ya?” tanya Cantika bernada lesu. Kepalanya tertunduk, memainkan ujung bajunya. “Yah ...” Olin tak bisa menjawab pasti, sebab bukan Bayu yang memberikannya. “Lo bahagia, Lin?” Kali ini Cantika menatap lurus pada Olin. Apakah dia bahagia? Itu juga yang ditanyakan Olin pada diri sendiri. Bagi Olin, asalkan dia bisa memiliki barang-barang yang diinginkannya, dia
“Yang ini, terus ini, ini ... hm ... sekalian ini juga,” gumam Cantika mengeluarkan satu per satu barang dari tas jinjing besar miliknya. Seperti akan kabur dari rumah. Ben bertolak pinggang sambil geleng-geleng kepala melihat banyaknya barang yang akan difoto oleh Cantika. Akhir pekan ini dia memang berjanji untuk membantunya, tapi siapa sangka gadis itu membawa semua produk yang akan dipromosikannya di media sosial? Di waktu senggang kemarin, Ben penasaran dan mencari akun media sosial milik Cantika. Ternyata tak sulit menemukannya karena gadis itu menggunakan namanya. Meski seperti katanya, Cantika bukan influencer atau selebriti media sosial dengan ratusan ribu pengikut, tapi akunnya cukup hidup. Foto-fotonya tak tampak diambil oleh seorang profesional, namun siapa yang peduli jika wajah rupawan Cantika berada di dalam frame? Foto selfienya sendiri saja sudah terlihat estetik. Berbeda dengan Cantika, Ben sama sekali tidak tertarik dengan media sosial. Akun pribadinya seperti ru
“Panas, Ben,” erang Cantika melepaskan bibirnya. “Sebentar, aku butuh napas.” Dia mundur untuk memberi ruang di antara mereka. Meski kamar mandi Ben lebih sejuk di banding area kolam renang, Cantika masih merasa kegerahan. Mungkin ini efek dari sengatan matahari yang benar-benar terik. “Aku udah kasih napas, ‘kan.” Ben melipat bibir tersenyum, mengusap hidungnya dengan punggung jari telunjuk, “Napas buatan.” “Dasar sableng! Ayo makan!” rutuk Cantika memukul lengan Ben. “Hmm, kayaknya aku berubah pikiran. Aku lebih pengin mandi dulu. Gimana?” Tentu saja kening Cantika langsung mengernyit heran. Kenapa Ben harus bertanya padanya kalau lelaki itu mau mandi? Dia belum terlalu lapar, masih bisa menunggu. “Gimana apa? Kamu belum mandi tadi pagi? Ya udah, sana mandi. Aku tungguin.” Kekehan renyah Ben mengudara. Dia lalu menarik pinggang Cantika dan melingkarkan lengannya di sana. “Astaga, aku lagi ngode. Masa kamu nggak peka?” “Apaan sih, pake ngode-ngode segala? Ngomong aja yang jelas
“Apa nggak sebaiknya aku pulang aja?” “Tunggu aku ya, please?” pinta Ben memelas. “Kamu masih mau keliling di sini, atau tunggu di rumah aku, terserah. Jam lima aku usahain selesai pokoknya. Kamu mau minta bantuin tugas juga ‘kan?” “Iya sih. Tapi kalo kamu sibuk, aku pulang aja juga nggak pa-pa. Biar aku kerjain sendiri.” “Kita baru ketemu sebentar. Itu pun waktunya terpakai buat foto bahan endorse kamu. Kita belum ada quality time. Memang kamu rela pulang sekarang, baru ketemu lagi entah kapan?” Jangan ditanya. Cantika tak pernah memikirkannya. Dia sih, rela-rela saja selama ini berpisah lama dengan pacar. Mungkin hal itu juga berlaku dengan Ben. Tapi belajar dari pengalaman, menghibur sedikit tidak ada salahnya. Toh, dia sudah banyak memeras keahlian Ben untuk dimanfaatkan. “Iya deh, aku tungguin. Asal jangan kemalaman, aku pulang duluan nanti.” “Gitu, dong. Sorry, ya, aku nggak bisa anter kamu. Nanti kamu naik taksi aja ke rumah aku.” Ben mengeluarkan dompet dompet dari saku c
Untuk beberapa saat, Ben dan Theo sibuk memeriksa lokasi proyek mereka. Kabarnya ada beberapa bangunan rumah yang bermasalah. Dia dan Theo dipanggil datang dengan harapan dapat memecahkan permasalahan tersebut. Mereka kemudian berkeliling memastikan masalah yang timbul tidak sampai menghambat pembangunan. Saat sinar matahari tak lagi terasa menyengat, dan angin tidak lagi berembus hangat, Ben sadar dia belum membuka ponselnya sejak mengabari Cantika kalau dia sudah tiba di lokasi. Ben lalu melihat notifikasi pesan masuk dari gadis itu yang belum dibacanya selama beberapa jam. Kiara C: Ben Kiara C: Aku jajan boba pake kartu kamu Kiara C: Aku juga tarik tunai tadi Di bawah pesan, ada sebuah foto yang memuat wajah Cantika dan segelas boba yang dibelinya. Gadis itu berpose manis, menempelkan gelas minuman tersebut ke pipi. Siapa pun yang melihatnya pasti merasa foto itu seperti iklan minuman segar. Ben membasahi bibirnya dan berusaha menahan diri agar tidak tersenyum lebar di hadapan
“Cowok gue ngajakin dinner di Hotel Eastin,” celetuk seorang perempuan dengan rambut berwarna mahogany. “Asik banget! Bintang lima ‘kan itu?” “Yoi!” “Ra, Ra ... gue liat di story lo, sering jelajah buffet macem-macem five star hotel. Gimana menurut lo buffetnya Hotel Eastin?” tanya salah satu teman sekelasnya dengan antusias. Cantika yang duduk di barisan belakang mereka mengangkat kepala, mengalihkan pandangan dari laptopnya. “B ajah,” sahutnya singkat. Sedangkan Hilda, di sebelahnya, hampir menyemprotkan tawa tertahan, tampak menyebalkan memang. Tapi dia merasa puas, karena Jeni yang duduk di depan mereka terkenal tukang pamer. Hilda bisa melihat raut wajah Jeni berubah cemberut, persis wajah Squidward. Sedangkan Merlin dengan tidak pekanya lanjut bertanya pada Cantika, seolah menyerahkan panggung unjuk diri pada gadis cantik itu. “Oh ... kalo sejauh ini, menurut lo yang paling enak di mana, Ra?” Merlin tampak tertarik mendengar pengalaman Cantika. “Menurut gue, semua buffet
Cantika menatap warna baru rambutnya di cermin, cotton candy pink ombre di bagian bawah rambutnya tampak semakin menyolok. Bentuk wajahnya yang tirus dan kulitnya yang bersih membuat ia semakin menyerupai boneka Barbie berjalan. Sejujurnya Cantika tidak suka menjadi terlalu menyolok seperti ini. Apalagi warna rambutnya yang terlalu ekstrem membuat dia harus melewati proses bleaching beberapa kali. Tapi, terpaksa dilakukannya karena mendapat bayaran lebih besar. Dia membutuhkan uang itu untuk memenuhi keperluan kuliahnya. Terakhir waktu datang ke studio Olin, Cantika menanyakan pekerjaan baru. Tetapi Olin malah balik bertanya, berapa jumlah yang dia butuhkan. Mana mungkin Cantika bisa berkata jujur. Wanita itu pasti tidak akan ragu mentransfer seumlah uang ke rekeningnya. Namun, Cantika tidak mau menyinggung perasaan Olin dengan mendebat dari mana uang itu berasal. Mereka semua tahu, tak semua bilangan di rekening Olin berasal dari pendapatan studionya. Itulah alasan mengapa Cantika