“Cowok gue ngajakin dinner di Hotel Eastin,” celetuk seorang perempuan dengan rambut berwarna mahogany. “Asik banget! Bintang lima ‘kan itu?” “Yoi!” “Ra, Ra ... gue liat di story lo, sering jelajah buffet macem-macem five star hotel. Gimana menurut lo buffetnya Hotel Eastin?” tanya salah satu teman sekelasnya dengan antusias. Cantika yang duduk di barisan belakang mereka mengangkat kepala, mengalihkan pandangan dari laptopnya. “B ajah,” sahutnya singkat. Sedangkan Hilda, di sebelahnya, hampir menyemprotkan tawa tertahan, tampak menyebalkan memang. Tapi dia merasa puas, karena Jeni yang duduk di depan mereka terkenal tukang pamer. Hilda bisa melihat raut wajah Jeni berubah cemberut, persis wajah Squidward. Sedangkan Merlin dengan tidak pekanya lanjut bertanya pada Cantika, seolah menyerahkan panggung unjuk diri pada gadis cantik itu. “Oh ... kalo sejauh ini, menurut lo yang paling enak di mana, Ra?” Merlin tampak tertarik mendengar pengalaman Cantika. “Menurut gue, semua buffet
Cantika menatap warna baru rambutnya di cermin, cotton candy pink ombre di bagian bawah rambutnya tampak semakin menyolok. Bentuk wajahnya yang tirus dan kulitnya yang bersih membuat ia semakin menyerupai boneka Barbie berjalan. Sejujurnya Cantika tidak suka menjadi terlalu menyolok seperti ini. Apalagi warna rambutnya yang terlalu ekstrem membuat dia harus melewati proses bleaching beberapa kali. Tapi, terpaksa dilakukannya karena mendapat bayaran lebih besar. Dia membutuhkan uang itu untuk memenuhi keperluan kuliahnya. Terakhir waktu datang ke studio Olin, Cantika menanyakan pekerjaan baru. Tetapi Olin malah balik bertanya, berapa jumlah yang dia butuhkan. Mana mungkin Cantika bisa berkata jujur. Wanita itu pasti tidak akan ragu mentransfer seumlah uang ke rekeningnya. Namun, Cantika tidak mau menyinggung perasaan Olin dengan mendebat dari mana uang itu berasal. Mereka semua tahu, tak semua bilangan di rekening Olin berasal dari pendapatan studionya. Itulah alasan mengapa Cantika
“Brutal.” “Hm?” “Kamu terlalu brutal,” celetuk Cantika sembari merapikan pakaian. Mereka saling membelakangi sesuai perintah Cantika. Yang ditegur tertawa tanpa rasa berdosa, “Siapa coba yang mulai?” meloloskan kaus putihnya turun dari kepala. “Aku cuma cium kamu.” Dengan bibir mengerucut, Cantika meluncurkan protes. “Tapi kamu suka. Biasanya kamu bakal berisik berusaha kabur, tadi kamu pasrah. Berarti kamu suka ‘kan?” Baiklah. Cantika mengakui kekalahannya. Dia tidak bisa membalas sama sekali. Jika Cantika adalah perempuan paling gamblang, eksentrik, dan cuek; maka Ben adalah lelaki paling gendeng, tidak punya malu, dan persuasif. Dia jago. Mereka berdua ahli. Terutama dalam berciuman. Mulut dan bibir mereka yang menyatu seperti tercipta untuk saling mengisi dan melengkapi. Seperti itulah pagutan yang dirasakan mereka. Sejauh ini, sifat mereka cocok. Selain pertengkarang yang pernah terjadi di antara mereka, tidak pernah ada selisih pendapat lagi—atau lebih tepatnya mungkin,
“Ben, ini ... apa-apaan?” Hanya itu yang mampu keluar dari mulut Cantika saat menghadapi situasi kacau di depannya. Otak Cantika membeku sesaat. Keluarga? Lamar? Sudah lama bersama?? Apa-apaan ini maksudnya? Cantika merasa seolah menjadi orang paling tolol sedunia. Dia bahkan baru saja bermesraan dengan Ben di rumahnya meski tak memasuki tahap bercinta. Lalu sekarang, apa yang didengarnya? Percakapan antara wanita yang kemungkinan adalah ibu dan kekasih Ben? “Nah, itu Ben,” ucap Ana menyadari kehadiran Ben. Beberapa pasang mata yang menempati di meja itu mengikuti arah pandang Ana. Salah satu perempuan yang terlihat paling muda, Julia, dengan wajah cueknya berkata, “Sama siapa dia?” Ben menoleh sekilas ke arah meja itu. “Can, biar aku jelasin.” Lalu membasahi bibirnya, merasa serba salah. “Jelasin apa, berengsek?!” sergah Cantika dengan suara tertahan. Sekali lagi harga dirinya tercabik. “Jelasin kalo kamu udah punya calon istri dan mau nikah?” Sungguh, dia tidak ingin memper
Notifikasi masuk satu per satu membanjiri ponsel Olin ketika baru mengaktifkannya. Pesan dari operator, notifikasi marketplace, media sosial, pesan masuk, serta panggilan tak terjawab dari Cantika. Kenapa lagi anak itu? Pikir Olin. Belakangan ini Olin disibukkan oleh ‘pria gelap’—sebutan dari Olin untuk Dan—kenalan Bayu sehingga sulit bertemu dengan teman-temannya. Belum lagi jatah waktu menemani Bayu masih seperti biasa, tak berkurang. Dalam seminggu dia harus melayani kedua pria itu bergantian, atau bahkan bersamaan. Rasanya tenaganya hampir terkuras habis. Meskipun harus diak ui, Olin menyukai sensasi bercinta dengan Dan, si pria misterius itu, tapi bukan begini caranya. Mungkin dia harus lebih tegas menentukan jadwal untuk mereka. Olin mencari kontak Cantika di ponselnya, lalu menelepon perempuan itu. “Kenapa? Tadi lo nyari gue?” Sebelum orang yang ditelepon menyapa, Olin sudah lebih dulu bicara. “Hmm ...?” Dari suaranya yang serak, Olin menduga gadis itu pasti sedang berada d
“Minggir!” Viona menarik tangan wanita itu. Wanita yang dilihatnya sedang berciuman dengan pria—yang menurutnya sendiri—berstatus calon suaminya. Kedua orang yang sedang berpagutan di depan meja bar kontan menghentikan kemesraan mereka. Ben langsung melirik Viona dengan tajam. “Siapa anak cosplay tadi?” sergah Viona tak sabar. Wanita yang sedang bersama Ben memandang kesal Viona, lalu beralih pada Ben meminta penjelasan. Tetapi karena Ben hanya diam meliriknya sekilas, tampak tak berniat memberikan penjelasan, wanita itu akhirnya menghentak heels runcingnya pergi dari sana. Menabrak bahu Ben jengkel saat meninggalkan mereka berdua. “Bukan urusan kamu.” “Jangan bilang dia mau dikenalin ke mama kamu?” “Bukan urusan kamu, Viona. Selama ini kamu selalu pura-pura diam, bertingkah seolah kamu korban setiap aku jalan sama siapa pun. Sekarang ada apa sama kamu? Udah nggak mau pura-pura jadi innocent woman lagi?” Sosok yang biasanya tampak cantik, ringkih, dan lemah lembut itu kini benar
“Dok,” seorang wanita berseragam perawat membuka pintu setelah mengetuknya sekali. Tersenyum semringah sambil melanjutkan, “Ada pacarnya datang.” “Pacar?” Miko mengangkat kepala dari catatan pasien di mejanya dengan kening berkerut. Siapa pacar yang dimaksud? Pikir Miko. Ekspresi Miko masih menunjukkan kebingungan sebelum sebuah suara melengking terdengar, disusul sosok perempuan yang dikenalnya. “Haiii, Mik!” “Oh, hei.” Sambil tersenyum tipis, Miko bertanya, “Sini, masuk. Ada apa, Can?” Lalu mengangguk pada perawat, tanda bahwa Miko meminta ruang privasi dengan tamunya. Cantika membawa sekantong besar sesuatu yang belum Miko ketahui isinya, melangkah masuk setelah menutup pintu ruangan. Diletakkannya kantong plastik itu di meja Miko sambil menyunggingkan senyum cerah. “Buat kamu, Mik.” “Buat aku?” Sebelah alis Miko terangkat. Cantika mengangguk mantap, senyumnya belum pudar dari wajah. “Ucapan terima kasih karena udah rekomendasiin aku untuk job salon, izinin aku numpang di ap
“Lo santai-santai aja temen lo baru putus?” tanya Miko saat melihat Olin datang ke kliniknya untuk melakukan perawatan wajah. Olin mengangkat tangan, memasang senyum lebar, membuat gestur yang menurut Miko tidak biasa. “Hai Olin, apa kabar? Udah dua bulan baru treatment lagi. Sibuk, ya?” Kemudian menurunkan tangannya bersamaan dengan raut yang berubah datar. “Harusnya lo nanya gitu ke gue! Sekarang gue pasien lo, bukan teman lo. Gimana sih?” protes wanita itu sambil mendecak dua kali. “Gimana keadaan temen lo?” Mengabaikan omongan panjang lebar Olin. “Apa yang gimana?” “Cantika, udah lebih baik?” “Emangnya dia kenapa? Cuma masalah cowok. Lagian gue merasa itu lebih bagus buat dia,” sahut Olin masuk ke ruangan Miko tanpa disuruh. Miko mengikutinya dari belakang. “Bukannya kemarin-kemarin lo ngedukung mereka?" “Siapa yang ngedukung? Gue bilang biar Cantika sendiri yang menilai, supaya dia bisa belajar dari pengalaman.” Wanita berkulit eksotis itu mengendik bahu tak acuh. “Yahh, ka