Haii, kali ini aku masukin sudut padang Viona juga. Kenapa dia gigih banget pertahanin hubungan sama Ben, sementara dia selingkuh. Setiap orang punya alasan masing-masing yang membentuk kepribadian mereka jadi sedemikian rupa. Di episode mendatang mungkin kalian bakal jengkel banget sama tingkah Viona, tapi inilah alasannya.
“Lo santai-santai aja temen lo baru putus?” tanya Miko saat melihat Olin datang ke kliniknya untuk melakukan perawatan wajah.Olin mengangkat tangan, memasang senyum lebar, membuat gestur yang menurut Miko tidak biasa. “Hai Lin, apa kabar? Udah dua bulan baru treatment lagi. Sibuk, ya?” Kemudian menurunkan tangannya bersamaan dengan raut yang berubah datar. “Harusnya lo nanya gitu ke gue! Sekarang gue pasien lo, bukan teman lo. Gimana sih?” protes wanita itu sambil mendecak dua kali.“Gimana keadaan temen lo?” Mengabaikan omongan panjang lebar Olin.“Apa yang gimana?”“Cantika, udah lebih baik?”“Emangnya dia kenapa? Cuma masalah cowok. Lagian gue merasa itu lebih bagus buat dia,” sahut Olin masuk ke ruangan Miko tanpa disuruh.Miko mengikutinya dari belakang. “Bukannya kemarin-kemarin lo ngedukung mereka?"“Siapa yang ngedukung? Gue bilang biar Cantika sendiri yang menilai, supaya dia bisa belajar dari pengalaman.” Wanita berkulit eksotis itu mengendik bahu tak acuh. “Yahh, kayak yang
Cantika nyaris putar balik pulang ke rumah kalau saja dia tidak punya tugas menjemput adik-adik sepupunya. Sedan yang sudah ia ketahui siapa pemiliknya ada di depan rumah tante Grace. Setelah sebulan memutus kontak, Cantika tidak pernah menyangka adanya kemungkinan untuk bertemu di rumah tante Grace. “Thank you, Ben. Harusnya kamu nggak perlu repot-repot datang ke sini. By phone aja juga nggak apa-apa. Kamu pasti sibuk.” Terdengar suara tante Grace saat sedikit lagi Cantika mencapai anak tangga teratas menuju lantai dua. “Nggak apa-apa, Bu. Lebih jelas kalau ketemu, lagi pula kita tetangga, cuma butuh berapa langkah ke sini.” “Padahal saya yang perlu, tapi malah kamu yang berkunjung.” “Sekalian biar saya bisa cek kamarnya.” Grace yang yang sedang mengobrol kemudian menyadari kedatangan Cantika. Bersamaan dengan Grace, Ben pun menoleh dengan raut sedikit kaget. Tapi secepat kilat menetralkan ekspresi wajahnya. “Tante,” sapa Cantika pelan, menganggukkan kepala. Dia melirik Ben seki
Sepeninggal Ben, kaki Cantika mendadak lemas. Tubuhnya merosot jatuh terduduk di lantai. Dia sudah tidak lagi memikirikan apa yang akan dilakukan Ben padanya jika dia datang ke rumah itu lagi. Satu-satunya yang dikhawatirkan Cantika hanyalah privasi yang ia simpan dari para keluarganya. Kalau Ben bicara mengenai hubugan mereka, tamat sudah riwayatnya. Mama selalu menyuruhnya menjaga sikap di depan saudara-saudaranya, di depan orang lain, demi mempertahankan kepingan harga diri mereka yang tersisa. Jika keluarganya mendengar kenakalan Cantika, harus bagaimana lagi dia akan bertahan menghadapi celaan. Cantika menyesal sudah berurusan dengan pria dewasa. Ben selalu berada beberapa langkah di depannya. Miko benar, lelaki itu akan sulit dihadapi. Terbukti, Ben bisa menekannya semudah ini. *** Ben tidak menyangka reaksinya akan sekalut itu. Awalnya Ben hanya bermaksud negosiasi agar Cantika mau bicara dengannya. Apalagi saat melihat wajah cantiknya, membuat Ben kembali menginginkan gadis
“Gimana aku bisa percaya kamu?” Ben sedikitnya sudah menduga, Cantika meragukan ceritanya. Ia mengambil ponselnya, memijat layar sentuh itu sejenak sebelum menyalakan mode pengeras suara. Cantika menatapnya bingung. Tetapi Ben mengangkat satu jari telunjuknya ke depan bibir, mengisyaratkan agar gadis itu tidak bersuara. Pada nada sambung ketiga, panggilan itu diangkat. “Ada angin apa kamu nelepon aku?” ucap suara di seberang sana. Suara seorang wanita, sedikit melengking dan bernada sinis. “Aku peringatkan kamu, jangan pernah ikut campur urusanku. Jangan pernah, sekali pun, menampakkan muka kamu di depan Mama Ana lagi.” Alis Cantika terangkat sebelah ketika mendengar panggilannya merujuk pada ‘Mama Ana’. Kenapa Ben membubuhkan nama pada sebutan ibunya? Bukan mengatakan kata kepunyaan seperti ‘mamaku’. Apakah wanita bernama Viona sudah menyebut ibunya Ben dengan ‘mama’? “Are you drunk?” dengkus wanita itu. “Nelepon aku tiba-tiba cuma buat omong kosong?” “Ini bukan omong kosong. R
Olin mencengkeram sprei erat-erat, bersamaan dengan entakan kuat dari tubuh di atasnya. Napasnya memburu, tubuhnya berkeringat. Sudah beberapa kali ia melalui aktivitas malam bersama pria misterius itu. Meski pria itu bukan yang pertama dan entah yang ke berapa, tetapi ada sesuatu yang berbeda dirasakannya, seolah pria itu pria pertamanya. Jantung Olin berdebar kencang oleh hal-hal yang menurutnya biasa. Seperti setiap kali ia menunggu kehadiran lelaki itu di apartemennya, ketika ia berdiri di depan apartemen pria itu menunggu pintu dibuka, atau di saat seperti ini—ketika mereka melakukan penyatuan. “The last, kan?” tanya Olin padanya. Olin dapat merasakan pria itu mengangguk di ceruk lehernya sebelum beranjak pindah ke sisi sebelahnya, merengkuhnya erat dalam tubuh polos mereka di bawah selimut. Semua itu membuat perasaannya seperti musim semi, cerah dan hangat. Olin tak tahu kata apa yang benar-benar tepat untuk menggambarkan keseluruhan perasaannya. Tapi, anehnya dia benar-benar
“Astaga! Ngapain kamu di sini lagi?!” Hampir saja Cantika terjungkang jatuh dari tangga, kalau Ben tidak menahan punggungnya. Di saat yang bersamaan, orang itulah yang menjadi penyebabnya nyaris terjatuh. “Kamar Byan bocor, remember?” ujar Ben tersenyum, masih sambil menahan tubuh Cantika. Berada dalam jarak sedekat itu membangkitkan beberapa indranya. Apalagi saat aroma manis yang lembut dari rambut Cantika berhasil menggoda indra penciuman Ben. “Oh ....” “Kamu dari mana?” tanya Ben memerhatikan Cantika berpakaian santai. Kaus putih polos dan rok jins warna salem pendek di atas lutut. “Antar anak-anak les.” Keduanya sempat hanyut dalam pikiran masing-masing barang beberapa detik. Hingga Cantika menyadari posisi mereka belum berubah. “Permisi, aku mau lewat.” Tetapi Ben belum juga melepaskannya. Memerhatikan Cantika dengan pandangan yang sulit diartikan. “Lepasin, dong.” Cantika kira, Ben hendak pergi ketika mereka berpapasan di tangga. Tetapi lelaki itu malah kembali naik. Dan
“Mik, coba cium aku.” “Hah?!” Miko yang sedang minum nyaris saja tersedak. Pria itu jelas kaget dengan ucapan perempuan cantik yang duduk di sebelahnya. Namun, bukan Miko namanya kalau tidak bisa tetap bersikap tenang. “Cewek sableng!” Sedangkan Olin memukul kepala Cantika dengan gulungan flyer. “Kesambet apa lo?” semburnya. Ketiga orang itu berada dalam ruangan Olin seperti biasa. Yang satu menghabiskan waktu sepulang kerja, dan yang satu lagi sedang numpang melamun. Keduanya setia mengacau di studio Olin. Sambil bertopang dagu, Cantika menyahut tanpa beban, “Pengin tau rasanya dicium Miko, bisa hilang akal nggak?” Tampang Olin sudah meringis ngeri sekaligus geli mendengar teman bodohnya itu. “Nggak usah nunggu dicium Miko. Sekarang aja kewarasan lo udah ilang, Mimi Peri!” gerutu Olin bak ibu-ibu mengomeli anaknya. “Ini anak kapan gedenya, sih? Fisik aja yang dewasa, otak nggak tumbuh kembang.” “Jangan dong, masa otak gue numbuh kembang? Nanti jadi ladang bunga,” balas Cantika s
Lady killer, sepertinya sebutan itu benar-benar cocok untuk Ben. Hanya dengan sedikit kalimat dan beberapa perlakuan, Cantika yang biasanya tidak peduli menjadi luluh seketika. Setelah dipikir lagi, kenapa dia begitu mudah menerima lelaki itu kembali? Jangan-jangan Cantika kena pelet? Duh, mikir apa sih?! batinnya mengetuk-ngetukkan pulpen ke kepala. Tidak boleh. Dia tidak boleh segampang ini terbujuk rayuan Ben. Cantika pun mengambil ponselnya, mengetik pesan singkat untuk lelaki itu. Kiara C: Kamu kapan ada waktu? Kiara C: Aku mau ketemu Pokoknya Cantika sudah bertekad akan putus. Dia akan bilang pada Ben bahwa apa yang terjadi kemarin hanyalah sebuah kesalahan. Dia terbawa suasana dan dalam keadaan tersudut hingga tanpa sadar menerima ajakan balikan dari lelaki itu. Di dalam kelas, Cantika mengepalkan tangan penuh keyakinan bahwa setelah Ben membalas pesannya nanti, dia akan menemui lelaki itu dan mengakhiri semuanya. *** “Lo udah kebayang mau bikin desain kayak apa?” tanya
“Kamu tau kan, aku udah kenal sama Pak Dany?” Ben buru-buru menambahkan saat melihat mata kecokelatan Cantika nyaris keluar dari tempatnya. Raut wanita itu bercampur antara ngeri, kaget, dan tak percaya “Karena kerjaan, aku sering pergi meeting sama Om kamu—desain rumahnya, desain kantor dan kantor cabangnya. Pak Dany orang yang ramah dan supel. Beberapa kali kami ketemu di luar jam kerja. Aku dikenalin ke circle teman-teman bisnisnya. Dari situ aku jadi tau, kalau dia pebisnis yang hebat, tapi bukan suami yang baik. Orang-orang yang aku temui itu kurang lebih punya skandal yang mirip atau bahkan lebih parah dari Pak Dany.” Informasi ini terlalu banyak untuk dicerna. Mulut Cantika sampai menganga bingung, merunut penjelasan dari Ben satu persatu. “Kamu pasti merasa canggung setiap ketemu Tante Grace. Karena itu yang aku rasain,” komentar Cantika kemudian. Ben tersenyum tipis sebagai tanda setuju. “Tapi, apa hubungannya sama Olin? Kenapa Om Dany nyuruh kamu ... sama ...” Kalimat C
“Kamu ingat, pertama kali kita ketemu?” Jemari tangan Ben tenggelam di antara helaian rambut hitam Cantika, menyisirnya lembut. Sementara Cantika menyandarkan kepala di ceruk leher Ben. Mengenang pertemuan awal mereka.Cantika masih berada di kamar hotel tempat Ben menginap. Sekian lama tidak bertemu, ada kesempatan duduk berdua dengan tenang. Rasanya sangat banyak yang ingin dibicarakan.“Mana mungkin lupa? Pertemuan paling absurd dan kacau seumur hidupku.”“Dan paling memalukan dalam sejarahku,” Ben tertawa. “Aku juga nggak tau, kenapa aku bisa segila itu. Kayaknya paling parah selama aku mabuk.”“Apanya yang paling parah? Kayaknya kebiasaan mabuk kamu memang jelek. Kalau bukan karena ada aku sama Ubay, malam itu kamu hampir terguling jatuh dari tangga kantor, nyaris jadi sushi roll. Jangan sampai kamu mabuk di depan orang lain, apa lagi cewek, malu-maluin!”Ben menyeringai, mengangkat dagu Cantika. “Kamu takut aku nyentuh cewek lain?”Selama dua detik Cantika menatap mata biru safi
Butuh waktu bagi Cantika untuk menceritakan semuanya pada Ben. Mulai dari pertengkaran dengan ibunya sebelum pergi, niatnya untuk menggugurkan kandungan yang kemudian dibatalkan, kepergiannya dengan bantuan petunjuk dari Sheril, higga kehidupannya di Sydney.Lalu, kecelakaan yang membuat Cantika mengalami pendarahan terjadi. Awal petaka bagi janinnya. Jika memaksakan untuk tetap mengandung dan melahirkan, kemungkinan lahir dengan fisik dan organ yang cacat adalah 90 persen, sementara hidupnya dipertaruhkan.Alasan mengapa teman-teman di tempat kerjanya begitu ketat menjaga dan melindungi Cantika adalah karena kecelakaan tersebut disebabkan oleh seorang penguntit yang mengikuti Cantika di jalan pulang.Ben amat marah mendengar rangkaian cerita itu. Bukan marah kepada Cantika, marah kepada dirinya yang tidak ada di sana melindungi Cantika dan anak mereka. Marah kepada pria-pria yang mengganggu Cantika.“Karena bukan pertama kalinya ada orang yang terang-terangan nunjukkin ketertarikan m
“Aku tau kamu masih marah, tapi jangan ambil keputusan impulsif kayak gitu, Can.”Ben mengikuti Cantika keluar dari kedai yang sudah tutup. Melewati selasar toko-toko menuju ke jalan besar. Paving tegel batu terbentang di sepanjang selasar, menguarkan nuansa abu-abu pada lorong itu.Kendati desain setiap toko berbeda, tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok sehingga tampak rapi dipandang mata. Tidak ada satu pun sampah di sana. Kebersihannya memanjakan penglihatan.“Iya atau nggak sama sekali?” desak Cantika berhenti melangkah.Ben terdiam dan memejamkan mata erat-erat. Lima menit mungkin cukup untuh menggerakkan hati Cantika. Lima menit mungkin bisa menggoyahkan pilihannya. Tapi ... apakah dia mampu?Cantika sudah terlampau terluka. Saat mereka bertemu, tidak ada lagi binar kerinduan yang pernah dilihatnya. Penyesalan, benci, dan muak mungkin telah menggantikan perasaan itu. Meski kemungkinan untuk membuat Cantika luluh sangatlah kecil, Ben tetap ingin memcoba memperbaiki mereka.“
“Maybe it’s too late, tapi aku pengin dengar sendiri dari kamu. Katanya ... kamu hamil. Gimana kabar kamu, gimana kabarnya? I am so sorry, you went through a lot withouth me,” ucap Ben sungguh-sungguh“Kabar? Kamu nanya kabar sekarang??” Nadanya meninggi. Cantika mendengkus sinis. “Jangan bercanda! Ke mana aja kamu selama ini?” Disentaknya tangan Ben kasar.“Aku diusir mamaku. Aku nggak punya tempat pulang. Biarpun Olin dan Miko rela nampung aku, tapi nggak ada satu hari pun tanpa rasa bersalah setiap bertatapan sama Miko. Aku juga nggak bisa libatin Olin di antara masalahku sama Miko. Menurut kamu, gimana kabarku? Apa aku bisa lebih baik-baik aja dari pada sekarang?” Cantika menunjukkan senyum getirnya.Ben berdiri dari bangkunya, menatap Cantika dalam. “Aku benar-benar menyesal. Harusnya saat itu aku di samping kamu. Aku terlalu egois dan berengsek karena cuma mikirin diriku sendiri.”Entah sudah berapa ribu maaf yang dilontarkan Ben, rasanya Cantika sudah muak. Pada akhirnya mereka
Nada sambung telepon yang menyambut di seberang membuatnya tak sabar. Ben terus mengentak-entakan kaki di lantai. Notifikasi pesan dari Theo yang sejak pagi diabaikannya berubah menjadi suatu urgensi ketika Ben membukanya malam ini.Pesan yang dikirim Theo belakangan ini sering tidak penting dan absurd. Theo melaporkan segala kegiatannya pada Ben setiap perjalanan kerja ke luar kantor membuat Ben kerap kali jengah dan mengabaikannya.Perkara hewan liar yang ditemui Theo di jalan, barang incarannya, sarapannya, makan siangnya, makan malamnya, tempat Theo pergi, kadang juga foto selfie! Orang lain yang melihatnya mungkin akan mengira Theo abnormal. Bahkan Ben sudah lebih dulu berpikir demikian.Namun dari sekian ribu pesan yang dikirim Theo, baru kali ini ada pesan yang berbobot. Foto seseorang yang diambil Theo berlatar kedai kopi. Itu sebabnya ketika panggilannya dijawab, Ben tidak membuang waktu.“Di mana lo ambil foto itu?” tanya Ben berusaha tetap datar.“Gue kan udah bilang gue ke
Seorang perempuan duduk dengan kaki bersilang di sebuah toko kue. Rambut panjangnya melewati bahu, lurus, dan terkuncir rapi. Kaus lengan panjang bergaris dan celana panjang linennya tampak sangat nyaman. Sesekali perempuan itu melirik keluar jendela kaca di sebelahnya sambil mendengarkan orang yang mengoceh dari airpods hitam yang menyumbat satu telinganya. “Gue nggak habis pikir ya, sama tuh anak. Dia anggap apa gue selama ini? Udah setahun, tapi masih nggak ada kabar sama sekali. Email atau chat pun nggak. Apanya yang jangan dicari? Apanya yang tenang aja? Kalo begini terus, dia bisa bikin gue darah tinggi! Awas aja kalau dia pulang sambil cengengesan atau pasang tampang centilnya kayak biasa, gue jitakin itu anak!” “Sabar, Lin. Sabar ...” Seorang perempuan berseragam toko membawakan segelas minuman ke mejanya. Ada gelas latte kosong dan sepiring pastry yang hanya tersisa sesuap lagi di hadapan perempuan berkuncir itu. “Gimana bisa sabar?! Ini bukan seminggu atau sebulan lagi, ud
Ben bukan jenis orang yang sering mengakses media sosial. Kendati pernah membuat akun insta, dia tidak menggemari media sosial yang populer di kalangan masyarakat luas itu. Selama lebih dari sepuluh tahun, foto yang bertahan di akunnya hanya lima.Sebelumnya Ben pernah mengisi feed-nya dengan beberapa foto Viona dan foto mereka berdua. Sekian tahun setelah putus, Ben lalu menghapusnya. Lebih tepatnya, sesaat setelah bertemu Cantika. Karena Ben baru mulai mengakses media sosialnya kembali saat itu.Ben juga tidak tertarik menggulir beranda insta-nya untuk melihat unggahan orang-orang. Namun ketika mengenal Cantika, ia mulai menjelajahi akun miliknya yang sudah berdebu itu.Sudah satu jam sejak Ben memeriksa profil Cantika. Tidak ada unggahan terbaru di feed maupun story-nya. Perempuan itu menghilang lagi tanpa jejak. Ben membaca kolom-kolom komentar, berharap ada tanda yang bisa membantunya. Namun usahanya nihil. Cantika hanya membalas komentar-komentar di postingannya sebagai bentuk b
Belum ada satu pun dari mereka yang berani bicara. Tiga orang yang sudah dewasa itu mati kutu di depan ibunya Cantika. Aura kelam Arita mengintimidasi. Mereka hanya diam memerhatikan ketika Arita membuka kunci pagar rumahnya.“Kalian mau terus di depan sana?”Olin menelan ludah susah payah dan menoleh pada Miko dan Ben bergantian. Dua pria itu juga menatapnya, menunggu petunjuk. Begitu Olin mengangguk pelan, mereka masuk ke rumah mengekori Arita.“Saya ingat kamu,” kata Arita pada Olin meski tidak menyebut nama. “Tapi kenapa kamu datang dengan suami Cantika?”Rumah mungil itu terasa seperti pengadilan untuk Olin. Jantungnya berpacu cepat saking takut dan gugupnya. Olin memang sudah terbiasa mengabaikan cemooh orang lain terhadap dirinya. Tetapi, ia masih tidak terbiasa dengan nada tajam dan sorot menuding Arita.Menyadari perubahan sikap Olin, Miko berusaha menggantikannya menjawab. “Umm ... begini—”Namun belum selesai kalimat Miko, Arita memotong. “Kamu teman perempuan ini?” Pasti y