“Panas, Ben,” erang Cantika melepaskan bibirnya. “Sebentar, aku butuh napas.” Dia mundur untuk memberi ruang di antara mereka. Meski kamar mandi Ben lebih sejuk di banding area kolam renang, Cantika masih merasa kegerahan. Mungkin ini efek dari sengatan matahari yang benar-benar terik. “Aku udah kasih napas, ‘kan.” Ben melipat bibir tersenyum, mengusap hidungnya dengan punggung jari telunjuk, “Napas buatan.” “Dasar sableng! Ayo makan!” rutuk Cantika memukul lengan Ben. “Hmm, kayaknya aku berubah pikiran. Aku lebih pengin mandi dulu. Gimana?” Tentu saja kening Cantika langsung mengernyit heran. Kenapa Ben harus bertanya padanya kalau lelaki itu mau mandi? Dia belum terlalu lapar, masih bisa menunggu. “Gimana apa? Kamu belum mandi tadi pagi? Ya udah, sana mandi. Aku tungguin.” Kekehan renyah Ben mengudara. Dia lalu menarik pinggang Cantika dan melingkarkan lengannya di sana. “Astaga, aku lagi ngode. Masa kamu nggak peka?” “Apaan sih, pake ngode-ngode segala? Ngomong aja yang jelas
“Apa nggak sebaiknya aku pulang aja?” “Tunggu aku ya, please?” pinta Ben memelas. “Kamu masih mau keliling di sini, atau tunggu di rumah aku, terserah. Jam lima aku usahain selesai pokoknya. Kamu mau minta bantuin tugas juga ‘kan?” “Iya sih. Tapi kalo kamu sibuk, aku pulang aja juga nggak pa-pa. Biar aku kerjain sendiri.” “Kita baru ketemu sebentar. Itu pun waktunya terpakai buat foto bahan endorse kamu. Kita belum ada quality time. Memang kamu rela pulang sekarang, baru ketemu lagi entah kapan?” Jangan ditanya. Cantika tak pernah memikirkannya. Dia sih, rela-rela saja selama ini berpisah lama dengan pacar. Mungkin hal itu juga berlaku dengan Ben. Tapi belajar dari pengalaman, menghibur sedikit tidak ada salahnya. Toh, dia sudah banyak memeras keahlian Ben untuk dimanfaatkan. “Iya deh, aku tungguin. Asal jangan kemalaman, aku pulang duluan nanti.” “Gitu, dong. Sorry, ya, aku nggak bisa anter kamu. Nanti kamu naik taksi aja ke rumah aku.” Ben mengeluarkan dompet dompet dari saku c
Untuk beberapa saat, Ben dan Theo sibuk memeriksa lokasi proyek mereka. Kabarnya ada beberapa bangunan rumah yang bermasalah. Dia dan Theo dipanggil datang dengan harapan dapat memecahkan permasalahan tersebut. Mereka kemudian berkeliling memastikan masalah yang timbul tidak sampai menghambat pembangunan. Saat sinar matahari tak lagi terasa menyengat, dan angin tidak lagi berembus hangat, Ben sadar dia belum membuka ponselnya sejak mengabari Cantika kalau dia sudah tiba di lokasi. Ben lalu melihat notifikasi pesan masuk dari gadis itu yang belum dibacanya selama beberapa jam. Kiara C: Ben Kiara C: Aku jajan boba pake kartu kamu Kiara C: Aku juga tarik tunai tadi Di bawah pesan, ada sebuah foto yang memuat wajah Cantika dan segelas boba yang dibelinya. Gadis itu berpose manis, menempelkan gelas minuman tersebut ke pipi. Siapa pun yang melihatnya pasti merasa foto itu seperti iklan minuman segar. Ben membasahi bibirnya dan berusaha menahan diri agar tidak tersenyum lebar di hadapan
“Cowok gue ngajakin dinner di Hotel Eastin,” celetuk seorang perempuan dengan rambut berwarna mahogany. “Asik banget! Bintang lima ‘kan itu?” “Yoi!” “Ra, Ra ... gue liat di story lo, sering jelajah buffet macem-macem five star hotel. Gimana menurut lo buffetnya Hotel Eastin?” tanya salah satu teman sekelasnya dengan antusias. Cantika yang duduk di barisan belakang mereka mengangkat kepala, mengalihkan pandangan dari laptopnya. “B ajah,” sahutnya singkat. Sedangkan Hilda, di sebelahnya, hampir menyemprotkan tawa tertahan, tampak menyebalkan memang. Tapi dia merasa puas, karena Jeni yang duduk di depan mereka terkenal tukang pamer. Hilda bisa melihat raut wajah Jeni berubah cemberut, persis wajah Squidward. Sedangkan Merlin dengan tidak pekanya lanjut bertanya pada Cantika, seolah menyerahkan panggung unjuk diri pada gadis cantik itu. “Oh ... kalo sejauh ini, menurut lo yang paling enak di mana, Ra?” Merlin tampak tertarik mendengar pengalaman Cantika. “Menurut gue, semua buffet
Cantika menatap warna baru rambutnya di cermin, cotton candy pink ombre di bagian bawah rambutnya tampak semakin menyolok. Bentuk wajahnya yang tirus dan kulitnya yang bersih membuat ia semakin menyerupai boneka Barbie berjalan. Sejujurnya Cantika tidak suka menjadi terlalu menyolok seperti ini. Apalagi warna rambutnya yang terlalu ekstrem membuat dia harus melewati proses bleaching beberapa kali. Tapi, terpaksa dilakukannya karena mendapat bayaran lebih besar. Dia membutuhkan uang itu untuk memenuhi keperluan kuliahnya. Terakhir waktu datang ke studio Olin, Cantika menanyakan pekerjaan baru. Tetapi Olin malah balik bertanya, berapa jumlah yang dia butuhkan. Mana mungkin Cantika bisa berkata jujur. Wanita itu pasti tidak akan ragu mentransfer seumlah uang ke rekeningnya. Namun, Cantika tidak mau menyinggung perasaan Olin dengan mendebat dari mana uang itu berasal. Mereka semua tahu, tak semua bilangan di rekening Olin berasal dari pendapatan studionya. Itulah alasan mengapa Cantika
“Brutal.” “Hm?” “Kamu terlalu brutal,” celetuk Cantika sembari merapikan pakaian. Mereka saling membelakangi sesuai perintah Cantika. Yang ditegur tertawa tanpa rasa berdosa, “Siapa coba yang mulai?” meloloskan kaus putihnya turun dari kepala. “Aku cuma cium kamu.” Dengan bibir mengerucut, Cantika meluncurkan protes. “Tapi kamu suka. Biasanya kamu bakal berisik berusaha kabur, tadi kamu pasrah. Berarti kamu suka ‘kan?” Baiklah. Cantika mengakui kekalahannya. Dia tidak bisa membalas sama sekali. Jika Cantika adalah perempuan paling gamblang, eksentrik, dan cuek; maka Ben adalah lelaki paling gendeng, tidak punya malu, dan persuasif. Dia jago. Mereka berdua ahli. Terutama dalam berciuman. Mulut dan bibir mereka yang menyatu seperti tercipta untuk saling mengisi dan melengkapi. Seperti itulah pagutan yang dirasakan mereka. Sejauh ini, sifat mereka cocok. Selain pertengkarang yang pernah terjadi di antara mereka, tidak pernah ada selisih pendapat lagi—atau lebih tepatnya mungkin,
“Ben, ini ... apa-apaan?” Hanya itu yang mampu keluar dari mulut Cantika saat menghadapi situasi kacau di depannya. Otak Cantika membeku sesaat. Keluarga? Lamar? Sudah lama bersama?? Apa-apaan ini maksudnya? Cantika merasa seolah menjadi orang paling tolol sedunia. Dia bahkan baru saja bermesraan dengan Ben di rumahnya meski tak memasuki tahap bercinta. Lalu sekarang, apa yang didengarnya? Percakapan antara wanita yang kemungkinan adalah ibu dan kekasih Ben? “Nah, itu Ben,” ucap Ana menyadari kehadiran Ben. Beberapa pasang mata yang menempati di meja itu mengikuti arah pandang Ana. Salah satu perempuan yang terlihat paling muda, Julia, dengan wajah cueknya berkata, “Sama siapa dia?” Ben menoleh sekilas ke arah meja itu. “Can, biar aku jelasin.” Lalu membasahi bibirnya, merasa serba salah. “Jelasin apa, berengsek?!” sergah Cantika dengan suara tertahan. Sekali lagi harga dirinya tercabik. “Jelasin kalo kamu udah punya calon istri dan mau nikah?” Sungguh, dia tidak ingin memper
Notifikasi masuk satu per satu membanjiri ponsel Olin ketika baru mengaktifkannya. Pesan dari operator, notifikasi marketplace, media sosial, pesan masuk, serta panggilan tak terjawab dari Cantika. Kenapa lagi anak itu? Pikir Olin. Belakangan ini Olin disibukkan oleh ‘pria gelap’—sebutan dari Olin untuk Dan—kenalan Bayu sehingga sulit bertemu dengan teman-temannya. Belum lagi jatah waktu menemani Bayu masih seperti biasa, tak berkurang. Dalam seminggu dia harus melayani kedua pria itu bergantian, atau bahkan bersamaan. Rasanya tenaganya hampir terkuras habis. Meskipun harus diak ui, Olin menyukai sensasi bercinta dengan Dan, si pria misterius itu, tapi bukan begini caranya. Mungkin dia harus lebih tegas menentukan jadwal untuk mereka. Olin mencari kontak Cantika di ponselnya, lalu menelepon perempuan itu. “Kenapa? Tadi lo nyari gue?” Sebelum orang yang ditelepon menyapa, Olin sudah lebih dulu bicara. “Hmm ...?” Dari suaranya yang serak, Olin menduga gadis itu pasti sedang berada d