“Apa nggak sebaiknya aku pulang aja?” “Tunggu aku ya, please?” pinta Ben memelas. “Kamu masih mau keliling di sini, atau tunggu di rumah aku, terserah. Jam lima aku usahain selesai pokoknya. Kamu mau minta bantuin tugas juga ‘kan?” “Iya sih. Tapi kalo kamu sibuk, aku pulang aja juga nggak pa-pa. Biar aku kerjain sendiri.” “Kita baru ketemu sebentar. Itu pun waktunya terpakai buat foto bahan endorse kamu. Kita belum ada quality time. Memang kamu rela pulang sekarang, baru ketemu lagi entah kapan?” Jangan ditanya. Cantika tak pernah memikirkannya. Dia sih, rela-rela saja selama ini berpisah lama dengan pacar. Mungkin hal itu juga berlaku dengan Ben. Tapi belajar dari pengalaman, menghibur sedikit tidak ada salahnya. Toh, dia sudah banyak memeras keahlian Ben untuk dimanfaatkan. “Iya deh, aku tungguin. Asal jangan kemalaman, aku pulang duluan nanti.” “Gitu, dong. Sorry, ya, aku nggak bisa anter kamu. Nanti kamu naik taksi aja ke rumah aku.” Ben mengeluarkan dompet dompet dari saku c
Untuk beberapa saat, Ben dan Theo sibuk memeriksa lokasi proyek mereka. Kabarnya ada beberapa bangunan rumah yang bermasalah. Dia dan Theo dipanggil datang dengan harapan dapat memecahkan permasalahan tersebut. Mereka kemudian berkeliling memastikan masalah yang timbul tidak sampai menghambat pembangunan. Saat sinar matahari tak lagi terasa menyengat, dan angin tidak lagi berembus hangat, Ben sadar dia belum membuka ponselnya sejak mengabari Cantika kalau dia sudah tiba di lokasi. Ben lalu melihat notifikasi pesan masuk dari gadis itu yang belum dibacanya selama beberapa jam. Kiara C: Ben Kiara C: Aku jajan boba pake kartu kamu Kiara C: Aku juga tarik tunai tadi Di bawah pesan, ada sebuah foto yang memuat wajah Cantika dan segelas boba yang dibelinya. Gadis itu berpose manis, menempelkan gelas minuman tersebut ke pipi. Siapa pun yang melihatnya pasti merasa foto itu seperti iklan minuman segar. Ben membasahi bibirnya dan berusaha menahan diri agar tidak tersenyum lebar di hadapan
“Cowok gue ngajakin dinner di Hotel Eastin,” celetuk seorang perempuan dengan rambut berwarna mahogany.“Asik banget! Bintang lima ‘kan itu?”“Yoi!”“Ra, Ra ... gue liat di story lo, sering jelajah buffet macem-macem five star hotel. Gimana menurut lo buffetnya Hotel Eastin?” tanya salah satu teman sekelasnya dengan antusias.Cantika yang duduk di barisan belakang mereka mengangkat kepala, mengalihkan pandangan dari laptopnya. “B ajah,” sahutnya singkat.Sedangkan Hilda, di sebelahnya, hampir menyemprotkan tawa tertahan, tampak menyebalkan memang. Tapi dia merasa puas, karena Jeni yang duduk di depan mereka terkenal tukang pamer.Hilda bisa melihat raut wajah Jeni berubah cemberut, persis wajah Squidward. Sedangkan Merlin dengan tidak pekanya lanjut bertanya pada Cantika, seolah menyerahkan panggung unjuk diri pada gadis cantik itu.“Oh ... kalo sejauh ini, menurut lo yang paling enak di mana, Ra?” Merlin tampak tertarik mendengar pengalaman Cantika.“Menurut gue, semua buffet hotel ra
Cantika menatap warna baru rambutnya di cermin, cotton candy pink ombre di bagian bawah rambutnya tampak semakin menyolok. Bentuk wajahnya yang tirus dan kulitnya yang bersih membuat ia semakin menyerupai boneka Barbie berjalan. Sejujurnya Cantika tidak suka menjadi terlalu menyolok seperti ini. Apalagi warna rambutnya yang terlalu ekstrem membuat dia harus melewati proses bleaching beberapa kali. Tapi, terpaksa dilakukannya karena mendapat bayaran lebih besar. Dia membutuhkan uang itu untuk memenuhi keperluan kuliahnya. Terakhir waktu datang ke studio Olin, Cantika menanyakan pekerjaan baru. Tetapi Olin malah balik bertanya, berapa jumlah yang dia butuhkan. Mana mungkin Cantika bisa berkata jujur. Wanita itu pasti tidak akan ragu mentransfer seumlah uang ke rekeningnya. Namun, Cantika tidak mau menyinggung perasaan Olin dengan mendebat dari mana uang itu berasal. Mereka semua tahu, tak semua bilangan di rekening Olin berasal dari pendapatan studionya. Itulah alasan mengapa Cantika
“Brutal.” “Hm?” “Kamu terlalu brutal,” celetuk Cantika sembari merapikan pakaian. Mereka saling membelakangi sesuai perintah Cantika. Yang ditegur tertawa tanpa rasa berdosa, “Siapa coba yang mulai?” meloloskan kaus putihnya turun dari kepala. “Aku cuma cium kamu.” Dengan bibir mengerucut, Cantika meluncurkan protes. “Tapi kamu suka. Biasanya kamu bakal berisik berusaha kabur, tadi kamu pasrah. Berarti kamu suka ‘kan?” Baiklah. Cantika mengakui kekalahannya. Dia tidak bisa membalas sama sekali. Jika Cantika adalah perempuan paling gamblang, eksentrik, dan cuek; maka Ben adalah lelaki paling gendeng, tidak punya malu, dan persuasif. Dia jago. Mereka berdua ahli. Terutama dalam berciuman. Mulut dan bibir mereka yang menyatu seperti tercipta untuk saling mengisi dan melengkapi. Seperti itulah pagutan yang dirasakan mereka. Sejauh ini, sifat mereka cocok. Selain pertengkarang yang pernah terjadi di antara mereka, tidak pernah ada selisih pendapat lagi—atau lebih tepatnya mungkin,
“Ben, ini ... apa-apaan?” Hanya itu yang mampu keluar dari mulut Cantika saat menghadapi situasi kacau di depannya. Otak Cantika membeku sesaat. Keluarga? Lamar? Sudah lama bersama?? Apa-apaan ini maksudnya? Cantika merasa seolah menjadi orang paling tolol sedunia. Dia bahkan baru saja bermesraan dengan Ben di rumahnya meski tak memasuki tahap bercinta. Lalu sekarang, apa yang didengarnya? Percakapan antara wanita yang kemungkinan adalah ibu dan kekasih Ben? “Nah, itu Ben,” ucap Ana menyadari kehadiran Ben. Beberapa pasang mata yang menempati di meja itu mengikuti arah pandang Ana. Salah satu perempuan yang terlihat paling muda, Julia, dengan wajah cueknya berkata, “Sama siapa dia?” Ben menoleh sekilas ke arah meja itu. “Can, biar aku jelasin.” Lalu membasahi bibirnya, merasa serba salah. “Jelasin apa, berengsek?!” sergah Cantika dengan suara tertahan. Sekali lagi harga dirinya tercabik. “Jelasin kalo kamu udah punya calon istri dan mau nikah?” Sungguh, dia tidak ingin memper
Notifikasi masuk satu per satu membanjiri ponsel Olin ketika baru mengaktifkannya. Pesan dari operator, notifikasi marketplace, media sosial, pesan masuk, serta panggilan tak terjawab dari Cantika. Kenapa lagi anak itu? Pikir Olin. Belakangan ini Olin disibukkan oleh ‘pria gelap’—sebutan dari Olin untuk Dan—kenalan Bayu sehingga sulit bertemu dengan teman-temannya. Belum lagi jatah waktu menemani Bayu masih seperti biasa, tak berkurang. Dalam seminggu dia harus melayani kedua pria itu bergantian, atau bahkan bersamaan. Rasanya tenaganya hampir terkuras habis. Meskipun harus diak ui, Olin menyukai sensasi bercinta dengan Dan, si pria misterius itu, tapi bukan begini caranya. Mungkin dia harus lebih tegas menentukan jadwal untuk mereka. Olin mencari kontak Cantika di ponselnya, lalu menelepon perempuan itu. “Kenapa? Tadi lo nyari gue?” Sebelum orang yang ditelepon menyapa, Olin sudah lebih dulu bicara. “Hmm ...?” Dari suaranya yang serak, Olin menduga gadis itu pasti sedang berada d
“Minggir!” Viona menarik tangan wanita itu. Wanita yang dilihatnya sedang berciuman dengan pria—yang menurutnya sendiri—berstatus calon suaminya. Kedua orang yang sedang berpagutan di depan meja bar kontan menghentikan kemesraan mereka. Ben langsung melirik Viona dengan tajam. “Siapa anak cosplay tadi?” sergah Viona tak sabar. Wanita yang sedang bersama Ben memandang kesal Viona, lalu beralih pada Ben meminta penjelasan. Tetapi karena Ben hanya diam meliriknya sekilas, tampak tak berniat memberikan penjelasan, wanita itu akhirnya menghentak heels runcingnya pergi dari sana. Menabrak bahu Ben jengkel saat meninggalkan mereka berdua. “Bukan urusan kamu.” “Jangan bilang dia mau dikenalin ke mama kamu?” “Bukan urusan kamu, Viona. Selama ini kamu selalu pura-pura diam, bertingkah seolah kamu korban setiap aku jalan sama siapa pun. Sekarang ada apa sama kamu? Udah nggak mau pura-pura jadi innocent woman lagi?” Sosok yang biasanya tampak cantik, ringkih, dan lemah lembut itu kini benar
“Kamu tau kan, aku udah kenal sama Pak Dany?” Ben buru-buru menambahkan saat melihat mata kecokelatan Cantika nyaris keluar dari tempatnya. Raut wanita itu bercampur antara ngeri, kaget, dan tak percaya “Karena kerjaan, aku sering pergi meeting sama Om kamu—desain rumahnya, desain kantor dan kantor cabangnya. Pak Dany orang yang ramah dan supel. Beberapa kali kami ketemu di luar jam kerja. Aku dikenalin ke circle teman-teman bisnisnya. Dari situ aku jadi tau, kalau dia pebisnis yang hebat, tapi bukan suami yang baik. Orang-orang yang aku temui itu kurang lebih punya skandal yang mirip atau bahkan lebih parah dari Pak Dany.” Informasi ini terlalu banyak untuk dicerna. Mulut Cantika sampai menganga bingung, merunut penjelasan dari Ben satu persatu. “Kamu pasti merasa canggung setiap ketemu Tante Grace. Karena itu yang aku rasain,” komentar Cantika kemudian. Ben tersenyum tipis sebagai tanda setuju. “Tapi, apa hubungannya sama Olin? Kenapa Om Dany nyuruh kamu ... sama ...” Kalimat C
“Kamu ingat, pertama kali kita ketemu?” Jemari tangan Ben tenggelam di antara helaian rambut hitam Cantika, menyisirnya lembut. Sementara Cantika menyandarkan kepala di ceruk leher Ben. Mengenang pertemuan awal mereka.Cantika masih berada di kamar hotel tempat Ben menginap. Sekian lama tidak bertemu, ada kesempatan duduk berdua dengan tenang. Rasanya sangat banyak yang ingin dibicarakan.“Mana mungkin lupa? Pertemuan paling absurd dan kacau seumur hidupku.”“Dan paling memalukan dalam sejarahku,” Ben tertawa. “Aku juga nggak tau, kenapa aku bisa segila itu. Kayaknya paling parah selama aku mabuk.”“Apanya yang paling parah? Kayaknya kebiasaan mabuk kamu memang jelek. Kalau bukan karena ada aku sama Ubay, malam itu kamu hampir terguling jatuh dari tangga kantor, nyaris jadi sushi roll. Jangan sampai kamu mabuk di depan orang lain, apa lagi cewek, malu-maluin!”Ben menyeringai, mengangkat dagu Cantika. “Kamu takut aku nyentuh cewek lain?”Selama dua detik Cantika menatap mata biru safi
Butuh waktu bagi Cantika untuk menceritakan semuanya pada Ben. Mulai dari pertengkaran dengan ibunya sebelum pergi, niatnya untuk menggugurkan kandungan yang kemudian dibatalkan, kepergiannya dengan bantuan petunjuk dari Sheril, higga kehidupannya di Sydney.Lalu, kecelakaan yang membuat Cantika mengalami pendarahan terjadi. Awal petaka bagi janinnya. Jika memaksakan untuk tetap mengandung dan melahirkan, kemungkinan lahir dengan fisik dan organ yang cacat adalah 90 persen, sementara hidupnya dipertaruhkan.Alasan mengapa teman-teman di tempat kerjanya begitu ketat menjaga dan melindungi Cantika adalah karena kecelakaan tersebut disebabkan oleh seorang penguntit yang mengikuti Cantika di jalan pulang.Ben amat marah mendengar rangkaian cerita itu. Bukan marah kepada Cantika, marah kepada dirinya yang tidak ada di sana melindungi Cantika dan anak mereka. Marah kepada pria-pria yang mengganggu Cantika.“Karena bukan pertama kalinya ada orang yang terang-terangan nunjukkin ketertarikan m
“Aku tau kamu masih marah, tapi jangan ambil keputusan impulsif kayak gitu, Can.”Ben mengikuti Cantika keluar dari kedai yang sudah tutup. Melewati selasar toko-toko menuju ke jalan besar. Paving tegel batu terbentang di sepanjang selasar, menguarkan nuansa abu-abu pada lorong itu.Kendati desain setiap toko berbeda, tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok sehingga tampak rapi dipandang mata. Tidak ada satu pun sampah di sana. Kebersihannya memanjakan penglihatan.“Iya atau nggak sama sekali?” desak Cantika berhenti melangkah.Ben terdiam dan memejamkan mata erat-erat. Lima menit mungkin cukup untuh menggerakkan hati Cantika. Lima menit mungkin bisa menggoyahkan pilihannya. Tapi ... apakah dia mampu?Cantika sudah terlampau terluka. Saat mereka bertemu, tidak ada lagi binar kerinduan yang pernah dilihatnya. Penyesalan, benci, dan muak mungkin telah menggantikan perasaan itu. Meski kemungkinan untuk membuat Cantika luluh sangatlah kecil, Ben tetap ingin memcoba memperbaiki mereka.“
“Maybe it’s too late, tapi aku pengin dengar sendiri dari kamu. Katanya ... kamu hamil. Gimana kabar kamu, gimana kabarnya? I am so sorry, you went through a lot withouth me,” ucap Ben sungguh-sungguh“Kabar? Kamu nanya kabar sekarang??” Nadanya meninggi. Cantika mendengkus sinis. “Jangan bercanda! Ke mana aja kamu selama ini?” Disentaknya tangan Ben kasar.“Aku diusir mamaku. Aku nggak punya tempat pulang. Biarpun Olin dan Miko rela nampung aku, tapi nggak ada satu hari pun tanpa rasa bersalah setiap bertatapan sama Miko. Aku juga nggak bisa libatin Olin di antara masalahku sama Miko. Menurut kamu, gimana kabarku? Apa aku bisa lebih baik-baik aja dari pada sekarang?” Cantika menunjukkan senyum getirnya.Ben berdiri dari bangkunya, menatap Cantika dalam. “Aku benar-benar menyesal. Harusnya saat itu aku di samping kamu. Aku terlalu egois dan berengsek karena cuma mikirin diriku sendiri.”Entah sudah berapa ribu maaf yang dilontarkan Ben, rasanya Cantika sudah muak. Pada akhirnya mereka
Nada sambung telepon yang menyambut di seberang membuatnya tak sabar. Ben terus mengentak-entakan kaki di lantai. Notifikasi pesan dari Theo yang sejak pagi diabaikannya berubah menjadi suatu urgensi ketika Ben membukanya malam ini.Pesan yang dikirim Theo belakangan ini sering tidak penting dan absurd. Theo melaporkan segala kegiatannya pada Ben setiap perjalanan kerja ke luar kantor membuat Ben kerap kali jengah dan mengabaikannya.Perkara hewan liar yang ditemui Theo di jalan, barang incarannya, sarapannya, makan siangnya, makan malamnya, tempat Theo pergi, kadang juga foto selfie! Orang lain yang melihatnya mungkin akan mengira Theo abnormal. Bahkan Ben sudah lebih dulu berpikir demikian.Namun dari sekian ribu pesan yang dikirim Theo, baru kali ini ada pesan yang berbobot. Foto seseorang yang diambil Theo berlatar kedai kopi. Itu sebabnya ketika panggilannya dijawab, Ben tidak membuang waktu.“Di mana lo ambil foto itu?” tanya Ben berusaha tetap datar.“Gue kan udah bilang gue ke
Seorang perempuan duduk dengan kaki bersilang di sebuah toko kue. Rambut panjangnya melewati bahu, lurus, dan terkuncir rapi. Kaus lengan panjang bergaris dan celana panjang linennya tampak sangat nyaman. Sesekali perempuan itu melirik keluar jendela kaca di sebelahnya sambil mendengarkan orang yang mengoceh dari airpods hitam yang menyumbat satu telinganya. “Gue nggak habis pikir ya, sama tuh anak. Dia anggap apa gue selama ini? Udah setahun, tapi masih nggak ada kabar sama sekali. Email atau chat pun nggak. Apanya yang jangan dicari? Apanya yang tenang aja? Kalo begini terus, dia bisa bikin gue darah tinggi! Awas aja kalau dia pulang sambil cengengesan atau pasang tampang centilnya kayak biasa, gue jitakin itu anak!” “Sabar, Lin. Sabar ...” Seorang perempuan berseragam toko membawakan segelas minuman ke mejanya. Ada gelas latte kosong dan sepiring pastry yang hanya tersisa sesuap lagi di hadapan perempuan berkuncir itu. “Gimana bisa sabar?! Ini bukan seminggu atau sebulan lagi, ud
Ben bukan jenis orang yang sering mengakses media sosial. Kendati pernah membuat akun insta, dia tidak menggemari media sosial yang populer di kalangan masyarakat luas itu. Selama lebih dari sepuluh tahun, foto yang bertahan di akunnya hanya lima.Sebelumnya Ben pernah mengisi feed-nya dengan beberapa foto Viona dan foto mereka berdua. Sekian tahun setelah putus, Ben lalu menghapusnya. Lebih tepatnya, sesaat setelah bertemu Cantika. Karena Ben baru mulai mengakses media sosialnya kembali saat itu.Ben juga tidak tertarik menggulir beranda insta-nya untuk melihat unggahan orang-orang. Namun ketika mengenal Cantika, ia mulai menjelajahi akun miliknya yang sudah berdebu itu.Sudah satu jam sejak Ben memeriksa profil Cantika. Tidak ada unggahan terbaru di feed maupun story-nya. Perempuan itu menghilang lagi tanpa jejak. Ben membaca kolom-kolom komentar, berharap ada tanda yang bisa membantunya. Namun usahanya nihil. Cantika hanya membalas komentar-komentar di postingannya sebagai bentuk b
Belum ada satu pun dari mereka yang berani bicara. Tiga orang yang sudah dewasa itu mati kutu di depan ibunya Cantika. Aura kelam Arita mengintimidasi. Mereka hanya diam memerhatikan ketika Arita membuka kunci pagar rumahnya.“Kalian mau terus di depan sana?”Olin menelan ludah susah payah dan menoleh pada Miko dan Ben bergantian. Dua pria itu juga menatapnya, menunggu petunjuk. Begitu Olin mengangguk pelan, mereka masuk ke rumah mengekori Arita.“Saya ingat kamu,” kata Arita pada Olin meski tidak menyebut nama. “Tapi kenapa kamu datang dengan suami Cantika?”Rumah mungil itu terasa seperti pengadilan untuk Olin. Jantungnya berpacu cepat saking takut dan gugupnya. Olin memang sudah terbiasa mengabaikan cemooh orang lain terhadap dirinya. Tetapi, ia masih tidak terbiasa dengan nada tajam dan sorot menuding Arita.Menyadari perubahan sikap Olin, Miko berusaha menggantikannya menjawab. “Umm ... begini—”Namun belum selesai kalimat Miko, Arita memotong. “Kamu teman perempuan ini?” Pasti y