Dia ingin makan. Sungguh. Cantika tidak sedang berdiet. Namun setiap kali makanan tersedia di depan mata, dia jadi tak berselera. Rasa frustrasi benar-benar memengaruhi kondisi tubuhnya. Apakah ini efek asam lambung?“Selamat datang, Kak. Mau cari apa?” sapa si penjaga apotek yang kira-kira berusia akhir dua puluhan.“Umm ... apa, ya?” Cantika sendiri bingung. Apa orang seumurannya masih perlu Curcuma plus untuk meningkatkan nafsu makan? “Obat cacing deh, Mbak.”“Mau yang merek apa?” tanya si penjaga masih dengan senyum ramah.“Terserah deh, Mbak. Pilihin aja, biar nafsu makan dan nggak kembung mual.”“Untuk anak-anak atau dewasa?”‘Duh, mbaknya banyak nanya banget sih daritadi! Keluarin semua aja, sih!’ Cantika mengeluh dalam hati. Mulai tak sabar. Tapi menjawab juga, “Dewasa.”Penjaga apotek itu melangkah ke etalase satunya, mengambil selembar obat. Tapi tidak langsung memberikan pada Cantika. Malah menatapnya dan bertanya, “Kembung aja atau lemas juga?” Mungkin karena wajah kusut C
Pesan dan telepon masuk datang bergantian. Tidak ada satu pun yang direspons, Cantika hanya melirik ponselnya frustrasi. Apa yang terjadi sama sekali berada di luar kendalinya. Dia bingung, takut, masih tak sepenuhnya percaya. Bisa saja benda itu keliru. Oleh karena itu Cantika keluar dari unitnya dan turun ke apotek di area apartemen membeli alat yang serupa dengan merek berbeda.Namun keesokan harinya, tidak ada perubahan berarti. Penemuannya masih sama. Dua garis. Cantika menjatuhkan benda di tangannya yang bergetar. Satu tangan membekap mulut. Otot-otot wajahnya menegang, kaku. Hari ini Cantika memutuskan izin tak masuk dari kantor lagi. Dia butuh waktu untuk mencerna. Untuk berpikir.Di mana letak salahnya?Seingat Cantika, dia dan Ben sudah sangat berhati-hati. Ben selalu memakai pengaman saat mereka melakukannya. Bukan berarti hubungan mereka hanya untuk memuaskan hasrat masing-masing. Di sela-sela waktu, mereka mengobrol, saling mengisi kekosongan, memanfaatkan waktu berkualit
“Byan kangeeennn banget sama Kak Can. Kok sekarang Kak Can nggak pernah anter jemput Byan lagi, sih?” sungut gadis kecil itu menggembungkan pipi, memeluk erat Cantika dari samping.“Kak Can kan udah nikah, Byan,” Caca si anak tengah menimpali. Tidak seperti adiknya, dia lebih kalem. Meski begitu Bianca duduk berimpitan di sebelah Cantika. Bisa Cantika rasakan, Bianca juga merindukannya.“Bukan karena itu aja, Caca. Aku sekarang magang juga. Jadi waktu kalian sekolah, aku kerja,” sahut Cantika mengelus puncak kepala kedua adiknya.Akhir pekan Cantika hari ini agak berbeda. Dia tidak membuat konten untuk barang-barang endorse, tidak juga bertemu Olin. Ketika akhirnya Cantika merasa tak enak badan berhari-hari, ia memilih menolak tawaran sponsor yang masuk. Untuk kerjasama yang sudah diterimanya, Cantika tidak bisa mundur. Jadi ia membawa beberapa produk ke kantor dan membuat konten saat jam istirahat. Entah itu berupa video, atau foto.Dalam waktu seminggu, Cantika marathon membuat kont
“Iya, Ma. Miko udah di lift. Nggak jemput Cantika, dia pulang duluan.” Miko melangkah keluar lift. Tangan kanannya menempelkan ponsel ke telinga, sementara tas kulitnya menggantung di bahu kiri.“Kalau libur ajak Cantika main ke rumah dong, Mik. Mama kangen Cantika. Dia masih sibuk sama kerjaan endorse?”Langkah Miko melambat sebelum berhenti. Padahal, unitnya masih tiga pintu jauhnya dari tempatnya berdiri.“Katanya lagi break sementara, kerjaan di tempat magang padat soalnya, dia sempat sakit kemarin,” jawab Miko melanjutkan langkah.Bukan hanya kerjaan, tapi juga jadwal kencan. Miko ragu Cantika hanya bekerja dengan Ben mengingat cara berpacaran mereka dulu.“Cantika sakit? Sakit apa udah ke dokter?” Miranda bertanya panik.“Kecapekan aja, Ma, nggak pa-pa. Dia udah lebih sehat.”“Ya ampun, Miko ... kamu lebih perhatian dong, sama Cantika. Mama tau kamu juga sibuk, tapi kalau bilang Cantika lagi sakit, Papa pasti kasih kamu pulang lebih awal. Nanti Mama yang bilang ke Papa, jangan t
“Nomor yang Anda tuju sedang dialihkan. Silakan—”Ben memutus sambungan ketika lagi-lagi operator yang menjawab panggilannya. Sudah seminggu batang hidung perempuan itu tidak terlihat di kantor. Ben sengaja memberinya ruang. Menyetujuinya ketika Cantika beberapa kali absen dan terlambat ke kantor. Terakhir kali ia menghubungi Cantika, wanita itu meminta pengertian darinya untuk kondisi fisik yang kurang sehat.Sulit menemui Cantika selama hampir sebulan. Di kantor, waktu mereka terbatas karena Cantika selalu pulang tepat waktu, tidak lagi menunggunya atau datang ke ruangannya. Ben tidak bisa mengunjungi Cantika selama dia masih tinggal bersama pria itu, masih berstatus istri orang. Meski Ben bisa saja mengabaikan pendapat orang lain, ia tidak ingin membuat masalah bagi Cantika.“Damn ...,” erang Ben frustrasi. Pria itu mengangkat tangan yang menggenggam ponsel menutupi wajahnya. “Again ... where are you Cantika?”Semakin Ben memaklumi, semakin menghilang wanita itu dari pandangannya.
“Selamat siang, ada yang bisa dibantu?” Dari balik meja konter, Ira menyapa ramah. “Bennedict Soren ada?” Tanpa terkesan terang-terangan, Ira memindai penampilan wanita yang datang ke kantor mereka. Warna kulitnya yang medium tan terlihat mulus dan eksotis di saat bersamaan. Crop top biru elektrik dan rok mini hitam berbahan kulit memperlihatkan tubuh dengan dada dan bokong sintal yang berbanding terbalik dari pinggang sekecil bambu milik perempuan itu. “Maaf, apa sudah ada appointment sebelumnya?” “Belum,” sahutnya datar dan dingin. Mungkin wanita muda di depannya ingin konsultasi mengenai pembangunan rumah atau kafe. Tetapi Ira tetap perlu bertanya karena biasanya klien yang datang lebih dulu ditangani oleh bagian marketing. “Mohon tunggu sebentar ya, Bu. Nanti tim marketing kami akan mengantar Ibu ke ruangan meeting.” Baru saja Ira mengangkat gagang telepon, tetapi wanita yang berdiri di depan meja konternya menyela, “Tunggu, tim marketing? Nggak denger tadi gue bilang apa? Gu
Belum ada satu pun dari mereka yang berani bicara. Tiga orang yang sudah dewasa itu mati kutu di depan ibunya Cantika. Aura kelam Arita mengintimidasi. Mereka hanya diam memerhatikan ketika Arita membuka kunci pagar rumahnya.“Kalian mau terus di depan sana?”Olin menelan ludah susah payah dan menoleh pada Miko dan Ben bergantian. Dua pria itu juga menatapnya, menunggu petunjuk. Begitu Olin mengangguk pelan, mereka masuk ke rumah mengekori Arita.“Saya ingat kamu,” kata Arita pada Olin meski tidak menyebut nama. “Tapi kenapa kamu datang dengan suami Cantika?”Rumah mungil itu terasa seperti pengadilan untuk Olin. Jantungnya berpacu cepat saking takut dan gugupnya. Olin memang sudah terbiasa mengabaikan cemooh orang lain terhadap dirinya. Tetapi, ia masih tidak terbiasa dengan nada tajam dan sorot menuding Arita.Menyadari perubahan sikap Olin, Miko berusaha menggantikannya menjawab. “Umm ... begini—”Namun belum selesai kalimat Miko, Arita memotong. “Kamu teman perempuan ini?” Pasti y
Ben bukan jenis orang yang sering mengakses media sosial. Kendati pernah membuat akun insta, dia tidak menggemari media sosial yang populer di kalangan masyarakat luas itu. Selama lebih dari sepuluh tahun, foto yang bertahan di akunnya hanya lima.Sebelumnya Ben pernah mengisi feed-nya dengan beberapa foto Viona dan foto mereka berdua. Sekian tahun setelah putus, Ben lalu menghapusnya. Lebih tepatnya, sesaat setelah bertemu Cantika. Karena Ben baru mulai mengakses media sosialnya kembali saat itu.Ben juga tidak tertarik menggulir beranda insta-nya untuk melihat unggahan orang-orang. Namun ketika mengenal Cantika, ia mulai menjelajahi akun miliknya yang sudah berdebu itu.Sudah satu jam sejak Ben memeriksa profil Cantika. Tidak ada unggahan terbaru di feed maupun story-nya. Perempuan itu menghilang lagi tanpa jejak. Ben membaca kolom-kolom komentar, berharap ada tanda yang bisa membantunya. Namun usahanya nihil. Cantika hanya membalas komentar-komentar di postingannya sebagai bentuk b