“Byan kangeeennn banget sama Kak Can. Kok sekarang Kak Can nggak pernah anter jemput Byan lagi, sih?” sungut gadis kecil itu menggembungkan pipi, memeluk erat Cantika dari samping.“Kak Can kan udah nikah, Byan,” Caca si anak tengah menimpali. Tidak seperti adiknya, dia lebih kalem. Meski begitu Bianca duduk berimpitan di sebelah Cantika. Bisa Cantika rasakan, Bianca juga merindukannya.“Bukan karena itu aja, Caca. Aku sekarang magang juga. Jadi waktu kalian sekolah, aku kerja,” sahut Cantika mengelus puncak kepala kedua adiknya.Akhir pekan Cantika hari ini agak berbeda. Dia tidak membuat konten untuk barang-barang endorse, tidak juga bertemu Olin. Ketika akhirnya Cantika merasa tak enak badan berhari-hari, ia memilih menolak tawaran sponsor yang masuk. Untuk kerjasama yang sudah diterimanya, Cantika tidak bisa mundur. Jadi ia membawa beberapa produk ke kantor dan membuat konten saat jam istirahat. Entah itu berupa video, atau foto.Dalam waktu seminggu, Cantika marathon membuat kont
“Iya, Ma. Miko udah di lift. Nggak jemput Cantika, dia pulang duluan.” Miko melangkah keluar lift. Tangan kanannya menempelkan ponsel ke telinga, sementara tas kulitnya menggantung di bahu kiri.“Kalau libur ajak Cantika main ke rumah dong, Mik. Mama kangen Cantika. Dia masih sibuk sama kerjaan endorse?”Langkah Miko melambat sebelum berhenti. Padahal, unitnya masih tiga pintu jauhnya dari tempatnya berdiri.“Katanya lagi break sementara, kerjaan di tempat magang padat soalnya, dia sempat sakit kemarin,” jawab Miko melanjutkan langkah.Bukan hanya kerjaan, tapi juga jadwal kencan. Miko ragu Cantika hanya bekerja dengan Ben mengingat cara berpacaran mereka dulu.“Cantika sakit? Sakit apa udah ke dokter?” Miranda bertanya panik.“Kecapekan aja, Ma, nggak pa-pa. Dia udah lebih sehat.”“Ya ampun, Miko ... kamu lebih perhatian dong, sama Cantika. Mama tau kamu juga sibuk, tapi kalau bilang Cantika lagi sakit, Papa pasti kasih kamu pulang lebih awal. Nanti Mama yang bilang ke Papa, jangan t
“Nomor yang Anda tuju sedang dialihkan. Silakan—”Ben memutus sambungan ketika lagi-lagi operator yang menjawab panggilannya. Sudah seminggu batang hidung perempuan itu tidak terlihat di kantor. Ben sengaja memberinya ruang. Menyetujuinya ketika Cantika beberapa kali absen dan terlambat ke kantor. Terakhir kali ia menghubungi Cantika, wanita itu meminta pengertian darinya untuk kondisi fisik yang kurang sehat.Sulit menemui Cantika selama hampir sebulan. Di kantor, waktu mereka terbatas karena Cantika selalu pulang tepat waktu, tidak lagi menunggunya atau datang ke ruangannya. Ben tidak bisa mengunjungi Cantika selama dia masih tinggal bersama pria itu, masih berstatus istri orang. Meski Ben bisa saja mengabaikan pendapat orang lain, ia tidak ingin membuat masalah bagi Cantika.“Damn ...,” erang Ben frustrasi. Pria itu mengangkat tangan yang menggenggam ponsel menutupi wajahnya. “Again ... where are you Cantika?”Semakin Ben memaklumi, semakin menghilang wanita itu dari pandangannya.
“Selamat siang, ada yang bisa dibantu?” Dari balik meja konter, Ira menyapa ramah. “Bennedict Soren ada?” Tanpa terkesan terang-terangan, Ira memindai penampilan wanita yang datang ke kantor mereka. Warna kulitnya yang medium tan terlihat mulus dan eksotis di saat bersamaan. Crop top biru elektrik dan rok mini hitam berbahan kulit memperlihatkan tubuh dengan dada dan bokong sintal yang berbanding terbalik dari pinggang sekecil bambu milik perempuan itu. “Maaf, apa sudah ada appointment sebelumnya?” “Belum,” sahutnya datar dan dingin. Mungkin wanita muda di depannya ingin konsultasi mengenai pembangunan rumah atau kafe. Tetapi Ira tetap perlu bertanya karena biasanya klien yang datang lebih dulu ditangani oleh bagian marketing. “Mohon tunggu sebentar ya, Bu. Nanti tim marketing kami akan mengantar Ibu ke ruangan meeting.” Baru saja Ira mengangkat gagang telepon, tetapi wanita yang berdiri di depan meja konternya menyela, “Tunggu, tim marketing? Nggak denger tadi gue bilang apa? Gu
Belum ada satu pun dari mereka yang berani bicara. Tiga orang yang sudah dewasa itu mati kutu di depan ibunya Cantika. Aura kelam Arita mengintimidasi. Mereka hanya diam memerhatikan ketika Arita membuka kunci pagar rumahnya.“Kalian mau terus di depan sana?”Olin menelan ludah susah payah dan menoleh pada Miko dan Ben bergantian. Dua pria itu juga menatapnya, menunggu petunjuk. Begitu Olin mengangguk pelan, mereka masuk ke rumah mengekori Arita.“Saya ingat kamu,” kata Arita pada Olin meski tidak menyebut nama. “Tapi kenapa kamu datang dengan suami Cantika?”Rumah mungil itu terasa seperti pengadilan untuk Olin. Jantungnya berpacu cepat saking takut dan gugupnya. Olin memang sudah terbiasa mengabaikan cemooh orang lain terhadap dirinya. Tetapi, ia masih tidak terbiasa dengan nada tajam dan sorot menuding Arita.Menyadari perubahan sikap Olin, Miko berusaha menggantikannya menjawab. “Umm ... begini—”Namun belum selesai kalimat Miko, Arita memotong. “Kamu teman perempuan ini?” Pasti y
Ben bukan jenis orang yang sering mengakses media sosial. Kendati pernah membuat akun insta, dia tidak menggemari media sosial yang populer di kalangan masyarakat luas itu. Selama lebih dari sepuluh tahun, foto yang bertahan di akunnya hanya lima.Sebelumnya Ben pernah mengisi feed-nya dengan beberapa foto Viona dan foto mereka berdua. Sekian tahun setelah putus, Ben lalu menghapusnya. Lebih tepatnya, sesaat setelah bertemu Cantika. Karena Ben baru mulai mengakses media sosialnya kembali saat itu.Ben juga tidak tertarik menggulir beranda insta-nya untuk melihat unggahan orang-orang. Namun ketika mengenal Cantika, ia mulai menjelajahi akun miliknya yang sudah berdebu itu.Sudah satu jam sejak Ben memeriksa profil Cantika. Tidak ada unggahan terbaru di feed maupun story-nya. Perempuan itu menghilang lagi tanpa jejak. Ben membaca kolom-kolom komentar, berharap ada tanda yang bisa membantunya. Namun usahanya nihil. Cantika hanya membalas komentar-komentar di postingannya sebagai bentuk b
Seorang perempuan duduk dengan kaki bersilang di sebuah toko kue. Rambut panjangnya melewati bahu, lurus, dan terkuncir rapi. Kaus lengan panjang bergaris dan celana panjang linennya tampak sangat nyaman. Sesekali perempuan itu melirik keluar jendela kaca di sebelahnya sambil mendengarkan orang yang mengoceh dari airpods hitam yang menyumbat satu telinganya. “Gue nggak habis pikir ya, sama tuh anak. Dia anggap apa gue selama ini? Udah setahun, tapi masih nggak ada kabar sama sekali. Email atau chat pun nggak. Apanya yang jangan dicari? Apanya yang tenang aja? Kalo begini terus, dia bisa bikin gue darah tinggi! Awas aja kalau dia pulang sambil cengengesan atau pasang tampang centilnya kayak biasa, gue jitakin itu anak!” “Sabar, Lin. Sabar ...” Seorang perempuan berseragam toko membawakan segelas minuman ke mejanya. Ada gelas latte kosong dan sepiring pastry yang hanya tersisa sesuap lagi di hadapan perempuan berkuncir itu. “Gimana bisa sabar?! Ini bukan seminggu atau sebulan lagi, ud
Nada sambung telepon yang menyambut di seberang membuatnya tak sabar. Ben terus mengentak-entakan kaki di lantai. Notifikasi pesan dari Theo yang sejak pagi diabaikannya berubah menjadi suatu urgensi ketika Ben membukanya malam ini.Pesan yang dikirim Theo belakangan ini sering tidak penting dan absurd. Theo melaporkan segala kegiatannya pada Ben setiap perjalanan kerja ke luar kantor membuat Ben kerap kali jengah dan mengabaikannya.Perkara hewan liar yang ditemui Theo di jalan, barang incarannya, sarapannya, makan siangnya, makan malamnya, tempat Theo pergi, kadang juga foto selfie! Orang lain yang melihatnya mungkin akan mengira Theo abnormal. Bahkan Ben sudah lebih dulu berpikir demikian.Namun dari sekian ribu pesan yang dikirim Theo, baru kali ini ada pesan yang berbobot. Foto seseorang yang diambil Theo berlatar kedai kopi. Itu sebabnya ketika panggilannya dijawab, Ben tidak membuang waktu.“Di mana lo ambil foto itu?” tanya Ben berusaha tetap datar.“Gue kan udah bilang gue ke