“Aku akui sejak dulu aku selalu terobsesi untuk menjadi yang terbaik dan melebihi ayahmu,” gumam Alexei seraya tersenyum miris. “Karena obsesiku itu, aku malah menumpukan segala harapanku kepada Nick dan malah mendesaknya terlalu jauh hingga membuatnya merasa tertekan.”Reinhard tertegun, mengamati ekspresi pamannya yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Pria paruh baya itu terlihat sangat rapuh seolah ia dapat langsung meruntuhkannya dalam sejentik jarinya.“Yang berlalu tidak usah diungkit lagi, Paman,” timpal Reinhard dengan tetap berekspresi datar.Akan tetapi, Alexei menggeleng pelan. “Ambisiku membuat Nick jadi terlalu terobsesi untuk membuktikan dirinya. Dia ingin menunjukkan bahwa dia pantas mendapatkan kepercayaanku dan tidak akan menghancurkan harapanku. Tapi, ternyata ….”Alexei menghela napas panjang sejenak, lalu melanjutkan dengan suara yang terdengar getir, “akhirnya dia malah menghancurkan dirinya sendiri dan malah mengorbankan Nexus.”Alexei tertunduk dalam, menunjukk
“Jadi, sebenarnya apa alasan Paman mengajakku bertemu malam ini? Aku rasa Paman bukan ingin aku datang untuk mendengar curhat Paman saja, kan?” ujar Reinhard dengan nada sarkastik seraya meletakkan ponsel milik pamannya di atas meja.Alexei menghela napas panjang dan menatap Reinhard dengan tatapan serius. Walaupun ucapan Reinhard tidak enak didengar, tetapi saat ini Alexei terpaksa mengesampingkan rasa malunya tersebut.Dengan suara yang lebih berat dan rendah, Alexei berkata, “Aku butuh bantuanmu, Rein.”Reinhard dapat melihat pamannya sedang berjuang untuk menelan harga dirinya bulat-bulat saat mengatakan hal tersebut. Perlahan sudut bibir Reinhard terangkat sinis."Oh?” Satu alis Reinhard terangkat. “Memangnya bantuan seperti apa yang Paman harapkan dari seorang keponakan yang pernah Paman tampar ini?"Alexei terdiam sejenak. Ia tahu jelas jika keponakannya itu sengaja mengungkit hal tersebut. Suara desahan berat pun bergulir dari bibirnya, lalu ia berkata, “Saat ini tidak ada ora
“Aku yakin dia tidak mungkin akan mengakhiri nyawanya sendiri, Rein. Aku mengenalnya dengan sangat baik,” imbuh Alexei dengan penuh percaya diri atas putranya."Tapi, bagaimana jika Nick menuntut saham itu dariku? Aku tidak ingin dicap sudah mencuri haknya,” tukas Reinhard dengan blak-blakkan.Alexei menggeleng tegas. "Aku yang akan menghadapi Nick. Saham itu akan menjadi hak mutlakmu. Aku hanya meminta satu hal darimu. Jangan biarkan Nexus jatuh ke tangan orang lain."Reinhard terdiam selama beberapa saat, mempertimbangkan semua tindak tanduk dan ucapan pamannya yang terasa meragukan. Namun, akhirnya ia berkata, “Baiklah, besok paman siapkan saja semua dokumennya dan atur pertemuan dengan petinggi serta pemegang saham."Owen cukup terkejut mendengar keputusan atasannya tersebut. Ia mengira Reinhard akan mempertimbangkan lebih matang lagi, tetapi ternyata tidak.Di satu sisi, wajah Alexei tampak berbinar saat mendengar keputusan Reinhard. Ia pun menjawab dengan antusias, “Tentu saja.
“Pa-papa …,” Suara serak Nicholas pun terdengar dari seberang teleponnya.Alexei pun bergegas melihat layar ponselnya di mana panggilannya kini telah terhubung dengan panggilan video yang memperlihatkan kondisi Nicholas. Putra Alexei tersebut terikat di sebuah kursi reyot dengan wajah yang terlihat penuh luka.“Nick!” Alexei berteriak dengan panik. Napasnya memburu melihat kondisi putranya tersebut.Namun, Ken kembali menyumpal mulut Nicholas dengan kain sehingga putra Alexei tersebut tidak dapat berbicara sepatah kata pun.Satu hal yang membuat darah Alexei semakin mendidih adalah benda di atas meja di samping Nicholas. Tanpa perlu dijelaskan, Alexei tahu betul bahwa itu adalah seperangkat alat yang digunakan untuk merakit bom!Ingatan Alexei kembali terlintas pada saat-saat kelam di organisasi Joker dulu. Ken Stewart memang memiliki keahlian yang tidak main-main dalam merakit bahan peledak. Namun, Alexei tidak pernah menyangka mantan bawahannya itu akan menggunakan keahliannya ters
Alexei terperangah melihat panggilannya diputuskan. Ia pun mencoba untuk menghubungi kembali nomor tersebut, tetapi sayangnya panggilannya tidak dapat terhubung lagi.Alexei pun tertegun. Sebelum tadi panggilan terputus, samar-samar ia sempat melihat bayangan seseorang di dekat Ken. Sayangnya, wajah sosok tersebut tidak terlihat jelas.“Siapa dia? Apa orang itu yang dimaksud Ken tadi?” gumam Alexei, menerka-nerka.Saat ia memikirkan hal itu, ponselnya bergetar, memunculkan pesan baru dari nomor yang berbeda dari sebelumnya. Dengan penasaran bercampur cemas, ia membuka pesan tersebut.[Lakukan saja sesuai kesepakatan kita. Kalau kamu berani melanggarnya, jangan salahkan aku kalau putramu dikirim ke neraka.]Alexei mengepalkan tangannya. "Sial!" geramnya, nyaris melempar ponsel di tangannya itu.Perlahan Alexei menyandarkan tubuhnya pada sofa yang didudukinya. Dadanya bergerak naik turun dengan tidak beraturan karena ketidakstabilan emosinya saat ini. Ia benar-benar kesal karena tidak m
Dengan ekspresi yang dipenuhi kecemasan, Owen kembali berkata, “Tapi, ini sangat berisiko, Tuan Muda. Jika ini memang jebakan, Anda bisa─”“Saya mengerti, Owen. Tapi, kalau tadi kita tidak menerima tawarannya, kita tidak akan tahu permainan apa yang sedang direncanakannya,” timpal Reinhard seraya mengangkat salah satu sudut bibirnya dengan penuh percaya diri. “Kita lihat sejauh mana dia berani bermain.”Owen tertegun. Ia pun memahami bahwa Reinhard memang sengaja menerima umpan yang diberikan agar dapat menyelidiki secara mendalam mengenai keterkaitan Nicholas Hernandez dengan Ken Stewart seperti yang mereka curigai sebelumnya.Helaan napas pelan pun bergulir dari bibir Owen. Ia tidak dapat menentang keputusan bulat yang telah dibuat oleh tuan mudanya.“Kalau begitu, apa yang sebaiknya kita lakukan sekarang?” tanya Owen, masih menunggu instruksi selanjutnya dari tuan mudanya tersebut.“Aku ingin kamu menyelidiki semua proyek Nexus yang ditangani oleh Nicholas selama ini, baik itu yang
Nicholas menggertakkan giginya dengan penuh amarah. Darahnya terasa mendidih. Ia tidak pernah menyangka kalau Jason dan Ken saling mengenal.Saat Jason tiba-tiba saja masuk ke ruang bawah tanah itu dan menghentikan Ken yang hampir membeberkan alasan di balik semua ini kepada ayahnya, Nicholas sudah sangat terkejut. Ia mengira Jason adalah kaki tangan Ken, tetapi ternyata dugaannya salah besar.‘Sialan! Sejak kapan dia merancang semua ini? Dan kenapa dia melakukannya?’ batin Nicholas yang dipenuhi kebingungan. Ia masih sangat syok setelah mengetahui bahwa Jason adalah dalang utama yang mengendalikan semua ini dari balik layar.Selama ini, Nicholas tidak pernah melihat tanda-tanda kebencian di mata Jason ketika mereka bertemu dan membahas mengenai proyek kerja sama.Pemuda itu seperti pebisnis biasanya yang mengejar keuntungan. Tidak pernah sekalipun Jason mengungkit ataupun mencari tahu tentang keluarga Hernandez dengan mendetail hingga Nicholas tidak menaruh curiga padanya.Nicholas t
“Se-sebenarnya … kenapa kamu … menargetkan keluarga Hernandez dan … bekerja sama dengan anjing gila ini?” tanya Nicholas dengan suara yang masih terdengar serak dan napas yang belum stabil.Jason menatapnya sejenak sebelum tersenyum tipis. "Baiklah, kurasa tidak ada gunanya menyembunyikannya darimu,” ucapnya, mengingat Nicholas sudah mendengar banyak hal dari percakapannya dengan Ken.Jason melirik Ken sekilas sebelum kembali fokus pada Nicholas. “Kami memiliki alasan yang sama. Kami adalah orang-orang yang kehilangan banyak hal karena ulah ayah dan pamanmu. Karena itu, kami ingin kalian merasakan kehilangan dan rasa sakit yang pernah kami alami dulu.”Nada suara Jason terdengar tenang, tetapi ada rasa sakit yang mendalam yang tersirat dalam kata-katanya.Namun, Nicholas sama sekali tidak merasa bersimpati. Ia mengangkat kepalanya dan menatap Jason dengan angkuh.Sembari mendengus sinis Nicholas berkata, “Kamu pikir dengan kemampuan kalian sekarang, kalian bisa menghancurkan keluarga H
Alicia menatap langit-langit kamar, pikirannya tak henti-henti mengembara. Semakin Reinhard memintanya untuk melupakan pertanyaan itu, semakin besar rasa ingin tahunya."Kenapa Xavier tiba-tiba menanyakan kecelakaan itu?" gumamnya pelan.Alicia menghela napas panjang dan berbalik, memeluk bantalnya.Ia tahu Reinhard tidak akan menanyakan hal itu tanpa alasan. Pria itu mungkin menyembunyikan sesuatu darinya dan seperti biasanya, Alicia lagi-lagi merasa berkecil hati.“Ah, tidak! Apa yang aku pikirkan?” Alicia menggelengkan kepalanya dengan kuat, mencoba mengusir rasa khawatirnya yang berlebihan.“Aku harus percaya padanya. Xavier bertanya seperti itu, pasti karena ada sesuatu yang penting yang ingin dipastikannya saja.”Embusan napas kasar bergulir dari bibir Alicia. Ia pun memejamkan matanya kembali, mencoba untuk mencari potongan ingatan yang hilang di dalam memorinya tersebut.Namun, semakin ia mencoba, semakin kuat rasa sakit yang menghantamnya. Seolah ada dinding tebal yang mengha
“Daripada membicarakan dia, ada hal penting yang ingin kutanyakan padamu,” ucap Reinhard, suaranya tiba-tiba menjadi lebih serius.“Hal apa?” tanya Alicia. Suaranya masih diselimuti kekhawatiran.Namun, Reinhard tidak langsung menjawab sehingga keheningan yang tercipta di antara mereka membuat rasa ingin tahu Alicia yang berada di ujung telepon tersebut semakin besar.“Xavier─”Sebelum Alicia sempat mendesaknya, Reinhard akhirnya bersuara. “Alicia, mengenai kecelakaanmu waktu itu, apa kamu bisa menceritakannya padaku?”“Kecelakaanku?” gumam Alicia yang diliputi kebingungan.“Maaf, aku bukan ingin memaksamu untuk mengingat kenangan buruk itu. Tapi …,” Reinhard menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, “aku ingin tahu bagaimana kamu bisa tidak ada di dalam pesawat waktu itu?”“Kenapa kamu bertanya tentang hal ini?” tanya Alicia dengan bingung.“Aku hanya ingin tahu semuanya tentangmu, Sayang,” dalih Reinhard.Ia terpaksa berbohong. Ia tidak ingin Alicia mengetahui permasalahan rumi
Siapa lagi yang bisa mengubah suasana hati Reinhard secepat ini jika bukan istri tercintanya, Alicia Lorenzo?Ternyata, wanita itu sudah mengirimkan beberapa pesan untuknya tanpa ia sadari.Reinhard bergegas membuka pesan-pesan tersebut dan membacanya dengan penuh antusias.[Kamu lagi apa, Suamiku?][Kamu lagi sibuk?][Sesibuk-sibuknya kamu, jangan sampai lupa makan. Aku tidak ingin kamu sakit.][Kamu tidak rindu aku?][Baiklah, aku tidak akan mengganggumu lagi. Selamat bekerja.]Ketegangan yang dirasakan Reinhard seketika menguap saat membaca pesan singkat beruntun dari istrinya tersebut. Tanpa membuang waktu, ia langsung menekan nomor kontak wanita pujaannya itu dan melakukan panggilan video.Baru dering pertama, panggilan tersebut langsung terhubung. Akan tetapi, Alicia tidak menyalakan kameranya sehingga Reinhard tidak dapat melihat wajahnya.“Halo,” sahut Alicia di seberang teleponnya.“Sayang, kameramu belum on,” ucap Reinhard mengingatkan.“Aku memang sengaja,” timpal Alicia, t
Di ruang kerjanya yang berada di kantor pusat Divine, Reinhard duduk bersandar di kursinya, mendengarkan laporan dari Owen dan Ethan Millano, salah satu anggota tim khusus yang ia tempatkan di Nexus."Seperti yang Anda duga, proyek kerja sama ini memang mencurigakan," ujar Ethan dengan nada serius.Pria bertubuh kurus dan berpenampilan necis itu kembali melanjutkan, “Saya sudah menelusurinya dan sejak awal Tuan Muda Nicklah yang menerima kerja sama ini. Tapi, beliau tidak tahu kalau perusahaan rekanan ini sangat bermasalah.”Reinhard, yang sejak tadi bersandar di kursinya, menyipitkan mata. “Teruskan.”Ethan mengeluarkan beberapa dokumen dan menyerahkannya kepada Owen, yang kemudian meneruskannya kepada Reinhard. “Perusahaan rekanan ini, Vega Tech, sebenarnya hanya sebuah perusahaan cangkang. Tidak ada proyek besar yang pernah mereka tangani sebelumnya, dan sumber pendanaan mereka juga tidak jelas.”Reinhard membuka dokumen itu dan meneliti setiap lembarannya. Dahinya berkerut saat me
“Nexus, ya?” Liliana tiba-tiba ikut menimpali. “Tadi Tante juga sempat lihat beritanya di TV. Sepertinya lagi jadi trending topic.”Mendengar hal tersebut, Alicia segera mengambil remote televisi dan mencari saluran berita yang sedang tayang. Amora, Liliana, dan Winny ikut memperhatikan layar dengan penuh rasa ingin tahu.Tak lama, sebuah berita bisnis muncul di layar. Seorang reporter sedang berbicara dengan latar belakang gedung tinggi yang memiliki logo Nexus di bagian depannya.“… pengambilalihan mendadak ini mengundang banyak spekulasi di antara para pebisnis. Walaupun Reinhard Xavier Hernandez tidak membuat pernyataan secara langsung, tetapi kehadirannya di Nexus memicu asumsi mengenai perubahan kepemilikan perusahaan tersebut.”Alicia terpaku menatap layar televisi tersebut. Wajah Reinhard disorot oleh kamera media. Pria itu berjalan keluar dari gedung Nexus dengan pengawalan ketat dan mengabaikan semua pertanyaan dari para wartawan.“Kamu beruntung dapat pria hebat, Alicia,” p
“Nenek, bagaimana keadaanmu?”Suara riang Amora terdengar memenuhi ruangan saat ia masuk bersama ibu mertuanya, Liliana Ritter.Alicia dan neneknya langsung menoleh bersamaan. Melihat kedatangan mereka, Alicia segera bangkit dari tempat duduknya, menghampiri Amora dan menuntun langkahnya menuju tempat duduknya tadi.“Terima kasih, Alicia,” ucap Amora seraya tersenyum kecil dan menatap adik iparnya dengan seksama.Ia kemudian terkekeh kecil. "Kalau dipikir-pikir, kamu benar-benar sudah dewasa sekarang. Sudah tahu bagaimana merawat orang lain."Alicia terkejut dengan pujian itu. "Ka-Kak Amora?" Wajahnya langsung memerah.Amora tersenyum penuh arti. Ia ingat betul, dulu saat ia masih mengandung Ryuji, Alicia hampir tak pernah menunjukkan kepedulian seperti ini."Memangnya dulu aku seburuk itu sampai Kakak harus menggodaku begitu?" gerutu Alicia, pura-pura kesal."Aku memujimu, Alicia," sahut Amora seraya memutar bola matanya.Liliana Ritter, yang sejak tadi meletakkan barang bawaannya di
Reinhard menghentikan langkahnya sejenak di dekat parkiran mobil setelah berada di luar rumah terlantar tersebut. Ia menoleh sekilas ke arah bangunan yang kini bergema oleh jeritan putus asa Edwin.Owen, yang berdiri di sampingnya, melirik ekspresi dingin Reinhard sekilas sebelum akhirnya bertanya dengan hati-hati, “Tuan Muda, apa Anda percaya dengan ucapan Edwin tadi?”Reinhard menghela napas pelan, tatapannya masih terpaku pada rumah itu. "Percaya atau tidak, dia pantas mendapatkan semua ini."Owen meneguk salivanya dengan kasar, lalu mengangguk pelan. Ia dapat memahami kebencian Reinhard terhadap Edwin, mengingat semua hal yang dilakukan pria itu pada Alicia selama tiga tahun ini.Owen melirik darah Edwin yang masih menempel pada telapak tangan tuan mudanya tersebut. Ia pun memberikan sapu tangannya kepada Reinhard dan kembali bertanya, “Apa Anda tidak ingin menanyakannya langsung kepada Nyonya mengenai masalah ini, Tuan Muda?”Reinhard menerima sapu tangan itu tanpa berkata apa-ap
“Jangan … jangan lakukan itu … aku benar-benar tidak tahu apa-apa ….”Edwin tergagap, suaranya gemetar, hampir tak terdengar. Matanya terpaku pada kilatan tajam ujung pisau yang hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya. Ia tidak bisa membayangkan rasa sakit yang akan ia alami jika bilah itu merobek kulitnya.Seketika, Edwin tersentak ketika mata pisau menyentuh pipinya. Darah pun mengalir dari goresan tipis yang diberikan Reinhard pada wajahnya tersebut.Suara ringisan terdengar dari bibir Edwin tatkala pisau tersebut menyayat kulit wajahnya.. Air matanya pun perlahan mengalir. “Su-sudah kubilang … itu hanya kecelakaan. Waktu itu … aku terlalu mabuk dan aku─”Ucapan Edwin terhenti karena mata pisau tersebut telah beralih dan menancap di punggung tangannya. Suara erangan kesakitan lolos dari bibirnya, tubuhnya menegang sementara darah segar mulai merembes dari luka tersebut.Edwin berniat menarik tangannya, tetapi Reinhard malah menekan ujungnya semakin kuat. “Aarggh!” teriak Edwin.
“Aku juga bisa membuat seolah-olah kamu melarikan diri dari persidangan. Dengan begitu, polisi tidak akan mencurigai apa pun,” lanjut Reinhard dengan nada santai. "Bagaimana? Tidak ada lagi yang perlu kamu cemaskan, bukan?" Edwin menggeram, napasnya memburu karena kemarahan yang meluap-luap. “Kau …!” Tanpa berpikir panjang, Edwin mencoba menerjang ke arah Reinhard, tetapi sebelum sempat menyentuhnya, Owen sudah lebih dulu bertindak. Sebuah pukulan keras mendarat di wajah Edwin, membuatnya terhuyung ke belakang. Rasa sakit menyebar dari rahangnya hingga ke kepala. Sebelum Edwin sempat bereaksi, tangan kuat Owen segera mencengkeram kerah bajunya, lalu menariknya ke tepi kolam. “Lepaskan aku!” teriak Edwin, memberontak histeris. Owen menghempaskan tubuh Edwin dengan kuat hingga wajah pria itu menghantam besi di pinggiran kolam. Darah pun mengucur deras dari hidungnya. Reinhard telah berdiri dari tempat duduknya, berjalan ke tepi kolam. “Owen, cukup,” cegahnya saat melihat a