mau cari mati deh si pak tua wkwkkwkk
Sorot mata Jason pun memicing tajam. Ia meletakkan gelas yang dipegangnya di atas meja, lalu dengan cepat ia menarik kerah baju Ken dan mendorongnya dengan keras hingga papan di belakangnya bergetar akibat benturan tubuh pria tua itu.Gelas whisky yang dipegang Ken pun terjatuh dan pecah berkeping-keping di lantai. Namun, ia tetap tersenyum meskipun Jason tengah memandangnya dengan penuh amarah.“Aku tidak akan memaafkanmu kalau kamu sekali lagi melibatkannya dalam bahaya, Ken Stewart,” desis Jason memperingatkannya dengan penuh intimidasi.Jason masih belum bisa melupakan kejadian minggu lalu, ketika Ken bertindak di luar batas dengan mengutus orang untuk menculik Alicia tanpa sepengetahuannya.Jason sangat murka setelah mengetahuinya. Untungnya, tidak ada luka serius yang dialami wanita itu, tapi bagi Jason, itu tetap tidak bisa dimaafkan—meskipun Ken mengklaim bahwa ia tidak memerintahkan hal semacam itu.“Bukan aku mau membungkamnya, tapi kamu kan tahu kalau dari awal dia sudah te
“Ternyata kamu sudah setinggi ini. Apa kamu makan pohon setiap hari?” ledek Alicia seraya mengukur tinggi keponakannya yang sudah hampir menyamainya. Padahal mereka baru tiga tahun tidak bertemu, tetapi Alicia seperti melihat wajah asing.Rayden tersenyum kecut. “Di kelas aku termasuk yang pendek,” gerutunya.Alicia tertawa kecil sembari ikut mengacak rambut keponakannya. “Makanya rajin-rajinlah berenang dan minum susu. Jangan hanya bermain dengan komputermu saja,” ledeknya.“Jangan perlakukan aku seperti bocah ingusan lagi, Tante. Aku sudah tiga belas tahun,” tukas Rayden seraya berkacak pinggang.“Iya, iya. Kamu sudah besar. Beberapa tahun lagi kamu pasti akan menyaingi ayahmu,” ujar Alicia seraya menepuk lembut kepala keponakannya itu. “Pasti akan lebih tampan daripada ayahmu.”Rayden mengangkat dagunya dengan penuh kebanggaan atas pujian bibinya tersebut.“Hei, gen ketampanannya juga diturunkan dariku,” protes Regis, tidak dapat menerima dirinya dianggap kalah tampan dari putranya
Setelah beberapa saat diselimuti keheningan yang terasa mencekiknya, Alicia pun menoleh ke samping, menatap keponakan laki-lakinya yang baru saja menerima pesan singkat pada ponselnya.Tak ingin larut dalam kesunyian, Alicia akhirnya bersuara, "Bagaimana kabar Mamamu dan adikmu, Ray?"Sudah cukup lama Alicia tidak bertemu dengan kakak iparnya dan keponakannya yang lain. Ia ingat saat ia pergi dari kediaman Lorenzo, Ryuji masih berusia sekitar dua tahun.Mungkin Ryuji tidak akan ingat padanya, pikir Alicia."Ryuji pasti sudah besar ya. Apa dia sudah sekolah sekarang?" tanya Alicia masih dengan nada antusias.Akan tetapi, pertanyaannya hanya disambut dengan keheningan. Alicia mengerutkan kening, lalu menjulurkan tangan untuk mencubit pipi Rayden agar remaja itu mengalihkan pandangan dari ponselnya.“Aku sedang bicara denganmu, Ray. Apa kamu tidak dengar?” gerutu Alicia, merasa dikucilkan setelah tadi Regis juga tidak menggubrisnya.Rayden mendesah pelan, menepis tangannya. “Aku dengar,”
“Tiga hari yang lalu, nenek menjalani operasi. Tapi, kondisinya malah semakin memburuk dan sekarang beliau koma di ICU,” ujar Regis dengan suara bergetar, meski wajahnya tetap berusaha terlihat tegar. “Tim medis baru saja memberi kabar kalau keadaannya semakin kritis. Mereka meminta keluarga untuk bersiap menghadapi kemungkinan terburuk.”Alicia menggeleng pelan, matanya membesar seakan menolak kenyataan. “Kak, ini semua… bohong, kan?” suaranya lirih. “Nenek tidak mungkin meninggalkan kita, kan?”Regis menghela napas, sorot matanya melembut. “Aku juga ingin percaya begitu, Alicia. Tapi…” Kalimatnya menggantung. Ia mengalihkan pandangan ke luar jendela, tidak sanggup menatap wajah adiknya.Isakan kecil akhirnya pecah dari bibir Alicia. Air matanya mengalir semakin deras, teringat dengan kasih sayang yang diberikan neneknya selama ini. Wanita tua itu selalu berada di pihaknya setiap kali Alicia dihukum oleh ayahnya atas semua kenakalannya semasa kecil dan remaja dulu.Neneknya adalah ca
“Papa,” cicit Alicia dengan suara yang bergetar.Diego tersenyum lembut. Ia membuka lebar kedua tangannya dan berkata, “Kemarilah, Putriku.”Alicia menatap ayahnya dengan ragu. Matanya berkaca-kaca, hatinya dipenuhi campuran emosi yang sulit dijelaskan.Liliana, yang berdiri di sampingnya, menepuk bahunya dengan lembut. “Pergilah dan peluk papamu, Alicia.”Dorongan halus itu akhirnya membuat Alicia melangkah cepat, lalu menghambur ke dalam pelukan sang ayah.“Selamat datang kembali di rumah, Alicia. Kamu adalah putri Papa yang hebat,” Suara Diego terdengar penuh kehangatan, akhirnya membuat tangis Alicia pecah. Tubuhnya bergetar dalam dekapan ayahnya yang selama ini dirindukan.Liliana pun tak kuasa menahan air matanya melihat momen mengharukan itu.Diego mengusap lembut punggung putrinya sebelum perlahan melepas pelukannya. Dengan suara tenang, ia berkata, “Masuklah. Nenek masih menantimu.”“Ah, ya benar. Masuklah, Alicia,” Liliana ikut menimpali, baru menyadari hal terpenting yang ha
Di luar ruang ICU, keluarga yang menunggu segera menghampiri Regis dengan penuh kecemasan. Liliana, yang melihat Alicia tak sadarkan diri, menatap Regis dengan khawatir."Regis, apa yang terjadi dengan Alicia?" tanya wanita itu dengan suara yang masih terisak lirih.Regis menghela napas panjang. "Dia terlalu emosional. Aku terpaksa membuatnya pingsan agar tidak mengganggu yang lainnya"“Dia pasti sangat terpukul,” gumam Amora yang dapat merasakan kesedihan adik iparnya tersebut.Regis hanya mengangguk kecil. Ia segera memerintah Mark untuk membantunya membawa Alicia ke ruang rawat terlebih dahulu. Mark pun dengan sigap mematuhi perintahnya.Setelah Alicia dibawa pergi, Regis berdiri di depan pintu ruang ICU dengan wajah tegang. Dari celah kaca, ia melihat para dokter dan perawat bekerja dengan cepat.Suara langkah kaki perawat yang berlalu lalang di koridor dan suara teriakan Noel beserta tim dokter di dalam ruangan semakin menambah kecemasan para anggota keluarga pasien.Liliana mengg
Alicia perlahan membuka matanya, masih merasa linglung. Pandangannya menangkap sosok Amora yang duduk di samping tempat tidurnya, menggenggam tangannya dengan erat."Alicia, kamu sudah sadar. Bagaimana perasaanmu?" tanya Amora dengan lembut.Alicia mengedarkan pandangannya ke sekitar ruangan, lalu menatap Amora dan Regis bergantian dengan kebingungan. "Ini di mana? Kenapa aku bisa .…""Kamu masih di rumah sakit, Alicia," jawab Amora dengan suara menenangkan.Walaupun banyak hal yang ingin ia tanyakan kepada adik iparnya tersebut, tetapi saat ini Amora berusaha membendung rasa ingin tahunya tersebut. Saat ini, yang terpenting adalah memastikan kondisi Alicia.Alicia menyipitkan matanya, tangannya terangkat ke tengkuknya yang masih terasa nyeri. "Apa yang terjadi? Bukannya tadi aku masih di ru—"Ia mendadak terdiam. Mata birunya melebar, seketika teringat sesuatu. "Nenek …," gumamnya lirih.Dengan panik, Alicia menatap Regis dan Amora. "Bagaimana keadaan Nenek, Kak?”Regis dan Amora sali
Baru saja Alicia meletakkan ponselnya di meja samping tempat tidur, nada dering tiba-tiba memenuhi ruang rawatnya. Niatnya untuk kembali berbaring pun terhenti. Tanpa ragu, ia meraih ponselnya dan tersenyum saat melihat nama Reinhard terpampang di layar. Dengan cepat, ia menerima panggilan itu. “Halo?” suaranya terdengar sedikit gugup. “Pagi, Sayang,” suara berat Reinhard menyapa, terdengar agak serak, seolah baru saja bangun tidur. Alicia terkekeh pelan. Padahal baru sehari mereka tidak bertemu, tetapi mendengar suara pria itu saja sudah membuat jantungnya berdebar tak karuan. “Apa aku membangunkanmu?” tanya Reinhard dengan suara yang terdengar lembubt. “Di sini baru jam sebelas malam, Suamiku,” jawab Alicia mengingatkan pria itu mengenai perbedaan waktu di antara mereka. “Ah, iya.” Reinhard bergumam seraya mendesah berat di ujung telepon tersebut. “Aku lupa.” Alicia merengutkan bibirnya. ‘Ya, sampai kamu pun melupakanku,’ sungutnya di dalam hati. “Jadi kamu belum tidur?” tan
Reinhard terlihat kesal. Sebenarnya ia ingin sekali turun tangan sendiri untuk menangani Ken. Akan tetapi, karena ia harus menjalani pemulihan di rumah sakit, Reinhard meminta para bawahan Dark Wolf untuk menggantikannya memberikan pelajaran kepada pria itu.Dalam kondisi terluka parah dan faktor usia yang tak lagi muda, Ken meregang nyawa lebih cepat setelah mengalami berbagai penyiksaan yang diperintahkan Reinhard.Meskipun menyesal tidak dapat menanganinya sendiri, tetapi Reinhard merasakan kelegaan yang luar biasa dengan kematian pria itu. Satu ancaman bagi Alicia telah lenyap, dan Reinhard bisa memenuhi janjinya kepada Regis.“Kamu sudah mengirimkan hasilnya kepada Regis?” tanya Reinhard.Ia memang meminta Austin menyelesaikan tugas itu sebagai bagian dari syarat yang diberikan Regis. Untuk memastikan mayat itu benar-benar Ken Stewart, Reinhard sengaja meminta otopsi. Ia tidak ingin tertipu seperti Alexei dulu, yang sempat terkecoh oleh kematian palsu Ken.“Tenanglah. Aku sudah m
Dua minggu sudah Reinhard dirawat di rumah sakit. Hari ini akhirnya ia sudah diperbolehkan pulang setelah selama seminggu ini ia mengajukan protes dan keluhannya terhadap dokter yang menanganinya. Bahkan ia tak segan-segan mengancam pimpinan rumah sakit.Apa yang terjadi? Kenapa Reinhard melakukannya?Jawabannya sangat sederhana. Reinhard sudah tidak betah berada di rumah sakit itu.Seperti yang diputuskannya dua minggu lalu, ia dan Alicia akhirnya berbagi kamar rawat bersama agar bisa menjalani masa pemulihan bersama.Akan tetapi, Alicia sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit minggu lalu karena kondisinya sudah lebih membaik. Meski demikian, ia tetap diwajibkan menjalani bedrest di rumah hingga benar-benar pulih sepenuhnya.Karena itulah, Reinhard merasa sangat kesepian berada di dalam kamar rawat itu sekarang. Ia berulang kali mengajukan permohonan untuk pulang, tetapi ditolak karena luka-lukanya masih memerlukan perawatan intensif.Hari ini, setelah berbagai protes dan ancama
“Apa yang kamu lamunkan, hum?” Reinhard mengetuk pelan kening Alicia, mengalihkan kembali perhatian wanita itu padanya.Alicia tersentak kecil. Ia menggeleng cepat, lalu memasang senyum lebar seolah tidak ada apa-apa.Reinhard menghela napas pelan. “Aku tahu … meskipun kamu tahu kamu hamil sekalipun, pasti kamu tetap akan mengikutiku, bukan?” terkanya, mengira Alicia masih memikirkan tentang hal yang terjadi sebelumnya.Alicia terkekeh kecil. “Kamu sangat mengenalku dengan baik, Suamiku,” ucapnya, tidak menyangkal sedikit pun tuduhan Reinhard.Saat itu, Alicia memang tidak berpikir panjang. Satu-satunya hal yang dipedulikannya hanyalah keselamatan pria itu.Reinhard mendesah berat, tetapi ada kehangatan dalam sorot matanya. “Sayang, kamu tahu kan kalau aku mencintaimu?”Alicia mengangguk.“Mulai sekarang ada nyawa lain yang harus kamu jaga. Tapi, di atas semua itu, kamu yang menjadi prioritasku. Karena itu, jangan pernah berbuat nekat seperti tadi lagi dan jangan pernah berpikir untuk
“Ah, ya ampun. Turunkan aku, Xavier. Aku pusing,” seru Alicia histeris.Reinhard segera menghentikan putarannya dan menurunkan Alicia dengan hati-hati di atas ranjang. Wajahnya menyiratkan kekhawatiran yang mendalam.“Maafkan aku, Sayang. Aku sampai lupa diri karena terlalu bahagia mendengar kabar ini,” ucap Reinhard seraya menangkup wajah Alicia dengan kedua tangannya, menatapnya seolah-olah wanita itu adalah seluruh dunianya.“Tidak apa-apa. Aku hanya sedikit pusing saja,” timpal Alicia berusaha menunjukkan senyuman meyakinkan, meskipun kepalanya masih sedikit berdenyut.“Kamu yakin?” Reinhard menatapnya lekat-lekat, seolah mencari tanda-tanda ketidaknyamanan yang mungkin disembunyikan Alicia. “Mau aku panggilkan dokter saja?”Alicia tertawa kecil, menggeleng pelan. “Aku baik-baik saja, Xavier. Serius. Jangan berlebihan.”Reinhard mendesah lega, tetapi tidak sepenuhnya puas. Ia duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan Alicia dengan lembut.Raut wajah Reinhard berubah sendu dan dipen
Selang beberapa waktu, ciuman mereka semakin dalam, membuat Alicia cukup kewalahan untuk mengikuti liarnya gairah yang diberikan Reinhard melalui ciuman tersebut.“Ummph─”Deru napas Alicia terasa semakin pendek. Ia pun bergegas melepaskan tautan bibir mereka lebih dulu agar bisa menghirup udara secepatnya. Tanpa sengaja ia mendorong dada Reinhard terlalu kuat hingga pria itu meringis perih karena luka di bahunya terasa kembali berdenyut.Mata Alicia pun membelalak panik. “Ah, astaga!”Alicia pun bergegas memeriksa luka pria itu, membuka beberapa kancing baju pasien yang dikenakan Reinhard. Melihat bercak darah yang merembes pada perban di bahu pria itu, rasa bersalah pun menggelayuti hati Alicia. Ia menggigit bibir bawahnya dan menatap Reinhard dengan sorot mata berkaca-kaca.“Maafkan aku … aku─”Sebelum Alicia sempat menyelesaikan ucapannya, Reinhard telah menarik lengannya dan membawanya jatuh ke dalam pelukannya lagi.“Xavier ….” Alicia mengerjap dengan bingung. Ia berniat mendoron
Alicia masih terdiam. Ia berusaha mencerna ucapan yang dilontarkan Reinhard. Kata-kata itu meskipun terdengar sederhana, tetapi entah kenapa Alicia merasa tidak asing seakan menyiratkan sesuatu seperti penolakan.Tiba-tiba hati Alicia terasa teremas. Ia diingatkan kembali dengan kenangan menyakitkan yang dialaminya dulu terkait dengan sikap dingin Reinhard di masa lalu.Cairan bening telah menggenang di pelupuk mata Alicia membuat Reinhard tersentak. “A-Alicia, kamu … kenapa?” tanyanya, panik.Namun, wanita itu tidak menjawab dan malah balik bertanya dengan suara bergetar yang terdengar seperti bisikan yang rapuh, “Tadi kamu bilang ... tidak ingin aku mengejarmu lagi? Maksudmu ... kamu ingin berpisah denganku?”Reinhard menatap wanita itu dengan penuh kebingungan. Namun, seulas senyuman merekah di bibirnya setelah mencerna prasangka buruk yang dilontarkan wanita itu atas ucapannya tadi.Dengan penuh kelembutan, Reinhard mengusap air mata yang hampir tumpah di sudut mata wanita itu. “D
“Memangnya ada hal yang tidak kuketahui?” Regis menyeringai kecil, nada angkuhnya begitu kentara.Reinhard hanya mendesah, menatap pria itu dengan tatapan lelah. "Tentu saja. Tuan Muda Lorenzo selalu tahu segalanya."Regis tertawa pelan, lalu mulai berbicara tanpa niat memancing pertengkaran. Ia pun menceritakan mengenai hal yang didengarnya dua hari lalu—tentang insiden yang menimpa Alicia sebelum mengalami kecelakaan tiga tahun lalu. Cerita yang secara tak sengaja Regis dengar ketika Alicia menceritakannya kepada ayah mereka.Reinhard terdiam mendengarkan cerita tersebut. Amarah di dalam dadanya mulai membara seiring dengan setiap kata yang keluar dari mulut Regis. Rahangnya mengeras, sementara tangan terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih.“Jadi … tiga tahun lalu, kecelakaan itu memang bukan hanya sekadar kecelakaan?” gumam Reinhard berbisik pelan seiring dengan getaran emosi yang dirasakannya.Sebelumnya Reinhard memang telah mendengar pengakuan dari Edwin Stein mengenai p
Reinhard telah sampai di depan pintu kamar Alicia. Koridor di depan ruangan itu sangat sepi. Sebelum masuk, ia menoleh sejenak ke arah Hans yang menemaninya hingga ke tempat itu.“Cukup antar sampai di sini saja. Saya bisa sendiri, Tuan Miller,” ucap Reinhard dengan tegas.Meskipun Hans merasa ragu dan khawatir, tetapi ia tidak dapat menolak permintaan Reinhard. Akhirnya, dengan sedikit bimbang, Hans menundukkan kepalanya dan beranjak pergi, meninggalkan Reinhard sendirian di depan pintu.Setelah Hans pergi, Reinhard pun menggeser pintu di depannya, lalu memutar kursi rodanya masuk ke dalam ruangan itu. Di tengah keheningan itu, hanya terdengar suara roda yang berputar dengan deru napas yang teratur saja.Ia berhenti sejenak. Dari balik tirai tipis yang mengelilingi ranjang, ia bisa melihat sosok Alicia yang terlelap. Dengan pelan, Reinhard berdiri dari kursinya, berjalan mendekat agar bisa melihat wajah istrinya lebih jelas di tengah penerangan temaram dalam ruangan itu.Namun, langk
“Mau ke mana?”Nada suara Reagan yang datar dan tajam, memecahkan keheningan yang terjadi di antara dirinya dan Reinhard. Mata ambernya menilik sikap putranya yang dipenuhi kewaspadaan padanya.Perlahan sudut bibirnya membentuk lengkungan tipis, mencairkan ketegangan di antara mereka. “Mencari Alicia?” tanyanya lebih lanjut.Reinhard mengangguk cepat. “Aku ingin memastikan keadaannya,” jawabnya.Melihat raut wajah putranya yang pucat, Reagan pun tersenyum mencibir, “Aku rasa dibandingkan dia, kondisimu jauh lebih mengkhawatirkan, Rein.”Sejenak, ruangan kembali menjadi sunyi. Nada suara Reagan yang terdengar tajam tersebut membuat Reinhard berpikir ayahnya itu akan menghalangi keinginannya seperti yang biasa dia lakukan.Akan tetapi, Reinhard tidak menyangka sang ayah malah berkata, “Pergilah. Tapi, perhatikan juga kondisimu. Jangan terlalu memaksakan diri.”Mata Reinhard terbelalak, tak percaya dengan pendengarannya tersebut. “Papa ….”“Kenapa? Tidak jadi?” Reagan menaikkan satu ali