"Aaaa ...""Syakila!" Devan berteriak.Brugh!Tubuh seorang wanita yang menghalangi Syakila terpental.Benar. Jasmin berhasil menabrakkan mobilnya pada seseorang. Sialnya itu bukan Syakila, orang yang menjadi sasaran sesungguhnya."Astaghfirullah!""Astaga!""Ayok kita lihat dan tolong dia."Banyak warga yang seketika mengerumuni tubuh penuh luka yang tak sadarkan diri itu.Namun tidak dengan Syakila. Wanita yang sedang hamil muda itu mematung di tempat dengan tatapan nanar melihat sosok yang tergeletak di atas aspal. Dadanya mendadak berdegup kencang. Kejadiannya begitu cepat, hingga membuatnya sulit untuk mencerna apa yang baru saja terjadi."Kamu tidak apa-apa, Sayang?" Devan menelisik tubuh Syakila, menariknya dalam dekapan guna memberi ketenangan.Namun, Syakila tak bereaksi apapun."Heh! Keluar kamu!" Teriakan suara seorang laki-laki pada mobil yang berhenti mengalihkan perhatian Syakila dan Devan."Cepat keluar atau kami pecahkan kaca mobil ini!"Dug! Dug! Dug!Tak sedikit pul
"Lepaskan aku! Aku tidak bersalah! Hei ... Cepat buka pintunya. aku mau pulang!" Jasmin terus berteriak di dalam sel membuat sipir lapas merasa kesal.Tak kalah keras, si petugas jaga itu pun membentak, "Diam atau kusumpal mulutmu!" Dia juga memberikan tatapan tajam dan mengejek, "Makanya jangan cari masalah kalau gak mau masuk ke sini!"Seolah tak ada takut, Jasmin menimpali, "Aku cuma korban asal kamu tahu itu. Awas saja kalau aku sudah bebas, kalian semua akan aku tuntut!""Memangnya siapa yang mau membebaskanmu? Dari dua hari kamu di sini gak ada satu orang pun yang datang menjenguk. Keluargamu pasti malu melihat mu di sini," ujar Sipir masih meremehkan."Calon suamiku! Sebentar lagi dia pasti akan membebaskan aku dari ruangan terkutuk ini," sergah Jasmin berapi-api.Sipir itu menganggukkan kepalanya. "Ya, dia pasti akan datang ke sini, tapi bukan untuk membesarkanmu melainkan untuk menemanimu di penjara. Kamu pasti senang bisa bersamanya.""Apa maksudmu?!" Jasmin nampak terkejut.
Sementara Dion? Pria itu kini sedang bertemu dengan Renata di kos-kosannya. Renata sengaja datang untuk memberi tahu perihal berita yang ia baca di sosial media tentang Jasmin yang tertangkap polisi."Sial! Bagaimana bisa ketangkap sih. Jasmin bego banget!""Terus gimana dong? Aku takut, Dion.""Tenanglah, aku jamin kita akan aman. Sebaiknya kita segera pergi dari sini."Dion begitu marah saat mendengar kabar bahwa Jasmin telah tertangkap. Dia merasa terancam. Pun dengan Renata.Kedua manusia yang sedang berada di kosan Dion itu segera berkemas. Bersiap-siap untuk melarikan diri."Dion, tunggu." Renata mencekal tangan Dion saat akan beranjak."Ada apa? Waktu kita tidak banyak, Honey," ujar Dion sambil menoleh."Ap-apapun yang terjadi, bisakah tidak membawa serta namaku dalam masalah ini? A--aku ..." Renata berujar sedikit gugup.Sementara Dion memicingkan matanya. "Kenapa? Kita merencanakan semua bersama-sama, itu artinya kita akan menanggungnya bersama-sama juga.""Tapi aku sedang ha
Sepulang dari mengantar Renata, Dion mulai curiga dengan mobil hitam yang berada di belakangnya. "Sepertinya mobil itu mengikutiku, sejak tadi terus saja berjalan di belakangku," gumamnya sembari mengawasi kaca sepion.Dion lalu menambah kecepatan motor gede kebanggaannya, terus membelah jalan, menikung, berbelok ke mana saja asal bisa lari dari pandangan mobil sedan yang ada di belakangnya. Jujur saja Dion khawatir mobil itu adalah mobil suruhan seseorang untuk menangkapnya.Anak buah Devan bukan orang bodoh. Mereka tak perlu repot mengejar sebab sudah ada rekannya yang sudah siap menghadang kedatangan Dion.Dan di sinilah anak buah Devan berhasil menghentikan motor Dion. Di sebuah jalan sepi yang mana, di sisi kanan dan kirinya di penuhi pohon jati."Siapa kalian? Minggir! Aku sedang buru-buru," tanya Dion."Mari ikut kami. Bos kami ingin bertemu denganmu," sahut pria bertubuh tinggi kekar."Memangnya siapa bos kalian?" "Nanti kamu akan tahu. Ayok ikut kami secara baik-baik.""Ha
"Dari mana saja kamu, Mas? Aku mencarimu sejak tadi. Ponselnya juga kenapa sulit dihubungi? Lalu, kenapa baru pulang selarut ini? Apa kau tidak tahu kalau --" Cup! Devan membungkam mulut Syakila dengan sebuah kecupan, sebab istrinya itu tak berhenti berbicara sejak kepulangannya sepuluh menit lalu. "Mas Devan ..." Syakila merajuk, kakinya dihentak-hentakkan sudah mirip seperti anak kecil. "Iya, Sayang. Aku sudah di sini. Kangen, ya?" Devan justru menggoda. Alisnya dinaik turunkan. "Aku belum selesai bicara, loh. Malah dicium." Sembari mengelap bibirnya, Syakila bersikap seolah masih merajuk manja. "Habis kamu cerewet. Bikin pengen cium." "Mas ... Aaaaaa--" Syakila menjerit mana kala tiba-tiba tubuhnya melayang. Seketika tangannya melingkar di pundak sang suami yang telah menggendongnya ala bridal style. "Turunin, Mas. Kalau ada ibu gimana?" bisik Syakila khawatir sebab mereka berada di ruang tamu. Butuh beberapa menit untuk bisa sampai di kamarnya, yang tentunya melewati kamar
"Dev, Sya, besok opa sama oma mau dateng sekalian nganter Aira. Rencananya mereka mau menginap beberapa hari di sini." Saat sarapan Sukoco menyampaikan berita yang beberapa menit lalu besannya kabari melalui sebuah chat.Syakila nampak heran, pasalnya baik nenek atau kakeknya itu tak memberi tahu apapun kepadanya."Oh, ya? Bagus dong, rumah ini jadi rame lagi. Padahal rencananya hari ini aku sama Syakila memang mau jemput Aira." Devan menyahuti setelah menelan makanan di mulutnya.Saat libur sekolah kemarin, Aira meminta liburan di rumah Bamantara yang kebetulan dengan dengan pantai. Sukoco sempat menemani beberapa hari di sana, tapi karena harus mengurus kiosnya, dia pulang dan meninggalkan cucunya bersama besannya."Tapi opa sama oma kok gak ngabarin aku ya, Bu?" ujar Syakila masih heran."Mereka bilang sudah chat kamu tadi malam, tapi belum dibaca sama kamu," ujar Sukoco menjelaskan sesuai apa yang diceritakan besannya."Iya kah? Eum, Syakila memang belum pegang handphone sama seka
"Assalamualaikum ...""Wa'alaikumsalam ...""Yeiii, Mommy sama Daddy udah dateng." Aira dengan semangat membuka pintu saat mendengar salam dari luar.Anak kecil yang sebentar lagi menjadi kakak itu begitu bahagia melihat kedua orang tuanya datang."Hai, Sayang ... Emmm, Mommy sangat merindukanmu, Nak." Syakila berjongkok dan memeluk Aira yang sudah berada di rumah Bamantara lebih dari seminggu."Hai juga, Mommy. Aira juga kangen banget sama Mommy," balas Aira."Sama Daddy kangen gak?" Dari arah belakang, Devan menyela."Daddy ... Aira juga kangen banget sama Daddy." Aira beralih memeluk Devan yang kemudian digendong dan diberi ciuman oleh Devan."Gimana, seneng liburan di sini?" tanya Devan."Seneng, dong. Opa sama oma baik, Aira suka," sahut Aira."Rewel gak?""Enggak dong, Daddy. Kan Aira udah gede, udah mau jadi kakak, masa rewel sih.""Uwuuu pinternya anak Daddy." Devan mencubit gemas pipi anaknya."Siapa dulu dong mommy-nya ... Mommy Kila gitu loh." Syakila ikut nimbrung membangg
"Apa lelaki bernama Dion sudah diketahui keberadaannya, Pak?" "Untuk saat ini belum. Kami masih terus mencari bukti dan mendalami kasus ini sembari terus mengejar saudara Dion yang diduga telah melarikan diri ke luar kota.""Baiklah. Tolong kabari saya jika Dion sudah ditangkap.""Baik, Pak Kamil."Kamil berjalan lesu keluar dari kantor polisi. Niatan bertanya pada Jasmin mengenai Dion dan semua rencana jahat mereka, terpaksa dia tunda karena tak bisa menahan emosi saat Jasmin tak sedikitpun merasa bersalah.Hanya saja, kenapa Devan dan Syakila tak mengatakan apapun padanya? Mereka juga tidak menuntut Jasmin yang sudah terang-terangan ingin mencelakai Syakila, walaupun pada akhirnya salah sasaran. Mereka sepenuhnya menyerahkan pada polisi.Bukankah seharusnya mereka marah padaku? Atau seandainya mereka ingin menjadikan Kamil gelandangan pun mereka bisa, tapi itu semua tak dilakukan sepanjang suami istri itu, membuat Kamil semakin menyesali keputusannya di masa lalu.'Seandainya dulu
"Mas Devan ...!" Suara Syakila melengking, dengan gerakan cepat ia memutar Devan, melindungi lelaki itu dengan dirinya sendiri.Jleb!Semuanya terjadi begitu cepat. Pisau tajam yang digenggam Kamil merobek keras lengan Syakila. Darah segar langsung membasahi kain bajunya.Devan terbelalak tak percaya dengan napas tercekat. "Syakila!" teriaknya dengan panik, tangannya menangkup tubuh istrinya yang sedikit limbung.Dor!Suara tembakan menggema di udara. Dalam hitungan detik Kamil terhuyung mundur. Tangannya yang memegang pisau perlahan melemah bersamaan dengan rasa bersalahnya terhadap Syakila. Dadanya seperti terbakar akibat timah panas yang masuk ke dalam tubuhnya. Darah mengalir deras dari bagian dada.Perlahan tubuh itu jatuh dengan bunyi berat ke tanah, tetapi matanya masih bisa melihat Syakila yang meringis menahan perih. Mungkin, ini adalah untuk terakhir kalinya ia dapat melihat wanita yang begitu didambanya."Maafkan aku Syakila ... Aku, a-aku men-cintai-mu," lirih Kamil dengan
Namun, detik berikutnya Kamil berubah pikiran, ia memutuskan untuk mengambil langkah nekat. Dengan tangan yang masih mencengkeram erat leher Shakila, dia menyeringai penuh keyakinan. "Kalau aku tidak bisa lolos, setidaknya aku akan membawa mereka semua ke neraka bersamaku!" gumamnya, menekan pedal kasih nggak habis. Mesin mobil meraung seperti binatang buas yang terluka, melaju kencang menuju brigade polisi. Syakila panik, tangannya reflek mencoba menggoyang-goyangkan setir agar laju mobil berubah arah, atau berhenti. "Kamil, jangan gila! Kau akan membunuh kita semua!""Memang itu yang aku inginkan. Ha ha ha!"Tangan Kamil memukul keras tangan Syakila yang mengganggu setir. "Kau diam saja, Sayang. Aku pastikan kita akan berakhir dalam keabadian sekarang.""Gak! Aku gak mau! Berhenti, Kamil!""Aku akan berhenti kalau kau mau berjanji untuk bersedia hidup bersamaku selamanya.""Dasar gila! Itu tidak akan terjadi." Syakila memukul-mukul lengan Kamil, tetapi pukulan kecil itu hanya dian
Kamil menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, memutarnya dengan mata yang menatap lurus ke depan seperti seekor ular yang siap menyemburkan bisanya. Tanpa ekspresi, dia mendekati Syakila yang masih memejamkan mata lalu membopongnya seperti karung beras, membawanya ke dalam mobil.Beberapa minggu lalu, ketika ia berhasil meracuni polisi yang berjaga kemudian kabur dari lapas, Kamil mendatangi salah satu anak buahnya yang tak tertangkap dan meminta mobil untuk dikendarai. Dibantu oleh anak buahnya itulah akhirnya Kamil berhasil menyelinap ke vila yang disewa Devan, menyamar sebagai penjaga keamanan di sana setelah berhasil membuat penjaga aslinya harus cuti.Dalam hatinya, Kamil bertekad untuk dapat bersatu dengan Syakila, apapun caranya. Jika dia tak bisa memiliki, maka orang lainpun tak ada yang boleh memiliki. Jika tak bisa bersatu di dunia, di alam lain pun Kamil tak keberatan. Dan kini, laki-laki yang jiwanya terganggu itu telah bersiap untuk melakukan sesuatu.****"Pasti ada
"Syakila ..." Telinga tajam Devan dapat mendengar suara gelas yang jatuh. Gegas pria bergaya rambut Taper Fade itu naik ke atas kolam dan berjalan ke dapur, tanpa peduli cipratan air yang berjatuhan di lantai."Sayang, kamu gak pa-pa?" teriaknya terus berjalan.Sunyi. Tak ada jawaban apapun. Langkahnya semakin cepat dan pasti. Namun, ketika sampai dapur, tak ada siapapun di sana. Hanya pecahan gelas yang berserakan di lantai.Devan panik. Seketika ia mengitari sekitaran sambil terus memanggil istri tercintanya."Syakila ...""Sayang, kamu di mana?"Terus mencari ke setiap ruangan di vila, tetapi hasilnya nihil. "Sayang, bercandanya gak lucu loh. Kamu di mana ?" Devan masih berfikir positif. Mungkin istrinya ingin bermain-main dengannya."Sayang, ayolah. Keluar dong. Aku dah kedinginan nih, mau ganti baju. Temenin yuk." Devan terus berbicara sendiri sambil terus mencari.Hampir seluruh ruangan ia datangi, dan hasilnya tetap kosong. Panik, Devan mulai sangat panik. Apa yang terjadi de
"Kenapa seperti ada yang mengikuti ya?" gumamnya, lalu menoleh ke belakang. Tetapi tak ada siapapun di sana. Jalanan sepi."Mas, ayok!" teriak Syakila yang sudah lebih dulu berjalan."Eh, iya, Sayang." Devan terkesiap kemudian menyusul, ikut mengantri bersama sang istri.Beberapa orang yang juga membeli bubur mengajak mereka ngobrol. Ada yang sama-sama pendatang, ada juga yang asli penduduk setempat. Syakila dan Devan menyukai keramahan penduduk di sekitar villa yang mereka sewa."Ini buburnya, Neng," ucap si penjual bubur pada Syakila, setelah beberapa waktu mengantri."Iya, Mang. Terima kasih." Syakila menerima kantong kresek berisi bubur, sementara Devan yang membayarnya."Mari, Ibu-ibu, kami duluan," pamitnya pada ibu-ibu yang masih mengantri."Mari, Neng, A, selamat liburan ya, semoga sukses," sahut seseibu dengan lantang."Sukses apa nih, Bu?" Devan sengaja menanggapi, karena tertarik dengan misteri di balik kata 'sukses' itu."Ya sukses jadi belendung atuh, hamil teh. Apalagi c
"Sayang ... Ahh...."Untuk yang kedua kalinya Devan mencapai puncak kenikmatan bersama Syakila di villa. Sepasang suami istri itu benar-benar menikmati bulan madu kedua ini. Hampir tak terlewatkan oleh mereka aktivitas saling mencintai, dan memadu kasih begitu mereka sampai di tempat penginapan itu. Apalagi Devan memilih villa yang lumayan jauh dari keramaian. menurutnya agar aktivitas mereka lebih privasi. Tentu hal itu semakin membuat mereka semakin intens.Dua manusia berlawanan jenis itu masih tersengal dengan napas memburu di balik selimut putih yang menutupi tubuhnya. "Kau benar-benar hebat, Sayang. Terima kasih." Devan memberikan pujian pada sang istri karena berhasil mengimbangi permainannya yang brutal.Lelaki itu betul-betul merindukan momen ini. Bagaimana tidak? Kemarin-kemarin dia terpaksa harus puasa menjamah tubuh indah Syakila. Banyak kejadian tak terduga yang mereka alami."Sama-sama, Mas. Kamu juga hebat. Masih gagah seperti yang dulu," sahut Syakila dengan suara ber
"Bu, Opa, dan Oma, weekend besok aku sama Syakila ada rencana liburan ke villa. Eum, kalau boleh kita mau nitip Aira, gak lama kok, cuma dua hari." Dengan sedikit malu Devan meminta izin saat mereka sedang bersantai di depan televisi.Aira sendiri sudah lebih dulu terlelap ditemani mommy-nya di kamar. Jadi anak itu tidak protes ketika daddy-nya akan pergi berdua saja dengan sang mommy."Tentu saja boleh, Nak. Kalian memang perlu liburan setelah semua yang kalian alami," ucap Sukoco."Ibumu benar, Dev. Pergilah, buat hari-hari kalian menyenangkan." Bamantara menimpali."Sola Aira, kami siap menjaganya. Dia anak yang baik, pasti akan mengerti." Amber juga mengeluarkan pendapatnya."Terima kasih, semuanya. Aku akan beri tahu kabar ini pada Syakila." Devan terlihat bahagia. Bulan madu kedua ini pasti akan menyenangkan."Ah, bagaimana kalau kita ajak Aira menengok rumah kita, Sayang. Supaya dia tidak sedih kalau daddy dan mommy-nya pergi berlibur," usul Amber pada suaminya."Ide yang bagus
Devan memandang layar ponselnya dengan alis berkerut. "Panggilan tak terjawab?" gumamnya sambil membuka notifikasi. "Jo? Kok banyak banget panggilannya?" Ia menghela napas panjang, merasa bersalah telah melupakan handphonenya sejak sore tadi.Devan benar-benar tenggelam dalam waktu berkualitas bersama Syakila, sang istri. Mereka berdua memanfaatkan momen langka tanpa gangguan. Rasanya nyaman bisa menikmati hari hanya berdua, tanpa memikirkan urusan luar. Andai saja Aira, putri kecil mereka, tidak mengetuk pintu kamar untuk mengingatkan waktu sholat Maghrib, mungkin mereka masih saja berlama-lama berbincang di kamar.Kini, setelah sholat berjamaah bersama keluarga, Devan baru menyadari betapa banyak panggilan dari Jo. Ia mencoba menelepon balik, tetapi panggilannya tak dijawab."Kenapa, Mas?" suara lembut Syakila menyadarkannya. Wanita itu mendekat, membawa segelas teh hangat, lalu duduk di sampingnya di atas karpet ruang keluarga.Devan menunjukkan layar ponselnya. "Jo telepon berkali
Teriakan di luar membuat semua orang terhenti. Jo, Alex, dan anak buahnya langsung berlari mengejar, meninggalkan Devan, Syakila, dan Bamantara yang masih terkejut di dalam ruangan.“Bagaimana dia bisa kabur?!” Devan menggeram.“Mas, biarkan mereka yang urus,” ujar Syakila dengan suara gemetar, memegang lengannya.Devan menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Namun, di matanya, api kemarahan terhadap Kamil belum padam.Di luar gedung, Kamil dengan kondisi babak belur berlari sekuat tenaga. Tali yang mengikat tangannya rupanya berhasil ia lepas dengan pisau kecil yang tersembunyi di sepatunya. Para pengejarnya masih mengejar dari belakang, namun Kamil menemukan sebuah celah di pagar dan melarikan diri ke jalan raya yang cukup gelap.Dia mengira dirinya aman, sampai sirine polisi tiba-tiba terdengar semakin mendekat. Sebuah mobil patroli berhenti tepat di hadapannya, membuatnya panik.“Angkat tanganmu!” teriak salah satu petugas sambil mengarahkan senjatanya.Namun, Kamil tid