Andri terdiam sebentar sambil menatap hidangan itu. Lalu, segera mengalihkan pandangannya kepada Mbok Puji."Aku nggak tau, Mbok. Rumah yang akan kita tempati agak kecil, hanya punya dua kamar aja. Satu kamar untuk kita, satu lagi untuk ruang kerjanya Mas Arkan. Tapi aku rasa, ada atau nggak ada kita disini, Mbok akan tetep di pake sama keluarga Kakek," ujar Andri, memberi sedikit harapan kepada Mbok Puji.Namun, raut wajah Mbok Puji tetap sama. Wajahnya masih terlihat sendu dan tak lama ia pun menggelengkan kepalanya pelan."Kayaknya, nggak mungkin Mbok akan dipertahankan disini, kalau misalnya nggak ada Den Arkan," ujar Mbok Puji lagi, nada suaranya terdengar pesimis.Andri segera meraih tangan Mbok Puji dan membelainya dengan lembut."Insyaallah masih dipertahankan kok, Mbok. Nanti, coba biar aku bicarakan sama Mas dan Kakek dulu Mbok. Siapa tau, Kakek luluh untuk tetap mempertahankan Mbok disini," ujar Andri seraya tersenyum seolah menguatkan.Mbok Puji hanya mengangguk, berharap
Arkan makan dengan begitu lahap sambil memainkan mobilannya. Sementara Andri dengan telaten menyuapi sang suami hingga hampir habis setengah."Enak nasi gorengnya, Mas?" tanya Andri mengalihkan perhatiannya."Enak, Dek. Pasti bakalan kangen sama masakan Mbok kalau kita udah pindah nanti," jawab Arkan, meskipun di dalam mulutnya masih penuh makanan.Andri mengangguk-angguk, tak lama ponselnya pun berdering tanda ada panggilan masuk. Awalnya, Andri berniat mengabaikannya, namun nada dering ponsel itu berbeda dari biasanya, membuatnya segera beranjak untuk melihat siapa yang telpon malam-malam seperti ini.'Andre? Nggak biasanya dia nelpon jam segini. Apa ada sesuatu sama Dira ya?' tanya Andri lirih, lebih kepada dirinya sendiri."Mas, sebentar ya, aku angkat telpon dulu," ujar Andri kepada sang suami.Arkan mengangguk, lalu segera meneguk air putih yang berada tak jauh dari tempatnya."Hallo, Ndre, ada apa?" tanya Andri begitu sambungan telpon terhubung.[Mbak belum tidur? Maaf, kalau A
Beberapa kali Andri mencoba untuk memejamkan matanya. Namun, sayangnya tak bisa. Pikirannya terus terbayang pada ucapan Andre tadi. Dan juga, keadaan kamar yang masih berantakan membuat dirinya tak bisa terlelap sama sekali. Dengan perlahan, Andri pun segera bangkit dari tidurnya, lalu mengecup pelan pipi sang suami. Tak ada respon apapun dari Arkan, menandakan bahwa ia sudah benar-benar terlelap. Andri pun segera mengambil ponselnya, lalu mencari nomer Arsy disana. Ia mencoba men-chat nomer itu, namun ternyata sama seperti yang Andre bilang. Hanya ceklis satu dan poto profilnya berwarna abu-abu. 'Apa nomer gua di blokir Arsy ya?' batin Andri. Andri pun segera mengambil hp suaminya, mencoba menghubungi Arsy dari sana. Toh, Arsy tak tahu nomernya Arkan, jadi bisa ketahuan apa nomernya dan Andre di blokir atau tidak. Namun, begitu menyalakan hp suaminya, Andri gagal fokus dengan wallpaper layar kunci dan juga layar utamanya. Di layar kunci, nampak poto Arkan bersama kedua orangtua
"Kamu gak coba cari ke temen-temennya Arsy, Dek? Siapa tau, ada petunjuk gitu?" tanya Arkan, mencoba membantu mencari solusi.Andri menggeleng pelan, ia tidak terlalu tahu teman-teman adiknya, karena memang jarang berada di rumah. Kini, ia pun benar-benar menyesali perbuatannya dahulu, fokus bekerja untuk biaya kuliah mereka, sampai tak tahu teman-teman mereka siapa saja.Arkan mengecup kening sang istri lembut, mencoba menenangkan wanitanya itu. Lalu, ia bergegas ke kamar mandi, karena hari sudah beranjak siang.Andri pun memilih untuk menyiapkan pakaian kerja suaminya saja, daripada memikirkan Arsy, pasti tak ada habisnya.Saat tengah menunggu sang suami selesai mandi, tiba-tiba ponsel milik Andri berdering tanda ada panggilan masuk.Andri melihat ponselnya sebentar lalu mengernyitkan dahinya, "nomer baru? Nomer siapa ya?" tanya Andri, kepada dirinya sendiri.Gegas, Andri pun segera mengangkat telponnya itu, siapa tau ada yang penting.["Hallo, Mbak, ini aku Arsy,"] ucap penelpon d
Arkan segera bergegas, memakai jasnya dan juga mengambil tas kerjanya. Tak lupa, sebelum ia keluar dari kamarnya, ia mengeluarkan dompetnya dahulu dan memberikan lima lembar uang berwarna merah untuk sang istri."Ini buat apa, Mas?" tanya Andri bingung, seraya mengambil uang itu."Buat kamu, anggep aja itu nafkah pertama dari aku. Aku gak punya uang cash lagi, cuma ada enam ratus ribu di dompet, yang seratus aku bawa buat beli bensin," jawab Arkan seraya memakai sepatunya."Aih, apa gak kebanyakan? Ini buat berapa hari, Mas?" tanya Andri, ia memasukkan uang itu ke saku celananya."Sehari, lah. Besok beda lagi, apa mau aku transfer aja?" tanya Arkan kemudian.Andri menutup mulutnya tak percaya dengan ucapan sang suami."Mas serius sehari lima ratus ribu?" tanya Andri memastikan."Iya, kenapa? Kurang? Apa mau kamu atur aja keuangan aku?" tanya Arkan, nadanya terdengar santai namun ada raut wajah tak suka.Andri menggeleng mantap, tak ingin tahu menahu uang suaminya."Nggak, Mas, aku cum
Andri menatap layar ponselnya sebentar. Ia masih bimbang harus bagaimana.Ia pun beberapa kali nampak menghembuskan napasnya kasar, lalu mulai membalas pesan itu.[Mas, nggak ada alasan untuk aku bohong. Kalau kamu nggak percaya sama aku, kamu bisa tanya langsung ke Andre dan Ayah. Kita juga sama, lagi nyari dia. Kita juga khawatir sama keadaan dia, apalagi dia lagi hamil muda. Apa kamu pikir, aku bisa bohong kalau masalah kek gini?] pesan Andri.Setelah pesan itu terkirim, ada sedikit beban yang berkurang dihatinya. Ia tak sepenuhnya berbohong, ia memang khawatir dengan keadaan adiknya, namun ia juga tahu bagaimana cara menghubunginya.[Kamu beneran yakin, Ndri, kalau Arsy sama sekali gak ngehubungin kamu?] pesan Agra kembali seolah tak percaya.[Astagfirullah, Mas! Harus kek gimana aku biar kamu percaya. Mending, kamu coba tanya Andre atau Ayah aja. Atau, mungkin Mas Arkan sekalian, dari kemarin dia juga sama pusingnya kek aku] pesan Andri sedikit kesal.[Maaf, aku cuma khawatir sam
Andri terdiam sebentar. Matanya nampak menerawang jauh memandang langit malam yang penuh bintang. Ia menghembuskan napas pelan, lalu menyandarkan kepalanya di bahu sang suami."Mas, aku ngerti perasaan kamu. Tapi, haruskah kita benar-benar ada di sini? Jujur, aku nggak nyaman di sini. Mungkin, karena aku terbiasa sering ngekost sendiri dulu. Dan lagi, apa Mas nggak khawatir atau mungkin cemburu gitu?" tanya Andri lirih, nada suaranya terdengar begitu putus asa.Arkan menunduk dalam, sambil memainkan cangkirnya. Semilir angin malam, tak mampu menyejukkan hatinya kala itu. Ia tahu, ini adalah keputusan yang sulit.Jika sebelumnya, ia bersikukuh untuk tetap pergi, maka kali ini, tidak. Ia bingung dan juga gamang. Namun, ia juga takut dan pastinya cemburu. Apalagi, saat ini Arsy tak ada disana, sudah pasti, Agra akan terus mengganggu istrinya itu.Andri membelai lembut lengan sang suami, berusaha menenangkan hatinya."Mas, aku tahu dan aku mencoba untuk ngerti. Aku tahu, kalau kamu sayang
Namun, tetap saja Andri merasa sedikit gelisah karenanya. Arkan memang bisa berpikir secara rasional karena dia tidak memiliki hubungan darah dengan Arsy. Namun ia, ia adalah kakaknya, meskipun mereka berbeda ibu, tapi mereka tetap satu ayah."Mas, aku cuma ... aku cuma takut kehilangan Arsy beneran, Mas. Apalagi karena dia lagi hamil itu. Aku takut dia kenapa-napa dan janinnya terganggu," ucap Andri kembali dengan suara yang bergetar.Arkan menghela napas panjang, lalu menghabiskan coklat yang tersisa setengah. Ia tahu, apa yang Andri rasakan adalah benar, namun ia juga tak ingin kekhawatiran itu justru membuat mereka kehilangan fokus terhadap permasalahan mereka sendiri."Dek, aku ngerti kalau kamu khawatir. Aku juga sama, kok. Tapi ... udahlah, Arsy itu udah gede, kenapa kita harus mikirin dia. Mending kita pikirin aja tentang kehidupan kita," ujar Arkan dengan nada yang lebih lembut."Kenapa sama kehidupan kita?" tanya Andri sedikit polos.Arkan menepuk pelan pelipisnya, sepertiny
Keesokan paginya, Andri sudah bangun lebih dulu karena rasa mual yang begitu mendera. Tubuhnya mulai sedikit limbung, namun ia memaksakan diri untuk berdiri dan melangkah ke kamar mandi.Sementara Arkan, masih terlelap di kasurnya. Tangannya mulai meraba, antara sadar dan setengah sadar, ia mencari sang istri di sana. Namun sayangnya, kosong."Adek!" seru Arkan refleks langsung bangun.Ia melihat ke samping. Andri tak ada di sampingnya. Kemanakah perginya wanita itu? Apa ke kamar mandi?Buru-buru ia pun bangkit dari tidurnya dan bergegas menuju dapur. Dan benar saja, Andri berada di sana tengah memuntahkan apa yang ada diperutnya.Dengan telaten, ia pun memijat tengkuk sang istri agar merasa lebih baik."Masih mual, Dek?" tanya Arkan begitu Andri menyelesaikan muntahnya.Andri menggeleng pelan, lalu mencuci mukanya. Sementara Arkan dengan sigap segera mengambil handuk dan membantu sang istri untuk membersihkan wajahnya."Adek mau bikin teh? Atau mau susu? Biar Mas bikinin," tawar Arka
USG pun akhirnya telah selesai dilakukan."Sekali lagi, selamat ya Bu Andri atas kehamilannya, jaga kandungannya baik-baik dan jangan sampai stress atau terlalu lelah. Kehamilan dengan janin kembar, biasanya menguras lebih banyak emosi," ucap Dokter Agung mengingatkan.Setelah itu, ia pun mengalihkan pandangannya kepada Arkan."Nah untuk Pak Arkan, tolong di jaga ya istrinya. Istri yang lagi hamil itu biasanya suka moody-an. Jadi, sabarnya harus dipertebal lagi. Emosinya harus dijaga lagi biar istrinya nggak merasa stress ataupun terabaikan," nasihat sang dokter.Arkan mengangguk mantap. "Insyaallah, Dok. Ah iya ada pantangan atau apa yang perlu dihindari, Dok?" tanya Arkan."Hindari makan daging yang masih setengah matang, dan kurangi makanan junk food. Jika setiap makan mual, bisa di coba dengan mengemil roti ataupun minum jus," jawab sang dokter.Arkan mengangguk mantap. Sesi konsultasi pun akhirnya selesai. Satu bulan lagi, Andri pun diminta untuk kembali ke rumah sakit, selain un
"Ma--maksudnya, Dok?" tanya Andri sedikit bingung.Sang dokter tak langsung menjawab. Ia masih memeriksa data yang ada di komputernya setelah beberapa saat, ia menghela napas berat, dan menatap keduanya dengan ekspresi yang cukup serius."Saya tidak tahu siapa yang mengatakan hal itu kepada Anda, tapi berdasarkan hasil pemeriksaan lima tahun lalu, rahim Anda dalam kondisi sehat. Tidak ada indikasi masalah yang bisa menyebabkan kesulitan hamil."Mata Andri membesar. "Tapi… waktu itu saya diberi tahu kalau saya kemungkinan besar tidak bisa hamil, Dok. Saya…" Suaranya bergetar.Arkan langsung menenangkan istrinya, tapi di dalam hatinya, kemarahan mulai muncul. Jika benar tidak ada masalah di rahim Andri, lalu siapa yang dulu memberi informasi yang salah? Dan untuk apa?Dokter menatap mereka dengan lembut. "Saya paham ini membingungkan. Tapi sekarang, yang terpenting adalah kabar baiknya. Hasil tespek anda menunjukkan bahwa anda tengah hamil. Bagaimana jika kita cek melalui USG untuk lebi
"Sans, Ar, gua ke sini cuma mau nanya kabar lu doang, kok," ucap lelaki itu sambil tersenyum smirk.Andri yang memang tak mengetahui permasalahan apa yang dihadapi kedua lelaki itu memilih untuk kembali fokus ke abang telur gulung tadi."Jadi, berapa semuanya, Bang?" tanya Andri dengan senyum riang."Dua puluh ribu, Mbak," jawab si penjual.Andri lalu menyerahkan selembar uang berwarna hijau kepada penjual itu, dan melangkah santai menuju gerobak lumpia basah.Arkan yang melihat Andri pergi, hanya berdecak kesal melihat kelakuannya itu."Ada apa? Gua tau lu bukan tipe orang yang suka basa basi, Vin," ucap Arkan ketus.Ya, lelaki itu adalah Kevin sahabat serta musuhnya lima tahun lalu. Setelah melepaskan Dirgantara kepada Kevin, Arkan memilih kembali fokus mengurus Amira Corp sendiri. Lalu, bagaimana dengan Oom Wisnu?Sejak kejadian itu, Oom Wisnu memutuskan untuk membuka perusahaan sendiri. Tidak, lebih tepatnya usaha sendiri. Ia membuat beberapa ruko dan juga kontrakan dari uang hasi
Andri dan Arkan nampak saling pandang, sementara Agra segera menepuk pelan lengan sang istri.Ya, wanita itu adalah Arsy, adik dari Andri.Arsy yang sadar mendapat teguran halus seperti itu langsung menundukkan kepalanya."Ma--maaf, Mba," ucap Arsy sedikit menyesal.Andri hanya tersenyum, lalu segera memeluk tubuh adiknya."Doain ya, Dek. Bismilah semoga beneran," ucapnya lirih."Amin ya Allah," ucap Arsy dengan lantang."Kalau misalnya Mbak beneran hamil, Arsy mau nunda kehamilan, biar bisa ngerawat anaknya Mbak dulu, kek dulu Mbak ngerawat Humai," ucapnya kembali namun langsung mendapat cubitan dari Andri."Nggak boleh, gitu! Mbak nggak suka cara ngomong kamu! Anak itu rejeki, kalau dikasih jangan di tolak. Kamu nggak liat perjuangan Mbak mu ini, sampe lima tahun belum di kasih juga," ucap Andri sambil berdecak kesal.Arsy memanyunkan bibirnya, "salah lagi aja aku," gerutunya dan langsung mendapat tawaan dari mereka semua.Setelah berbasa-basi sebentar, Andri dan Arkan pun pamit pul
Tiga buat tespek bergaris dua.Yang menandakan bahwa saat itu Andri sedang hamil.Arkan masih terdiam, berusaha mencerna semua itu. Ia mengambil salah satu tespek itu dan memberikannya kepada Andri "I -- ini, beneran, Dek?" tanya Arkan dengan raut wajah yang tak percaya.Andri mengangguk lemah, lalu segera membelai perutnya."Cuma, aku nggak tau dia udah berapa lama. Catatan haidku udah hilang," lirih Andri dengan sendu.Ia kemudian mengambil ponselnya dan menyerahkannya kepada Arkan."Hari ini, aku udah daftar ke rumah sakit tempat aku sama Mas Agra dulu ngelakuin tes kesuburan. Beruntung, dokter yang dulu nanganin aku juga masih ada," ucap Andri memberitahu."Jadi ... kamu ke sini mau ngajak aku buat periksa dede gitu?" tanya Arkan seraya membelai lembut perut sang istri.Andri hanya mengangguk seolah membenarkan ucapan Arkan.Arkan menelan ludah. Lengannya masih bertumpu pada perut sang istri. Seolah tengah menyapa kehidupan baru di sana."Terus ... jadwalnya kapan, Dek?" tanya Ar
Andri membuka pintu ruangan Arkan dengan kasar, membuat suara dentuman keras yang menggema di dalam. Nafasnya tersengal, dadanya naik turun, sementara matanya menyapu tajam ke sekeliling ruangan."Mas Arkan! Kamu sama siapa di dalam?!" teriaknya lantang, suaranya penuh tuduhan.Arkan yang saat itu tengah asyik mainan mobilan di dekat mejanya, sontak langsung terkesiap. Ia segera melepas mainannya dan berdiri. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal, bingung dengan kehadiran sang istri yang tiba-tiba dan penuh emosi."Mas Arkan!" seru Andri sekali lagi, kali ini dengan lebih keras.Arkan menghela napas pelan. "Ada apa, Dek? Kok kamu ke sini nggak bilang-bilang?" tanyanya, suaranya tetap tenang.Andri melangkah maju, mendekatinya dengan sorot mata tajam. "Kalau aku bilang-bilang, aku nggak akan tahu kalau kamu selingkuh! Hayo, ngaku, kamu pasti lagi selingkuh kan di dalam?!" cecarnya penuh amarah.Arkan mengernyitkan dahi, berusaha memahami maksud istrinya. Ia bermaksud mengambil lengan
Dua bulan berlalu setelah pertemuan tak sengaja antara Agra dan Arsy di rumah Andri, ternyata membawa sebuah kebahagiaan tersendiri bagi keluarga mereka.Agra dan Arsy pun akhirnya menyelenggarakan pernikahan mewah mereka yang kemarin sempat tertunda karena Arsy yang menghilang.Semua keluarga, sahabat dan juga kolega bisnis mereka, turut hadir, menyaksikan pernikahan yang telah lama dinantikan itu.Gosip-gosip yang bilang bahwa Agra menganut "kaum pelangi" pun seketika menguap begitu saja, saat mengetahui bahwa Agra menikah dengan seorang wanita bahkan telah memiliki anak yang wajahnya begitu mirip dirinya.Kini, saat semuanya tengah berkumpul di ruang keluarga kediaman Kakek Gala, Agra pun segera membicarakan rencananya untuk berbulan madu."Humai, lu ajak, Mas?" tanya Arkan yang saat itu tengah menggendong Humai sambil memainkan salah satu mobilan miliknya."Ajak, lah! Masa iya gua tinggal dia sendirian di sini," ucap Agra sambil tersenyum."Elah, kalian bulan madu berdua aja. Biar
Arkan membelai lembut punggung Humai, berusaha menenangkan sang anak yang ketakutan."Humai, itu Papa, Nak," ucap Arsy pada akhirnya.Humai mendongak, menatap wajah Arsy dan Agra bergantian."Papa?" tanyanya pelan, nyaris berbisik.Arsy mengangguk mantap, lalu segera mengambil Humai dari gendongan Arkan."Iya, Oom ini adalah Papa kamu. Papa kandung kamu," ucap Arsy kembali.Humai sedikit terkejut. Ia menatap Agra ragu-ragu, seolah mencari kebenaran dalam sorot mata pria itu. Agra sendiri tampak membeku, tidak tahu harus bereaksi seperti apa.Arkan dan Andri saling pandang sebentar, dan keduanya seolah menahan napas bersama. Situasi ini sedikit sulit, namun cepat atau lambat, semua pasti akan terjadi."Papa?" ulang Humai dengan suara lebih lirih. Matanya berkaca-kaca, tapi bukan karena takut—melainkan kebingungan.Agra, yang sejak tadi diam, akhirnya berlutut di depan Humai, berusaha menyamakan tinggi mereka. "Iya, Nak," ucapnya, suaranya bergetar. "Papa di sini."Humai menggigit bibir