Halo semuanya. Makasih udah baca cerita ini. Kalau berkenan, mampir juga ya ke Istri Penebus Dosa. Cerita itu juga sebentar lagi tamat lho~
Kenzo yang sudah berbaring di sofa spontan bangkit dari posisinya setelah mendengar tawaran mengejutkan Qiyana. Sedangkan di tempatnya berada, Qiyana masih berusaha mempertahankan ekspresinya meskipun wajahnya sudah merah padam. Secara status, Qiyana dan Kenzo memang sudah sah menjadi suami-istri yang tentunya boleh melakukan apa pun. Namun, semuanya masih terasa sangat asing bagi Qiyana. Terlebih, kapan pun pernikahan ini bisa berakhir dan Qiyana tidak ingin ada apa pun yang tersisa. Qiyana kembali berdeham pelan. “Aku serius dengan tawaranku barusan. Kalau kamu ingin tidur di sini, tidurlah di sampingku, jangan di sofa. Rumah ini milikmu, kamu yang lebih berhak mendapat tempat paling nyaman. Meski sebenarnya kamu tidak perlu repot-repot menemaniku. Lagipula aku sudah merasa lebih baik.” Meskipun kilasan kejadian di club malam itu masih terus terbayang di kepala Qiyana, ia tidak ingin berlarut-larut dalam masalah tersebut. Walaupun harus berhati-hati, ia tetap tahu diri di mana dir
Qiyana terhuyung ke belakang ketika tembok di tempatnya bersandar tiba-tiba bergerak. Nyaris saja tubuhnya terjerembab kalau tidak buru-buru mencari pegangan. Wanita itu spontan memutar tubuhnya dan matanya langsung terbelalak saat melihat apa yang terjadi. Awalnya, Qiyana mengira terjadi gempa bumi di sini sampai tembok tempatnya bersandar bergetar. Tak disangka, ternyata ia malah dibuat terkejut dengan pemandangan yang kini tersaji di depan matanya. Tembok tempatnya bersandar tadi bergerak dan bergeser. Yang lebih mengejutkan lagi, rupanya ada sebuah ruangan gelap yang bmada di balik tembok tersebut. Selama beberapa saat, Qiyana masih menatap ke arah sana dengan tatapan tak percaya. Ia tidak menyangka ada ruangan tersembunyi di balik tembok ini. “Ruangan apa ini sebenarnya?” gumam Qiyana sembari mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Qiyana berusaha mencari orang yang mungkin saja bisa dirinya tanyai mengenai ruangan di balik tembok ini. Namun, tidak ada satu pun orang yang meli
Diamnya Kenzo membuat Qiyana ingin menarik pertanyaannya kembali. Namun, tentu saja ia tidak mungkin melakukan itu. Ketegangan semakin terlihat jelas di wajahnya, jantungnya pun sudah berdebar keras sejak tadi. Reaksi aneh yang Kenzo tunjukkan cukup mengejutkan Qiyana. Dari segala macam respon yang bisa lelaki itu berikan, Kenzo malah menertawakan dirinya. Bukan jenis tawa sinis atau mencemooh, melainkan tawa geli. Seolah-olah pertanyaannya yang sangat serius itu sebatas lelucon belaka. Padahal Qiyana sudah ketar-ketir sendiri setelah melontarkan pertanyaan seperti itu. Di saat Kenzo terlihat santai dan tidak sedikit pun memarahinya, ia malah memancing pertanyaan lain yang lebih buruk. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” tanya Kenzo yang sudah menghentikan tawanya. Lelaki itu kembali memasang wajah datar dan menatap Qiyana dengan sebelah alis terangkat. Qiyana gelagapan. Ia terlalu penasaran siapa sebenarnya lelaki yang telah menikahinya ini sampai tanpa sadar menanyakan perta
Sebuah pesan lagi datang dari nomor yang sama seperti sebelumnya. Kali ini berisi alamat sebuah café yang letaknya tidak jauh dari rumah ini. Qiyana berdecih sinis. Rupanya sang pengirim pesan bukan sedang mengajukan penawaran, melainkan memaksanya mengikuti yang dia inginkan. Qiyana masih menatap dua pesan tersebut tanpa berminat membalas. Membiarkan centang dua berubah menjadi centang biru. Seseorang di seberang sana pasti tahu kalau dirinya sudah membaca pesan ini. Tetapi, jangan harap Qiyana akan memberi balasan. Qiyana tidak menyangka manusia tak berperasaan ini masih berani mengirim pesan padanya. Bahkan, terkesan memaksanya untuk mengikuti yang orang itu inginkan. Memangnya siapa dia sampai Qiyana harus patuh?Seseorang itu memang pernah Qiyana anggap penting dalam hidupnya. Setidaknya begitu sebelum orang itu menusuknya dari belakang tanpa belas kasihan sama sekali. Sekeras apa pun orang itu memaksanya, ia tidak peduli. Paling-paling si pengirim pesan ini hanya ingin mena
Tubuh Qiyana mendadak kaku dengan sorot mata yang tertuju pada sebuah video yang ada di dalam ponsel Feli. Tampilan yang tersaji di depan matanya sangat mengerikan. Namun, manik matanya seakan terkunci dan tak bisa berpaling sama sekali. Feli menampilkan sebuah video berisi rekaman CCTV di suatu tempat. Entah di mana tempat itu, Qiyana juga tidak mengetahuinya. Namun, bukan itu yang menjadi fokusnya, melainkan seseorang yang sedang menghajar lawannya tanpa ampun padahal jelas-jelas sang lawan sudah terkapar. Kenzo Pradipta. Qiyana yakin seseorang yang memukuli lawannya tanpa ampun itu adalah lelaki yang berstatus sebagai suami kontraknya sekarang. Wanita itu bergidik ngeri menyaksikan bagaimana bengisnya Kenzo menghajar lelaki yang sudah tidak berdaya. Seringai penuh makna yang tersungging di wajah Feli semakin lebar melihat ekspresi tegang adik tirinya. Tak sia-sia ia jauh-jauh datang ke tempat ini untuk menemui Qiyana. “Melihat ekspresimu yang tegang begini, sepertinya kamu memang
Qiyana yang sudah nyaris membuka pintu mobil Kenzo langsung menegang mendengar pertanyaan lelaki itu. Selama beberapa saat, ia bergeming di tempat sembari memikirkan alasan apa paling masuk akal untuk menjawab pertanyaan tersebut. Qiyana tidak menyangka Kenzo sampai menyusulnya kemari dan malah bertemu dengan Feli juga. Padahal ia sudah susah-susah menyembunyikan semuanya dari lelaki itu. Ia benar-benar menyesali keputusannya bertemu dengan kakak tirinya itu hari ini. Wanita itu kembali memutar tubuhnya setelah berhasil menemukan sebuah alasan di kepalanya. Entah alasan ini tepat atau tidak, yang terpenting ia sudah mencoba. Semoga saja jawabannya termasuk masuk akal dan Kenzo akan percaya. “Kak Feli?” sahut Qiyana dengan kening mengerut, berpura-pura bingung. “Memangnya dia ada di sini juga? Kapan? Aku tidak tahu dia ada di sini. Aku tidak melihatnya saat berada di dalam tadi. Mungkin karena aku terlalu fokus berbincang dengan teman lamaku itu.” Di balik ketenangan yang terpampang
Qiyana yang sedang mengunyah makanannya langsung tersedak mendengar kata-kata yang Nadira lontarkan. Wanita itu sampai terbatuk-batuk dengan mata berkaca-kaca dan memerah. Sontak saja itu membuat Nadira panik dan segera membantu mengusap punggung wanita itu seraya menyodorkan segelas air. Meskipun sudah merasa lebih baik, Qiyana belum berani membalas tatapan Nadira yang masih menatapnya dengan sorot khawatir. Wanita itu terlalu terkejut mendengar informasi yang Nadira sampaikan barusan. Waktu itu Qiyana memang ingin menanyakan pada Kenzo apa yang terjadi setelah dirinya pingsan. Dan juga bagaimana ceritanya hingga lelaki itu bisa membawanya pulang. Tetapi, akhirnya ia malah lupa. “Kamu kenapa sampai tersedak begini? Apa aku salah bicara?” tanya Nadira yang masih berdiri di samping Qiyana. Sebelah tangan wanita itu juga masih mengusap punggung Qiyana naik-turun. “Sudah merasa lebih baik?” Qiyana kembali mengangkat kepalanya setelah berhasil menyembunyikan keterkejutannya. Kemudina,
Qiyana spontan meronta, berusaha melepaskan diri. Namun, seseorang di belakangnya ini malah mengeratkan kunciannya. Tak sampai di sana, orang itu juga langsung menarik dirinya dari tempat tersebut. Tentu saja Qiyana semakin panik dan berusaha meronta lebih kuat. Tetapi, tenaganya kalah kuat dengan sosok lelaki yang entah kenapa tiba-tiba menariknya ini. “Jangan takut, ikutlah denganku,” bisik orang itu tepat di telinga Qiyana. Setelah mendengar suara yang cukup familiar itu, Qiyana tidak lagi berusaha meronta. Wanita itu diam dan menurut, mengikuti langkah lelaki yang membimbingnya terus melangkah mundur itu. Cukup mengejutkan karena ternyata orang itu membawanya kembali ke kamarnya. Qiyana langsung memutar tubuhnya setelah orang itu melepaskannya. Ternyata dugaannya tidak meleset, memang Kenzo yang tiba-tiba menyeretnya. Terlalu panik membuatnya tidak bisa berpikir jernih tadi. Bahkan, ia tidak menyadari aroma parfum familiar yang menusuk indta penciumannya. “Apa yang kamu lakukan
“Aku hanya ingin memberi ucapan selamat ulang tahun pada keponakanku, apa itu salah?” sahut Amanda yang tidak terlihat tersinggung sama sekali oleh kata-kata kasar yang Kenzo ucapkan. “Aku tahu keponakanku berulang tahun hari ini dan aku hanya ingin memberi sedikit hadiah untuknya.”“Dari mana kamu tahu kalau ulang tahun putraku dirayakan di sini?” Kenzo kembali mengulang pertanyaannya dengan nada lebih menuntut dan tatapan yang semakin tajam. “Kalau kamu hanya berniat mengacaukan acara ini, lebih baik kamu pergi.”Qiyana yang bingung harus melakukan apa hanya mengelus bahu Kenzo, berusaha menenangkan lelaki itu. Walaupun selama ini Amanda memang sering melakukan hal-hal tak terduga, tetapi ia yakin kali ini Amanda tidak memiliki niatan buruk. “Jangan terlalu keras padanya, mungkin dia memang hanya ingin memberi ucapan selamat untuk Rey,” bisik Qiyana pada Kenzo. “Jangan langsung mengusirnya seperti ini. Setidaknya kita bisa bicara baik-baik dengannya.”Amanda berdeham pelan sera
“Apa kamu yakin acaranya tidak diadakan di rumah saja? Kalau acaranya di luar, bisa saja ada wartawan yang melihat kita. Hari ini sangat spesial dan aku tidak mau terjadi masalah baru,” tutur Qiyana yang sedang menyuapi putranya. “Tentu saja tidak, Sayang. Semuanya sudah dipersiapkan sejak jauh-jauh hari, sedikit merepotkan jika tempatnya dipindah. Lagipula Rey sangat menyukai tempatnya dan kamu juga tahu kalau aku tidak mengundang banyak orang. Percayalah tidak akan ada masalah yang terjadi,” sahut Kenzo tanpa keraguan sedikitpun. Tepat hari ini, Reynand Pratama Abimana genap berusia satu tahun. Sejak jauh-jauh hari, Qiyana dan Kenzo telah berencana untuk merayakan hari ulang tahun putra mereka. Tentu saja awalnya Qiyana hanya berniat mengadakan acara di rumah, namun siapa sangka Kenzo malah menawarkan untuk menggunakan salah satu ballroom hotelnya. Meskipun sudah saling terbuka sejak lama, nyatanya sampai saat ini Kenzo belum memiliki niatan untuk membuka hubungan mereka di de
“Aku yakin kamu memang penguntit,” jawab Qiyana sembari melirik foto-fotonya yang pernah Kenzo tunjukkan beberapa waktu lalu. “Kalau tidak, mana mungkin kamu masih menyimpannya. Lagipula tidak ada yang bagus juga dari foto-foto itu. Buang saja.” Akan tetapi, jujur saja sekarang Qiyana malah lebih penasaran dengan foto-foto tersebut daripada dokumen di tangannya. Waktu itu Kenzo sudah berjanji akan memberi penjelasan lebih lanjut, namun akhirnya terlupakan begitu saja. Qiyana yakin ayahnya tidak mungkin memberikan fotonya secara cuma-cuma pada Kenzo. Ayahnya adalah tipe orang yang tidak terlalu terbuka dengan orang lain, apalagi untuk memberikan hal privasi seperti ini. “Buang? Aku tidak mungkin melakukannya, untuk apa aku melakukan itu setelah mendapatkannya dengan susah payah? Aku berbohong tentang ayahmu yang memberikan foto-foto ini padaku. Anggap saja aku memang penguntit,” jawab Kenzo santai tanpa beban. Qiyana kontan menoleh dengan mata terbelalak dan mulut menganga. “Apa?! J
“Aku ingin ikut denganmu,” pinta Qiyana seraya mencekal lengan suaminya. Kekhawatiran terpampang jelas di wajah Qiyana. Terlepas dari segala kejahatan dan luka yang telah ibu tirinya torehkan, ia tetap tidak bisa mengelak kekhawatirannya. Baru minggu lalu mereka bertemu, meski akhirnya juga tidak menyenangkan dan sekarang dirinya mendapat kabar seperti ini. “Tidak bisa, Sayang. Kalau kamu ikut, bagaimana dengan Rey? Kita tidak bisa membawanya ke rumah sakit. Kamu tunggu di rumah saja ya? Kalau terjadi sesuatu, aku pasti langsung mengabarimu. Aku pergi.” Kenzo mengecup kening Qiyana dan Reynand sekilas sebelum beranjak pergi. “Tapi—”Sebelum Qiyana sempat melanjutkan kalimatnya, Kenzo lebih dulu beranjak pergi tanpa menoleh lagi. Lelaki itu tampak sangat terburu-buru dan kembali bertelepon, sepertinya dengan Rangga. Qiyana pun memilih tidak memaksakan diri karena menyadari jika situasi yang dihadapi saat ini cukup rumit. Qiyana hanya bisa menunggu dengan perasaan campur aduk y
Semua orang yang berada di ruangan itu panik dan langsung berusaha menjauhkan Ambar dari Qiyana. Namun, wanita paruh itu malah semakin mengeratkan cekikannya. Ia nyaris membuat Qiyana terseret dari ranjang karena mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencekik putri sambungnya itu. Qiyana terbatuk dengan napas putus-putus setelah cekikan Ambar terlepas dari lehernya. Wajahnya sudah berubah merah padam. Cekikan itu benar-benar membuatnya nyaris kehabisan napas. Entah bagaimana caranya Ambar membuka borgol yang jelas-jelas masih terpasang di tangan wanita paruh baya itu. Ambar yang masih mengamuk langsung ditarik paksa oleh polisi yang berada di sana. Dengan sigap, para polisi itu memborgol tangan Ambar lagi dan memastikan borgol tersebut tidak akan terlepas lagi. “Panggilkan dokter sekarang!” perintah Kenzo pada sang asisten yang langsung bergegas kelaur dari ruangan tersebut. Lelaki itu menatap sang istri yang masih terbatuk dengan sorot khawatir. “Maaf, Sayang. Aku tidak tahu akhi
Qiyana menatap sosok yang baru saja datang dan kini berdiri tepat di hadapannya dari atas sampai bawah. Tatapan tak percaya masih terlihat sangat jelas dari sorot matanya. Wanita itu mengerjapkan matanya berulang kali, khawatir sesuatu yang terlihat di depan matanya hanya ilusi. “Kamu sudah bisa berjalan?” tanya Qiyana dengan ekspresi campur aduk melihat Kenzo sudah dapat kembali berjalan meski dengan langkah tertatih-tatih. “Ssshhh … di mana kursi rodamu? Jangan memaksakan diri, bagaimana kalau keadaanmu malah semakin parah?” Sejak beberapa hari terakhir, Kenzo memang sangat gencar berlatih agar otot tubuhnya tidak kaku dan dapat segera digerakkan normal lagi seperti sediakala. Namun, sejauh ini belum terlihat hasil yang memuaskan karena lelaki itu masih kesulitan berdiri. Dan seharusnya lelaki itu tidak memaksakan diri sampai seperti ini. “Maaf, aku meninggalkanmu sendirian terlalu lama. Kenapa kamu turun dari brankar? Kamu pasti ingin ke toilet lagi ya?” Alih-alih menanggapi pert
“Apa? Kamu akan melahirkan sekarang?! Bagaimana mungkin? Bukannya dokter mengatakan kamu akan melahirkan minggu depan?” cerca Kenzo seraya berusaha meminta tolong pada orang-orang yang ada di sekitar taman tersebut. Di saat seperti ini, Kenzo merasa dirinya benar-benar tidak berguna. Seharusnya ia langsung bangkit dan menggendong istrinya ke ruang IGD atau ruangan apa pun itu. Namun, untuk bangkit dari kursi rodanya saja dirinya sangat kesulitan. Qiyana yang sudah tidak kuat menahan bobot tubuhnya sudah terduduk di rerumputan sembari mencengkeram blouse selutut yang dikenakannya. Nyeri yang menjalari perutnya semakin kuat dengan sakit yang tidak bisa didefinisikan dengan kata-kata. “Aku tidak tahu kenapa seperti ini. Sakit sekali, aku tidak kuat,” lirih Qiyana dengan keringat dan air mata yang bercucuran. Sejak bangun tidur pagi ini, Qiyana memang tetalh merasakan sesuatu yang janggal dari tubuhnya. Sejak beberapa jam lalu dirinya selalu bolak-balik ke toilet untuk buang air kecil
“Coba ulangi kata-kata terakhirmu tadi,” cerca Kenzo sembari mencekal lengan Qiyana. Qiyana yang sebenarnya sedang menenangkan debar jantungnya yang menggila tetap memasang senyum di wajahnya. Seolah-olah kata-kata yang barusan terlontar dari mulutnya bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Padahal sesungguhnya wanita itu ingin segera melarikan diri dari sini karena malu. Kata-kata itu tiba-tiba meluncur dari mulutnya tanpa bisa dicegah. Tetapi, Qiyana tidak menyesalinya sama sekali. Selama ini ia terlalu banyak bersembunyi di balik gengsi dan harga diri. Tidak ada salahnya mencoba lebih jujur dibanding hanya menyimpannya seorang diri. “Aku hanya mengatakannya sekali dan tidak ada pengulangan lagi. Sekarang bukan waktunya mengobrol, jadi lebih baik kamu tidur saja. Kamu masih dalam masa pemulihan, harus banyak-banyak beristirahat,” sahut Qiyana dengan senyum miring. Kenzo menggeram rendah. “Kamu pikir aku bisa tidur setelah kamu mengatakan itu tanpa kejelasan lagi? Aku tidak akan t
“Ka-kamu sudah sadar?” gumam Qiyana dengan tatapan terbelalak. Sepasang mata berwarna kecokelatan itu berkaca-kaca. “Aku akan—aw!” Wanita refleks meneggakkan kepalanya dan saat itu juga nyeri yang menjalari tengkuknya semakin terasa.Kenzo membuka peralatan medis yang terpasang di mulutnya setelah mengumpulkan tenaga untuk mengangkat tangannya. “Sayang, apa kamu baik-baik saja? Lehermu pasti sakit karena tidur dengan posisi duduk,” tanya lelaki itu dengan suara serak.Suara bariton yang sangat Qiyana rindukan itu kembali terdengar. Meskipun sangat serak dan lirih, itu sudah cukup untuk membayar perasaan campur aduk yang selalu membelenggunya setiap hari selama berbulan-bulan ini. Sekali lagi Qiyana menatap sang suami yang juga menatapnya, memastikan jika ini semua bukanlah halusinasi. Tanpa membalas pertanyaan suaminya, Qiyana langsung merengkuh tubuh lelaki itu dengan isak tangis yang berurai dari bibirnya. Ketika kulitnya bersentuhan dengan kulit Kenzo, ada kehangatan yang teras