Atmosfer tegang langsung menyelimuti ketiganya setelah Nadira spontan menanyakan hal itu. Qiyana dan Kenzo saling mencuri pandang satu sama lain selama beberapa saat. Qiyana memelototi Kenzo yang nyaris membocorkan rahasia besar mereka di depan Nadira. Qiyana memelototi Kenzo yang nyaris saja membocorkan rahasia mereka. Meskipun hanya di depan Nadira, tetap saja jangan sampai wanita itu tahu. Terlebih, sebentar lagi Qiyana dan Kenzo juga akan berpisah. Tidak perlu ada yang mengetahui tentang pernikahan diam-diam mereka, selain Feli yang sudah terlanjur tahu. Sedangkan Kenzo hanya melengos tanpa merasa bersalah sama sekali. Qiyana menggerutu dalam hati, bisa-bisanya lelaki itu malah melontarkan kata-kata seperti tadi. Padahal jelas-jelas dia juga yang sejak awal ingin semuanya dirahasiakan dari semua orang. “Eh, maaf. Saya hanya asal bicara, tolong jangan dimasukkan ke hati. Karena kamar yang tersisa hanya dua, bagaimana kalau Qiyana satu kamar saja dengan saya? Setidaknya hanya untu
Qiyana spontan menoleh ke samping karena merasa ada yang memanggil namanya. Wanita itu tersentak menyadari ada satu orang lagi yang berada di dalam lift ini selain dirinya. Yang lebih mengejutkan lagi, ternyata orang itu adalah sosok yang sangat dirinya kenal. “Gino?” tutur Qiyana spontan. Ekspresi Qiyana yang semula tertekuk perlahan-lahan kembali berubah cerah. Setelah sekian tahun tak bertemu, ia tidak menyangka bisa bertemu lagi dengan lelaki ini. Senyum manisnya mulai mengembang. Meskipun pikirannya sedang berantakan, orang lain tidak perlu mengetahuinya. Gino yang tadinya bersandar di ujung lift menegakkan tubuhnya dan memangkas jarak di antara dirinya dan Qiyana. Senyum lebar mengembang di wajah lelaki itu. Ditambah lagi dengan kedua lesung pipit yang terlihat dan menambah kesan menawan. “Ternyata memang benar kamu, aku pikir salah orang. Aku sedikit pangling karena sekarang kamu semakin cantik. Bagaimana kabarmu sekarang? Apa sekarang kamu tinggal di sini? Atau hanya sekada
Qiyana yang tadinya hanya ingin menemani Kenzo sampai terlelap malah ketiduran di kamar itu sampai hari berganti. Jam memang masih menunjukkan waktu dini hari, tetapi tetap saja ia sudah melewati batas terlalu lama. Tanpa memedulikan kepalanya yang mendadak berdenyut nyeri karena memaksakan langsung bangun setelah terkejut. Cukup sulit melepaskan rengkuhan Kenzo yang masih sama seperti semalam. Namun, akhirnya ia bisa melepaskan diri dan segera beranjak dari kamar hotel lelaki itu tanpa pamit. Setelah keluar dari kamar Kenzo, Qiyana berpikir keras, memilah bagaimana cara menjawab pertanyaan Nadira nantinya. Wanita itu pasti heran mengapa dirinya tak kunjung kembali setelah mengantar obat dan bubur untuk Kenzo. Belum sempat mendapatkan ide untuk menjawab, ia malah sudah tiba di kamarnya dengan Nadira. Ruangan tersebut masih gelap ketika Qiyana masuk ke sana. Kemungkinan besar, Nadira juga sedang tidur. Masih ada selang beberapa jam lagi sebelum matahari terbit. Seharusnya kedatangann
Qiyana berusaha meredam isak tangisnya dengan menggigit bibir bawahnya. Kedua tangannya mencengkeram kuat selimut yang membalut tubuhnya sampai menutup leher. Manik matanya yang penuh air mata menatap nanar ke arah pakaiannya yang berserakan di mana-mana. Malam ini bagaikan mimpi terburuk bagi Qiyana. Tak ada lagi yang tersisa, sekarang semuanya sudah hancur. Hanya menyisakan bekas luka yang menganga di hatinya. Qiyana tidak menyangka kesuciannya yang ia jaga selama ini hilang begitu saja karena seseorang yang wanita itu pikir akan menjadi pelindungnya. Qiyana ingin meraung, namun suaranya seakan-akan menghilang. Apa yang baru saja dirinya alami benar-benar sangat membekas dalam ingatannya. Terus berputar bagaikan kaset rusak yang tak mau pergi dari kepalanya. Wanita itu ingin kembali memutar waktu dan mencegah semuanya lebih keras lagi. Namun, apa ada kenyataan yang terjadi malah melenceng jauh dari keinginannya. Jangankan memutar waktu, menyesali apa yang baru saja terjadi pun sep
Qiyana spontan melepaskan genggaman tangan orang itu dan menoleh ke samping. Alangkah terkejutnya wanita itu saat mendapati Kenzo lah yang duduk di sampingnya. Manik matanya bergulir mencari seseorang yang seharusnya menempati kursi di sampingnya. Namun, Gino tidak terlihat di manapun. Tak puas dengan hasil penglihatannya, Qiyana langsung berdiri dan menelisik satu per satu penumpang yang ada di dalam pesawat. Tetapi tetap saja sosok Gino tak terlihat. Padahal jelas-jelas lelaki itu yang bersamanya sebelum dan sampai pesawat ini mulai mengudara. Tidak mungkin Gino yang sengaja memberitahu Kenzo dan mengacaukan seluruh rencananya. Lelaki itu tidak mungkin tega menipunya. Sayangnya, Qiyana tidak menemukan di mana Gino berada untuk menanyakan kebenarannya. “Qiyana, apa yang kamu cari? Duduklah!” seru Kenzo sembari menarik tangan Qiyana dan memberi isyarat agar wanita itu segera kembali duduk. “Ini masih setengah perjalanan. Apa kamu lapar? Atau mungkin haus?” Qiyana menyentak tangan K
Suara familiar itu membuat Qiyana sudah bisa menebak siapa yang datang menghampiri dirinya dan Kenzo. Siapa lagi kalau bukan Amanda, sepupu lelaki itu. Entah ia perlu mensyukurinya atau tidak. Namun, kedatangan Amanda berhasil membuat Kenzo berhenti menempeli dirinya. Kenzo yang tadinya bersikukuh mengajaknya mencari tempat sarapan langsung sibuk dengan Amanda. Mengabaikan hatinya yang entah kenapa terasa perih, Qiyana segera memanfaatkan kesempatan yang ada untuk melepaskan diri. Perlahan-lahan Qiyana melangkah mundur tanpa sepengetahuan Kenzo. Amanda pun tampaknya memberi jalan agar dirinya bisa pergi dari sana dengan mudah. Masa bodoh lah, yang terpenting ia tidak perlu terjebak dengan dua orang itu lagi. “Qiyana, kamu masih ada di sini?” sapa Gino yang nyaris bertabrakan dengan Qiyana. Lelaki itu mengernyit heran melihat Qiyana yang terlihat aneh. Namun, memilih mengabaikan keanehan tersebut. “Aku pikir kamu sudah pulang. Mana suamimu? Maaf, tadi aku terpaksa pindah tempat dudu
“Apa kamu lupa kalau seorang istri harus meminta izin pada suaminya sebelum pergi ke mana pun?” sindir Kenzo yang langsung menarik Qiyana masuk ke kamar itu dan menguncinya. Kenzo menyudutkan Qiyana di dinding dan tidak membiarkan wanita itu bergerak ke mana pun. Sementara koper milik Qiyana dibiarkan begitu saja di luar kamar tersebut. Kemarahan terlihat sangat jelas dari raut wajah lelaki itu. Urat-urat di lehernya sampai sampai terlihat jelas. Alih-alih merasa takut, Qiyana malah menyunggingkan senyum miring. Seolah-olah sengaja menantang lelaki di hadapannya ini. Keterlambatan pulangnya ini memang di luar rencana, tetapi ia tidak merasa salah apalagi harus meminta maaf. Tidak ada yang berhak melarangnya melakukan apa pun. Seperti Kenzo yang bebas dekat dan melakukan apa pun dengan Amanda, Qiyana merasa dirinya juga memiliki hak yang sama. Lagipula dirinya dan Gino juga tidak berbuat macam-macam selain jalan-jalan dan mengobrol. Kalau bukan karena Gino yang secara tidak langsung
Qiyana yang lebih banyak melihat ke belakang tidak menyadari kalau ada mobil yang melaju dari arah berlawanan. Tepat ketika tubuhnya nyaris menabrak mobil tersebut, Kenzo lebih dulu menariknya hingga punggung lelaki itu menabrak pagar. “Kamu baik-baik saja? Apa ada yang terluka?” tanya Kenzo khawatir. Lelaki itu langsung memeriksa keadaan Qiyana dari atas sampai bawah, memastikan tidak ada luka yang timbul karena kejadian barusan. Meskipun kakinya sedikit berdenyut nyeri, Qiyana memaksakan langsung menegakkan tubuhnya. Ia pun tidak menyangka sampai nyaris tertabrak hanya karena ingin pergi sebentar. Itu juga karena Kenzo yang menyebalkan dan terus mengejarnya. Mobil yang nyaris bertabrakan dengan Qiyana itu ternyata salah satu mobil milik Kenzo yang dibawa oleh supir lelaki itu. Sang supir langsung turun, menghampiri Qiyana dan Kenzo untuk meminta maaf dan menanyakan keadaan keduanya. Kenzo langsung memarahi pria itu dengan kalimat pedas. Padahal sebenarnya yang salah dan tidak mem