Qiyana yang tadinya hanya ingin menemani Kenzo sampai terlelap malah ketiduran di kamar itu sampai hari berganti. Jam memang masih menunjukkan waktu dini hari, tetapi tetap saja ia sudah melewati batas terlalu lama. Tanpa memedulikan kepalanya yang mendadak berdenyut nyeri karena memaksakan langsung bangun setelah terkejut. Cukup sulit melepaskan rengkuhan Kenzo yang masih sama seperti semalam. Namun, akhirnya ia bisa melepaskan diri dan segera beranjak dari kamar hotel lelaki itu tanpa pamit. Setelah keluar dari kamar Kenzo, Qiyana berpikir keras, memilah bagaimana cara menjawab pertanyaan Nadira nantinya. Wanita itu pasti heran mengapa dirinya tak kunjung kembali setelah mengantar obat dan bubur untuk Kenzo. Belum sempat mendapatkan ide untuk menjawab, ia malah sudah tiba di kamarnya dengan Nadira. Ruangan tersebut masih gelap ketika Qiyana masuk ke sana. Kemungkinan besar, Nadira juga sedang tidur. Masih ada selang beberapa jam lagi sebelum matahari terbit. Seharusnya kedatangann
Qiyana berusaha meredam isak tangisnya dengan menggigit bibir bawahnya. Kedua tangannya mencengkeram kuat selimut yang membalut tubuhnya sampai menutup leher. Manik matanya yang penuh air mata menatap nanar ke arah pakaiannya yang berserakan di mana-mana. Malam ini bagaikan mimpi terburuk bagi Qiyana. Tak ada lagi yang tersisa, sekarang semuanya sudah hancur. Hanya menyisakan bekas luka yang menganga di hatinya. Qiyana tidak menyangka kesuciannya yang ia jaga selama ini hilang begitu saja karena seseorang yang wanita itu pikir akan menjadi pelindungnya. Qiyana ingin meraung, namun suaranya seakan-akan menghilang. Apa yang baru saja dirinya alami benar-benar sangat membekas dalam ingatannya. Terus berputar bagaikan kaset rusak yang tak mau pergi dari kepalanya. Wanita itu ingin kembali memutar waktu dan mencegah semuanya lebih keras lagi. Namun, apa ada kenyataan yang terjadi malah melenceng jauh dari keinginannya. Jangankan memutar waktu, menyesali apa yang baru saja terjadi pun sep
Qiyana spontan melepaskan genggaman tangan orang itu dan menoleh ke samping. Alangkah terkejutnya wanita itu saat mendapati Kenzo lah yang duduk di sampingnya. Manik matanya bergulir mencari seseorang yang seharusnya menempati kursi di sampingnya. Namun, Gino tidak terlihat di manapun. Tak puas dengan hasil penglihatannya, Qiyana langsung berdiri dan menelisik satu per satu penumpang yang ada di dalam pesawat. Tetapi tetap saja sosok Gino tak terlihat. Padahal jelas-jelas lelaki itu yang bersamanya sebelum dan sampai pesawat ini mulai mengudara. Tidak mungkin Gino yang sengaja memberitahu Kenzo dan mengacaukan seluruh rencananya. Lelaki itu tidak mungkin tega menipunya. Sayangnya, Qiyana tidak menemukan di mana Gino berada untuk menanyakan kebenarannya. “Qiyana, apa yang kamu cari? Duduklah!” seru Kenzo sembari menarik tangan Qiyana dan memberi isyarat agar wanita itu segera kembali duduk. “Ini masih setengah perjalanan. Apa kamu lapar? Atau mungkin haus?” Qiyana menyentak tangan K
Suara familiar itu membuat Qiyana sudah bisa menebak siapa yang datang menghampiri dirinya dan Kenzo. Siapa lagi kalau bukan Amanda, sepupu lelaki itu. Entah ia perlu mensyukurinya atau tidak. Namun, kedatangan Amanda berhasil membuat Kenzo berhenti menempeli dirinya. Kenzo yang tadinya bersikukuh mengajaknya mencari tempat sarapan langsung sibuk dengan Amanda. Mengabaikan hatinya yang entah kenapa terasa perih, Qiyana segera memanfaatkan kesempatan yang ada untuk melepaskan diri. Perlahan-lahan Qiyana melangkah mundur tanpa sepengetahuan Kenzo. Amanda pun tampaknya memberi jalan agar dirinya bisa pergi dari sana dengan mudah. Masa bodoh lah, yang terpenting ia tidak perlu terjebak dengan dua orang itu lagi. “Qiyana, kamu masih ada di sini?” sapa Gino yang nyaris bertabrakan dengan Qiyana. Lelaki itu mengernyit heran melihat Qiyana yang terlihat aneh. Namun, memilih mengabaikan keanehan tersebut. “Aku pikir kamu sudah pulang. Mana suamimu? Maaf, tadi aku terpaksa pindah tempat dudu
“Apa kamu lupa kalau seorang istri harus meminta izin pada suaminya sebelum pergi ke mana pun?” sindir Kenzo yang langsung menarik Qiyana masuk ke kamar itu dan menguncinya. Kenzo menyudutkan Qiyana di dinding dan tidak membiarkan wanita itu bergerak ke mana pun. Sementara koper milik Qiyana dibiarkan begitu saja di luar kamar tersebut. Kemarahan terlihat sangat jelas dari raut wajah lelaki itu. Urat-urat di lehernya sampai sampai terlihat jelas. Alih-alih merasa takut, Qiyana malah menyunggingkan senyum miring. Seolah-olah sengaja menantang lelaki di hadapannya ini. Keterlambatan pulangnya ini memang di luar rencana, tetapi ia tidak merasa salah apalagi harus meminta maaf. Tidak ada yang berhak melarangnya melakukan apa pun. Seperti Kenzo yang bebas dekat dan melakukan apa pun dengan Amanda, Qiyana merasa dirinya juga memiliki hak yang sama. Lagipula dirinya dan Gino juga tidak berbuat macam-macam selain jalan-jalan dan mengobrol. Kalau bukan karena Gino yang secara tidak langsung
Qiyana yang lebih banyak melihat ke belakang tidak menyadari kalau ada mobil yang melaju dari arah berlawanan. Tepat ketika tubuhnya nyaris menabrak mobil tersebut, Kenzo lebih dulu menariknya hingga punggung lelaki itu menabrak pagar. “Kamu baik-baik saja? Apa ada yang terluka?” tanya Kenzo khawatir. Lelaki itu langsung memeriksa keadaan Qiyana dari atas sampai bawah, memastikan tidak ada luka yang timbul karena kejadian barusan. Meskipun kakinya sedikit berdenyut nyeri, Qiyana memaksakan langsung menegakkan tubuhnya. Ia pun tidak menyangka sampai nyaris tertabrak hanya karena ingin pergi sebentar. Itu juga karena Kenzo yang menyebalkan dan terus mengejarnya. Mobil yang nyaris bertabrakan dengan Qiyana itu ternyata salah satu mobil milik Kenzo yang dibawa oleh supir lelaki itu. Sang supir langsung turun, menghampiri Qiyana dan Kenzo untuk meminta maaf dan menanyakan keadaan keduanya. Kenzo langsung memarahi pria itu dengan kalimat pedas. Padahal sebenarnya yang salah dan tidak mem
Tidur lelap Qiyana terusik karena perutnya yang tiba-tiba bergejolak. Secepat kilat wanita itu turun dari ranjang dan berlari ke toilet. Dan ia pun kembali memuntahkan isi perutnya yang sebenarnya belum terisi apa pun. Sudah nyaris seminggu Qiyana merasakan sesuatu yang aneh pada tubuhnya. Setiap kali bangun tidur, ia pasti mual-mual dan berujung memuntahkan cairan bening. Gejala ini berawal sejak dirinya pergi ke pesta ulang tahun kenalan Gino tempo hari. Qiyana yang masih menyandarkan tubuhnya di tembok kontan tersentak ketika tak sengaja mendengar pintu kamarnya terbuka. Sontak saja, wanita itu segera menegakkan tubuhnya. Namun, pening hebat malah menghantam kepalanya dan ia terpaksa kembali berpegangan pada tembok. Kenzo yang sedang mencari Qiyana dibuat terkejut melihat wanita itu berada di toilet dengan keadaan kurang baik. Qiyana terlihat sangat pucat dan nyaris terjatuh kalau tidak berpegangan pada tembok di belakangnya. “Kamu kenapa? Sakit?” tanya Kenzo sembari menyentuh b
Qiyana yang baru saja kembali dari toilet langsung menyandarkan punggungnya di kursi sembari memijat kepalanya yang terasa pening. Wanita itu meneguk orange juicenya perlahan-lahan hingga mual itu akhirnya menghilang. Baru beberapa suap saja Qiyana melahap makanannya, tetapi akhirnya sama saja. Padahal sebelumnya ia sangat menginginkan makanan yang tersaji di hadapannya itu. Sayangnya, makanan tersebut malah berakhir ia muntahkan lagi. “Kenapa tidak mengatakan apa pun kalau kamu sedang sakit?” Gino yang sedari tadi memperhatikan Qiyana akhirnya membuka suara. “Aku tidak sakit, hanya sedikit pusing saja, mungkin karena kepanasan. Sebentar lagi pasti mendingan. Ayo, kita lanjut makan saja, tidak perlu mengkhawatirkan keadaanku,” jawab Qiyana dengan senyum tipis. Sebenarnya Qiyana ingin menceritakan gejala aneh yang dirinya alami ini pada Gino. Itulah yang membuatnya bersedia saat lelaki itu mengajaknya makan siang bersama. Tetapi, rasanya sulit sekali untuk menceritakan masalah yang
“Aku hanya ingin memberi ucapan selamat ulang tahun pada keponakanku, apa itu salah?” sahut Amanda yang tidak terlihat tersinggung sama sekali oleh kata-kata kasar yang Kenzo ucapkan. “Aku tahu keponakanku berulang tahun hari ini dan aku hanya ingin memberi sedikit hadiah untuknya.”“Dari mana kamu tahu kalau ulang tahun putraku dirayakan di sini?” Kenzo kembali mengulang pertanyaannya dengan nada lebih menuntut dan tatapan yang semakin tajam. “Kalau kamu hanya berniat mengacaukan acara ini, lebih baik kamu pergi.”Qiyana yang bingung harus melakukan apa hanya mengelus bahu Kenzo, berusaha menenangkan lelaki itu. Walaupun selama ini Amanda memang sering melakukan hal-hal tak terduga, tetapi ia yakin kali ini Amanda tidak memiliki niatan buruk. “Jangan terlalu keras padanya, mungkin dia memang hanya ingin memberi ucapan selamat untuk Rey,” bisik Qiyana pada Kenzo. “Jangan langsung mengusirnya seperti ini. Setidaknya kita bisa bicara baik-baik dengannya.”Amanda berdeham pelan sera
“Apa kamu yakin acaranya tidak diadakan di rumah saja? Kalau acaranya di luar, bisa saja ada wartawan yang melihat kita. Hari ini sangat spesial dan aku tidak mau terjadi masalah baru,” tutur Qiyana yang sedang menyuapi putranya. “Tentu saja tidak, Sayang. Semuanya sudah dipersiapkan sejak jauh-jauh hari, sedikit merepotkan jika tempatnya dipindah. Lagipula Rey sangat menyukai tempatnya dan kamu juga tahu kalau aku tidak mengundang banyak orang. Percayalah tidak akan ada masalah yang terjadi,” sahut Kenzo tanpa keraguan sedikitpun. Tepat hari ini, Reynand Pratama Abimana genap berusia satu tahun. Sejak jauh-jauh hari, Qiyana dan Kenzo telah berencana untuk merayakan hari ulang tahun putra mereka. Tentu saja awalnya Qiyana hanya berniat mengadakan acara di rumah, namun siapa sangka Kenzo malah menawarkan untuk menggunakan salah satu ballroom hotelnya. Meskipun sudah saling terbuka sejak lama, nyatanya sampai saat ini Kenzo belum memiliki niatan untuk membuka hubungan mereka di de
“Aku yakin kamu memang penguntit,” jawab Qiyana sembari melirik foto-fotonya yang pernah Kenzo tunjukkan beberapa waktu lalu. “Kalau tidak, mana mungkin kamu masih menyimpannya. Lagipula tidak ada yang bagus juga dari foto-foto itu. Buang saja.” Akan tetapi, jujur saja sekarang Qiyana malah lebih penasaran dengan foto-foto tersebut daripada dokumen di tangannya. Waktu itu Kenzo sudah berjanji akan memberi penjelasan lebih lanjut, namun akhirnya terlupakan begitu saja. Qiyana yakin ayahnya tidak mungkin memberikan fotonya secara cuma-cuma pada Kenzo. Ayahnya adalah tipe orang yang tidak terlalu terbuka dengan orang lain, apalagi untuk memberikan hal privasi seperti ini. “Buang? Aku tidak mungkin melakukannya, untuk apa aku melakukan itu setelah mendapatkannya dengan susah payah? Aku berbohong tentang ayahmu yang memberikan foto-foto ini padaku. Anggap saja aku memang penguntit,” jawab Kenzo santai tanpa beban. Qiyana kontan menoleh dengan mata terbelalak dan mulut menganga. “Apa?! J
“Aku ingin ikut denganmu,” pinta Qiyana seraya mencekal lengan suaminya. Kekhawatiran terpampang jelas di wajah Qiyana. Terlepas dari segala kejahatan dan luka yang telah ibu tirinya torehkan, ia tetap tidak bisa mengelak kekhawatirannya. Baru minggu lalu mereka bertemu, meski akhirnya juga tidak menyenangkan dan sekarang dirinya mendapat kabar seperti ini. “Tidak bisa, Sayang. Kalau kamu ikut, bagaimana dengan Rey? Kita tidak bisa membawanya ke rumah sakit. Kamu tunggu di rumah saja ya? Kalau terjadi sesuatu, aku pasti langsung mengabarimu. Aku pergi.” Kenzo mengecup kening Qiyana dan Reynand sekilas sebelum beranjak pergi. “Tapi—”Sebelum Qiyana sempat melanjutkan kalimatnya, Kenzo lebih dulu beranjak pergi tanpa menoleh lagi. Lelaki itu tampak sangat terburu-buru dan kembali bertelepon, sepertinya dengan Rangga. Qiyana pun memilih tidak memaksakan diri karena menyadari jika situasi yang dihadapi saat ini cukup rumit. Qiyana hanya bisa menunggu dengan perasaan campur aduk y
Semua orang yang berada di ruangan itu panik dan langsung berusaha menjauhkan Ambar dari Qiyana. Namun, wanita paruh itu malah semakin mengeratkan cekikannya. Ia nyaris membuat Qiyana terseret dari ranjang karena mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencekik putri sambungnya itu. Qiyana terbatuk dengan napas putus-putus setelah cekikan Ambar terlepas dari lehernya. Wajahnya sudah berubah merah padam. Cekikan itu benar-benar membuatnya nyaris kehabisan napas. Entah bagaimana caranya Ambar membuka borgol yang jelas-jelas masih terpasang di tangan wanita paruh baya itu. Ambar yang masih mengamuk langsung ditarik paksa oleh polisi yang berada di sana. Dengan sigap, para polisi itu memborgol tangan Ambar lagi dan memastikan borgol tersebut tidak akan terlepas lagi. “Panggilkan dokter sekarang!” perintah Kenzo pada sang asisten yang langsung bergegas kelaur dari ruangan tersebut. Lelaki itu menatap sang istri yang masih terbatuk dengan sorot khawatir. “Maaf, Sayang. Aku tidak tahu akhi
Qiyana menatap sosok yang baru saja datang dan kini berdiri tepat di hadapannya dari atas sampai bawah. Tatapan tak percaya masih terlihat sangat jelas dari sorot matanya. Wanita itu mengerjapkan matanya berulang kali, khawatir sesuatu yang terlihat di depan matanya hanya ilusi. “Kamu sudah bisa berjalan?” tanya Qiyana dengan ekspresi campur aduk melihat Kenzo sudah dapat kembali berjalan meski dengan langkah tertatih-tatih. “Ssshhh … di mana kursi rodamu? Jangan memaksakan diri, bagaimana kalau keadaanmu malah semakin parah?” Sejak beberapa hari terakhir, Kenzo memang sangat gencar berlatih agar otot tubuhnya tidak kaku dan dapat segera digerakkan normal lagi seperti sediakala. Namun, sejauh ini belum terlihat hasil yang memuaskan karena lelaki itu masih kesulitan berdiri. Dan seharusnya lelaki itu tidak memaksakan diri sampai seperti ini. “Maaf, aku meninggalkanmu sendirian terlalu lama. Kenapa kamu turun dari brankar? Kamu pasti ingin ke toilet lagi ya?” Alih-alih menanggapi pert
“Apa? Kamu akan melahirkan sekarang?! Bagaimana mungkin? Bukannya dokter mengatakan kamu akan melahirkan minggu depan?” cerca Kenzo seraya berusaha meminta tolong pada orang-orang yang ada di sekitar taman tersebut. Di saat seperti ini, Kenzo merasa dirinya benar-benar tidak berguna. Seharusnya ia langsung bangkit dan menggendong istrinya ke ruang IGD atau ruangan apa pun itu. Namun, untuk bangkit dari kursi rodanya saja dirinya sangat kesulitan. Qiyana yang sudah tidak kuat menahan bobot tubuhnya sudah terduduk di rerumputan sembari mencengkeram blouse selutut yang dikenakannya. Nyeri yang menjalari perutnya semakin kuat dengan sakit yang tidak bisa didefinisikan dengan kata-kata. “Aku tidak tahu kenapa seperti ini. Sakit sekali, aku tidak kuat,” lirih Qiyana dengan keringat dan air mata yang bercucuran. Sejak bangun tidur pagi ini, Qiyana memang tetalh merasakan sesuatu yang janggal dari tubuhnya. Sejak beberapa jam lalu dirinya selalu bolak-balik ke toilet untuk buang air kecil
“Coba ulangi kata-kata terakhirmu tadi,” cerca Kenzo sembari mencekal lengan Qiyana. Qiyana yang sebenarnya sedang menenangkan debar jantungnya yang menggila tetap memasang senyum di wajahnya. Seolah-olah kata-kata yang barusan terlontar dari mulutnya bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Padahal sesungguhnya wanita itu ingin segera melarikan diri dari sini karena malu. Kata-kata itu tiba-tiba meluncur dari mulutnya tanpa bisa dicegah. Tetapi, Qiyana tidak menyesalinya sama sekali. Selama ini ia terlalu banyak bersembunyi di balik gengsi dan harga diri. Tidak ada salahnya mencoba lebih jujur dibanding hanya menyimpannya seorang diri. “Aku hanya mengatakannya sekali dan tidak ada pengulangan lagi. Sekarang bukan waktunya mengobrol, jadi lebih baik kamu tidur saja. Kamu masih dalam masa pemulihan, harus banyak-banyak beristirahat,” sahut Qiyana dengan senyum miring. Kenzo menggeram rendah. “Kamu pikir aku bisa tidur setelah kamu mengatakan itu tanpa kejelasan lagi? Aku tidak akan t
“Ka-kamu sudah sadar?” gumam Qiyana dengan tatapan terbelalak. Sepasang mata berwarna kecokelatan itu berkaca-kaca. “Aku akan—aw!” Wanita refleks meneggakkan kepalanya dan saat itu juga nyeri yang menjalari tengkuknya semakin terasa.Kenzo membuka peralatan medis yang terpasang di mulutnya setelah mengumpulkan tenaga untuk mengangkat tangannya. “Sayang, apa kamu baik-baik saja? Lehermu pasti sakit karena tidur dengan posisi duduk,” tanya lelaki itu dengan suara serak.Suara bariton yang sangat Qiyana rindukan itu kembali terdengar. Meskipun sangat serak dan lirih, itu sudah cukup untuk membayar perasaan campur aduk yang selalu membelenggunya setiap hari selama berbulan-bulan ini. Sekali lagi Qiyana menatap sang suami yang juga menatapnya, memastikan jika ini semua bukanlah halusinasi. Tanpa membalas pertanyaan suaminya, Qiyana langsung merengkuh tubuh lelaki itu dengan isak tangis yang berurai dari bibirnya. Ketika kulitnya bersentuhan dengan kulit Kenzo, ada kehangatan yang teras