"Huh! Dasar tukang kabur!" Dylan mengendus kasar.Dari balkonnya, Dylan bisa melihat Vina masuk ke dalam taksi dan pergi. Ia menggeleng kesal karena bingung sendiri dengan perasaannya.Lelaki itu berjalan menuju meja dan menatap dua benda di sana. Cincin berlian hitam dan kalung berliontin berlian tergeletak begitu saja.Dylan mengambil cincin dan menyisipkannya di jari kelingking. Ia juga mengenakan kalung berliontin berlian itu di lehernya.Setelah itu, Dylan melangkah ke pojok kamar. Ia duduk di depan piano dan mulai menarikan jari-jarinya di atas tuts."Lano, mau olahraga sekarang?"Dylan tersentak kaget merasakan punggungnya yang dielus. Ia menoleh cepat dan langsung memberengut saat melihat siapa yang ada di kamarnya."Ngapain di sini? Keluar!" Dylan berkata ketus pada Genia."Maaf, kalau kamu kaget. Aku sudah ketuk pintu tadi, tapi sepertinya kamu nggak denger."Dylan hanya merespon dengan mengendus kasar mendengar pernyataan Genia."Kak Tama yang memintaku ke sini dan menemani
Setelah menidurkan Clara, Vina dan Rere berbaring seranjang. Rere sedang bercerita tentang pertemuannya dengan keluarga Rendra. Semua anggota keluarga Rendra kagum dengan Clara.“Ara juga nggak malu-malu saat diminta main piano sama mama-nya Rendra. Dan mainnya baguss banget.”Vina tersenyum sedikit mendengar cerita Rere. Adik dan putrinya memang sama-sama ramah dan mudah bergaul. Semua orang yang mengenal mereka biasanya bisa langsung akrab.“Syukurlah. Kalian sudah membicarakan masalah tanggal pernikahan?”“Belum. Nunggu Kak Vina. Kan, dari keluargaku cuma Kak Vina seorang, jadi nanti akan ada rapat dua keluarga.”Tidak ada respon dari Vina. Ia hanya tidur telentang menatap langit-langit, memikirkan tentang ucapan Rere.“Kamu... nggak malu dengan keadaan kakak?”Rere menoleh menatap wajah Vina. “Malu gimana? Karena Kak Vina orang tua tunggal?”“Iya.”“Aku bilang suami Kak Vina kerja di luar negeri. Sepertinya Rendra juga sudah memberi pengertian pada keluarganya jadi tidak ada yang
“Dih. Andreas kan nggak tinggal di kota ini, ngapain beli rumah di sini.” Rere mencebik kesal mendengar laporan sang kakak tentang pertemuannya dengan sang mantan.“Itu lah. Padahal, aku sudah suka perumahannya. Fasilitas untuk anak-anak lengkap dan keamanannya terjamin. Harganya juga masih terjangkau.”Vina menghela napas berat. Dengan begini, ia harus kembali mencari perumahan baru yang lebih nyaman. Lalu, Vina teringat tentang pekerjaan Ayla.“Re, Ayla juga kerja sebagai manager di salah satu butik brand Dylan, lho.”Rere langsung menampakkan wajah penasaran. Ekspresinya berubah-ubah saat mendengar sang kakak bercerita sampai pada saat Vina meminta Dylan menyamarkan namanya karena tidak ingin diketahui Ayla.“Kak, kenapa sih Kak Vina menghindari mereka terus? Katanya sudah move on?”“Nggak tau, sepertinya aku belum siap.”Mereka berhenti sebentar saat Clara melambai. Vina dan Rere memang sedang menunggui Clara les piano. Entah kenapa anak itu sesekali melongok ke jendela dan tersen
Rere menceritakan percakapannya dengan Justin pada Vina. Sambil masak makan malam, Vina terlihat tidak merespon cerita sang adik.“Kakakku tuh banyak yang suka. Kakak ingat Om Barry, kan? Klien kakak di butik?”Vina berpikir sejenak. “Om-nya Rendra, kan? Duda tanpa anak itu?”“Betul! Beliau sering sekali menanyakan kakak. Bahkan sejak kakak tidak bekerja di butik, ia jarang datang dan belanja di sana. Berarti selama ini modus saja belanja karena hanya ingin ketemu Kak Vina."“Baik kok orangnya. Cuma ya, aku harus bersikap profesional saat bekerja.”“Waktu aku dan Clara datang ke rumah Rendra untuk makan malam, ia sering mengajak Clara ngobrol.”Vina tidak menanggapi. Makan malam sudah siap. Rere membangunkan Clara.Tapi, ia langsung tergopoh ke dapur kembali. “Kak, badan Clara panas.”Tanpa pikir panjang, Vina segera membawa Clara ke rumah sakit. Dalam perjalanan, Rere menelepon Rendra dan menceritakan keadaan Clara.Di pintu ruang gawat darurat, Rendra sudah menunggu. Kebetulan, ia m
Vina menanggapi dengan senyum dan anggukan kepala. Ia menghela napas lega saat keluarga Rendra berpamitan.Suasana kembali sepi. Vina menyuapi putrinya makan sambil bercerita tentang penyakit yang menyebabkan Clara sakit.“Jadi, sekarang Clara harus ingat untuk selalu cuci tangan, ya.”‘Iya, mommy.”“Apa lengannya yang ditusuk jarum infus masih sakit?”“Sedikit. Kalau Ara gerak-gerak baru lebih sakit.”“Sabar, ya. Semoga besok, Clara sudah bisa pulang.”Sore hari setelah kuliah, Rere datang untuk gantian menjaga Clara. Vina lalu pulang, mandi dan tidur sebentar. Malamnya, Vina akan kembali menginap di rumah sakit.Clara tidur setelah minum obat. Rere duduk santai sambil bermain ponsel. Tiba-tiba, ia mendapat satu notifikasi yang membuatnya terlonjak senang.Lano sedang mengaktifkan siaran langsung. Rere segera masuk ke dalam siaran tersebut.“Hai, Goldies. Sudah lama aku tidak menyapa kalian.” Dylan melambai di layar ponsel.Berbagai komentar langsung menyerbu akun Dylan tersebut. Sak
"Kak! Jangan bikin kaget!" Rere memberengut seraya mengambil ponselnya yang tergelincir dari tangan.Vina hanya terkekeh. Ia meletakkan telapak tangan ke dahi sang putri dan tersenyum lega."Sudah nggak demam, ya. Anak pintar.""Kalau habis minum obat memang adem badannya. Tapi, setelah enam jam biasanya mulai agak demam lagi.""Iya, sih. Tapi demam biasa saja, nggak sampai panas banget suhunya."Rere mengangguk. Ia melirik layar ponsel, mengira ada pesan dari Dylan. Ternyata hanya Rendra yang mengajaknya makan di kafe rumah sakit.Tetapi, Rere melihat Vina membawa bekal makan malam untuknya. Ia berpikir sejenak lalu berkata pada sang kakak."Aku lapar, Kak.""Ini, aku sudah masakin. Makanlah.""Kak Vina sudah makan?""Sudah, di rumah. Aku nggak bisa istirahat karena kepikiran Clara jadi habis beberes langsung ke sini aja."Rere mengangguk. Ia mengetik pesan pada Rendra untuk menunggunya di kafe saja."Dokter belum visit, Kak. Mungkin sebentar lagi. Kata suster tadi, dokternya masih d
PENGUMUMAN. Pemenang undian berhadiah rumah dan isinya jatuh pada Nyonya Arvina Whitney.Detik berikutnya, Rere berjingkrak-jingkrak kegirangan, sementara Vina terduduk lemas di lantai. Matanya tetap menatap layar ponsel dengan kepala menggeleng-geleng tak percaya.“Ini nggak mungkin, Re. Kita baru saja ikut undian ini tadi pagi. Masa sekarang sudah ada pengumumannya?”“Tadi, Marketing Hank itu kan bilang, hari ini terakhir pendaftaran undian.”Saking tidak percayanya, Vina menelepon nomer pusat perumahan. Rere ikut menguping pembicaraan tersebut, hingga akhirnya mereka benar-benar percaya.“Ya Tuhan, Re! Kita punya rumah.” Kini, Vina menangis tanpa suara. Air matanya deras mengalir di pipi.Meski Rere tau ini ada campur tangan dari Lano, tetap saja ia terharu. Diam-diam, Rere memfoto kakaknya yang masih menangis.“Aku nggak tau bagaimana kamu melakukannya. Yang jelas, kakakku bahagia. Terima kasih.” Rere mengirim pesan tersebut ke akun agensi Lano.Pesan itu langsung terbaca. Namun,
Wajah Dylan tegang saat masuk ke kamar Tamara. Ia melihat kedua kakaknya sedang bersantai dengan sebotol soda di tangan.“Hai, Lano. Sini duduk. Kok cepat sekali meetingnya.” Marcel menyambut sang adik dan menepuk sisi kursi di sampingnya.Dylan tidak menjawab. Ia duduk di kursi yang di sisi Marcel dan minum sebotol soda yang tersedia di meja.“Rapatnya memang cepat, malah lebih lama ngobrol dengan Uncle Dennis.”“Memangnya kalian ngobrolin apa?"“Tentang bagaimana Uncle Dennis dan kalian sepakat menjodohkanku dengan Genia.” Dylan melirik kedua kakaknya dengan wajah sebal.Hening kemudian. Tamara dan Marcel saling berpandangan sejenak. Hingga akhirnya, Tamara sebagai kakak sulung bicara.“Genia adalah wanita muda yang cantik dan baik. Keluarganya juga terpandang. Kami pikir tidak ada salahnya mendekatkannya denganmu.”Dylan mendengus pelan. “Baik bagi kalian, belum tentu bagiku, kan?”“Kamu hanya tinggal membuka diri pada Genia.”“Kalau aku tidak mau?”Tamara dan Marcel kembali saling
Begitu Rere sampai di rumah, Vina masih termenung di meja. Clara yang tertidur digendong Rendra ke kamarnya."Bagaimana, Kak?""Ternyata kamu yang bersekongkol dengan Dylan." Vina mencebik."Aku hanya pembuka jalan." Rere meminjam kalimat Dylan.Vina hanya mengembuskan napas panjang. Ia bahkan hanya mengangguk lemah saat Rendra berpamitan.Rere kemudian menarik tangan kakaknya untuk bicara di kamar. Vina menceritakan pembicaraannya dengan Dylan."Kak Vina gila? Kakak masih pikir-pikir? Sumpah, kakak tuh kaya nggak bersyukur banget." Rere langsung berkomentar pedas."Re! Kakak pernah mengalami sendiri bagaimana menjadi tim Dylan. Orang-orang di bandara, jalanan, restoran, perusahaan semua mengejarnya. Mata kakak bahkan sakit karena melihat lampu flash kamera. Bagaimana kakak dan Clara bisa hidup seperti itu?""Itu pasti bisa diatur tim keamanan Lano, Kak. Aku yakin Lano juga akan memikirkan keselamatan Kakak dan Clara."Baru kali ini, Vina dan Rere saling adu pendapat dengan sengit. Ke
Malam harinya, Rere mengajak Clara pergi dengan alasan untuk menemaninya kencan dengan Rendra.“Ngapain kencan bawa-bawa anak kecil?” Vina mengerutkan dahi. “Nanti malah mengganggu.”“Justru harus bawa pengganggu. Kalau tidak kami bisa kebablasan.” Rere mengedipkan satu matanya pada Vina yang langsung menggeleng.Vina masih terlihat keberatan. Meskipun besok akhir minggu, tetap saja ia ingin Clara di rumah pada malam hari.“Ara juga mau beli hadiah buat Allysa, mommy.” Clara merajuk agar diperbolehkan pergi.Diam-diam, Rere mengedipkan matanya pada Clara. Mereka memang sudah janjian untuk pergi bersama dan merayu Vina agar diizinkan.“Memangnya Allysa ulang tahun?”“Ih, mommy. Kata bu guru, kasih hadiah itu nggak harus ulang tahun. Kapan aja boleh.” Clara berucap dengan gaya sok tau.“Tapi, mommy sendirian dong di rumah.”“Mommy kerja aja, ya. Katanya mau bikin desain baju buat pesta Auntie Rere.” Clara kembali merayu.Rere sampai takjub sendiri melihat keahlian sang keponakan. Hingga
“Kita tidak bisa bersama, Dylan.” Vina menggeleng lemah dengan mata berkaca-kaca. “Bahkan kakak-kakakmu tidak akan setuju.”Dylan menatap Vina dalam-dalam. Ia merasa ucapan Vina begitu menyentuh hingga sadar yang dilakukan Tamara dan Marcel pada wanita di depannya sangat menyakiti hati Vina.Dylan menghampiri Vina. “Aku pribadi minta maaf atas prilaku mereka padamu. Mereka telah menyesalinya.”Kepala Vina hanya mengangguk pelan. Ia memang bukan wanita pendendam. Tapi, kenangan menyakitkan selalu sulit ia lupakan.“Aku tau apa yang mereka lakukan padamu dan setuju tindakan kakak-kakakku itu memang keterlaluan.”Dahi Vina berkerut dalam. “Kamu tau? Dari mana?”“Aku bisa tau apa pun yang ingin aku ketahui. Termasuk asal usul Clara.”Spontan, Vina balas menatap Dylan. Mereka saling berpandangan beberapa saat.“Aku harus berangkat kerja sekarang.” Vina akhirnya menemukan cara untuk menghindari Dylan.Dylan menghela napas dan mengangguk. “Sampaikan salamku untuk Herera.”Vina kembali memand
Vina terpaku di bawah tangga. Meski dengan masker wajah, ia tau siapa yang berdiri di depan Clara.“Dylan." Vina menggumam amat pelan.“Mommy, Ara mau berangkat, ya.” Dengan tak sabar, Clara menarik tangan Vina.“I – Iya. Sebentar.”Vina melewati Dylan. Ia sampai takut Dylan mendengar debaran jantungnya yang sangat kencang. Vina mengantar Clara masuk ke dalam mobil Anton.“Terima kasih, ya.” Vina berkata pada Anton.“Kamu ada tamu, Vin?” Anton tampak mengamati lelaki yang sedang memperhatikan mereka.“Iya. Orang kantor.”“Oh. Oke. Hati-hati.” Anton berpesan sambil tetap mengawasi lelaki di depan pintu rumah Vina sebelum menjalankan kendaraannya.Setelah beberapa kali pertemuan, Vina dan Anton menjadi dekat. Itu pun karena putri-putri mereka bersahabat. Vina dan Clara bahkan beberapa kali mengantar Allysa menjalani pengobatan kanker.Mobil Anton sudah menjauh. Vina melirik mobil mewah yang terparkir di sebrang jalan dan seorang lelaki tegap berdiri di sampingnya dengan waspada. Vina ke
Dylan mendengar cerita tentang Vina yang berhasil menjual berbagai produk Gold Dy secara online. Tamara juga mendapat kabar, Vina saat ini menjadi salah satu orang yang cukup berpengaruh di dunia fashion.“Rumah Mode Herera bahkan menerapkan sistem ‘waiting list’ untuk bertemu Vina,” ucap Tamara.Empat bulan saja waktu yang dibutuhkan Vina untuk melesatkan karirnya di bidang fashion. Sebenarnya, Dylan sudah mendengar kabar tersebut langsung dari Herera. Tapi, ia tidak menyangka kesuksesan Vina sampai menembus internasional.Tamara yang selama ini dikenal sebagai pengamat mode bahkan kagum dengan pencapaian Vina.“Ternyata selama ini kami memang salah menilai tentang Vina.” Tamara berkata dengan nada menyesal.“Dulu, kami benar-benar khawatir dengan kedekatanmu dengan Vina hingga menghinanya.” Marcel menimpali. “Kami takut ia memanfaatkan ketenaranmu.”Dylan terdiam. Ini saat yang ia tunggu-tunggu. Vina bisa membuktikan dirinya bisa menjelma menjadi seorang wanita yang kuat dan berpres
“Tiup lilinnya... tiup lilinnya.... !”Clara sejenak memejamkan mata dan berdoa. Setelahnya dengan senyum manis, ia meniup lilin angka empat di kue ulang tahun yang berhias boneka-boneka Barbie favoritnya.“Mommy, tadi Ara berdoa supaya dikasi Daddy sama Tuhan.” Clara berbisik pada Vina.Vina tersenyum prihatin dan mengusap sayang kepala sang putri. Ia mencium kedua pipi Clara dan membantunya memotong kue.Selagi Clara membagi-bagikan kue pada teman-temannya, Vina berjalan ke pojok untuk mengambil minuman. Doa Clara tadi tiba-tiba membuat tenggorokannya kering kerontang.“Pesta yang meriah dan sukses.”Vina yang baru meneguk minumannya menoleh. Anton berdiri di sampingnya dengan topi ulang tahun membuat Vina terkekeh.“Topi itu cocok untukmu.”“Masa? Baiklah. Akan aku gunakan terus.”Vina tersenyum dan menatap kerumunan anak-anak yang sedang makan kue sambil tertawa-tawa.“Baru kali ini aku bisa merayakan ulang tahun Clara. Biasanya hanya aku dan Rere saja yang memberinya hadiah kecil
Tanpa menjawab pertanyaan Marcel, Dylan melengos pergi. Sekarang, ia hanya ingin tidur. Hanya dengan tidur, ia bisa melupakan kesialan di hari ulang tahunnya.Seperti biasa, Juan berjaga di dalam kamar. Lelaki tegap itu duduk di sofa menunggui tuannya istirahat.Baru sepuluh menit, Dylan bangun dari ranjang dan menghampiri Juan."Aku nggak bisa tidur." Dylan mendesah kesal.Juan menatap prihatin Tuannya. Sejak Vina pergi, pola tidur Dylan kacau.Selama proses pembuatan album baru, Dylan dapat bertahan dengan kondisi prima karena vitamin dan infus imun tubuh."Carikan aku tempat untuk istirahat," titah Dylan pada Juan.Perintah itu artinya Dylan ingin kabur sejenak. Juan mengangguk singkat dan berkordinasi dengan beberapa orang.Satu jam kemudian, Dylan sudah berada di rumah pantai. Lelaki itu duduk di kursi kayu dan menatap pemandangan di depannya."Bisakah sekarang kamu lepaskan baju pengawal dan menjadi temanku?" Dylan bertanya pada Juan yang duduk di sebelahnya."Aku memang sedang t
Pagi harinya, dengan penampilan kusut, Dylan duduk di kursi. Di depannya, Genia tidur tanpa busana. Hanya selimut tipis yang menutupi sebagian tubuhnya.Dylan akhirnya mondar-mandir di sisi ranjang untuk menghabiskan waktu menunggu Genia bangun. Hingga akhirnya wanita itu menggeliat.“Genia.” Dylan memanggil, membuat Genia memicingkan mata.Dengan rambut berantakan, Genia berusaha duduk. Ia lalu terkejut melihat keadaan dirinya yang tanpa busana.“Ya Tuhan. Apa kita melakukannya semalam?” Wajah Genia bersemu merah jambu.Dylan mengetatkan rahangnya pada Genia. “Kamu lupa kejadian semalam?”“Umm... aku ingat saat kamu memelukku,” ucapnya pelan.“Hanya itu?”Wajah Genia kembali tersipu malu. Dylan mendengus pelan, lalu melempar tablet ke sisi Genia.“Mungkin dengan melihat rekaman itu, kamu akan ingat!”Dengan kening berkerut, Genia menatap layar tablet. Ia melihat dirinya membuka pakaian dan memeluk Dylan yang berusaha menghindar.Tampak Genia semakin dikuasai pengaruh obat perangsang.
“Kamu pikir aku melupakanmu? Sesuatu tentang dirimu tidak akan bisa menghilang dari pikiranku. Ke mana pun aku pergi, aku bisa melihat wajahmu. Kamu pikir aku lupa? Kamu pikir aku lupa? Kamu pikir aku lupa... tentangmu?”Lirik lagu Dylan menggema ruang kantor Vina. Beberapa pegawai bekerja sambil bersenandung. Justru Vina merasa tersindir oleh lirik tersebut.Rere benar. Semua lagu album terbaru Lano memang relate dengan hubungannya Vina dan Dylan.“Vina, ayo ikutan buat video ucapan untuk Lano.”“Eh. Ucapan apa?” Vina tersentak saat teman kerjanya menariknya ke kerumunan yang sedang bersiap di depan kamera.“Hari ini Lano berulang tahun ke tiga puluh. Nanti kita posting dan tag akun agensi Lano.”Akh. Sial. Pantas saja sejak pagi lagu-lagu Dylan selalu diputar di kantor mereka.Kenapa juga Vina sampai lupa bahwa tanggal lahir Dylan hanya berbeda satu hari dengan Clara? Pasti karena akhir-akhir ini ia sibuk mempersiapkan ulang tahun Clara besok.Saat semua bersiap untuk merekam video