“Pagi semuanya,” sapa Khayra saat baru saja sampai di kantor.
“Pagi, Ra,” jawab rekan-rekannya yang lain.
Khayra menoleh ke dalam ruangan Kaivan di mana pria itu sudah duduk manis di singgasananya dengan sorot mata tajam mengarah pada Khayra.
Khayra langsung memalingkan wajahnya dan menduduki kursi.
“Hari ini katanya akan ada yang di minta ke area,” bisik Sunny.
“Kenapa? Apa ada masalah jaringan?” tanya Khayra.
“Tidak ada, hanya ada, katanya akan ke proyek,” jawab Sunny.
“Paling Cecep lagi yang diajak, kan?” tanya Khayra.
“Aku tidak tahu,” jawab Sunny.
“Khayra, ke ruangan saya,” panggil Kaivan.
Khayra dan Sunny saling memberi kode lewat mata. Khayra bingung kenapa dia yang dipanggil, biasanya yang menemani Kaivan ke area adalah Cecep.
“Bapak memanggil saya?” tanya Khayra saat sudah berada di dalam ruangan Kaivan.
Kaivan melihat ke arah Khayra dengan intens. “Kamu ikut saya ke area,” ucap Kaivan.
“Kenapa saya?” tanya Khayra terlihat bingung.
“Memangnya kenapa kalau kamu? Kamu mau bantah perintah managermu?” tanya Kaivan dengan sorot mata tajam.
“Bukan begitu, biasanya Cecep yang nemenin Bapak,” ucap Khayra.
“Kok aku risih banget ya, denger cara kamu manggil aku Bapak.” Khayra kebingungan mendengar penuturan Kaivan barusan.
“Tidak mungkin saya memanggil anda, Aa Ivan, kan, di sini?” ejek Khayra.
“Sudahlah, cepat bersiap. Kita berangkat lima menit lagi,” ucap Kaivan.
Akhirnya, tanpa membantah lagi, Khayra pun beranjak pergi keluar dari ruangan Kaivan.
“Kenapa?” tanya Sunny.
“Aku diminta untuk menemani Pak Kaivan ke area,” jawab Khayra dengan wajah ditekuk.
“Tumben kamu, bukannya biasanya karyawan cowok yang diajak? Langganan kan si Cecep,” ucap Sunny.
“Entahlah, lagi badmood sama si Cecep kali. Entah mau ngerjain aku,” keluh Khayra membuat Sunny terkekeh.
“Sabar, ya. Siapkan mental dan tebalkan telingamu, saat mendengar amukannya,” kekeh Sunny yang hanya dijawab dengan kedikan bahu oleh Khayra.
“Khair, cepat!” ucap Kaivan yang sudah berjalan keluar ruangan.
“Huh, dasar Mr. Bossy!” gerutu Khayra dan mengejar Kaivan.
“Pak, tunggu!” teriak Khayra saat pintu lift akan tertutup. Tidak lama, pintu terbuka dan menampakkan sosok Kaivan yang sendirian di dalam lift.
“Ck, dasar kura-kura, lamban.”
Khayra masuk ke dalam lift dengan penuh kekesalan. “Dasar kuda zebra,” gerutu Khayra.
“Kamu login web perusahaan dan akses ke akun divisi kita. Di sana ada tulisan proyek. Buka itu, dan nanti kamu isi semua laporannya,” perintah Kaivan.
“Iya,” jawab Khayra.
“Harusnya kamu senang aku ajak keluar kantor. Anggap hiling setelah ditinggal menikah,” ucap Kaivan yang berbicara tanpa perasaan.
Ting!
Pintu lift terbuka dan dia berjalan mengikuti Kaivan keluar dari lift. Mereka berada di parkiran basemen dan langsung menuju mobil Kaivan terparkir.
Di dalam mobil, keduanya sama-sama bungkam, tidak ada yang membuka suara. Sampai akhirnya terdengar suara perut Khayra, dan itu membuat wajah Khayra memerah karena malu. Bisa-bisanya, di tengah kemacetan, dalam keheningan, suara perutnya menjadi terdengar kencang.
Kaivan menahan senyumnya. “Kamu gak makan berapa hari? Ternyata efek putus cinta separah ini, ya?” seru Kaivan membuat Khayra mendelik ke arahnya.
“Kalau tidak mau membelikan makanan untukku, tidak perlu mengkritik,” sindir Khayra.
“Baiklah, bagaimana pun aku bos yang peduli pada timnya. Jadi, kamu mau makan apa?” tanya Kaivan.
“Bukannya kita akan pergi ke tempat proyek, nanti terlambat,” ucap Khayra karena tidak mau mengganggu pekerjaan mereka.
“Ada waktu 30 menit, kita bisa makan dulu sebelum ke proyek. Kamu mau makan apa, Kura-kura?” tanya Kaivan.
“Kenapa sih kamu senang banget ganti-ganti nama orang?” seru Khayra sangat kesal.
“Kalau kita sudah menikah, aku akan memanggilmu Neng Khayr, bagaimana?” tanya Kaivan benar-benar pelawak berkedok papan triplek.
“Siapa yang mau menikah denganmu?” cibir Khayra. “Aku takut setelah menikah denganmu, tubuhku akan kurus kering karena keseringan dibentak,” ucap Khayra.
Kaivan terkekeh mendengar ucapan Khayra. “Kamu belum mengenalku,” ucap Kaivan yang membawa mobilnya ke arena restoran yang buka pagi untuk sarapan.
“Ayo turun, ada banyak menu di sini untuk sarapan,” ucap Kaivan yang sudah turun dari mobil lebih dulu.
Khayra mengikuti Kaivan memasuki restoran tersebut yang sudah penuh dengan orang-orang yang menikmati sarapannya.
“Mau pesan apa?” tanya Kaivan saat Khayra membuka buku menu.
“Kayaknya mau nasi kuning saja, telurnya mau telur dadar saja, jangan balado,” ucap Khayra.
“Baik,” jawab pelayan tersebut.
“Minumnya teh hangat saja,” ucap Khayra.
“Anda mau pesan apa, Mas?” tanya pelayan perempuan itu.
“Kopi saja,” jawab Kaivan. Kemudian pelayan itu berlalu pergi meninggalkan mereka berdua.
“Kamu lihat, kan. Pelayan tadi saja, matanya normal. Dia memanggilku dengan sebutan Mas, bukan Bapak. Karena wajahku masih sangat muda,” ucap Kaivan membuat Khayra memutar bola matanya merasa jengah.
“Kamu benar-benar gadis Indonesia, ya. Sarapan harus nasi,” ucap Kaivan.
“Ya, makan roti mana kenyang,” jawab Khayra apa adanya membuat Kaivan terkekeh.
“Aku ingin bertanya masalah penawaran kamu,” ucap Khayra membuat Kaivan menatap Khayra di depannya.
“Ya, kenapa?” tanya Kaivan.
“Kenapa kamu memilihku untuk melahirkan anak? Dan kenapa harus pernikahan kontrak untuk bisa punya anak? Apa kamu tidak memiliki kekasih, atau teman wanita yang bisa kamu nikahi. Kalian bisa merangkai mahligai pernikahan bahagia dengan program banyak anak,” seru Khayra.
“Aku hanya butuh anak, bukan istri,” jawab Kaivan membuat Khayra menghela napasnya.
“Kenapa tidak adopsi anak saja? Banyak loh yayasan panti asuhan yang menampung anak yatim piatu,” seru Khayra.
“Aku maunya anak kandung, alias anak biologisku,” jawab Kaivan.
“Kenapa gak nikah saja sih? Dan kenapa harus aku wanita yang kamu pilih untuk melahirkan anakmu?” tanya Khayra semakin penasaran. Karena jawaban Kaivan tidak ada yang membuatnya percaya.
“Ternyata kamu tidak sekalem wajahmu,” ucap Kaivan. “Intinya, kamu butuh seseorang untuk bisa balas dendam pada Yuda, kan? Kamu lihat aku, pekerjaanku jauh lebih baik dari Yuda, usiaku lebih matang dari Yuda, dan wajahku? Tentu saja, aku jauh lebih tampan dibanding Yuda,” jawab Kaivan penuh percaya diri sampai Khayra melongok dibuatnya.
Obrolan mereka terhenti karena pelayan mengantarkan pesanan mereka dan meletakkannya di atas meja.
“Bagaimana?” tanya Kaivan saat pelayan tadi berlalu pergi.
“Aku mau makan dulu,” jawab Khayra yang langsung menyantap makanannya.
Kaivan menyesap kopinya dan sesekali tatapannya tertuju pada Khayra yang makan dengan lahap sampai pipinya membentuk bulat penuh makanan.
Setelah beberapa menit menyantap makanan, akhirnya habis juga. Khayra meneguk minumannya hingga tandas.
“Sudah kenyang?” tanya Kaivan.
“Iya, sudah.”
“Bagus. Kayaknya masih ada waktu lima belas menit lagi. Aku ingin kamu jawab sekarang, jangan membuang-buang waktu,” ucap Kaivan.
Khayra terdiam beberapa saat. “Baiklah aku setuju, tapi aku juga punya syarat,” ucap Khayra.
“Syarat apa?” tanya Kaivan.
“Aku akan menuliskannya nanti. Tunggu saja,” jawab Khayra. “Sebaiknya sekarang kita pergi ke proyek.”
“Baiklah. Aku tunggu syaratmu,” ucap Kaivan beranjak bangun dari duduknya.
“Makasih traktiran sarapannya, Aa Ivan,” ucap Khayra tersenyum merekah dan beranjak pergi meninggalkan Kaivan seorang diri.
“Haishh, patah hati tapi masih minta traktiran,” gumam Kaivan menggelengkan kepalanya.
***
“Kamu sudah menunggu lama?” tanya Kaivan yang menemui Khayra di sebuah restoran yang berada tidak jauh dari kantor. “Tidak, Pak.” “Sudah pesan makan?” tanya Kaivan. “Sebelum makan, aku ingin membahas syarat-syarat dariku,” ucap Khayra merogoh sebuah amplop dari tasnya dan menyerahkannya pada Kaivan. Kaivan membuka amplop dan membaca isi surat kontraknya itu. “Syarat yang pihak kedua ajukan : Pertama, Menghargai keputusan dan kehidupan pribadi masing-masing pihak. Kedua, Pihak kedua tidak akan melakukan tugas seorang istri yang melayani suaminya. Ketiga, Setelah pihak kedua hamil, maka pihak pertama tidak berhak menyentuh pihak kedua. Keempat, Pihak kedua tidak mau berhenti bekerja di Perusahaan. Kelima, Menjaga kesetiaan selama pernikahan masih berlangsung. Keenam, Langsung gugat perceraian saat bayi sudah lahir. Ketujuh, Bayi akan bersama pihak kedua sampai usia minimal lima tahun.” “Aku tidak setuju,” ucap Kaivan saat membaca isi syarat itu. “Bagian mana yang tidak kamu setuj
“Bagaimana kalian bisa bersama?” Yuda melihat ke arah Khayra dan Kaivan secara bergantian. Khayra sendiri tidak bisa berkata-kata, hatinya bergemuruh karena emosi. Seikhlasnya dia menerima kenyataan, tidak membuatnya melupakan dan memaafkan pengkhianatan yang sudah dilakukan pria di depannya itu. “Khayra, ada hubungan apa kamu dengan Bang Kai? Apa semua ini?” tanya Yuda mendekati Khayra, tetapi baru saja akan melangkah, Kaivan menahan dada pria itu dengan telapak tangannya. “Jangan coba-coba mendekatinya,” ucap Kaivan yang kini berjalan ke samping Khayra yang masih berdiri di tempatnya. Kaivan tahu kalau tubuh Khayra bergetar dengan kedua tangan yang mengepal. Wanita itu sedang menahan dirinya dari rasa sakit, amarah dan dendam. Dengan lembut, Kaivan merangkul Khayra dan menarik tubuhnya untuk semakin rapat dengannya. “Kamu bisa lihat bagaimana kedekatan kami, Yuda,” jawab Kaivan dengan sorot mata tajam. “Khay? Apa
Tok! Tok! Tok!“Khayra!” panggil Ratna dari luar sana.Khayra tahu apa yang akan dibicarakan oleh Tantenya itu. Wanita itu kemudian beranjak dari duduknya dan berjalan menuju pintu. Dibukanya pintu tersebut dan melihat sosok Ratna sudah berdiri di luar kamar.“Kamu belum tidur, kan? ayo bicara sebentar dengan Om dan Tante di ruang keluarga,” pinta Ratna.“Iya,” jawab Khayra dan mengikuti Ratna menuju ruang keluarga.Khayra duduk di sofa, tepat di depannya ada Andi dan Ratna yang menatapnya dengan intens.“Khayra, apa kamu serius akan menikah dengan atasan kamu itu?” tanya Ratna.“Iya, Tante.”“Begini, Khayra. Sebenarnya kami tidak akan mencampuri urusan pribadi kamu. Hanya saja, kami tahu hubungan kamu dengan Yuda dan pernikahan Yuda dengan Ziya. Apa kamu yakin akan menikah dengan atasan kamu itu? pikirkanlah dengan matang, menikah bukan untuk mencari pelampiasan. Pernikahan itu hidup bersama seumur hidup,” nasihat Andi.“Aku sudah memikirkannya dengan matang, Om. Dan aku me
“Khayra!” Tubuh Andi ditarik paksa menjauh dari Khayra yang langsung bangun dan memeluk dirinya sendiri dengan rasa sakit dan pilu. “Bisa-bisanya kalian berzina di rumahku!” pekik Ratna sangat emosi. Andi merapikan pakaiannya. “Dia yang merayuku, Sayang.” Khayra menatap Andi dengan tatapan kaget dan penuh kebencian. “Dasar wanita murahan!” teriak Ratna dan mendekati Khayra dia memukuli Khayra yang berusaha melindungi kepalanya. “Apa Tante buta?” pekik Khayra mendorong Ratna menjauh darinya. “Dia yang hampir memperkosaku!” “Bohong, Sayang. Lagipula seorang lelaki tidak akan tergoda kalau tidak digoda,” ucap Andi benar-benar memutar balikkan fakta. “Aku gak mau tahu. Sekarang juga, keluar dari rumahku! Tidak sudi aku menampung wanita murahan sepertimu! Kamu menggoda suamiku karena kamu gagal nikah sama Yuda?” pekik Ratna benar-benar marah besar. “Aku sudah menampungmu di sini, Khayra. Tapi apa bala
“Ugh!” Khayra terbangun dari tidurnya. Dia meringis saat kepalanya terasa sakit dan berat. “Ah, aku harus bekerja,” gumamnya beranjak bangun dari posisinya. Dia melihat sekeliling ruangan yang asing baginya. “Aku ada di mana?” Gadis itu berusaha mengingat kembali apa yang terjadi kemarin. Hingga potongan demi potongan kejadian kemarin berputar di kepalanya. “Jadi aku ada di rumah Pak Kaivan,” gumamnya bangkit dari duduknya. Dia menyadari kalau dia masih memakai pakaian yang semalam, Kaivan tidak menyentuhnya sama sekali. Khayra masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia merasa tubuhnya lengket, dan merasa jijik karena sentuhan Andi. Wanita itu membiarkan air dingin menghujani tubuhnya. Dia tidak peduli seberapa menggigil tubuhnya itu, dia hanya berharap rasa sakit di hatinya ikut membeku karena dingin ini. Ucapan Ratna kembali terngiang di kepalanya, setega itu mereka padanya yan
“Benar-benar tidak tahu diri anak itu.” Ratna mengadu pada Sarah melalui telepon. “Sabar dulu, Na. Khayra tidak mungkin melakukan hal mencela itu,” ucap Sarah dari seberang sana. “Kakak masih saja membela anak itu, aku memergokinya sendiri. Mereka sedang saling berpelukan di atas ranjang, Kakak pikir aku berbohong?” Ratna menjelaskannya dengan emosional. “Baiklah, baiklah. Tapi Kakak tetap harus menemui dan bicara dengan Khayra. Di mana dia sekarang?” tanya Sarah. “Mana ku tahu. Tanya saja pada kekasihnya yang baru,” keluh Ratna. “Aku itu yakin, dia melakukan semua ini untuk balas dendam karena Ziya sudah merebut Yuda darinya. Yuda itu ibarat tambang emas bagi si Khayra, keluarganya yang kaya raya, memiliki Firma hukum yang di mana Yuda bekerja di sana.” Sarah diam di seberang sana. dia sangat mengenal Khayra dan dia percaya Khayra bukan orang seperti itu. “Baiklah, Kakak tutup teleponnya. Kakak akan menco
“Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya Sunny menyadarkan lamunan Khayra. Saat ini mereka sedang berada di kantin kantor untuk makan siang. “Tidak ada,” jawab Khayra. “Pesananmu,” ucapnya menyodorkan piring makanan pesanan Khayra. “Makasih,” jawab Khayra. “Hari ini Bos besar tidak marah-marah lagi,” ucap Nita. “Kayaknya mood dia sedang baik. Tadi aku melakukan kesalahan, dia tidak memarahiku, hanya berkata revisi sekarang. Biasanya akan keluar amarahnya. Kamu ini bagaimana sih kerjanya, dan bla ... bla ... bla .... “ kekeh Sunny membuat Nita tertawa sedangkan Khayra hanya tersenyum. Khayra tidak berkomentar karena dia kini cukup mengenal bagaimana Kaivan. Pria yang memiliki kepribadian dingin, gila kerja, galak, ternyata punya sisi hangat dan perhatian. Mengingat perhatiannya kemarin, cukup menyentuh hati Khayra. “Katanya, akan ada acara liburan bersama antar divisi,” ucap Nita. “Ah iya,
“Khayra?” Semua orang melihat ke arah Kaivan dan Khayra dengan tatapan syok. Mereka semua mengetahui kalau Khayra adalah tunangan Yuda. “Apa acara makan malamnya sudah selesai?” tanya Kaivan menyadarkan mereka semua dari keterpakuan. “Tentu saja belum. Bagaimana kami bisa makan malam tanpa kamu,” ucap Genny berjalan mendekati mereka. “Halo, Khayra,” sapa Genny tersenyum pada Khayra. “Hallo, Tante. Apa kabar?” tanya Khayra. “Sepertinya yang kamu lihat,” jawab Genny yang kini tatapannya tertuju pada putranya yang tampan. “Van, sepertinya kita perlu bicara.” “Nanti, Ma. Sekarang sebaiknya kita makan dulu, tidak nyaman membuat semua orang menunggu,” ucap Kaivan melirik ke arah orang tua Yuda juga Yuda. Tanpa di sadari, orang tua Kaivan dan Yuda tidaklah dekat layaknya seorang Kakak beradik. Mereka seperti sedang bersaing memperebutkan jabatan dan warisan dari Kakek mereka. “Kita langsung ke meja maka
Lima Tahun Kemudian ... “Wah, kita naik pesawat!” seru Sasa heboh saat mereka berada di pesawat pribadi milik keluarga Dirgantara. Saat ini Kaivan, Khayra dan kedua anak-anak mereka Saga dan Sasa akan pergi liburan ke Maldives sesuai keinginan Khayra. “Kalian senang?” tanya Khayra. “Tentu saja. Kita gak pernah naik pesawat,” seru Sasa. “Kita pernah naik pesawat. Hanya saja saat itu kalian masih bayi,” kekeh Khayra. “Saga, kenapa diam saja?” tanya Kaivan. “Nggak apa-apa. Sasa berisik,” keluh Saga yang terkenal pendiam. “Ih, dasar gak seru,” keluh Sasa. Kalian dan Khayra bersama anak-anak mereka, Saga dan Sasa, tiba di Maldives untuk menghabiskan waktu bersama keluarga. Mereka menginjakkan kaki di pantai berpasir putih yang lembut, dengan air laut yang jernih dan pemandangan yang sangat indah. "Wow, ini sungguh indah!" seru Khayra sambil memandangi keindahan pantai. “Y
“Hati-hati,” ucap Kaivan saat membantu Khayra menuruni brankar. Hari ini Khayra dan kedua bayi kembarnya sudah diperbolehkan untuk pulang. “Di sana Genny dan Rossa sudah menggendong bayi, masing-masing satu. “Kamu duduk di kursi roda,” ucap Kaivan menggendong Khayra dan mendudukkannya di atas kursi roda. “Semuanya sudah siap? Tidak ada yang ketinggalan lagi?” tanya Genny. “Sudah, koper sama tas bayi, aku yang bawa,” ucap Aerline. “Sebagian sama Papa.” “Ya sudah kalau begitu, mobil sudah siap di bawah,” ucap Tommy. Mereka pun berjalan beriringan meninggalkan rumah sakit, setelah berada di rumah sakit selama satu minggu. Saat sampai di lobi rumah sakit, terlihat dua buah mobil suv berwarna putih dan hitam sudah terparkir di sana dengan seorang sopir yang berdiri di dekat mobil, membukakan pintu penumpang. Kaivan membawa Khayra dan Rossa masuk ke dalam mobil putih, sedangkan Tommy, Genny dan Aerlin
“Kamu masih bisa bertahan, kan?” tanya Kaivan. “Ya, Mas.” Khayra menjawab dengan napas tersenggal. Kaivan pun tidak peduli betapa sakitnya kedua lutut dan kedua tangannya. Menggendong Khayra yang sedang mengandung bayi kembar, dia tetap akan berjuang demi keselamatan istri dan kedua anaknya. “Bertahanlah, aku akan memastikan kalian selamat,” bisik Kaivan. Begitu sampai di rumah sakit, Khayra segera ditangani oleh para perawat dan dibawa ke ruangan khusus. Beruntung dokter yang biasa merawat Khayra, Dr. Windi, juga sedang praktek di rumah sakit itu. Khayra merasa lega, karena ia tidak mau ditangani oleh dokter lain selain Dr. Windi. “Sus, kalau saya ingin istri saya kembali ditangani dokter Windi, bisa?” tanya Kaivan. “Bisa, Pak. Kebetulan Dokter Windi ada jadwal hari ini. Tetapi untuk tindakan operasi caesar, akan ada biaya penambahan penanganan dokter,” jelas suster tersebut. “Tidak masalah, Sus. Istri saya terbiasa dir
“Mas, nanti siang aku bawakan makan siang untuk Mas, ya,” ucap Khayra yang sedang membantu memasang dasi di kerah kemeja Kaivan. “Tidak usah, Sayang. Kamu kan sedang hamil besar, istirahat saja, ya. Aku khawatir kamu kelelahan,” tolak Kaivan. “Biasanya juga kamu mau diantarkan makan siang sama aku. Kenapa sekarang gak mau? Ada apa? kamu ada rencana makan siang dengan orang lain, atau seorang wanita? Siapa itu, sampai menolak niat baik istri sendiri?” tanya Khayra memborong penuh kecurigaan dan rasa cemburu. Ya, sejak hamil, Khayra memang semakin lengket dengan Kaivan, dia seakan tidak mau berjauhan dengan suaminya. Ditambah dia juga sangat cemburuan, dan selalu salah paham dan overthinking. “Bukan begitu, Sayang. Aku mengkhawatirkan kamu, kamu sedang hamil besar dan waktu HPL kamu sebentar lagi. Aku sama sekali tidak ada janji makan siang dengan siapa pun, apalagi perempuan,” jelas Kaivan. “Tetap saja, mencurigakan! Kamu meno
“Kamu sudah datang, Mas,” ucap Khayra tersenyum manis ke arah Kaivan yang masih membeku di tempatnya. Kaivan terpana saat melihat Khayra yang tampil anggun dalam gaun indah yang membalut lekuk tubuhnya yang sedang hamil. Rambut Khayra ditata apik dan jatuh membingkai wajahnya yang berseri-seri. Sorot mata Kaivan tak mampu terlepas dari istrinya itu. Tak ada kata yang mampu terucap dari bibir Kaivan saat ia menyaksikan Khayra berjalan perlahan mendekatinya. Wajah Kaivan terlihat terpesona, seolah tak percaya dengan kecantikan istrinya yang sedang mengandung buah hati mereka. “Umm ... Mas Kaivan,” tegur Khayra sekali lagi membuat Kaivan tersadar dari lamunannya. "Khayr, kamu sangat cantik," ucap Kaivan akhirnya, dengan suara gemetar dan mata yang tak bisa berhenti menatap Khayra. Khayra tersenyum malu di depan Kaivan, hingga terlihat roda merah di kedua pipinya. Dia menjawab, "Terima kasih, Mas. Aku juga senang melihatmu begitu terpu
“Bagaimana pekerjaanmu hari ini? bagaimana respon para pemegang saham? Mereka menyambutmu dengan baik, kan?” tanya Khayra saat membuka pintu rumahnya. Kaivan yang melihat Khayra menyambutnya dengan ceria, membuat rasa lelahnya hilang seketika. Tanpa kata, Kaivan langsung memeluk Khayra. “Nyaman sekali,” ucap Kaivan. “Apa terjadi sesuatu? Apa ada hal yang tidak berjalan dengan baik?” tanya Khayra semakin khawatir di sana. Kaivan melepaskan pelukannya dan tersenyum manis pada Khayra. “Semuanya berjalan dengan lancar,” ucapnya tersenyum merekah, membuat Khayra tidak bisa menyembunyikan senyumannya. “Lalu kenapa kamu malah membuatku khawatir tadi,” keluh Khayra. “Maaf. Aku tadi hanya merasa gemas dengan sikapmu. Selain itu aku juga sangat merindukanmu,” ucap Kaivan tersenyum merekah membuat Khayra membalas senyuman suaminya. “Kalau begitu kita masuk,” ajak Khayra dan mereka berjalan bersama dengan Ka
“Kamu gugup, tidak?” tanya Khayra. “Sedikit,” jawab Kaivan tersenyum. “Tapi aku yakin, bisa menghadapi mereka semua.” Khayra tersenyum melihat kepercayaan penuh dari suaminya. “Mama Rossa kembali ke Tangerang?” tanya Kaivan. “Iya, aku meminta sopir untuk mengantarnya. Katanya ada yang mau melihat-lihat rumah,” jawab Khayra. Kaivan berdiri tegak di depan Khayra yang sedang memasangkan dasi suaminya. Kemudian, Khayra mengambilkan jas hitam dan membantu memasangkan jas di tubuh Kaivan. Dia mengusap kedua pundak lebar Kaivan dengan senyuman manisnya. Kaivan mengernyitkan dahinya melihat Khayra. “Kenapa?” tanya Kaivan. Khayra tersenyum dengan rona merah di pipinya. Matanya tak henti-hentinya memandang sosok yang terlihat begitu elegan dan tampan di hadapannya. Dalam balutan setelan kerja lengkap dengan jas hitam yang terpasang rapi, Khayra tak bisa menyangkal bahwa hari ini suaminya tampak lebih mempesona dari biasanya.
“Menjauh kalian!” teriak Danang masih menempelkan ujung pisau di leher Khayra. Kaivan khawatir, tetapi berusaha tenang. Tatapannya terpaut dengan Khayra seakan mereka berdiskusi melalui tatapan. Kaivan bergerak mendekat. “Paman sangat membenciku, bukan?” tanya Kaivan. “Jangan mendekat!” “Bagaimana kalau aku saja yang Paman tawan, lepaskan Khayra,” ucap Kaivan membuat Khayra mengernyitkan dahinya. “Kamu pikir, Paman bodoh! kamu bisa berkelahi, jangan berusaha menipu Paman!” amuk Danang. “Baiklah begini saja, aku akan ikat kedua tanganku di belakang. Paman tawan aku saja dan lepaskan Khayra,” ucap Kaivan. “Mas,” seru Khayra tidak rela bertukar posisi. “Kalau begitu ikat kedua tanganmu!” perintah Danang. Khayra meminta bantuan polisi untuk meminjamkan borgolnya dan memborgol kedua tangan Kaivan di punggung. “Sekarang lepaskan Khayra,” ucap Kaivan berjalan mendekati Danang yang sed
Puput menatap Danang yang berjalan mondar-mandir di depannya. Pria itu terlihat sangat gelisah, dan berkali-kali mengusap kedua tangannya. “Bisakah kau berhenti mondar-mandir? Membuatku pusing,” keluh Puput. “Diam!” bentak Danang membuat Puput terpekik kaget. Tidak biasanya Danang berkata kasar begitu. “Ada apa denganmu, Pa? Biarkan saja kalau mereka mau melakukan autopsi pada tubuh Ayah,” ucap Puput. “Yang harus kita pikirkan adalah Yuda, bagaimana caranya kita menolong Yuda untuk segera keluar dari sana.” “Diam! Aku bilang diam!” amuk Danang di sana membuat Puput kaget sekaligus kebingungan. “Apa yang terjadi denganmu? Kamu seperti ketakutan. Sebenarnya apa yang sedang kamu sembunyikan dariku, Pa?” tanya Puput bangkit dari duduknya dengan kesal. “Apa kamu tidak bisa tutup mulut?” tanya Danang terlihat sangat frustrasi. “Sebenarnya apa yang sedang kamu sembunyikan? A-apa ini ada hubungannya dengan kematia