“Bagaimana kalian bisa bersama?”
Yuda melihat ke arah Khayra dan Kaivan secara bergantian. Khayra sendiri tidak bisa berkata-kata, hatinya bergemuruh karena emosi. Seikhlasnya dia menerima kenyataan, tidak membuatnya melupakan dan memaafkan pengkhianatan yang sudah dilakukan pria di depannya itu.
“Khayra, ada hubungan apa kamu dengan Bang Kai? Apa semua ini?” tanya Yuda mendekati Khayra, tetapi baru saja akan melangkah, Kaivan menahan dada pria itu dengan telapak tangannya.
“Jangan coba-coba mendekatinya,” ucap Kaivan yang kini berjalan ke samping Khayra yang masih berdiri di tempatnya.
Kaivan tahu kalau tubuh Khayra bergetar dengan kedua tangan yang mengepal. Wanita itu sedang menahan dirinya dari rasa sakit, amarah dan dendam. Dengan lembut, Kaivan merangkul Khayra dan menarik tubuhnya untuk semakin rapat dengannya.
“Kamu bisa lihat bagaimana kedekatan kami, Yuda,” jawab Kaivan dengan sorot mata tajam.
“Khay? Apa semua itu benar? Kamu dan Bang Kai?” tanya Yuda berusaha meyakinkan dirinya.
“Hubungan kita sudah berakhir. Kamu tidak berhak menanyakan kehidupan pribadiku,” jawab Khayra.
“Aku perlu tahu, Khay.” Yuda masih dengan keteguhannya.
“Kita pergi dari sini,” pinta Khayra di mana terlihat bias kaca di kedua mata gadis itu.
“Ya,” jawab Kaivan.
Tanpa kata, Kaivan membawa Khayra meninggalkan Yuda di sana.
“Khayra, aku butuh penjelasanmu. Bagaimana kamu bisa pergi begitu saja?” panggil Yuda.
Kaivan dan Khayra sudah berlalu pergi meninggalkan Yuda yang terlihat sangat emosi.
Di dalam mobil, Khayra menangis terisak dan Kaivan tidak mempermasalahkan itu. Dia mengambil tissue dan memberikannya pada Khayra yang menangis.
“Kapan kamu akan berhenti menangis. Sudah lima menit aku menunggumu berhenti menangis,” ucap Kaivan terlihat jengah.
“Maafkan aku, bisakan kamu mengantarkanku pulang,” pinta Khayra.
“Apa kamu akan terus menerus menangisinya, Khayr?” tanya Kaivan.
“Bapak tidak tahu bagaimana sakitnya. Lima tahun bukan waktu yang singkat, kami melewati banyak ujian dan kesulitan,” isak Khayra.
“Dan akhirnya dia meninggalkanmu setelah sukses. Ayolah, Khayr, jangan membodohi dirimu sendiri,” ucap Kaivan.
“Bodohnya aku, aku menganggap kalau dia adalah rumah untukku berlindung dan bernaung, tetapi ternyata dia hanya singgah. Rasa sakitnya, benar-benar membuat hatiku hancur lebur,” ucap Khayra.
“Yang terbaik tidak akan pergi. Jika dia pergi, berarti dia bukan yang terbaik untukmu. Pahamilah metode itu, jangan terlalu lemah jadi manusia,” ucap Kaivan. “Bebanmu tidak banyak. Hanya saja kamu yang lemah. Semakin kamu lemah, bebanmu akan semakin berat dan kamu akan semakin kesulitan. Lalu kapan kamu akan bangkit dari semua keterpurukan dan trauma ini?”
Kaivan menatap Khayra dengan intens. Tatapan mereka terpaut satu sama lain. Di sana, Khayra tidak bisa berkata apa-apa selain isakan tanpa suaranya, sorot mata tajam Kaivan yang entah kenapa menenangkan.
“Boleh aku minta peluk, sebentar saja,” gumam Khayra.
Kaivan bergerak mendekat dan membawa Khayra ke dalam pelukannya. Pria itu membelai lembut kepala Khayra dan menyalurkan kehangatan untuk menenangkan gadis itu.
***
“Kamu sudah pulang, Kakak?” panggil Ziya yang awalnya sedang fokus memainkan ponselnya. Melihat Yuda masuk ke kamar, secepat kilat, wanita itu menyimpannya di laci dan bergegas mendekati Yuda.
“Aku bantu buka kemejanya,” ucap Ziya di mana kedua tangannya sudah akan menyentuh kemeja Yuda.
“Tidak perlu,” jawab Yuda dengan sangat dingin. Pria itu masuk ke dalam kamar mandi setelah mengambil pakaian tidurnya dari lemari.
Ziya hanya bisa memandang pintu kamar mandi dengan tatapan nanar.
Sejak mereka menikah, Yuda sama sekali tidak menganggapnya. Mereka berada di satu ruangan yang sama tetapi sangat asing, bahkan setiap malam Yuda memilih tidur dengan memunggunginya. Entah apa yang dia lihat di layar ponselnya, sampai betah berjam-jam dan mengabaikan Ziya yang merupakan istrinya.
“Sampai kapan kamu akan mengabaikanku, Kak Yuda?” gumam Ziya menyeka air matanya seraya mengusap perutnya yang masih datar.
***
Khayra sangat kaget saat melihat kedatangan Kaivan di rumahnya.
“Pa-“
“Panggil namaku,” ucap Kaivan.
“Kenapa kamu datang malam-malam begini?” tanya Khayra cukup kaget melihat kedatangan Kaivan di rumahnya.
“Om dan Tantemu ada?” tanya Kaivan.
“Um, ada. Silakan masuk.” Khayra mempersilakan Kaivan untuk masuk. Kemudian dia beranjak masuk ke dalam rumah untuk membuatkan minum dan memanggil om dan tantenya.
Tante Ratna, Om Andi, Khayra sudah duduk di ruang tamu dan menunggu Kaivan membuka suaranya.
“Om, Tante, alasan saya datang kemari adalah untuk melamar keponakan kalian, Khayra,” ucap Kaivan dengan tegas.
Ratna dan Andi saling beradu pandang. Kedatangan Kaivan sangat mendadak, dan dia datang untuk melamar keponakan mereka, Khayra.
“Kalau boleh Tante tahu, apa kalian sudah lama saling kenal?” tanya Ratna.
“Sudah dua tahun,” jawab Kaivan. “Khayra dan saya bekerja di tempat yang sama. Saya adalah manager dari Khayra,” jawab Kaivan tampak serius.
“Jadi, apa jawaban dari lamaran saya? Kalau Om dan Tante menerima, maka saya akan segera datang bersama orang tua saya,” tutur Kaivan.
Khayra memandang Kaivan, pria itu terlihat serius dan tidak terlihat sedang berakting.
“Khayra, bagaimana pendapat kamu? Om dan tante di sini sebagai wali kamu. Semua keputusan ada di tanganmu, dan kami akan selalu mendukung apa pun jawaban darimu,” ucap Andi.
Khayra melihat kembali ke arah Kaivan, kemudian Om dan Tantenya.
“Ya, saya menerimanya,” jawab Khayra dan itu membuat Ratna kaget mendengarnya. Ratna menatap Khayra dengan penuh kekhawatiran.
“Kamu yakin, Khay? Coba pikirkan lagi baik-baik,” ucap Ratna.
“Aku sudah yakin, Tante.”
Tok! Tok! Tok!“Khayra!” panggil Ratna dari luar sana.Khayra tahu apa yang akan dibicarakan oleh Tantenya itu. Wanita itu kemudian beranjak dari duduknya dan berjalan menuju pintu. Dibukanya pintu tersebut dan melihat sosok Ratna sudah berdiri di luar kamar.“Kamu belum tidur, kan? ayo bicara sebentar dengan Om dan Tante di ruang keluarga,” pinta Ratna.“Iya,” jawab Khayra dan mengikuti Ratna menuju ruang keluarga.Khayra duduk di sofa, tepat di depannya ada Andi dan Ratna yang menatapnya dengan intens.“Khayra, apa kamu serius akan menikah dengan atasan kamu itu?” tanya Ratna.“Iya, Tante.”“Begini, Khayra. Sebenarnya kami tidak akan mencampuri urusan pribadi kamu. Hanya saja, kami tahu hubungan kamu dengan Yuda dan pernikahan Yuda dengan Ziya. Apa kamu yakin akan menikah dengan atasan kamu itu? pikirkanlah dengan matang, menikah bukan untuk mencari pelampiasan. Pernikahan itu hidup bersama seumur hidup,” nasihat Andi.“Aku sudah memikirkannya dengan matang, Om. Dan aku me
“Khayra!” Tubuh Andi ditarik paksa menjauh dari Khayra yang langsung bangun dan memeluk dirinya sendiri dengan rasa sakit dan pilu. “Bisa-bisanya kalian berzina di rumahku!” pekik Ratna sangat emosi. Andi merapikan pakaiannya. “Dia yang merayuku, Sayang.” Khayra menatap Andi dengan tatapan kaget dan penuh kebencian. “Dasar wanita murahan!” teriak Ratna dan mendekati Khayra dia memukuli Khayra yang berusaha melindungi kepalanya. “Apa Tante buta?” pekik Khayra mendorong Ratna menjauh darinya. “Dia yang hampir memperkosaku!” “Bohong, Sayang. Lagipula seorang lelaki tidak akan tergoda kalau tidak digoda,” ucap Andi benar-benar memutar balikkan fakta. “Aku gak mau tahu. Sekarang juga, keluar dari rumahku! Tidak sudi aku menampung wanita murahan sepertimu! Kamu menggoda suamiku karena kamu gagal nikah sama Yuda?” pekik Ratna benar-benar marah besar. “Aku sudah menampungmu di sini, Khayra. Tapi apa bala
“Ugh!” Khayra terbangun dari tidurnya. Dia meringis saat kepalanya terasa sakit dan berat. “Ah, aku harus bekerja,” gumamnya beranjak bangun dari posisinya. Dia melihat sekeliling ruangan yang asing baginya. “Aku ada di mana?” Gadis itu berusaha mengingat kembali apa yang terjadi kemarin. Hingga potongan demi potongan kejadian kemarin berputar di kepalanya. “Jadi aku ada di rumah Pak Kaivan,” gumamnya bangkit dari duduknya. Dia menyadari kalau dia masih memakai pakaian yang semalam, Kaivan tidak menyentuhnya sama sekali. Khayra masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia merasa tubuhnya lengket, dan merasa jijik karena sentuhan Andi. Wanita itu membiarkan air dingin menghujani tubuhnya. Dia tidak peduli seberapa menggigil tubuhnya itu, dia hanya berharap rasa sakit di hatinya ikut membeku karena dingin ini. Ucapan Ratna kembali terngiang di kepalanya, setega itu mereka padanya yan
“Benar-benar tidak tahu diri anak itu.” Ratna mengadu pada Sarah melalui telepon. “Sabar dulu, Na. Khayra tidak mungkin melakukan hal mencela itu,” ucap Sarah dari seberang sana. “Kakak masih saja membela anak itu, aku memergokinya sendiri. Mereka sedang saling berpelukan di atas ranjang, Kakak pikir aku berbohong?” Ratna menjelaskannya dengan emosional. “Baiklah, baiklah. Tapi Kakak tetap harus menemui dan bicara dengan Khayra. Di mana dia sekarang?” tanya Sarah. “Mana ku tahu. Tanya saja pada kekasihnya yang baru,” keluh Ratna. “Aku itu yakin, dia melakukan semua ini untuk balas dendam karena Ziya sudah merebut Yuda darinya. Yuda itu ibarat tambang emas bagi si Khayra, keluarganya yang kaya raya, memiliki Firma hukum yang di mana Yuda bekerja di sana.” Sarah diam di seberang sana. dia sangat mengenal Khayra dan dia percaya Khayra bukan orang seperti itu. “Baiklah, Kakak tutup teleponnya. Kakak akan menco
“Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya Sunny menyadarkan lamunan Khayra. Saat ini mereka sedang berada di kantin kantor untuk makan siang. “Tidak ada,” jawab Khayra. “Pesananmu,” ucapnya menyodorkan piring makanan pesanan Khayra. “Makasih,” jawab Khayra. “Hari ini Bos besar tidak marah-marah lagi,” ucap Nita. “Kayaknya mood dia sedang baik. Tadi aku melakukan kesalahan, dia tidak memarahiku, hanya berkata revisi sekarang. Biasanya akan keluar amarahnya. Kamu ini bagaimana sih kerjanya, dan bla ... bla ... bla .... “ kekeh Sunny membuat Nita tertawa sedangkan Khayra hanya tersenyum. Khayra tidak berkomentar karena dia kini cukup mengenal bagaimana Kaivan. Pria yang memiliki kepribadian dingin, gila kerja, galak, ternyata punya sisi hangat dan perhatian. Mengingat perhatiannya kemarin, cukup menyentuh hati Khayra. “Katanya, akan ada acara liburan bersama antar divisi,” ucap Nita. “Ah iya,
“Khayra?” Semua orang melihat ke arah Kaivan dan Khayra dengan tatapan syok. Mereka semua mengetahui kalau Khayra adalah tunangan Yuda. “Apa acara makan malamnya sudah selesai?” tanya Kaivan menyadarkan mereka semua dari keterpakuan. “Tentu saja belum. Bagaimana kami bisa makan malam tanpa kamu,” ucap Genny berjalan mendekati mereka. “Halo, Khayra,” sapa Genny tersenyum pada Khayra. “Hallo, Tante. Apa kabar?” tanya Khayra. “Sepertinya yang kamu lihat,” jawab Genny yang kini tatapannya tertuju pada putranya yang tampan. “Van, sepertinya kita perlu bicara.” “Nanti, Ma. Sekarang sebaiknya kita makan dulu, tidak nyaman membuat semua orang menunggu,” ucap Kaivan melirik ke arah orang tua Yuda juga Yuda. Tanpa di sadari, orang tua Kaivan dan Yuda tidaklah dekat layaknya seorang Kakak beradik. Mereka seperti sedang bersaing memperebutkan jabatan dan warisan dari Kakek mereka. “Kita langsung ke meja maka
“Jadi kalian serius akan menikah?” Komar duduk di hadapan Kaivan dan Khayra di ruangan pribadinya. “Iya, Kakek,” jawab Kaivan dengan mantap. “Bukankah Kakek sudah menginginkan keturunan dariku, jadi restui pernikahan kami.” Komar masih menunjukkan ekspresi datar. Ya, sekali lagi Khayra harus merasakan kondisi seperti ini, disidang oleh Kakek Komar dari keluarga Dirgantara. “Kaivan, tunggu di luar. Kakek ingin bicara dengan Khayra,” ucap Komar. “Tidak bisa. Kakek bisa bertanya padanya di depanku,” ucap Kaivan yang takut Komar mempersulit rencananya. “Kaivan, tunggu di luar,” ucap Komar sekali lagi dengan tegas. “Tunggulah di luar,” pinta Khayra dengan tatapan yang berusaha menenangkan Kaivan. “Tapi, Khayr?” Kaivan sangat khawatir meninggalkan Khayra hanya berdua dengan Kakeknya. “Aku akan baik-baik saja, keluarlah,” ucap Khayra mengusap lembut lengan pria itu. “Aku tidak akan m
“Ternyata sudah pagi.” Khayra bangun lebih dulu, sebenarnya dia tidak bisa tidur semalaman karena memikirkan mengenai pernikahannya dengan Kaivan. Apakah pernikahan mereka akan mendapatkah restu dari pihak keluarga Kaivan.Khayra sudah membasuh wajahnya dan lebih segar. Dia kemudian keluar dari kamarnya. Matanya menyisir seluruh ruangan dan terlihat begitu sepi.“Apa dia tidak pulang semalam?” gumamnya.Khayra memutuskan untuk ke dapur, dibukanya kulkas di sana dan dia mengambil telur, dia juga mengambil roti. Dia akan membuat sarapan roti isi.Khayra memanggang roti di alat panggang, dan terdengar suara pintu terbuka, membuatnya menoleh ke sumber suara.“Tumben bangun lebih pagi?” tanya Kaivan membuat Khayra menoleh ke sumber suara. Saat itu, Khayra cukup kaget karena Kaivan keluar dengan bertelanjang dada, dan celana tranning abu. Dengan cepat Khayra memalingkan wajahnya.“Ah!” pekiknya saat tangannya tidak sengaja memegang begitu saja roti yang baru naik dari alat pangga
Lima Tahun Kemudian ... “Wah, kita naik pesawat!” seru Sasa heboh saat mereka berada di pesawat pribadi milik keluarga Dirgantara. Saat ini Kaivan, Khayra dan kedua anak-anak mereka Saga dan Sasa akan pergi liburan ke Maldives sesuai keinginan Khayra. “Kalian senang?” tanya Khayra. “Tentu saja. Kita gak pernah naik pesawat,” seru Sasa. “Kita pernah naik pesawat. Hanya saja saat itu kalian masih bayi,” kekeh Khayra. “Saga, kenapa diam saja?” tanya Kaivan. “Nggak apa-apa. Sasa berisik,” keluh Saga yang terkenal pendiam. “Ih, dasar gak seru,” keluh Sasa. Kalian dan Khayra bersama anak-anak mereka, Saga dan Sasa, tiba di Maldives untuk menghabiskan waktu bersama keluarga. Mereka menginjakkan kaki di pantai berpasir putih yang lembut, dengan air laut yang jernih dan pemandangan yang sangat indah. "Wow, ini sungguh indah!" seru Khayra sambil memandangi keindahan pantai. “Y
“Hati-hati,” ucap Kaivan saat membantu Khayra menuruni brankar. Hari ini Khayra dan kedua bayi kembarnya sudah diperbolehkan untuk pulang. “Di sana Genny dan Rossa sudah menggendong bayi, masing-masing satu. “Kamu duduk di kursi roda,” ucap Kaivan menggendong Khayra dan mendudukkannya di atas kursi roda. “Semuanya sudah siap? Tidak ada yang ketinggalan lagi?” tanya Genny. “Sudah, koper sama tas bayi, aku yang bawa,” ucap Aerline. “Sebagian sama Papa.” “Ya sudah kalau begitu, mobil sudah siap di bawah,” ucap Tommy. Mereka pun berjalan beriringan meninggalkan rumah sakit, setelah berada di rumah sakit selama satu minggu. Saat sampai di lobi rumah sakit, terlihat dua buah mobil suv berwarna putih dan hitam sudah terparkir di sana dengan seorang sopir yang berdiri di dekat mobil, membukakan pintu penumpang. Kaivan membawa Khayra dan Rossa masuk ke dalam mobil putih, sedangkan Tommy, Genny dan Aerlin
“Kamu masih bisa bertahan, kan?” tanya Kaivan. “Ya, Mas.” Khayra menjawab dengan napas tersenggal. Kaivan pun tidak peduli betapa sakitnya kedua lutut dan kedua tangannya. Menggendong Khayra yang sedang mengandung bayi kembar, dia tetap akan berjuang demi keselamatan istri dan kedua anaknya. “Bertahanlah, aku akan memastikan kalian selamat,” bisik Kaivan. Begitu sampai di rumah sakit, Khayra segera ditangani oleh para perawat dan dibawa ke ruangan khusus. Beruntung dokter yang biasa merawat Khayra, Dr. Windi, juga sedang praktek di rumah sakit itu. Khayra merasa lega, karena ia tidak mau ditangani oleh dokter lain selain Dr. Windi. “Sus, kalau saya ingin istri saya kembali ditangani dokter Windi, bisa?” tanya Kaivan. “Bisa, Pak. Kebetulan Dokter Windi ada jadwal hari ini. Tetapi untuk tindakan operasi caesar, akan ada biaya penambahan penanganan dokter,” jelas suster tersebut. “Tidak masalah, Sus. Istri saya terbiasa dir
“Mas, nanti siang aku bawakan makan siang untuk Mas, ya,” ucap Khayra yang sedang membantu memasang dasi di kerah kemeja Kaivan. “Tidak usah, Sayang. Kamu kan sedang hamil besar, istirahat saja, ya. Aku khawatir kamu kelelahan,” tolak Kaivan. “Biasanya juga kamu mau diantarkan makan siang sama aku. Kenapa sekarang gak mau? Ada apa? kamu ada rencana makan siang dengan orang lain, atau seorang wanita? Siapa itu, sampai menolak niat baik istri sendiri?” tanya Khayra memborong penuh kecurigaan dan rasa cemburu. Ya, sejak hamil, Khayra memang semakin lengket dengan Kaivan, dia seakan tidak mau berjauhan dengan suaminya. Ditambah dia juga sangat cemburuan, dan selalu salah paham dan overthinking. “Bukan begitu, Sayang. Aku mengkhawatirkan kamu, kamu sedang hamil besar dan waktu HPL kamu sebentar lagi. Aku sama sekali tidak ada janji makan siang dengan siapa pun, apalagi perempuan,” jelas Kaivan. “Tetap saja, mencurigakan! Kamu meno
“Kamu sudah datang, Mas,” ucap Khayra tersenyum manis ke arah Kaivan yang masih membeku di tempatnya. Kaivan terpana saat melihat Khayra yang tampil anggun dalam gaun indah yang membalut lekuk tubuhnya yang sedang hamil. Rambut Khayra ditata apik dan jatuh membingkai wajahnya yang berseri-seri. Sorot mata Kaivan tak mampu terlepas dari istrinya itu. Tak ada kata yang mampu terucap dari bibir Kaivan saat ia menyaksikan Khayra berjalan perlahan mendekatinya. Wajah Kaivan terlihat terpesona, seolah tak percaya dengan kecantikan istrinya yang sedang mengandung buah hati mereka. “Umm ... Mas Kaivan,” tegur Khayra sekali lagi membuat Kaivan tersadar dari lamunannya. "Khayr, kamu sangat cantik," ucap Kaivan akhirnya, dengan suara gemetar dan mata yang tak bisa berhenti menatap Khayra. Khayra tersenyum malu di depan Kaivan, hingga terlihat roda merah di kedua pipinya. Dia menjawab, "Terima kasih, Mas. Aku juga senang melihatmu begitu terpu
“Bagaimana pekerjaanmu hari ini? bagaimana respon para pemegang saham? Mereka menyambutmu dengan baik, kan?” tanya Khayra saat membuka pintu rumahnya. Kaivan yang melihat Khayra menyambutnya dengan ceria, membuat rasa lelahnya hilang seketika. Tanpa kata, Kaivan langsung memeluk Khayra. “Nyaman sekali,” ucap Kaivan. “Apa terjadi sesuatu? Apa ada hal yang tidak berjalan dengan baik?” tanya Khayra semakin khawatir di sana. Kaivan melepaskan pelukannya dan tersenyum manis pada Khayra. “Semuanya berjalan dengan lancar,” ucapnya tersenyum merekah, membuat Khayra tidak bisa menyembunyikan senyumannya. “Lalu kenapa kamu malah membuatku khawatir tadi,” keluh Khayra. “Maaf. Aku tadi hanya merasa gemas dengan sikapmu. Selain itu aku juga sangat merindukanmu,” ucap Kaivan tersenyum merekah membuat Khayra membalas senyuman suaminya. “Kalau begitu kita masuk,” ajak Khayra dan mereka berjalan bersama dengan Ka
“Kamu gugup, tidak?” tanya Khayra. “Sedikit,” jawab Kaivan tersenyum. “Tapi aku yakin, bisa menghadapi mereka semua.” Khayra tersenyum melihat kepercayaan penuh dari suaminya. “Mama Rossa kembali ke Tangerang?” tanya Kaivan. “Iya, aku meminta sopir untuk mengantarnya. Katanya ada yang mau melihat-lihat rumah,” jawab Khayra. Kaivan berdiri tegak di depan Khayra yang sedang memasangkan dasi suaminya. Kemudian, Khayra mengambilkan jas hitam dan membantu memasangkan jas di tubuh Kaivan. Dia mengusap kedua pundak lebar Kaivan dengan senyuman manisnya. Kaivan mengernyitkan dahinya melihat Khayra. “Kenapa?” tanya Kaivan. Khayra tersenyum dengan rona merah di pipinya. Matanya tak henti-hentinya memandang sosok yang terlihat begitu elegan dan tampan di hadapannya. Dalam balutan setelan kerja lengkap dengan jas hitam yang terpasang rapi, Khayra tak bisa menyangkal bahwa hari ini suaminya tampak lebih mempesona dari biasanya.
“Menjauh kalian!” teriak Danang masih menempelkan ujung pisau di leher Khayra. Kaivan khawatir, tetapi berusaha tenang. Tatapannya terpaut dengan Khayra seakan mereka berdiskusi melalui tatapan. Kaivan bergerak mendekat. “Paman sangat membenciku, bukan?” tanya Kaivan. “Jangan mendekat!” “Bagaimana kalau aku saja yang Paman tawan, lepaskan Khayra,” ucap Kaivan membuat Khayra mengernyitkan dahinya. “Kamu pikir, Paman bodoh! kamu bisa berkelahi, jangan berusaha menipu Paman!” amuk Danang. “Baiklah begini saja, aku akan ikat kedua tanganku di belakang. Paman tawan aku saja dan lepaskan Khayra,” ucap Kaivan. “Mas,” seru Khayra tidak rela bertukar posisi. “Kalau begitu ikat kedua tanganmu!” perintah Danang. Khayra meminta bantuan polisi untuk meminjamkan borgolnya dan memborgol kedua tangan Kaivan di punggung. “Sekarang lepaskan Khayra,” ucap Kaivan berjalan mendekati Danang yang sed
Puput menatap Danang yang berjalan mondar-mandir di depannya. Pria itu terlihat sangat gelisah, dan berkali-kali mengusap kedua tangannya. “Bisakah kau berhenti mondar-mandir? Membuatku pusing,” keluh Puput. “Diam!” bentak Danang membuat Puput terpekik kaget. Tidak biasanya Danang berkata kasar begitu. “Ada apa denganmu, Pa? Biarkan saja kalau mereka mau melakukan autopsi pada tubuh Ayah,” ucap Puput. “Yang harus kita pikirkan adalah Yuda, bagaimana caranya kita menolong Yuda untuk segera keluar dari sana.” “Diam! Aku bilang diam!” amuk Danang di sana membuat Puput kaget sekaligus kebingungan. “Apa yang terjadi denganmu? Kamu seperti ketakutan. Sebenarnya apa yang sedang kamu sembunyikan dariku, Pa?” tanya Puput bangkit dari duduknya dengan kesal. “Apa kamu tidak bisa tutup mulut?” tanya Danang terlihat sangat frustrasi. “Sebenarnya apa yang sedang kamu sembunyikan? A-apa ini ada hubungannya dengan kematia