“Jadi kalian serius akan menikah?” Komar duduk di hadapan Kaivan dan Khayra di ruangan pribadinya. “Iya, Kakek,” jawab Kaivan dengan mantap. “Bukankah Kakek sudah menginginkan keturunan dariku, jadi restui pernikahan kami.” Komar masih menunjukkan ekspresi datar. Ya, sekali lagi Khayra harus merasakan kondisi seperti ini, disidang oleh Kakek Komar dari keluarga Dirgantara. “Kaivan, tunggu di luar. Kakek ingin bicara dengan Khayra,” ucap Komar. “Tidak bisa. Kakek bisa bertanya padanya di depanku,” ucap Kaivan yang takut Komar mempersulit rencananya. “Kaivan, tunggu di luar,” ucap Komar sekali lagi dengan tegas. “Tunggulah di luar,” pinta Khayra dengan tatapan yang berusaha menenangkan Kaivan. “Tapi, Khayr?” Kaivan sangat khawatir meninggalkan Khayra hanya berdua dengan Kakeknya. “Aku akan baik-baik saja, keluarlah,” ucap Khayra mengusap lembut lengan pria itu. “Aku tidak akan m
“Ternyata sudah pagi.” Khayra bangun lebih dulu, sebenarnya dia tidak bisa tidur semalaman karena memikirkan mengenai pernikahannya dengan Kaivan. Apakah pernikahan mereka akan mendapatkah restu dari pihak keluarga Kaivan.Khayra sudah membasuh wajahnya dan lebih segar. Dia kemudian keluar dari kamarnya. Matanya menyisir seluruh ruangan dan terlihat begitu sepi.“Apa dia tidak pulang semalam?” gumamnya.Khayra memutuskan untuk ke dapur, dibukanya kulkas di sana dan dia mengambil telur, dia juga mengambil roti. Dia akan membuat sarapan roti isi.Khayra memanggang roti di alat panggang, dan terdengar suara pintu terbuka, membuatnya menoleh ke sumber suara.“Tumben bangun lebih pagi?” tanya Kaivan membuat Khayra menoleh ke sumber suara. Saat itu, Khayra cukup kaget karena Kaivan keluar dengan bertelanjang dada, dan celana tranning abu. Dengan cepat Khayra memalingkan wajahnya.“Ah!” pekiknya saat tangannya tidak sengaja memegang begitu saja roti yang baru naik dari alat pangga
“Pesan lagi minumannya, pokoknya malam ini kita harus mabuk,” kekeh Sunny. Saat ini Nita, Sunny dan Khayra pergi ke sebuah tempat karaoke untuk menghilangkan kesedihan Khayra. “Ayo Ra, cepat nyanyi. Teriak-teriak deh, yang penting luapkan seluruh emosi kamu pada pria itu,” ucap Nita. “Bener. Ayo, Ra, jangan sungkan.” “Oke, siap,” kekeh Khayra. Khayra berpikir, mungkin memang tidak perlu dia ratapi kesedihannya itu. Sekali-kali, boleh dia bersenang-senang. Khayra memilih satu judul lagu dan menyanyi di sana dengan suara fals nya. Sunny dan Nita tidak peduli dengan suara fals Khayra. Mereka ikut berdiri dan bernyanyi bersama. Berteriak bersama-sama menyanyikan judul lagi sial. “Sial ... sialnya ku bertemu, dengan cinta semu. Tertipu tutur dan caramu, seolah cintaiku. Puas kau curangi aku....!” teriak mereka. Khayra tertawa puas di sana, karena hiburan dari dua rekannya, beberapa kali meneguk minuma
‘Kenapa aku ada di sini? Dan bagaimana aku tidur seranjang dengannya? Oh God! Apa ini karena mabukku semalam?’ Khayra benar-benar dibuat gelisah sekaligus malu. Wanita itu perlahan menuruni ranjang dan hendak keluar dari kamar itu karena berpikir dia berada di kamar Kaivan. Tetapi pandangannya tertuju pada tas miliknya yang di gantung di dekat pintu kamar mandi. ‘Loh bukannya ini kamar yang aku tempati? Apa? Jadi kami tidur bersama di kamarku?’ batin Khayra menoleh ke arah ranjang, di mana Kaivan berada dan masih terlelap. ‘Sebenarnya kenapa? Kenapa kami bisa tidur seranjang? Apa yang terjadi semalam, dan siapa yang mengusulkan tidur bersama? Apa mungkin aku?” tanya Khayra menutup mulutnya sendiri. Khayra melihat Kaivan bergerak dan matanya mengerjap beberapa kali. Dengan cepat, gadis itu masuk ke kamar mandi dan bersembunyi di sana. Dia tidak mau bertemu dengan Kaivan untuk saat ini. Khayra bergegas menyalakan air di bath up dan menunggu Kaivan keluar dari dalam kamar ini. Gadis
“Medina?” “Hei, lama tidak bertemu. Apa kabar?” sapa Medina menyapa Kaivan. “Kabarku baik. Bagaimana denganmu?” tanya Kaivan. “Kabarku juga baik. Tidak sangka akan bertemu kamu di sini. Apa yang kamu lakukan di sini? Sedang antar siapa?” goda Medina membuat Kaivan tersenyum seraya mengusap tengkuknya. Di sisi lain, tirai dibuka dan Khayra tidak melihat keberadaan Kaivan lagi di sofa. Tetapi dia melihat Kaivan yang sedang berbincang dengan perempuan dan posisinya beberapa meter dari Khayra. Saking serunya berbincang, Kaivan tidak sadar kalau Khayra sudah keluar dengan mengenakan gaun pilihan pria itu. “Ambil yang ini saja, bantu saya berganti pakaian kembali,” ucap Khayra pada pelayan toko. Dan mereka pun menuruti Khayra untuk kembali berganti pakaian. Beberapa menit kemudian, Khayra keluar dari ruangan ganti dan dia pun memilih duduk di sofa dengan menikmati minuman yang tersaji. Kaivan tampaknya masih asyik berbinc
“Um, kamu bilang kalau Kakek setuju dengan pernikahan kita. Apa aku boleh tahu alasannya? Mengingat awalnya keluarga kamu menolakku,” tanya Khayra. Saat ini, Kaivan dan Khayra sedang berada di jalan menuju kota Bandung, menuju ke rumah Sarah. “Kenapa kamu menanyakan hal itu?” tanya Kaivan. “Tidak apa-apa. Aku hanya tanya saja,” ucap Khayra. “Aku juga penasaran, kenapa Kakek berubah pikiran dengan begitu cepat.” Kaivan tersenyum kecil. “Kamu cukup menikmati saja menjadi Nyonya Kaivan Dirgantara, sisanya tidak perlu dipikirkan,” ucap Kaivan begitu misterius. “Baiklah,” jawab Khayra yang malas berdebat panjang lebar dengan pria itu. “Kalau mengantuk tidur saja, nanti akan aku bangunkan kalau sudah sampai,” ucap Kaivan. “Memangnya kamu tahu alamat rumah tante Sarah?” tanya Khayra. “Tidak, tapi ini kan masih di tol dan belum sampai kota Bandung, jadi tidur saja, nanti aku bangunkan kalau sudah sampai
“Jadi kalian benar-benar akan menikah?” tanya Iwan yang merupakan suami Sarah. Sarah dan Iwan memang sudah menganggap Khayra seperti putrinya sendiri, ditambah mereka memang belum dikaruniai seorang anak. Saat ini, Kaivan sedang di introgasi oleh Iwan yang berperan sebagai Ayah pengganti untuk Khayra. “Benar, Om. Saya akan menikahi Khayra,” jawab Kaivan tanpa merasa gentar. Iwan diam cukup lama. “Bagaimana denganmu, Khayra. Tidak ada paksaan dalam hal ini, bukan?” tanya Iwan. “Ya, Om. Saya sudah yakin untuk menikah dengan mas Kaivan,” jawab Khayra. “Baiklah. Kalau kalian berdua sudah berkata demikian, maka Om dan Tante hanya bisa mendukung dan mendoakan kalian,” ucap Iwan melihat ke arah Sarah yang menampilkan senyuman kecil. Sarah terus saja memandang Khayra dengan tatapan khawatir. Sebenarnya Iwan dan Sarah tidak setuju dengan pernikahan putri angkat mereka. Mereka sangat mengkhawatirkan Khayra, apalagi kembali be
“Aku Genny, ibunya Kaivan!” kata wanita dari seberang sana. “Ini benar dengan Khayra?” Pertanyaan itu membuat Khayra diam beberapa saat. “Benar, aku adalah Khayra, Tante.” “Baguslah. Aku tidak akan berbasa-basi lagi. Luangkan waktumu besok, karena aku ingin bicara denganmu. Temui aku di restoran Harmoni waktu makan siang.” Setelah mengatakannya, Genny langsung menutup panggilannya tanpa mengatakan apa pun lagi. Khayra hanya bisa menghela napasnya. Ternyata ujiannya selalu saja ada. Saat ini, Khayra berada di dalam kamarnya yang ada di rumah Kaivan. Dia dan Kaivan sudah kembali ke Jakarta sore tadi. “Kira-kira apa yang akan dibicarakan Tante Genny padaku?” gumam Khayra. “Sepertinya aku harus mencari cara untuk bisa mengambil hatinya.” Ketukan di pintu menyadarkan lamunan Khayra. Dia beranjak dari duduknya dan membuka pintu/ “Mas Kaivan?” seru Khayra. “Ayo kita makan malam. Bagaimana kalau di halam
Lima Tahun Kemudian ... “Wah, kita naik pesawat!” seru Sasa heboh saat mereka berada di pesawat pribadi milik keluarga Dirgantara. Saat ini Kaivan, Khayra dan kedua anak-anak mereka Saga dan Sasa akan pergi liburan ke Maldives sesuai keinginan Khayra. “Kalian senang?” tanya Khayra. “Tentu saja. Kita gak pernah naik pesawat,” seru Sasa. “Kita pernah naik pesawat. Hanya saja saat itu kalian masih bayi,” kekeh Khayra. “Saga, kenapa diam saja?” tanya Kaivan. “Nggak apa-apa. Sasa berisik,” keluh Saga yang terkenal pendiam. “Ih, dasar gak seru,” keluh Sasa. Kalian dan Khayra bersama anak-anak mereka, Saga dan Sasa, tiba di Maldives untuk menghabiskan waktu bersama keluarga. Mereka menginjakkan kaki di pantai berpasir putih yang lembut, dengan air laut yang jernih dan pemandangan yang sangat indah. "Wow, ini sungguh indah!" seru Khayra sambil memandangi keindahan pantai. “Y
“Hati-hati,” ucap Kaivan saat membantu Khayra menuruni brankar. Hari ini Khayra dan kedua bayi kembarnya sudah diperbolehkan untuk pulang. “Di sana Genny dan Rossa sudah menggendong bayi, masing-masing satu. “Kamu duduk di kursi roda,” ucap Kaivan menggendong Khayra dan mendudukkannya di atas kursi roda. “Semuanya sudah siap? Tidak ada yang ketinggalan lagi?” tanya Genny. “Sudah, koper sama tas bayi, aku yang bawa,” ucap Aerline. “Sebagian sama Papa.” “Ya sudah kalau begitu, mobil sudah siap di bawah,” ucap Tommy. Mereka pun berjalan beriringan meninggalkan rumah sakit, setelah berada di rumah sakit selama satu minggu. Saat sampai di lobi rumah sakit, terlihat dua buah mobil suv berwarna putih dan hitam sudah terparkir di sana dengan seorang sopir yang berdiri di dekat mobil, membukakan pintu penumpang. Kaivan membawa Khayra dan Rossa masuk ke dalam mobil putih, sedangkan Tommy, Genny dan Aerlin
“Kamu masih bisa bertahan, kan?” tanya Kaivan. “Ya, Mas.” Khayra menjawab dengan napas tersenggal. Kaivan pun tidak peduli betapa sakitnya kedua lutut dan kedua tangannya. Menggendong Khayra yang sedang mengandung bayi kembar, dia tetap akan berjuang demi keselamatan istri dan kedua anaknya. “Bertahanlah, aku akan memastikan kalian selamat,” bisik Kaivan. Begitu sampai di rumah sakit, Khayra segera ditangani oleh para perawat dan dibawa ke ruangan khusus. Beruntung dokter yang biasa merawat Khayra, Dr. Windi, juga sedang praktek di rumah sakit itu. Khayra merasa lega, karena ia tidak mau ditangani oleh dokter lain selain Dr. Windi. “Sus, kalau saya ingin istri saya kembali ditangani dokter Windi, bisa?” tanya Kaivan. “Bisa, Pak. Kebetulan Dokter Windi ada jadwal hari ini. Tetapi untuk tindakan operasi caesar, akan ada biaya penambahan penanganan dokter,” jelas suster tersebut. “Tidak masalah, Sus. Istri saya terbiasa dir
“Mas, nanti siang aku bawakan makan siang untuk Mas, ya,” ucap Khayra yang sedang membantu memasang dasi di kerah kemeja Kaivan. “Tidak usah, Sayang. Kamu kan sedang hamil besar, istirahat saja, ya. Aku khawatir kamu kelelahan,” tolak Kaivan. “Biasanya juga kamu mau diantarkan makan siang sama aku. Kenapa sekarang gak mau? Ada apa? kamu ada rencana makan siang dengan orang lain, atau seorang wanita? Siapa itu, sampai menolak niat baik istri sendiri?” tanya Khayra memborong penuh kecurigaan dan rasa cemburu. Ya, sejak hamil, Khayra memang semakin lengket dengan Kaivan, dia seakan tidak mau berjauhan dengan suaminya. Ditambah dia juga sangat cemburuan, dan selalu salah paham dan overthinking. “Bukan begitu, Sayang. Aku mengkhawatirkan kamu, kamu sedang hamil besar dan waktu HPL kamu sebentar lagi. Aku sama sekali tidak ada janji makan siang dengan siapa pun, apalagi perempuan,” jelas Kaivan. “Tetap saja, mencurigakan! Kamu meno
“Kamu sudah datang, Mas,” ucap Khayra tersenyum manis ke arah Kaivan yang masih membeku di tempatnya. Kaivan terpana saat melihat Khayra yang tampil anggun dalam gaun indah yang membalut lekuk tubuhnya yang sedang hamil. Rambut Khayra ditata apik dan jatuh membingkai wajahnya yang berseri-seri. Sorot mata Kaivan tak mampu terlepas dari istrinya itu. Tak ada kata yang mampu terucap dari bibir Kaivan saat ia menyaksikan Khayra berjalan perlahan mendekatinya. Wajah Kaivan terlihat terpesona, seolah tak percaya dengan kecantikan istrinya yang sedang mengandung buah hati mereka. “Umm ... Mas Kaivan,” tegur Khayra sekali lagi membuat Kaivan tersadar dari lamunannya. "Khayr, kamu sangat cantik," ucap Kaivan akhirnya, dengan suara gemetar dan mata yang tak bisa berhenti menatap Khayra. Khayra tersenyum malu di depan Kaivan, hingga terlihat roda merah di kedua pipinya. Dia menjawab, "Terima kasih, Mas. Aku juga senang melihatmu begitu terpu
“Bagaimana pekerjaanmu hari ini? bagaimana respon para pemegang saham? Mereka menyambutmu dengan baik, kan?” tanya Khayra saat membuka pintu rumahnya. Kaivan yang melihat Khayra menyambutnya dengan ceria, membuat rasa lelahnya hilang seketika. Tanpa kata, Kaivan langsung memeluk Khayra. “Nyaman sekali,” ucap Kaivan. “Apa terjadi sesuatu? Apa ada hal yang tidak berjalan dengan baik?” tanya Khayra semakin khawatir di sana. Kaivan melepaskan pelukannya dan tersenyum manis pada Khayra. “Semuanya berjalan dengan lancar,” ucapnya tersenyum merekah, membuat Khayra tidak bisa menyembunyikan senyumannya. “Lalu kenapa kamu malah membuatku khawatir tadi,” keluh Khayra. “Maaf. Aku tadi hanya merasa gemas dengan sikapmu. Selain itu aku juga sangat merindukanmu,” ucap Kaivan tersenyum merekah membuat Khayra membalas senyuman suaminya. “Kalau begitu kita masuk,” ajak Khayra dan mereka berjalan bersama dengan Ka
“Kamu gugup, tidak?” tanya Khayra. “Sedikit,” jawab Kaivan tersenyum. “Tapi aku yakin, bisa menghadapi mereka semua.” Khayra tersenyum melihat kepercayaan penuh dari suaminya. “Mama Rossa kembali ke Tangerang?” tanya Kaivan. “Iya, aku meminta sopir untuk mengantarnya. Katanya ada yang mau melihat-lihat rumah,” jawab Khayra. Kaivan berdiri tegak di depan Khayra yang sedang memasangkan dasi suaminya. Kemudian, Khayra mengambilkan jas hitam dan membantu memasangkan jas di tubuh Kaivan. Dia mengusap kedua pundak lebar Kaivan dengan senyuman manisnya. Kaivan mengernyitkan dahinya melihat Khayra. “Kenapa?” tanya Kaivan. Khayra tersenyum dengan rona merah di pipinya. Matanya tak henti-hentinya memandang sosok yang terlihat begitu elegan dan tampan di hadapannya. Dalam balutan setelan kerja lengkap dengan jas hitam yang terpasang rapi, Khayra tak bisa menyangkal bahwa hari ini suaminya tampak lebih mempesona dari biasanya.
“Menjauh kalian!” teriak Danang masih menempelkan ujung pisau di leher Khayra. Kaivan khawatir, tetapi berusaha tenang. Tatapannya terpaut dengan Khayra seakan mereka berdiskusi melalui tatapan. Kaivan bergerak mendekat. “Paman sangat membenciku, bukan?” tanya Kaivan. “Jangan mendekat!” “Bagaimana kalau aku saja yang Paman tawan, lepaskan Khayra,” ucap Kaivan membuat Khayra mengernyitkan dahinya. “Kamu pikir, Paman bodoh! kamu bisa berkelahi, jangan berusaha menipu Paman!” amuk Danang. “Baiklah begini saja, aku akan ikat kedua tanganku di belakang. Paman tawan aku saja dan lepaskan Khayra,” ucap Kaivan. “Mas,” seru Khayra tidak rela bertukar posisi. “Kalau begitu ikat kedua tanganmu!” perintah Danang. Khayra meminta bantuan polisi untuk meminjamkan borgolnya dan memborgol kedua tangan Kaivan di punggung. “Sekarang lepaskan Khayra,” ucap Kaivan berjalan mendekati Danang yang sed
Puput menatap Danang yang berjalan mondar-mandir di depannya. Pria itu terlihat sangat gelisah, dan berkali-kali mengusap kedua tangannya. “Bisakah kau berhenti mondar-mandir? Membuatku pusing,” keluh Puput. “Diam!” bentak Danang membuat Puput terpekik kaget. Tidak biasanya Danang berkata kasar begitu. “Ada apa denganmu, Pa? Biarkan saja kalau mereka mau melakukan autopsi pada tubuh Ayah,” ucap Puput. “Yang harus kita pikirkan adalah Yuda, bagaimana caranya kita menolong Yuda untuk segera keluar dari sana.” “Diam! Aku bilang diam!” amuk Danang di sana membuat Puput kaget sekaligus kebingungan. “Apa yang terjadi denganmu? Kamu seperti ketakutan. Sebenarnya apa yang sedang kamu sembunyikan dariku, Pa?” tanya Puput bangkit dari duduknya dengan kesal. “Apa kamu tidak bisa tutup mulut?” tanya Danang terlihat sangat frustrasi. “Sebenarnya apa yang sedang kamu sembunyikan? A-apa ini ada hubungannya dengan kematia