Di salah satu ruangan di Rumah Sakit Korman. Saat Luther dan Ariana tiba, mereka melihat Helen berbaring di tempat tidur dan terus merintih kesakitan. Kepalanya dibalut perban yang masih terdapat jejak darah dan jeritannya yang menyayat hati, tampaknya lukanya cukup parah."Ibu! Bagaimana dengan keadaanmu?" tanya Ariana begitu memasuki ruangan dengan ekspresi perhatian.Melihat keadaan itu, Helen terus merintih. "Putriku! Kamu akhirnya datang juga! Ibu melakukan kesalahan, maafkan Ibu! Ibu sekarang tidak berhak hidup lagi!"Saat mengatakan itu, Helen menghantam kepalanya ke dinding beberapa kali dan merasa kesakitan hingga berlinang air mata. Ariana terkejut dan buru-buru menahan Helen, lalu berkata, "Ibu! Apa yang sedang kamu lakukan? Apa tidak bisa menceritakannya dengan baik-baik? Kenapa harus cari mati seperti ini?""Aku ... malu untuk mengatakannya!" kata Helen sambil memukul dadanya, menendang-nendangkan kakinya, dan terus meratap."Keenan, apa yang sebenarnya telah terjadi?" Ari
Keenan tidak berbicara dan hanya mengulurkan dua jarinya."Dua puluh miliar?"Ariana menarik napas dalam-dalam dan menahan amarahnya, lalu berkata, "Meskipun ini bukan jumlah uang yang kecil, untungnya kita masih bisa menanggung kerugian ini. Kali ini, anggap saja sebagai sebuah pelajaran berharga.""Kak, kamu salah paham. Bukan 20 miliar, tapi 200 miliar," kata Keenan dengan lemah.Ekspresi Ariana berubah. "Dua ratus miliar? Apa kamu sedang bercanda? Kalian dapat dari mana uang sebanyak itu?""Kami memiliki beberapa miliar dalam tabungan, lalu kami menjual dua vila, meminjam beberapa puluh miliar, dan sisa beberapa puluh miliar lagi adalah uangmu yang diambil Ibu secara diam-diam," kata Keenan dengan takut."Apa?"Mendengar perkataan ini, Ariana langsung naik pitam. "Apa kalian sudah gila? Menjual rumah dan mencuri uang? Siapa yang mengizinkan kalian melakukan ini?"Siapa yang akan menjual rumah demi berinvestasi? Sungguh bodoh!"Putriku, Ibu bersalah, maafkan Ibu. Ibu akan mati sekar
"Hm?" Luther mengernyit pelan saat menyadari Helen menoleh padanya. Dia membatin, 'Kenapa dia menatapku? Memangnya aku kelihatan seperti orang kaya bodoh? Sialan!'"Luther ...," panggil Helen sambil tersenyum. Dia lalu mengambil sebuah apel dari keranjang buah dan menyerahkannya pada Luther. "Kamu lapar nggak? Sini, makan apel.""Apa maumu?" tanya Luther makin curiga. Saat Helen mendadak bersikap manis begini, dia pasti sedang ada maunya."Anu ... kamu seharusnya juga dengar apa yang barusan kami bicarakan, 'kan?" Helen memasang senyum terbaiknya dan berkata, "Kamu selalu baik hati, jadi kamu pasti nggak tega melihat kami rugi. Aku harap kamu bisa membantu kami."Luther bertanya dengan waspada, "Apa yang bisa kubantu?""Seingatku, sepertinya kamu punya kenalan beberapa orang kaya. Gimana kalau kamu membantu kami menjual bangunan mangkrak itu?" ujar Helen."Kamu ingin aku menipu orang?" tanya Luther sambil mengangkat alisnya.Helen berpura-pura kesal dan berkata, "Hei, jangan bicara sep
Menurut Helen, Luther mengucapkan omong kosong tadi karena tidak mau membantu mereka.Saat ini, Roselyn tiba-tiba berkata, "Luther, kamu bilang bangunan mangkrak ini akan mendatangkan untung besar, 'kan? Oke, gimana kalau kami menjualnya padamu? Biar kamu bisa untung banyak nanti."Mendengar ini, Helen langsung menimpali, "Iya! Sepertinya kamu tertarik dengan bangunan mangkrak ini, kalau gitu beli saja dari kami. Jadi, kita bisa mendapatkan apa yang kita butuhkan masing-masing.""Ini adalah peluang kalian, aku nggak ingin merebutnya dari kalian," tolak Luther dengan halus."Nggak masalah. Kita semua satu keluarga, satu hati. Kalau kamu untung besar, kami juga ikut senang," kata Helen dengan ramah, seolah-olah sedang melihat target barunya."Iya, Luther. Jangan sungkan sama kami. Kesempatan bagus seperti ini nggak boleh dilewatkan," ujar Herlina.Keenan menimpali, "Ya. Kalau kamu untung besar nanti, kamu cukup traktir kami makan."Orang-orang ini tersenyum cerah dan penuh perhatian. Mer
"Luther, kamu benar-benar bodoh. Bangunan tak berharga ini malah kamu anggap harta karun. Luar biasa!" ejek Roselyn sambil menyeringai.Roselyn terlihat puas akan kebodohan Luther. Tadinya, dia mengira uang sebanyak puluhan miliar yang diinvestasikannya akan terbuang sia-sia. Tidak disangka, langit membantunya dengan mengirim Luther untuk mengambil alih bangunan itu."Luther, terima kasih ya. Berkat bantuanmu, kami semua nggak jadi jatuh miskin," ujar Helen sambil melihat uang di kartunya dan tersenyum gembira."Luther, kamu benar-benar baik. Aku kagum!" timpal Keenan sambil mengacungkan jempolnya. Dia juga terlihat senang karena berhasil mengakali Luther.Herlina tersenyum mengejek dan berkata, "Haha! Setelah untung besar nanti, jangan lupa traktir kami makan ya." Dia memang sial karena ditipu oleh Malcolm, untungnya ada seseorang yang mengambil alih bangunan itu. Jika tidak, modal mereka akan terbuang sia-sia."Aku harap kalian nggak akan menyesal," kata Luther sambil tersenyum seten
Reyna meletakkan buah tangan di samping tempat tidur dan berkata, "Paman Harsa terluka, tentu saja aku datang untuk menjenguk. Ini ada beberapa suplemen, semoga Paman Harsa cepat sembuh.""Makasih," kata Charlotte sambil mengangguk pelan."Oh, aku lupa bilang, ini ibuku," ujar Reyna sambil menunjuk wanita cantik di sampingnya.Charlotte membungkuk pelan dan menyapa, "Halo, Bibi.""Halo, kamu bisa panggil aku Bibi Merry," balas wanita cantik bernama Merry itu sambil mengangguk dan tersenyum."Eh, rupanya Kak Luther juga ada di sini?" ujar Reyna, sedikit terkejut saat melihat Luther. "Kak, Keluarga Oscario nggak membuat masalah denganmu, 'kan?""Nggak kok," jawab Luther sambil menggelengkan kepalanya. Orang seperti Supri sama sekali tidak perlu ditakuti."Bu, waktu aku dapat masalah di restoran, Kak Luther inilah yang membantuku," kata Reyna sambil tersenyum."Benarkah? Terima kasih ya," ujar Merry sambil tersenyum sopan."Itu cuma masalah sepele, nggak perlu dibesar-besarkan." Luther ti
"Bu!" seru Reyna terkejut.Reyna segera menopang ibunya yang tiba-tiba pingsan sambil memanggil dan menepuk-nepuk pipinya. Namun, Merry sama sekali tidak bereaksi. Dia sudah kehilangan kesadarannya."Dokter! Mana dokter?" teriak Reyna sambil menggendong ibunya di punggung dan berlari kembali ke rumah sakit.Begitu mendengar teriakan Reyna, sekelompok staf medis segera menghampirinya dan mulai memberikan pertolongan pertama pada Merry.Satu jam kemudian, pintu masuk ke UGD terbuka."Reyna!"Seorang pria yang mengenakan pakaian tradisional dan beberapa pengawalnya masuk dengan tergesa-gesa."Ayah! Akhirnya Ayah sampai juga!" Begitu pria itu muncul, Reyna merasa lebih lega. Dia buru-buru menjelaskan, "Ibu tiba-tiba pingsan, dokter sedang menyelamatkannya sekarang. Dokter bilang, kondisi Ibu sangat serius. Aku juga diminta untuk menandatangani semacam surat pernyataan.""Tiba-tiba pingsan? Apa yang terjadi?" tanya Yudi dengan alis berkerut."Aku juga nggak tahu. Tadi Ibu masih baik-baik sa
"Oke!" sahut Reyna. Tanpa basa-basi, dia segera mengeluarkan ponselnya dan menghubungi nomor Luther. Setelah itu, dia pun menjelaskan situasinya secara singkat."Aku segera ke sana," ujar Luther. Setelah menutup telepon, dia segera pergi menemui Reyna.Saat ini, Merry telah dipindahkan ke bangsal VIP. Meskipun nyawanya aman untuk saat ini, dia tetap belum sadarkan diri. Saat Luther masuk ke bangsal, dia mendapati banyak orang berkumpul di dalam. Kebanyakan dari mereka adalah dokter, sementara sisanya adalah pengawal."Kak, akhirnya kamu sampai juga!" panggil Reyna."Reyna, jadi dia Dokter Ilahi yang kamu panggil?" tanya Yudi sambil mengamati Luther dari atas ke bawah dan tanpa sadar mengernyit. Pria di depannya masih terlalu muda. Mana mungkin seseorang berusia 20-an bisa memiliki keterampilan medis yang luar biasa?"Ayah! Jangan menilai orang dari penampilannya. Kak Luther memang masih muda, tapi dia sangat hebat. Dia bisa mengetahui penyakit Ibu dalam sekilas pandang," jelas Reyna."