Mag-log in"Nggak berani! Nggak berani! Putri Misandari, mohon kebijaksanaannya! Sama sekali nggak ada hal seperti itu! Sama sekali nggak ada!"Waluyo ketakutan sampai wajahnya pucat pasi dan keringat terus mengalir deras dari keningnya. Dia buru-buru melambaikan tangannya dan membungkuk makin rendah sampai hampir membentuk sudut sembilan puluh derajat. Dia berkata dengan suara yang terdengar seperti hendak menangis, "Putri Misandari sudah salah paham. Tadi ... itu hanya salah paham kecil.""Aku khawatir dua keponakanku yang nggak berguna ini disiksa di kantor biro ini, nada bicaraku jadi agak kasar karena panik. Aku nggak bermaksud mengancam Pak Hendy. Pak Hendy, yang aku bilang benar, 'kan? Ini hanya salah paham, 'kan?"Saat mengatakan itu, Waluyo menatap Hendy dengan tatapan memohon. Dia berharap Hendy akan berbicara beberapa kata untuk membantunya.Dalam situasi seperti ini, Hendy mana mungkin berani ikut campur. Dia hanya menundukkan kepala dan menatap ujung hidungnya sendiri, seolah-olah ti
Kemunculan Misandari yang mendadak itu langsung membuat suasana seluruh ruang tahanan berubah menjadi sangat menekan dan terasa aneh.Waluyo yang tadinya masih merasa sombong karena kekuasaan keluarganya pun langsung lenyap saat melihat sosok Misandari. Sebaliknya, dia merasa dingin yang menjalar dengan cepat ke seluruh tubuhnya dan kegelisahan yang kuat.Dia tahu jelas seberapa besar bobot putri ini di mata pihak istana dan kini pengaruhnya juga makin baik di dalam maupun di luar lingkaran pemerintahan. Kini, putri ini bisa datang sendiri ke rumah tahanan kecil milik kantor patroli, ini jelas bukan hanya kebetulan atau karena dorongan sesaat.Namun, ada saja orang yang tidak mampu membaca situasinya.Saat melihat seorang wanita yang sangat cantik dan berpenampilan anggun masuk ke dalam ruangan, Zidan yang sedang dipenuhi amarah dan tidak ada tempat pelampiasan sempat tertegun sejenak. Meskipun terintimidasi oleh dua pria berbaju hitam dan aura Misandari sendiri, sifat bejatnya langsun
Ketika keluar dari gerbang kantor kepolisian, angin malam membawa hawa dingin.Luther mengeluarkan ponsel, menekan sebuah nomor, dan hanya berkata dengan singkat, "Ketemu sedikit masalah. Aku butuh bantuanmu."....Pada saat yang sama, di ruang tahanan kantor polisi.Meskipun ditahan sementara, Zidan dan Zaki tidak dimasukkan ke sel biasa, melainkan ditempatkan di sebuah ruang tahanan sementara yang kondisinya relatif lebih baik.Ini jelas merupakan "perlakuan khusus" yang datang dari pengaruh keluarga mereka. Namun, hal ini sama sekali tidak meredakan amarah Zidan."Sialan! Sekelompok anjing kurang ajar! Berani-beraninya ngurungku!" Zidan mondar-mandir dengan gelisah di ruangan itu. Mulutnya terus memaki, "Nanti kalau aku keluar, orang pertama yang bakal aku bunuh itu si Luther! Sama petugas yang berani nahan aku tadi, bakal aku patahin kakinya!"Semakin dipikir, semakin marah. Seumur hidupnya, kapan dia pernah diperlakukan seperti ini?Zaki duduk di ranjang sederhana, bersandar pada
Di bawah lampu terang ruang pemeriksaan kantor patroli, Luther dan Bianca dipersilakan masuk ke sebuah ruang interogasi dengan cukup sopan.Seorang kepala polisi patroli paruh baya mencatat langsung keterangan mereka. Sikapnya cukup ramah.Bianca menjelaskan dengan rinci mulai dari saat mereka keluar dari mal, lalu diadang iring-iringan mobil Zidan, hingga dikejar dan akhirnya dikepung di jembatan penyeberangan.Luther menambahkan beberapa detail, dengan penekanan pada jumlah lawan yang sangat banyak, membawa senjata berbahaya, serta Zidan dan Zaki yang terang-terangan memerintahkan pengeroyokan.Nada bicaranya tenang, jelas, dan langsung mengarahkan tindakan pihak lawan sebagai percobaan penganiayaan sengaja dan penyekapan ilegal yang serius.Kepala patroli itu mencatat sambil terus mengernyit. Kasus ini melibatkan keluarga kerajaan dan dilakukan dengan begitu terang-terangan. Hal ini membuatnya cukup kesulitan.Saat itu pula, pintu ruang wawancara diketuk pelan. Seorang petugas patro
Peluru itu memang tidak langsung mengenai si preman, tetapi menghantam tanah di dekat kakinya, memercikkan percikan api. Dia langsung ketakutan setengah mati, berguling lalu merangkak mundur.Para preman lainnya juga terkejut oleh suara tembakan yang tiba-tiba itu. Mereka berhenti maju. Wajah mereka penuh keraguan ketika menatap Bianca yang sedang mengacungkan pistol. Untuk sementara, mereka tidak berani mendekat."Sayang, kamu nggak apa-apa?" Bianca bergegas maju dengan cemas. Ujung pistolnya masih mengarah ke para preman itu dengan waspada.Luther bersandar pada pagar jembatan penyeberangan, menyeka darah di sudut bibirnya sambil terengah-engah. Dia melambaikan tangan. "Nggak apa-apa, cuma luka sedikit."Melihat keadaan Luther yang begitu berantakan dan gerakannya yang jelas sudah tidak setangguh dulu, kecurigaan di hati Bianca semakin kuat. Dia tak tahan bertanya, "Sayang, bukannya dulu kamu jago bertarung? Kok sekarang kelihatan lemah banget?"Luther tersenyum pahit. Dalam keadaan
"Tabrak saja," kata Luther dengan sangat tegas.Bianca langsung mengerti maksud Luther. Dia menyipitkan matanya, lalu menginjak pedal gas dalam-dalam dan langsung meluncur ke arah Zidan dan anak buahnya.Zidan yang terkejut pun buru-buru meloncat menyingkir, sedangkan dua preman yang tidak sempat menghindar pun langsung tertabrak hingga terpental ke tanah.Bianca segera memindahkan tuas persneling ke gigi mundur, lalu kembali menginjak pedal gas dengan kuat. Setelah menerjang dan memecah barisan kerumunan itu, dia menggunakan bagian belakang mobil untuk langsung menghantam mobil yang memblokir di persimpangan. Benturan dahsyat itu membuat mobil penghalang terdorong menyamping dan membuka satu celah jalan.Begitu serangan berhasil, Bianca tak berhenti sedetik pun. Dia memutar setirnya dan langsung melakukan teknik mengepot yang indah, lalu menerobos keluar dari kepungan dan memelesat menuju kejauhan."Sialan! Kejar mereka, jangan biarkan mereka kabur," teriak Zidan dengan sambil bangkit







