Saat ini, sesuatu yang mencengangkan tiba-tiba terjadi. Terdengar suara benturan yang kuat. Atap aula tengah roboh dan muncul sesosok berpakaian hitam yang memegang pedang. Jelas sekali, dia seorang pembunuh."Raja, hati-hati!" pekik Haruna setelah termangu sesaat."Walter, ajalmu sudah tiba! Serahkan nyawamu!" seru pembunuh itu sambil mengarahkan pedang ke tubuh Walter.Serangan itu secepat kilat hingga hanya terlihat cahaya pedang. Siapa pun akan sulit untuk bereaksi. Saat berikutnya, pedang itu menembus dada Walter.Walter membeku di tempat. Dia menunduk menatap pedang itu dengan terbengong-bengong. Di sisi lain, Haruna yang berdiri di depan pintu memelotot dengan tidak percaya.Penjagaan di istana sangat ketat. Bagaimana bisa ada pembunuh yang menyusup masuk? Parahnya, Fuso dan Dodi sedang keluar untuk menjalankan tugas. Waktu ini terlalu tepat seolah-olah semua sudah direncanakan dengan matang."Walter! Ini akibat dari melawan Paviliun Lingga!" Pembunuh itu mencabut pedangnya, mem
"Raja! Raja! Cepat bangun!" Haruna berteriak histeris melihat Walter yang tidak bernapas lagi. Semua terjadi terlalu mendadak. Dia tidak menyangka Walter akan meninggal di pelukannya seperti ini.Sementara itu, semua orang yang datang setelah mendengar kehebohan pun meneteskan air mata. Walter adalah penguasa Atlandia. Kematiannya yang mendadak ini sama saja dengan runtuhnya seluruh langit Atlandia.Waktu terus berjalan. Keesokan pagi, seluruh kediaman Raja Atlandia dipenuhi suasana duka. Aula yang sebelumnya digunakan untuk rapat dan menjamu tamu seketika menjadi aula berkabung. Di bagian tengah, terlihat pula peti mati hitam dengan ukiran indah.Walter tampak berbaring di dalam. Wajahnya sangat tenang. Orang-orang berlutut di aula untuk memberi penghormatan. Sebagian besar adalah orang kepercayaan Walter dan keturunan Keluarga Bennett. Semuanya terlihat sangat sedih.Haruna berlutut di barisan paling depan. Dia menatap potret Walter sambil berlinang air mata. Fuso tiba-tiba masuk dan
"Maksud Ratu, kami harus mencari pengkhianat itu?" tanya Dodi."Bukan, mencari pengkhianat dan pembunuh itu adalah tugas Fuso. Tugas kalian jauh lebih penting," sahut Haruna.Haruna meneruskan dengan ekspresi sungguh-sungguh, "Kondisi di Atlandia kurang stabil beberapa tahun ini. Dulu ada Raja yang memerintah, jadi nggak ada yang berani semena-mena. Tapi, kini Raja sudah tiada. Atlandia pasti akan kacau balau dan istana akan menjadi sasaran semua orang.""Aku mengumpulkan kalian supaya kalian menjamin keselamatan istana. Siapa pun yang punya niat jahat pada anggota kerajaan harus dibunuh tanpa ampun!""Baik!" Dodi mengiakan. Ini adalah masa kritis. Walter sudah tiada sehingga istana akan mulai goyah. Jika tidak distabilkan, bukan hanya istana, tetapi seluruh Atlandia akan hancur dan akhirnya terpecah. Ketika saat itu tiba, rakyat akan sengsara!"Jenderal Dodi, kamu orang kepercayaan Raja, juga pilar istana ini. Semuanya bergantung padamu sekarang," ujar Haruna dengan serius."Aku pasti
"Kak, aku tahu kamu sangat sibuk sekarang. Tapi, dengarkan dulu penjelasanku." Misandari tersenyum tipis, lalu meneruskan, "Mereka cuma percaya padamu dan menganggapmu sebagai penyelamat. Kalau kamu menerima mereka, manfaatnya akan sangat besar. Misalnya waktu kamu merasa kesepian ....""Hei! Jangan bercanda! Yang serius sedikit!" tegur Luther dengan kesal."Ya, ya. Aku akan serius." Misandari menyingkirkan senyumannya, lalu berkata dengan sungguh-sungguh, "Jujur saja, mereka adalah bibit unggul yang langka. Aku sudah membantumu memilih. Semuanya cerdas dan tangguh. Asalkan dibina, mereka bisa menjadi bawahan hebat di masa depan.""Apa maksudmu?" tanya Luther sambil memicingkan mata."Kamu pasti tahu betapa pentingnya mata-mata, 'kan? Apalagi wanita. Wanita punya kelebihan yang unik dalam beberapa aspek. Kalau mereka semua dilatih menjadi mata-mata, kamu akan untung besar!" jelas Misandari."Mudah sekali kamu bicaranya. Kita butuh waktu dan energi yang banyak untuk melatih mata-mata. A
Luther termangu melihat situasi ini. Ucapan gadis berpakaian kuning itu sungguh mengejutkan. Luther tidak menyangka para gadis ini masih memikirkan orang lain setelah melewati hal-hal yang begitu mengerikan. Luther sendiri belum tentu memiliki kesadaran seperti ini.Seperti yang dikatakan Misandari, para gadis ini memang sangat langka. Mereka berada di tengah-tengah kegelapan, tetapi cahaya di dalam hati mereka tidak pernah padam. Siapa bilang pria lebih hebat dari wanita? Para wanita ini adalah pahlawan sesungguhnya. Dunia baru akan damai dengan kehadiran mereka."Kak, ayo buat keputusan. Kalau kamu nggak menerima mereka, aku khawatir mereka nggak punya semangat untuk hidup lagi," ucap Misandari."Kalian nggak menyesali keputusan ini?" tanya Luther dengan sungguh-sungguh."Nggak akan! Kami nggak akan menyesal!" sahut para gadis itu secara serempak."Oke, aku akan mengatur orang untuk membina kalian. Kalau kalian sanggup bertahan, aku akan berusaha sebaik mungkin untuk mewujudkan harap
Luther tampak berang dan dipenuhi niat membunuh. Meskipun hubungannya dengan sang ayah sempat buruk, Luther telah memahami keputusan Walter seiring berjalannya waktu.Terutama saat mendengar Walter sakit parah, amarah Luther langsung sirna. Dia hanya berharap Paviliun Lingga bisa segera dibinasakan dan berbakti di hari-hari terakhir Walter.Tanpa diduga, sebelum keduanya bertemu, Walter sudah diserang pembunuh dan tewas. Pukulan ini sungguh besar untuk Luther."Pedang Cakrawala!" teriak Luther tiba-tiba. Kemudian, dia menyerbu ke luar dengan pedangnya. Ini adalah dendam kesumat yang harus dibalaskan."Yang Mulia, tenang sedikit." Ketika melihat Luther begitu emosional, Sutomo segera menahannya. "Paviliun Lingga pasti membuat persiapan matang. Kalau bertindak gegabah, bukan hanya dendam nggak bisa terbalaskan, tapi nyawamu juga bisa melayang.""Minggir!" bentak Luther dengan mata memerah dan meletakkan pedang di leher Sutomo. Seketika, kulit Sutomo tergores dan darah mengalir keluar."Y
"Baiklah, kamu bisa menyamar menjadi pengawal. Tapi sebelum itu, kamu harus merias wajah sedikit supaya nggak ketahuan." Sutomo akhirnya mengalah. Meskipun berisiko, dia tidak punya pilihan lain.Siang hari, di kediaman Raja Atlandia. Meskipun kabar kematian Walter dirahasiakan, pejabat yang datang cukup banyak. Beberapa merasa kehilangan, tetapi ada juga yang merasa senang di atas penderitaan orang.Terlihat 2 pria paruh baya bertubuh kekar dan berzirah berjalan masuk. Masing-masing membawa pasukan. Semua bawahan mereka membawa golok dan tampak galak. Keduanya tidak lain adalah Abram dan Chokri."Kedua jenderal, tolong lepaskan zirah dan senjata kalian sebelum masuk," ujar seorang pengawal sambil memberi hormat."Huh! Aku nggak pernah melepaskan zirah dan senjataku kalau berada di luar! Minggir!" tegur Abram."Jenderal, ini aturan istana. Tolong dituruti," kata pengawal itu lagi."Aturan? Aturan bapakmu!" Abram sontak menampar pengawal itu dan membentak, "Siapa kamu? Beraninya kamu me
Mereka berdua memang datang untuk menunjukkan kehebatan. Tanpa diduga, Haruna malah terlihat begitu mendominasi. Mereka baru bertemu, tetapi Haruna sudah menuduh mereka ingin memberontak. Jika mereka dinyatakan bersalah, bukankah mereka tidak akan bisa meninggalkan istana hari ini?"Ratu, jangan bercanda. Itu adalah dosa besar. Sekalipun bernyali besar, kami nggak akan berani melakukan hal semacam itu!" jelas Chokri."Benar, kami setia pada Raja. Mana mungkin melakukan hal tercela seperti itu?" Abram turut membantah. Meskipun keduanya memiliki ambisi besar, mereka tidak akan menyatakannya secara terang-terangan. Setidaknya, sekarang bukan waktu yang tepat."Kalau bukan ingin memberontak, kenapa masih nggak melepaskan zirah kalian? Kalian nggak tahu aturan istana?" tegur Haruna tanpa rasa sungkan sedikit pun.Mereka hanya jenderal kelas 2, tetapi berani bertindak semena-mena di istana hanya karena punya sedikit kekuasaan? Jika Walter masih hidup, mana mungkin mereka berani bertingkah se