"Luther, jangan gegabah. Kamu nggak bisa mengalahkannya!" Melihat situasinya menjadi buruk, Julia segera memperingatkan Luther. Yudas telah berlatih bela diri sejak kecil sehingga tubuhnya kuat dan bisa mengalahkan banyak lawan sekaligus. Sementara itu, Luther hanya seorang dokter, berduel dengan seorang ahli bela diri seperti itu berarti sama saja mencari mati."Tenang saja, orang seperti ini nggak berarti apa-apa bagiku," kata Luther dengan tenang. Yudas ini hanya seorang pesilat energi internal, masih berguna jika melawan orang biasa. Namun, dia akan kalah jika berhadapan dengan lawan yang lebih luar biasa."Anak muda, kamu masih bisa sombong sekarang, sebentar lagi kamu akan segera tahu seberapa besar perbedaan kita," kata Yudas sambil tersenyum dingin, lalu melepaskan jasnya dan memperlihatkan kemeja putihnya. Di balik kemeja itu, otot-ototnya yang menonjol terlihat sangat kuat."Yudas, aku peringatkan kamu, jangan membuat masalah!" Julia langsung berdiri di depan Luther untuk men
Yudas menjerit kesakitan. Namun sebelum jeritannya selesai, tangan Luther sudah mencekik tenggorokannya dengan kuat hingga jeritannya terpaksa harus berhenti. Napasnya langsung berhenti sejenak hingga wajahnya memerah dan pembuluh darah di lehernya menonjol. Kedua kakinya perlahan-lahan terangkat dari lantai dan berusaha menendang-nendang ke segala arah, tetapi usahanya tetap tidak berguna. Rasa takutnya akan kematian langsung memenuhi pikirannya."Lepaskan aku ...." Suara Yudas terdengar serak saat berusaha mengatakan kata-kata itu."Nggak bisa menang jadi mengeluarkan pisau, kamu nggak tahu malu ya?" Luther mencekik leher Yudas dengan lebih kuat lagi hingga wajah Yudas menjadi pucat."Jangan sakiti dia!" Setelah terdengar jeritan dari belakang Luther, lalu tiba-tiba terdengar suara botol pecah setelah menghantam kepala Luther dari belakang. Dalam sekejap, botol itu hancur berkeping-keping dan minumannya berserakan di lantai."Eh?" Luther mengernyitkan alisnya dan menoleh ke belakang.
"Luther, kamu sudah keterlaluan. Gimana kalau Yudas terluka?" Julia merasa agak kasihan saat melihat bekas cengkeraman di leher Yudas. Jadi, dia bangkit dan bertanya demikian."Keterlaluan?" Luther terkekeh-kekeh dan bertanya balik, "Nona Julia, kamu harus tahu siapa yang ingin melukai orang dulu. Aku hanya melindungi diri. Jadi, siapa sebenarnya yang keterlaluan?"Begitu mendengarnya, ekspresi Julia membeku. Dia memaksakan diri untuk menjelaskan, "Yudas hanya ingin menakutimu, nggak mungkin serius. Kamu nggak seharusnya bertindak sekejam ini.""Berarti semua ini salahku?" Ekspresi Luther tampak mencemooh diri sendiri. Dia meneruskan, "Aku yang kepo karena menjadi tamengmu? Aku yang mengambil inisiatif untuk menantangnya? Atau aku yang menyerang orang secara diam-diam?""Bu ... bukan begitu maksudku." Julia merasa agak bersalah. Dia menjelaskan, "Aku memang salah karena menyerangmu secara diam-diam. Tapi, semua itu karena aku khawatir kamu melukai Yudas. Kuharap kamu bisa memakluminya.
Menurut Yudas, Luther hanya pria miskin. Atas dasar apa berebutan wanita dengannya? Sungguh tidak tahu diri!Tidak ada gunanya Luther bersusah payah untuk mendekati Julia. Asalkan menggunakan sedikit trik, Yudas sudah bisa memenangkan hati wanita ini kembali. Inilah kesenjangan mereka berdua.Luther meninggalkan tempat itu. Ekspresi Julia tampak agak rumit saat memandang sosok belakang Luther. Julia mengira Luther menyukainya sehingga pria ini selalu membantunya. Di luar dugaan, Luther malah pergi begitu saja tanpa ragu sedikit pun. Apakah Luther merasa sakit hati atau hanya untuk jual mahal?"Luther, aku membawamu ke lingkaran pertemananku karena merasa kamu orang baik. Aku ingin melihatmu sukses, tapi kamu malah nggak tahu diuntung. Kamu tahu apa yang telah kamu lewatkan? Kesempatan untuk menjadi kaya raya dan hidup indah!""Semua ini pilihanmu sendiri, bukan salahku. Aku sudah memberimu kesempatan, kamu yang nggak menghargainya. Sudahlah, kita memang berasal dari dunia yang berbeda.
Keesokan pagi, di kamar tamu kediaman Keluarga Ghanim. Luther sedang duduk bersila untuk bermeditasi.Tok, tok, tok .... Pintu tiba-tiba diketuk seseorang. Luther membuka matanya dengan perlahan sambil bertanya, "Siapa?""Dokter Luther, aku Limas. Aku datang untuk mengantarkan sarapan." Terdengar suara yang agak familier di luar. Luther pun bangkit dan membukakan pintu.Terlihat seorang remaja berusia 15 tahun dan bertubuh kurus berdiri di luar. Dia memegang kotak makan yang terlihat indah.Remaja ini bernama Limas, dia pelayan kediaman Keluarga Ghanim. Sejak kecil, dia yatim piatu dan hidup sebatang kara.Sejak Luther memasuki kediaman ini, Limas yang terus merawatnya. Limas menyiapkan semuanya, bahkan begitu perhatian dan bertanggung jawab."Terima kasih," ujar Luther sambil bergeser sedikit agar Limas bisa masuk."Sama-sama, sudah seharusnya," balas Limas yang merasa tersanjung. Setelah memberi hormat dan masuk, dia meletakkan kotak makan dengan hati-hati dan membukanya satu per sat
Luther tersenyum lagi, lalu berucap, "Ayo, makan saja, nggak perlu sungkan-sungkan."Limas memegang peralatan makannya dengan takut. Dia terus menunduk dan tidak berani bergerak."Kamu kurus sekali lho. Kamu sedang dalam masa pertumbuhan, seharusnya makan lebih banyak," ujar Luther sambil mengambilkan teripang untuk Limas."Te ... terima kasih, Dokter." Limas memaksakan diri untuk tersenyum. Jelas sekali, dia merasa agak gugup."Kenapa nggak makan? Nggak cocok dengan seleramu, ya? Ayo, coba juga udang dan sapi ini," ucap Luther yang mengambilkan lauk untuknya lagi. Dia terlihat seperti ayah yang penuh kasih sayang."Sudah cukup, Dokter. Kamu juga harus makan," kata Limas yang merasa panik, sampai tangannya gemetaran."Aku nggak lapar, kamu makan dulu." Luther tersenyum."Aku ... juga nggak lapar." Kelopak mata Limas seketika berkedut."Nggak apa-apa, dicoba saja rasanya." Luther mengangguk sebagai isyarat mempersilakan. Ketika melihat Limas masih ragu-ragu, Luther tiba-tiba bertanya, "
Whoosh! Begitu terlihat kilatan pisau, kepala Limas seketika terpenggal. Kepala itu bergelinding beberapa kali sebelum akhirnya berhenti. Matanya tampak terbelalak, seakan-akan sulit memercayai kejadian ini.Hingga mati, Limas tidak menyangka bahwa orang yang membunuhnya bukanlah Luther, melainkan ayah angkatnya. Benar, Egon adalah ayah angkat Limas.Ketika Limas dalam keadaan terpuruk, Egon yang menyelamatkannya dan membawanya ke kediaman Keluarga Ghanim serta memberinya tempat tinggal.Selama ini, Limas merasa sangat berterima kasih pada Egon. Itu sebabnya, ketika Egon menyuruhnya membunuh Luther, dia sama sekali tidak merasa ragu sedikit pun karena merasa ini waktunya untuk membalas budi.Itu sebabnya, demi memenangkan kepercayaan Luther, Limas bersedia mengorbankan nyawanya. Di luar dugaan, dia malah dibunuh oleh ayah angkatnya. Limas benar-benar merasa enggan ...."Hm?" Luther mengerutkan dahi saat melihat jasad Limas. Dia menengadah menatap Egon sembari bertanya dengan dingin, "P
"Tuan Giotto, dengar-dengar, ayahmu sudah sadar?" tanya Luther."Benar, ayahku sudah sadar. Tapi, kondisinya masih agak lemah dan masih agak linglung. Mungkin harus dirawat dulu untuk sementara waktu ini," sahut Giotto."Tenang saja, itu hanya gejala sisa. Dia akan segera pulih," jelas Luther. Kemudian, dia mengalihkan topik dan berkata, "Omong-omong, kita bahas kesepakatan yang sebelumnya dulu. Kalian sudah berjanji akan memberiku Sumsum Giok dan Teratai Es. Kapan aku bisa mendapatkannya?""Eee ...." Giotto menoleh melirik Flanna. Flanna segera menyahut dengan nada datar, "Dokter Luther, Keluarga Ghanim nggak akan ingkar janji. Tapi, bukan sekarang karena kami sangat sibuk. Kami nggak mungkin hanya melayanimu seorang.""Nyonya, sebelumnya kamu nggak bicara seperti ini?" Luther menggeleng dengan tidak berdaya."Obat mujarab seperti itu nggak mudah ditemukan. Kamu harus sabar menunggu. Setelah ada kabar, kami pasti akan memberitahumu," jelas Flanna dengan ekspresi datar."Menunggu? Kala