Barang yang diambil oleh Egon adalah emas batangan. Cahaya matahari yang menyinari membuat emas itu menjadi makin cemerlang."Luther, ini niat baik dari Keluarga Ghanim, juga imbalan karena kamu sudah menolong Julia," ucap Flanna dengan nada datar sambil melirik emas batangan itu."Ibu, apa maksudmu?" tanya Julia sambil memanyunkan bibir dengan jengkel."Keluarga Ghanim nggak pernah berutang budi. Karena Luther sudah menyelamatkanmu, aku pun membalasnya dengan emas batangan ini. Nggak ada yang salah, 'kan?" tanya Flanna dengan dingin."Bibi, aku menolong orang bukan demi uang," ujar Luther sambil menggeleng."Kenapa? Kamu merasa terlalu sedikit?" Tanpa berbasa-basi, Flanna segera memberi isyarat tangan dan memerintahkan, "Egon, ambilkan sekotak lagi.""Baik." Egon mengiakan dan hendak meninggalkan tempatnya."Ibu!" Julia akhirnya tidak tahan lagi. "Nggak semua barang bisa dinilai dengan uang. Yang temanku butuhkan adalah Ginseng Naga, obat spiritual untuk menyelamatkan nyawa orang, buk
"Teratai Es dan Sumsum Giok," jawab Luther.Kemampuan Keluarga Ghanim jelas lebih hebat daripada Keluarga Suratman. Asalkan mereka mau, pasti bisa menemukannya."Anak Muda, kamu serakah sekali. Kedua bahan obat ini sangat mahal. Hanya dengan satu resepmu, kamu ingin aku membayar dengan ketiga bahan obat itu? Bukankah kamu terlalu serakah?" tanya Flanna sambil mengernyit dengan jengkel."Bibi, aku berani menjamin kalau Salep Halimun ini sangat bernilai dan bisa membawa keuntungan besar untuk Keluarga Ghanim. Bahkan, keuntungan itu melampaui harga ketiga bahan obat itu," balas Luther."Masa?" Flanna menatap Luther lekat-lekat, mencoba untuk mencari tahu sesuatu. Namun, Luther tidak menghindar ataupun terlihat gelisah, yang ada hanya kejujuran. Setidaknya, Flanna yakin Luther tidak berbohong."Oke, aku akan memercayaimu untuk kali ini." Setelah mempertimbangkannya beberapa saat, Flanna mengangguk menyetujui. "Tinggalkan resep Salep Halimun, maka kamu boleh membawa Ginseng Naga. Beri aku w
"Dokter Muda, maafkan aku. Aku seharusnya menghadiahkan Ginseng Naga itu kepadamu, tapi ibuku malah tiba-tiba menghalangiku," ujar Julia dengan ekspresi bersalah di depan gerbang."Nona Julia, nggak perlu merasa bersalah. Tanpa bantuanmu, aku juga nggak mungkin mendapat Ginseng Naga, apalagi membuat kesepakatan dengan ibumu. Hasil ini sudah yang terbaik untukku," sahut Luther sambil tersenyum. Menukar resep cacat dengan tiga bahan obat langka jelas tidak rugi."Kamu benar-benar berpikir begitu?" tanya Julia dengan bersemangat."Tentu saja." Luther mengangguk seraya tersenyum."Hehe. Dokter Muda, kita berdua sangat cocok. Mulai hari ini, kita teman!" Julia tersenyum lebar dan meneruskan, "Kamu sudah makan belum? Aku tahu restoran yang makanannya enak-enak. Ayo, kita pergi ke sana!"Selesai berbicara, Julia menarik tangan Luther untuk naik ke mobil. Saat ini, ponsel Julia tiba-tiba berdering. Dia menerimanya, lalu terdengar suara rendah seseorang."Nona, kami sudah mendapat informasi. Be
Playboy seperti Yudas ini jelas tidak bisa berubah lagi. Untung saja, Julia belum menikah dengan bajingan ini atau dia akan menyesal di kemudian hari."Aku tentu tahu harus putus, tapi aku nggak rela!" Julia menggertakkan giginya sambil melanjutkan dengan geram, "Beraninya dia memperlakukanku seperti ini, aku nggak akan mengampuninya! Aku akan membuatnya menyesal dan membuatnya mengerti bahwa kehilanganku adalah kerugian terbesarnya!""Apa rencanamu?" tanya Luther."Dia suka mencari wanita lain, 'kan? Kalau begitu, aku juga akan mencari pria lain dan berselingkuh darinya!" Julia menarik napas dalam-dalam, lalu menatap Luther dan berucap, "Dokter Muda, mulai hari ini, kamu pacarku. Aku akan mendeklarasikan kedaulatanku di depannya!""Eh?" Ekspresi Luther sontak membeku. Dia buru-buru menyahut, "Nona, kamu bercanda, 'kan? Kita baru saling mengenal lho!""Kenapa memangnya? Kamu merasa aku nggak pantas untukmu?" tanya Julia dengan bibir yang cemberut."Nona, aku sudah punya calon istri," j
Semua orang serempak menoleh ke arah pintu yang mendadak terbuka. Julia yang cantik dan berpakaian modis masuk dengan ekspresi dingin. Di belakangnya, Luther mengikuti dengan langkah santai."Julia?""Julia ke sini?"Setelah melihat siapa yang barusan masuk, semua orang tampak terkejut. Apalagi Yudas. Bak tersengat listrik, dia langsung melepaskan rangkulannya pada pinggang wanita bergaun merah itu.Yudas sontak berdiri, lalu bertanya sambil memaksakan sebuah senyuman, "Julia, kenapa kamu datang ke sini?""Memangnya kenapa? Kamu saja boleh ke sini, kenapa aku nggak boleh?" balas Julia. Dia melirik wanita bergaun merah itu sejenak, baru mengalihkan tatapannya pada Yudas. Walaupun sudah menyiapkan mentalnya sebelum datang, Julia tetap saja nyaris meledak saat melihat kemesraan Yudas dengan wanita itu."Tentu saja boleh, tapi kamu bisa memberitahuku dulu sebelum kamu datang. Dengan begitu, aku bisa mengatur jemputan dan yang lainnya untukmu," ujar Yudas sambil tersenyum tipis."Nggak perl
Parahnya lagi, Julia berani membawa teman tidurnya itu ke hadapan Yudas. Ini namanya provokasi terang-terangan!Yudas menarik napas dalam-dalam, berusaha keras menahan amarahnya. Setelah lebih tenang, dia baru bertanya, "Julia, kenapa aku belum pernah bertemu sahabatmu ini sebelumnya?""Memangnya aku butuh izinmu dengan siapa aku berteman? Lagian, aku juga nggak mengenal beberapa teman wanitamu sebelumnya, 'kan?" balas Julia dengan tenang.Sindiran Julia membuat Yudas tidak bisa berkata-kata. Sekarang, dia paham bahwa wanita itu sengaja memancing amarahnya.Melihat suasana yang menegang, Ansel buru-buru menjadi penengah. Dia berkata sambil tersenyum, "Julia, kita jarang-jarang bisa berkumpul. Ayo, ayo, aku mau bersulang untukmu.""Aku nggak minum alkohol," tolak Julia dengan dingin."Nggak masalah, kamu bisa minum jus, kok. Apa saja boleh asal kamu senang," balas Ansel sambil menyeringai. Dia segera menyuruh pelayan untuk membawakan jus beraneka rasa."Kak Luther, kamu juga minum jus s
"Luther, orang-orang ini nggak berniat baik, kamu nggak usah pedulikan mereka," saran Julia. Dia berani maju karena dia yakin Ansel tidak akan berani sembarangan bertindak. Namun jika Luther bertindak, mungkin saja dia akan mempermalukan dirinya sendiri."Nggak perlu khawatir, aku tahu batasanku."Luther tersenyum dan menatap ke arah Ansel. "Tuan Ansel mau aku ngapain?""Mudah sekali, berikan aku setetes darahmu dan beberapa helai rambutmu, lalu langkah selanjutnya hanya perlu ikuti perintahku," kata Ansel sambil menyeringai."Baiklah," kata Luther sambil menganggukkan kepala. Dia mengeluarkan jarum dan menusuk jari telunjuknya, lalu menampung setetes darah di gelas kosong.Setelah itu, Luther mencabut beberapa helai rambut dan melemparkannya ke gelas itu, lalu bertanya, "Seperti ini bisa?""Bisa," kata Ansel sambil tersenyum penuh dengan niat buruk, lalu memberikan isyarat kepada Yudas.Yudas tersenyum sambil menganggukkan kepala, lalu duduk di sofa dengan santai dan ekspresinya terli
"Julia, tenang saja. Kami hanya main-main, nggak akan menyakitinya," hibur Yudas."Huh! Sebaiknya begitu!" Julia mengernyitkan alisnya dan akhirnya memilih untuk menyerah. Dia lebih takut tindakan gegabahnya akan mencelakai Luther."Tuan Ansel, kamu sudah mengendalikan orang ini?" tanya salah seorang wanita.Ansel berkata sambil tersenyum dengan angkuh, "Tentu saja! Sekarang dia hanya sebuah mayat hidup, nggak bisa merasakan sakit dan nggak punya ingatan. Apa yang kuperintahkan, dia akan melakukannya dengan patuh dan nggak ingat apa-apa setelah melakukannya.""Benarkah? Kalau begitu, coba suruh dia tampar dirinya sendiri," kata wanita itu dengan ekspresi penuh harapan."Nggak masalah," kata Ansel sambil tersenyum sinis.Ansel melihat ke arah Luther dan memerintahkan, "Sekarang, tampar dirimu sendiri.""Ansel, kamu ...." Julia hendak menghentikannya, tetapi Luther sudah mengangkat tangannya dan langsung menampar wajah Ansel di hadapan semua orang."Plak!" Kekuatan tamparan ini sangat lu