"Guru, Kak Luther, ternyata kalian di sini." Saat ini, Alarik dan Sarisha tiba-tiba memasuki ruangan."Huh! Lagi-lagi datang untuk numpang makan," ejek Sarisha sambil mencebik dengan raut wajah penuh kebencian. Dia masih merasa kesal karena masalah kemarin, terutama saat melihat Luther dan Berry."Kak Luther, kudengar kemarin kamu dirampok? Gimana? Kamu baik-baik saja, 'kan?" tanya Alarik dengan ekspresi penuh perhatian."Terima kasih banyak, tapi mereka hanya sekelompok semut kecil, sama sekali bukan lawanku," balas Luther. Kemudian, dia mengalihkan topik pembicaraan dengan bertanya, "Omong-omong, gimana kamu bisa tahu aku dirampok?""Eh?" Ekspresi Alarik sontak membeku, tetapi dia segera bersikap normal dan menjawab, "Oh, aku mendapat banyak informasi. Di kota selatan ini, nggak ada yang bisa terlepas dari pandanganku.""Begitu rupanya." Luther tersenyum misterius. Kemarin, dia masih penasaran siapa yang mengincar Lukisan Bahari. Dilihat dari situasi sekarang, sepertinya pelakunya ad
Sejam kemudian, di Kedai Teh Phoenix. Faust duduk di kursi dekat jendela dan menyesap tehnya sambil melihat orang yang berlalu-lalang di jalanan.Total ada belasan meja di kedai teh ini. Hanya saja, kalau dibandingkan keramaian pada hari biasa, suasana di kedai teh hari ini terasa agak suram.Semua tamu menundukkan kepala meminum teh tanpa mengobrol sedikit pun. Saat ini, Draig yang berada di belakang tiba-tiba berkata sambil menunjuk lantai bawah, "Pak Faust, dia sudah sampai."Faust menunduk, melihat Luther melewati orang-orang dan memasuki kedai teh dengan santai. Dia tersenyum mencibir dan berucap, "Huh! Berani sekali dia datang sendirian. Benar-benar nggak takut apa pun!"Faust pun mengangkat cangkir teh dan meneguknya. Tidak berselang lama, terdengar suara langkah kaki yang makin mendekat.Luther naik ke lantai atas dengan mudah. Setelah melirik sekeliling dan melihat Faust serta beberapa orang lainnya, dia langsung duduk."Pak Faust, kita berjumpa lagi," sapa Luther sambil terse
"Pak Faust, sepertinya kamu tulus menginginkan resep Salep Halimun. Begini saja, nggak masalah kalau aku rugi sedikit. Aku hanya mau 20 bahan obat pertama, gimana?" tanya Luther yang tampak sedih."Dua puluh juga nggak bisa!" sahut Faust."Jadi, kamu bisa berapa?" tanya Luther lagi."Satu! Aku hanya bisa memberimu satu!" jawab Faust."Satu? Pak Faust, kamu bercanda, ya? Memangnya begini cara menawar sesuatu?" tanya Luther yang mengernyit."Resep Salep Halimun hanya pantas dibayar dengan salah satu bahan obat di daftar ini. Ini batas toleransiku!" Faust mulai kehilangan kesabarannya. Jika Luther hanya menginginkan uang, Faust bisa membantunya. Namun, sekarang Luther malah meminta begitu banyak, mereka jelas akan rugi."Ya sudah kalau Keluarga Suratman nggak cukup tulus." Luther tidak berbasa-basi lagi. Dia bergegas mengambil kembali resep itu, lalu bersiap-siap untuk pergi."Berhenti! Bocah, apa aku menyuruhmu pergi?" tanya Faust yang menggebrak meja."Kenapa? Kamu ingin minum teh bersa
"Gimana? Kamu terkejut, 'kan? Aku melihatmu di jalanan tadi dan merasa sangat familier. Aku pun nggak nyangka itu benar-benar kamu. Aku nggak sempat berterima kasih padamu waktu itu, kali ini aku akan mentraktirmu makan," ujar Julia."Sama-sama, Nona. Itu hanya bantuan kecil," sahut Luther sambil mengangguk ringan."Nona ... ka ... kamu kenal bocah ini?" tanya Faust dengan hati-hati.Plak! Julia melayangkan tamparan lagi dan memaki, "Dasar bodoh! Dokter ini pernah menolongku, kamu berani menyerangnya? Percaya atau nggak, aku bisa saja mengebirimu!""Pernah menolongmu?" Faust makin ketakutan saat mendengarnya. Sekujur tubuhnya sampai lemas. Dia mengira Luther tidak memiliki latar belakang apa pun, paling-paling hanya menguasai sedikit ilmu bela diri.Tanpa diduga, ternyata Luther memiliki hubungan dengan Keluarga Ghanim. Rencana Faust pun gagal hari ini."Kenapa diam saja? Cepat minta maaf! Kalau nggak, aku akan memberimu pelajaran," jelas Julia yang memelotot.Plop! Faust segera berlut
"Nona, apa ada yang bisa kubantu?" tanya Egon yang buru-buru berlari menghampiri sembari tersenyum."Aku mau tanya, kita punya Ginseng Naga, 'kan?" tanya Julia balik."Ada, di gudang," jawab Egon dengan jujur."Oke, ambilkan untukku," perintah Julia."Nona, kenapa kamu mau ginseng itu?" tanya Egon yang mencoba mencari tahu."Ngapain kamu banyak tanya? Tentu saja aku butuh!" jawab Julia dengan tidak sabar."Nona, jujur saja, ginseng itu disimpan oleh Tuan Tua. Kita nggak boleh mengambil tanpa izin," jelas Egon."Ambilkan dulu, nanti baru kujelaskan kepada Kakek," ujar Julia."Tapi ... begini sepertinya kurang tepat." Egon merasa serbasalah."Hei! Kamu mau membantah perintahku? Ambil saja! Jangan bertele-tele! Cepat!" ucap Julia yang membelalakkan mata. Kemudian, dia sontak melayangkan tendangan ke bokong Egon."Baiklah, Nona tunggu sebentar." Egon tidak berdaya sehingga hanya bisa buru-buru mengambilnya."Dokter Muda, kamu duduk saja dulu dan minum teh. Ginsengnya akan segera datang," u
Barang yang diambil oleh Egon adalah emas batangan. Cahaya matahari yang menyinari membuat emas itu menjadi makin cemerlang."Luther, ini niat baik dari Keluarga Ghanim, juga imbalan karena kamu sudah menolong Julia," ucap Flanna dengan nada datar sambil melirik emas batangan itu."Ibu, apa maksudmu?" tanya Julia sambil memanyunkan bibir dengan jengkel."Keluarga Ghanim nggak pernah berutang budi. Karena Luther sudah menyelamatkanmu, aku pun membalasnya dengan emas batangan ini. Nggak ada yang salah, 'kan?" tanya Flanna dengan dingin."Bibi, aku menolong orang bukan demi uang," ujar Luther sambil menggeleng."Kenapa? Kamu merasa terlalu sedikit?" Tanpa berbasa-basi, Flanna segera memberi isyarat tangan dan memerintahkan, "Egon, ambilkan sekotak lagi.""Baik." Egon mengiakan dan hendak meninggalkan tempatnya."Ibu!" Julia akhirnya tidak tahan lagi. "Nggak semua barang bisa dinilai dengan uang. Yang temanku butuhkan adalah Ginseng Naga, obat spiritual untuk menyelamatkan nyawa orang, buk
"Teratai Es dan Sumsum Giok," jawab Luther.Kemampuan Keluarga Ghanim jelas lebih hebat daripada Keluarga Suratman. Asalkan mereka mau, pasti bisa menemukannya."Anak Muda, kamu serakah sekali. Kedua bahan obat ini sangat mahal. Hanya dengan satu resepmu, kamu ingin aku membayar dengan ketiga bahan obat itu? Bukankah kamu terlalu serakah?" tanya Flanna sambil mengernyit dengan jengkel."Bibi, aku berani menjamin kalau Salep Halimun ini sangat bernilai dan bisa membawa keuntungan besar untuk Keluarga Ghanim. Bahkan, keuntungan itu melampaui harga ketiga bahan obat itu," balas Luther."Masa?" Flanna menatap Luther lekat-lekat, mencoba untuk mencari tahu sesuatu. Namun, Luther tidak menghindar ataupun terlihat gelisah, yang ada hanya kejujuran. Setidaknya, Flanna yakin Luther tidak berbohong."Oke, aku akan memercayaimu untuk kali ini." Setelah mempertimbangkannya beberapa saat, Flanna mengangguk menyetujui. "Tinggalkan resep Salep Halimun, maka kamu boleh membawa Ginseng Naga. Beri aku w
"Dokter Muda, maafkan aku. Aku seharusnya menghadiahkan Ginseng Naga itu kepadamu, tapi ibuku malah tiba-tiba menghalangiku," ujar Julia dengan ekspresi bersalah di depan gerbang."Nona Julia, nggak perlu merasa bersalah. Tanpa bantuanmu, aku juga nggak mungkin mendapat Ginseng Naga, apalagi membuat kesepakatan dengan ibumu. Hasil ini sudah yang terbaik untukku," sahut Luther sambil tersenyum. Menukar resep cacat dengan tiga bahan obat langka jelas tidak rugi."Kamu benar-benar berpikir begitu?" tanya Julia dengan bersemangat."Tentu saja." Luther mengangguk seraya tersenyum."Hehe. Dokter Muda, kita berdua sangat cocok. Mulai hari ini, kita teman!" Julia tersenyum lebar dan meneruskan, "Kamu sudah makan belum? Aku tahu restoran yang makanannya enak-enak. Ayo, kita pergi ke sana!"Selesai berbicara, Julia menarik tangan Luther untuk naik ke mobil. Saat ini, ponsel Julia tiba-tiba berdering. Dia menerimanya, lalu terdengar suara rendah seseorang."Nona, kami sudah mendapat informasi. Be