Lucia mengeringkan rambutnya menggunakan hairdryer di depan cermin yang ada di kamar mandi dengan wajah kesal. Dia menatap dirinya di pantulan cermin yang sedang mengenakan bathrobe berwarna putih."Lucia, buka." Terdengar suara Dean berasal dari luar kamar mandi."Tunggu."Meskipun dia masih kesal dengan Dean. Namun, dia tidak bisa mengabaikan panggilan pria itu.Lucia pun berjalan menuju pintu kamar mandi dan membukanya sedikit setelah merapihkan bathtobe yang dia kenakan. "Ada apa?" Dean nampak berdiri di depan kamar mandi dengan pakaian yang sudah diganti. "Cepat keluar, aku lapar."Ketika mendengar itu, Lucia kembali merasa geram dengan pria itu. Kalau bukan karena ulahnya, dia tidak akan mandi dan berlama-lama berada di dalam kamar mandi."Aku tidak memiliki baju."Semua bajunya basah jadi dia hanya mengenakan bathtobe saat ini. Tidak mungkin dia keluar hanya mengenakan itu. Sementara ada Dean juga di kamar itu."Keluarlah. Bajumu sudah ada."Jika dia keluar sekarang, dia akan
"Masuk," titah Dean seraya membuka pintu mobil bagian depan."Aku bisa pulang sendiri, Dean. Kau Tidak perlu mengantarku.""Cepat masuk!" Melihat wajah Dean yang tidak ingin dibantah, Lucia terpaksa menuruti pria itu. Dia akhirnya duduk di kursi depan dengan ekspresi canggung.Setelah Lucia mengatakan kalau dirinya akan bertemu dengan Julian, Dean tidak mengatakan apa pun lagi dan langsung keluar dari kamar itu dengan ekspresi wajah yang sulit ditebak. Pria itu terus saja bungkam setelah itu.Mulai dari Lucia memasak sampai selesai makan malam, Dean tidak kunjung bicara juga. Baru setelah Lucia berpamitan pulang, Dean akhirnya mengeluarkan suaranya. Itu pun hanya untuk mengatakan kalau dirinya akan mengantar Lucia pulang. Lucia sebenarnya sudah menolak dengan halus tawaran Dean. Namun, pria itu berlalu begitu saja setelah mengatakan dia akan mengantarnya. Dia tidak menggubris penolakan Lucia hingga mereka tiba di depan mobil Bently yang biasa dia pakai untuk mengantar Lucia."Kau pul
Setelah terdiam selama 5 menit di dalam mobil, Dean akhirnya keluar dari mobil, lalu berjalan menuju loby hotel. Setelah masuk ke dalam lift, Dean menekan tombol bertuliskan angka 2, di mana restoran berada.Tidak lama berselang, pintu lift terbuka. Dengan langkah tegap, Dean berjalan masuk ke dalam restoran, lalu mengedarkan pandangannya ke sekitar. Tidak menemukan sosok yang dia cari, Dean akhirnya berjalan menuju pintu yang menghubungkan restoran indoor dan ourdoor.Barulah setelah itu, dia melihat keberadaan Lucia dan Julian yang letak mejanya berada di dekat pintu penghubung. Ketika Dean akan melangkah menghampiri keduanya, tiba-tiba saja dia mendengar percakapan Julian dan Lucia yang sedang membahas dirinya.Dean pun mengurungkan niatnya dan memilih untuk bersembunyi di balik tembok untuk mendengarkan obrolan mereka. Beruntung restoran itu tidak terlalu ramai karena sudah mulai larut malam. Jadi, dia tidak menjadi pusat perhatian ketika berdiri di belakang tembok.Obrolan tentang
"Dean, kau sedang apa di sini?" tanya Carissa saat melihat Dean berjalan di lorong ruangan khusus VIP."Bukan urusanmu." Dean melenggang pergi tanpa memperdulikan Carissa yang nampak kecewa setelah mendengar nada dingin dari Dean.Semenjak Dean tahu kalau dirinya mengusir Lucia dari rumahnya, pria itu sudah tidak mau lagi bertemu dengannya. Jangankan bertemu, mengangkat telpon serta membalas pesannya pun sudah tidak mau. Padahal, hubungan mereka sebelumnya baik-baik saja, meskipun tidak sedekat ketika mereka masih menjalani pendidikan di luar negeri."Dean, tunggu!" Carissa menyusul langkah Dean yang nampak terus berjalan ke arah ruangan VIP yang berada di ujung."Dean, sebentar." Carissa akhirnya memberanikan diri memegang lengan kemeja pria itu setelah berhasil menyusulnya, tepat sebelum Dean akan memasuki ruangan yang ada di depannya."Carissa, jangan berani menyentuhku lagi!" Ketika melihat sorot mata Dean yang begitu tajam, Carissa langsung menarik tangannya dengan ekspresi taku
Rebecca menghampiri Dean yang masih terbaring di ranjang dengan langkah pelan. Dia tersenyum penuh arti ketika melihat Dean masih belum sadarkan diri. Setelah duduk di tepi ranjang, Rebecca menatap Dean sejenak, kemudian mulai menyentuh wajah pria itu dengan jemarinya yang lentik.Seringai licik keluar dari bibir wanita yang memiliki paras cantik dan menawan itu ketika melihat Dean masih tidak bergerak ketika dia menelusuri wajah tampan milik pria itu. Tiba-tiba tangannya terhenti di bibir atas Dean yang terlihat lebih tipis dari bibir bawahnya."Mulut ini, kenapa suka sekali mengeluarkan kata-kata tajam padaku," monolog Rebecca. "Padahal, aku selalu bersikap baik padamu."Dari bibir, jemari tangan Rebecca turun ke leher dan berhenti tepat di dada Dean. "Aku rela menyerahkan diriku padamu, tapi kenapa selalu menolakku? Padahal, aku sangat menginginkanmu, Dean.""Lucia." Ketika mendengar Dean meracau sambil menyebut nama Lucia, sorot mata Rebecca terlihat langsung menyala. Dia nampak
"Lucia, jadilah milikku malam ini."Usai mengatakan itu, Dean kembali menyatukan bibir keduanya.Baru saja bibir mereka menempel, Lucia merasakan tubuhnya seperti ditimpa batu besar hingga membuatnya merasa sesak. Ketika dia menatap Dean, pria itu terlihat sudah memejamkan matanya.Tidak hanya itu, tubuhnya pun sudah tidak di sanggah lagi dengan kedua sikunya, seperti tadi. Entah pria itu tertidur atau tidak sadarkan diri karena mabuk berat, yang pasti, bobot tubuh Dean membuatnya kesulitan untuk bernapas.“Dean,” panggil Lucia seraya menepuk punggung pria itu berkali-kali untuk menyadarkannya.“Dean, aku tidak bisa bernapas.” Lucia kembali menepuk punggung pria itu. Namun, masih tidak ada respon apa pun darinya. Lucia pun menarik napas panjang untuk mengisi rongga dadanya yang terasa sesak, kemudian menghembuskannya dengan cepat. Baru setelah itu, dia mencoba untuk mendorong tubuh Dean agar menjauh darinya, tapi sayangnya, bobot tubuh sangat berat. Jadi, sulit baginya untuk menyingk
Setelah meletakkan ponsel Dean di atas nakas, Lucia menoleh ke belakang, Dean nampak masih memejamkan matanya. Beruntung pria itu masih tertidur. Jadi, dia bisa turun dari ranjang segera, sebelum Dean menyadari keadaan mereka sekarang.Lucia pun akhirnya berbalik dengan gerakan pelan hingga keduanya berhadapan, kemudian menyingkirkan tangan Dean dari pinggangnya. Setelah memastikan kalau pria itu tidak terbangun, Lucia kembali membalik tubuhnya, berniat itu turun dari tempat tidur. Namun, baru saja dia membelakangi pria itu, tubuhnya tiba-tiba ditarik ke belakang dengan cepat hingga tubuhnya keduanya nyaris menempel. Karena terkejut, Lucia segera membalikkan tubuhnya ke belakang dan tatapannya langsung bertemu dengan manik mata sehitam obsidian milik Dean. Tubuh Lucia pun membeku saat itu juga. Dia sangat terkejut saat mendapati pria itu ternyata sudah membuka matanya. “Kenapa di sini?” Suara berat dan serak Dean akhirnya menyadarkan Lucia dari keterkejutannya. “A-aku juga tidak t
“Apa Dean ada di dalam?” tanya Fandy setelah di berhenti di depan meja Jossy, sekeretaris Dean.“Ada, tapi …” Jossy melirik sekilas pintu ruangan Dean kemudian kembali beralih pada Fandy. “Sepertinya suasana hati CEO Dean sedang buruk,” lanjutnya dengan suara pelan. “Ada baiknya, Tuan Fandy tidak menemuinya dulu.” Ekspresi wajah Jossy terlihat ragu dan takut. Mungkin karena sejak Dean datang ke kantor, wajahnya terlihat sangat dingin dan menakutkan, sehingga membuatnya tidak berani mengizinkan siapa pun untuk masuk ke ruangannya. Fandy tersenyum tipis, lalu berkata, “Tidak apa-apa. Aku hanya ingin bicara dengannya.”Lagi pula, sudah sore, sebentar lagi jam kantor akan berakhir. Jadi, Fandy tidak khawatir mengganggu pekerjaan Dean. “Baiklah. Tolong jangan buat suasana CEO Dean tambah buruk,” pesan Jossy. Karena jika itu terjadi, dia juga yang akan terkena imbasnya. “Tenang saja. Itu tidak akan terjadi.” Setelah itu, dia berjalan menuju ruangan Dean dan mengetuknya terlebih dahulu