Rico berjalan dengan sempoyongan memasuki rumah. Kebiasaannya mabuk-mabukan tidak pernah bisa di ubah. Dia berjalan melewati ruang tengah tanpa memperdulikan sang papa yang telah menunggunya sejak tadi. "Rico!" Suara lantang Heri langsung menggema di ruangan itu, sehingga membuat kesadaran Rico langsung kembali 100%."Papa! Papa belum tidur?" Tanya Rico menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Kau kira papa bisa tidur karena ulahmu? Mana semua uang yang kau ambil dari perusahaan papa?" Tanya Heri menatap geram sang putra. "Uang apa? Rico tidak ada mengambil uang," "Kau tidak usah pura-pura bodoh. Kau sudah mengelapkan uang perusahaan. Sekarang kembalikan," "Sudah habis!" Ucal Rico santai, sehingga membuat dada Heri terasa begitu sesak mendengar ucapan simple sang anak. "Kurang ajar kau!"Tidak sanggup lagi menahan amarahnya, Heri langsung menampar Rico dengan keras. Tidak perduli jika putranya itu sudah dewasa. Kelakuan Rico semakin hari semakin menjadi. Sudah begitu banyak uang p
Rico membulatkan matanya terkejut melihat apartemen Alex. Sangat mewah, hanya itu yang ada di dalam pikirannya. Semua barang-barang yang ada di sana berkualitas tinggi. Dia menatap setiap sudut ruangan dengan penuh kekaguman. Siapa sebenarnya pria itu? Kenapa kehidupannya begitu sangat mewah? Padahal dia hanya menghabiskan waktu di club dan juga di meja judi. Namun, kenapa dia semua fasilitas yang sangat mewah? Apa dia adalah salah satu putra pejabat ternama? Tetapi siapa? Berbagai tanda tanya besar mulai bermunculan di pikiran Rico. "Bagaimana? Apa k suka?" Tanya Alex menghampaskan tubuhnya di sofa. "Apa ini apartemen kakak?" Tanya Rico penasaran. "Ya! Ini apartemen gue. Bagaimana menurut lo?" Tanya Axel sambil menuangkan anggur merah ke gelas. "Bagus. Kakak memang kereen." Rico duduk di samping Alex lalu meminum anggur merah yang di berikan Alex. "Apa lo mau apartemen ini jadi milik lo?" Tanya Alex tersenyum. "Maksud kakak?""Gue akan berikan apartemen ini untuk lo. Tapi deng
Perusahaan Debora Grup di kejutkan dengan kedatangan seorang wanita cantik bersama beberapa pengawalnya. Wanita itu langsung menerobos masuk ke ruangan CEO, tanpa memperdulikan ucapan para karyawan yang ada di sana. "Maaf, Nyonya. Tuan Heri belum tiba, tolong menunggu di ruang tunggu," Ucap Sinta, sekertaris Heri. "Maaf! Saya tidak menunggu kedatangannya," Ucap Naura tersenyum sinis. "Saya hanya ingin mengambil apa yang seharusnya menjadi milik saya." Naura terus melangkahkan kakinya dan memasuki ruangan Heri, ruangan CEO, PT Debora Grup yang seharusnya menjadi ruangannya. Melihat para pengawal Naura yang begitu menyeramkan, di tambah lagi dengan jumlah mereka yang cukup banyak, semua karyawan yang ada di sana hanya bisa diam. Para penjaga juga tida berani berkutik, mereka hanya bisa menghubungi Heri agar cepat tiba di kantor. Naura menatap ruangan itu dengan tatapan datar. Dia menatap setiap inci ruangan itu tanpa ada tertinggal sedikitpun. Hingga akhirnya pandangannya teralih ke
"Rico!" Suara teriakan Heri langsung menggema ketika barang yang dia cari tidak dia temukan. "Papa! Kenapa teriak-teriak?" Tanya Rita memijit keningnya yang terasa pusing karena teriakan sang suami. Dia menatap ruangan yang sudah berserakan dengan tatapan bingung. Entah apa yang di cari sang suami, sehingga membuat ruangan itu sudah seperti kapal pecah. "Dimana anak brengsek itu? Dimana dia?" Tanya Heri penuh amarah. Wajahnya merah padam, ditambah lagi dengan mata melotot yang ingin keluar. Sehingga membuat pria itu terlihat sangat menyeramkan. Rita yang melihat kemarahan sang suami hanya bisa diam tidak berkutik. Jujur dia merasa takut, karena baru kali ini dia melihat suaminya semarah itu. "Di ... Dia semalam pulang ke sini, tapi setelah itu dia pergi lagi," Ucap Rita terbata-bata. Brughh.... "Sialan. Cari dia sampai dapat!" Perintah Heri pada pengawal yang diam di depan pintu. "Baik, Tuan!" Para pengawal itu medunduk hormat lalu pergi untuk mencari keberadaan Rico. "Arghhh!
Naura menatap foto pernikahan papa dan mamanya dengan mata berkaca-kaca. Dia melihat di samping sang papa, ada seorang pria yang sangat dia kenal. Leon, itu adalah Leon suaminya saat ini. Berbagai macam tanda tanya besar langsung muncul di pikiran Naura. Kenapa suaminya hadir di pernikahan kedua orang tuanya, bahkan mereka terlihat sangat dekat. Namun, dia melihat ada yang aneh dari tatapan Leon di dalam foto itu. "Dia terlihat bahagia, tapi matanya," Batin Naura menatap lekat foto itu. "Aku harus cari tahu siapa dia."Dia mencoba masuk ke ruang kerja Leon secara diam-diam. Melihat suasana rumah yang sudah sunyi, membuat Naura semakin mudah untuk menyusup ke ruang kerja Leon. Dia menatap setiap sudut ruangan itu, tidak ada CCTV yang terlihat. "Apa mungkin di sini tidak ada CCTV-nya?" Batin Naura memastikan. Tidak mau membuang-buang waktu, Naura memeriksa setiap sudut ruangan itu. Dia juga memeriksa satu persatu dokumen yang ada di atas meja, tetapi tidak ada satupun informasi yang
Tuan!" Ucap Arga melihat Leon sedang duduk seorang diri di sudut bar sambil meminum anggur merah seorang diri. Pria itu duduk termenung sambil menatap ke arah panggung, di mana di sana begitu banyak pasangan yang sedang berdansa. Namun, dia memilih untuk minum seorang diri untuk memenangkan pikirannya. "Apa kau sudah melihat CCTV di ruang kerjaku?" Tanya Leon tanpa menatap ke arah Arga. "Itu!""Sudahlah! Sudah waktunya dia tau. Kita tidak perlu merahasiakan apapun lagi darinya." Leon membuang napasnya kasar lalu bangkit dari duduknya. Dia mengambil jasnya yang tergeletak di kursi samping, lalu membawanya secara asal. Walaupun sudah menghabiskan beberapa botol, tetapi dia tidak merasakan pusing sedikitpun. Minum minuman keras sudah seperti air putih saja. Arga hanya mengangguk lalu mengikuti langkah Leon. Leon benar, sudah waktunya Naura mengetahui semuanya. Jadi dia bisa melakukan apapun untuk membalaskan semua dendamnya. Arga melajukan mobil menuju ke rumah utama. Dia hanya dia
"Jadi tuan!" Naura menatap Leon dengan tatapan yang tidak bisa di artikan. Matanya memerah dan berair, akan tetapi dia tetap berusaha untuk membendung air matanya agar tidak terjatuh. "Maaf! Kau tidak akan pernah bisa mengantikan posisi Shella. Jadi kau harus tau posisimu," Ucap Leon singkat lalu melangkahkan kakinya meningalkan Naura. Dia pergi ke kamar untuk beristirahat tanpa memperdulikan keadaan Naura saat ini. Jantung Naura seakan berhenti berdetak mendengar ucapan Leon. Sakit, tapi tidak berdarah. Dia di nikahi bukan karena cinta, akan tetapi hanya di jadikan untuk balas dendam. Walaupun dendam itu juga ada hubungannya dengan dirinya. "Mama!" Naura langsung jatuh tersungkur sambil memegang dadanya. Air matanya mengalir dengan deras, di ikuti dengan suara isak tangis yang tidak sanggup dia tahan lagi. Dia sadar jika saingannya untuk mendapatkan hati Leon bukanlah wanita lain, akan tetapi sosok ibunya sendiri. "Papa! Kenapa rasanya sesakit ini? Apa aku tidak berhak unt
Di pagi hari Heri dan keluarganya di sambut dengan pemandangan yang tidak terduga. Melihat beberapa polisi dan juga wartawan mengelilingi kediaman mereka, Heri dan Rita hanya bisa terdiam ketakutan. Keadaan yang selama ini mereka paling takuti akhirnya tiba juga. "Pa! Kenapa polisi datang ke sini?" Tanya Rita menatap Heri yang sedang duduk meringkuk di sofa. "Kita tidak bisa kabur lagi. Polisi sudah mengepung semua tempat ini," Ucap Heri dengan tubuh bergetar. Harta dan kekuasaan telah membutakan mata hatinya, sehingga dia melakukan berbagai rencana licik untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Kini buah yang dia tanam telah siap untuk di petik, hingga akhirnya dia harus mempertanggung jawabkan semua yang dia lakukan selama ini. "Maaf, Tuan! Nyonya muda ingin bertemu," Ucap seorang pelayan menghampiri Rita dan Heri. "Maaf! Aku tidak punya waktu untuk menunggu," Ucap Naura menghampiri Heri tanpa menunggu persetujuan darinya. "Kau!" Heri menatap Naura dengan mata berkaca-kac
Leon tersenyum sendiri melihat layar ponselnya. Seperti anak remaja yang sedang jatuh cinta, dia terus tersenyum sambil menatap foto propil whatshap milik Naura. Dia melihat jika pesan yang dia kirim telah di baca, akan tetapi san istri sama sekali tidak ada niat untuk membalas pesan itu. "Walaupun aku tidak bisa mendapatkanmu, tapi aku bisa memiliki putrimu. Maaf karena aku bersikap terlalu keras kepadanya. Aku janji akan memperbaiki sikapku," batin Leon beralih menatap foto Shella yang ada di meja kerjanya. "Tuan!" Tiba-tiba Arga main nyelonong masuk, sehinga Leon refleks meletakkan ponselnya (Tapi lupa mematikan layar) "Ehm! Ternyata duda jika jatuh cinta melebihi anak ingusan," Batin Arga melihat layar ponsel Leon yang masih menyala. Melihat tatapan asistennya itu, Leon langsung tersadar. Dia mengambil ponsel itu lalu memasukkannya ke saku celana. "Aku hanya ingin bertanya bagaimana keadaannya" jelas Leon tanpa menatap sekertarisnya itu. "Memangnya saya bertanya, Tu
Naura berjalan memasuki kediaman keluarga Debora. Dia menatap satu persatu pelayan yang menyambut kedatangannya, akan tetapi dia tidak menemukan Rita di barisan itu. "Dimana tante?" Tanya Naura kepada ketua pelayan. "Nyonya ada di kamarnya, Nyonya. Beberapa hari ini dia terus mengurung diri di kamarnya," Jelas pelayan itu. Mendengar penjelasan pelayan itu, Naura perlahan berpikir sejenak. Tidak biasa sang tante seperti itu, biasanya dia selalu ikut dalam barisan pelayan saat Naura berkunjung. "Baiklah! Aku akan menemuinya," ucap Naura kembali melangkahkan kakinya. Dia melangkahkan kakinya menuju kamar yang di tempati Rita. Kamar yang begitu sempit dan juga tidak memiliki perlengkapan tidur yang lengkap. Naura menatap pintu kamar yang tertutup dengan rapat. Melihat kamar itu, ingatan akan masa lalu yang begitu menyakitkan kembali muncul di ingatannya. Kamar yang sempit dan tidak layak itu adalah saksi penderitaan Naura selama ini. Di sana dia selalu menangis menumpahkan se
Mendengar ucapan Leon yang menyudutkan nya, Dirga hanya bisa terdiam. Dia tidak bisa berkata-kata lagi, dia sadar jika dia salah. Namun, dia juga merasa kesal akan sikap Leon yang selalu acuh tak acuh kepada Naura. "Maafkan saya, Tuan!" hanya kata-kata itu yang bisa muncul dari bibir Dirga. "Tidak masalah. Kau sudah menebus kesalahanmu," Leon tersenyum sekilas mengingat permainan panasnya dengan Naura semalam. Walaupun awalnya sang istri menolak, akan tetapi lama-lama dia juga menikmati setiap sentuhan yang Leon berikan kepadanya. "Tuan! kita ada pertemuan penting dengan salah satu klien. Apa Anda sudah siap?" tanya Arga mengalihkan pembicaraan. "Sudah!" ucap Leon melangkahkan hedak melangkahkan kakinya keluar. "Dimana Alex?" "Alex!" mendengar nama sang adik di sebut, Arga dan Dirga langsung saling lempar pandang. Tidak biasanya tuan besar mereka itu mengingat adik mereka. "Di ... Dia sedang kuliah, Tuan!" ucap Dirga sedikit gugup. Dia merasa cemas dan menduga jik
Setelah selesai melanjutkan olahraga, Leon langsung bergegas ke kamar mandi. Dia membersihkan tubuhnya sambil sesekali membayangkan olahraga panas yang telah dia laukan bersama sang istri. Sudah cukup lama dia tidak menuntaskan birahinya, sehingga dia tidak bisa mengontrol diri dan menguras habis seluruh tenaga sang istri. "Pasti dia sangat lelah," batin Leon tersenyum kecil. "Tapi dia sangat nikmat. Bahkan aku ingin lagi." Tiba-tiba pria itu berubah bucit. Padahal baru beberapa waktu lalu dia mengucapkan kata perpisahan. Apa sebenarnya yang ada dipikirannya selama ini? Setelah selesai membersihkan diri, dia bergegas keluar dengan mengunakan handuk yang melilit di pingangnya. Dia menatap ke arah Naura yang kembali tertidur karena kelelahan. "Ternyata dia sangat kelelahan. Aku sudah seperti singa lapar saja," ucap Leon terkekeh kecil sambil merapikan selimut yang menutupi tubuh naura. Tidak lupa dia sedikit mengintip untuk melihat tubuh polos istrinya itu. Tidak lupa dengan hi
"Apa?" Tanya Arga dan Alex terkejut, bahkan mereka hampir kesedak minuman mendengar ucapan Dirga. "Kenapa? Aku tidak salah. Mereka sudah menikah, jadi wajar saja mereka melakukannya," ucap Dirga tersenyum tanpa dosa. Sebenarnya Dirga tidak rela jika Naura dan Leon berpisah. Terlebih lagi mengingat wanita itu sangat menyayangi Raygan, tentu saja Dirga tidak mau jika hidup Tuan Kecilnya itu kembali seperti dulu. Dimana dia selalu merindukan kasih sayang seorang ibu. "Aku hanya ingin menebus kesalahanku. Aku secara tidak sengaja mendukung keputusan Nyonya untuk berpisah dari Tuan Leon. Jadi, aku hanya ingin memperbaiki kesalahanku saja," ucap Dirga mencoba memberikan pengertian kepada kedua adiknya itu. "Kakak tidak salah. Aku juga mendukung," ucap Alex tersenyum puas. "Malam indah yang pernah tertunda akhirnya terlaksana juga," ucap Arga tersenyum mesum. Tanpa mereka sadari, ternyata sejak tadi ada sepasang kuping yang mendengarkan pembicaraan mereka. Siapa lagi jika bu
Leon berdiri seorang diri di balkon kamarnya. Dia menatap langit yang begitu gelap sambil mengisap sebatang rokok. Wajahnya terlihat murung, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Dad!" Suara lembut sang buah hati tiba-tiba menyadarkannya. "Ia!" Dia menatap sumber suara itu dengan tatapan yang tidak bisa di artikan. "Apa daddy dan mommy bertengkar? kenapa mommy ingin pergi?" tanya Raygan dengan mata berkaca-kaca. Leon hanya bisa terdiam membisu. Mulutnya seakan terkunci dengan rapat, sehingga dia tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dia mencoba mencari alasan agar sang putra dapat mengerti. Namun, pikirannya juga sangat kacau, sehingga membuatnya tidak bisa berpikir dengan jernih. "Daddy!" Leon mencoba berbicara, akan tetapi dia tetap tidak tau apa yang harus dia katakan. "Mom! mommy mau kemana? mommy sudah janji tidak akan meninggalkan Ray, tapi ini," Raygan mencoba beralih ke Naura yang sedang membereskan barang-barangnya. Dia menatap wanita itu dengan tatapan pe
Semua yang telah berpartisipasi di dalam kejahatan Heri telah di hukum satu persatu. Mulai dari Arif yang telah memalsukan surat wasiat Tuan Besar Debora, dan juga Budi yang telah membantu dalam kecelakaan yang di alami kedua orang tua Naura. Setelah menemukan beberapa bukti, ternyata kematian mereka terjadi karena rencana Budi dan Heri. Mereka sengaja menciptakan kejadian itu seperti kecelakaan, dan menghilangkan semua bukti kejahatan mereka. Namun, sepintar-pintarnya mereka menyembunyikan kejahatan yang mereka lakukan, pasti akan terbongkar juga. Hari ini, di depan seluruh pejabat penting dan juga para pegawai penting Pt. Debora grub Naura di tetapkan sebagai direktur utama Pt. debora grub dan juga pewaris tunggal keluarga Debora. "Selamat, Nyonya!" Dirga memberikan selamat atas keberhasilan Naura merebut kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya. "Terima kasih! ini semua karena bantuan Anda," ucap Naura tersenyum. "Selamat, Nyonya! Akhirnya Anda berhasil menyingkirkan s
"Maaf! dengan Vico Asrico Debora?" beberapa pria berbadan tegap dan mengunakan seragam dinas polisi mendekati Rico yang sedang minum di sudut bar. "Ya! saya adalah Vico Asrico Debora. Ada apa?" tanya Rico tidak mengerti. "Anda di tahan atas tuduhan penggelapan dana perusahaan Debora, dan juga pemalsuan dokumen kepemilikan perusahaan itu," ucap ketua polisi memberikan surat perintah penahanan. "Bukan hanya itu, ada juga terlibat dalam sindikat jaringan narkoba dan juga judi online. Jadi, ikut kami sekarang," ucap polisi itu kembali sambil memborgol tangan Rico. "Pemalsuan dokumen? saya tidak tau masalah itu, Pak. Itu semua pengacara itu, dia yang memalsukan surat wasiat kakek." Rico berusaha untuk membela diri. "Silakan Anda jelaskan di kantor. Sekarang ikut kami secara baik-baik, atau kami akan berbuat kasar." Melihat tatapan tajam para polisi itu, Rico langsung ketakutan. Wajahnya memucat, diikuti dengan keringat dingin yang bercucuran. Tentu saja dia tidak berani menghada
Di saat semua orang masih tertidur dengan lelap, terlihat seorang wanita paruh baya sedang sibuk berkutik di dapur. Dia meracik setiap bumbu yang hendak dia masak dengan perasaan kesal. Terlihat wajahnya begitu lelah, apalagi usianya kini yang sudah tidak muda lagi, sehingga membuat seluruh tubuhnya terasa sakit. "Lelah sekali!" dia mencoba menyeka keringat yang memenuhi keningnya. "Ternyata Anda tau lelah juga," ucap seorang wanita berdiri di depan pintu sambil memperhatikan wanita itu. "Naura!" ucap Rita melihat kedatangan keponakan sekaligus majikan barunya. "Aku mau sarapan, cepat siapkan sarapan untukku," ucap Naura melirik jam tangannya yang sudah menunjuk ke pukul enam pagi. "Sebentar! Tante akan masakkan nasi goreng untukmu," ucap Rita menunduk. Jujur tubuhnya sudah sangat lelah, akan tetapi dia tidak berani membantah sama sekali. Apalagi mendengar ancaman Naura semalam, tentu dia tidak mau mendapatkan hukuman karena tidak becus bekerja. Di saat semua pelayan masih