Share

Dijodohkan dengan Ipar Posesifku
Dijodohkan dengan Ipar Posesifku
Penulis: Rahmi Aziza

Menikah Lagi

Penulis: Rahmi Aziza
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-21 04:44:42

“Mama, kenapa Papa tidur di sana?” tanya Rania sambil menunjuk gundukan tanah dengan papan nisan bertuliskan Arya Wiratama Bin Sunaryo.

Aku menghela napas, kupandangi wajah Rania iba. Belum genap tiga tahun usianya dan harus menjadi yatim.

“Karena Allah sudah memanggil Papa Nak,” kataku sambil menabur sisa bunga yang masih kugenggam. Setelah suamiku meninggal, baru kali ini aku datang ke makamnya, saat masa iddahku selesai. Di daerahku, tak lazim wanita ikut datang ke prosesi pemakaman, sekalipun ke pemakaman suaminya sendiri. 

Rania masih memandangi makam Papanya, kupeluk ia erat. “Ran, kangen Papa?”

Rania mengangguk.

“Kalau begitu kita doakan Papa yuk, supaya baik-baik di dalam sana. Dan kita bisa ketemu Papa lagi nanti di surga.”

“Kita bisa ketemu Papa lagi?” tanyanya dengan mata berbinar.

“Bisa, dong! Yuk, kita berdoa!” kubimbing ia menengadahkan kedua tangan mungilnya.

“Robbighfirlii waliwalidayya warhamhumaa kamaa robbaya nii shoghiiro....”

Tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Aku menengadah, menengok langit. Mendung, gelap sekali. Padahal waktu berangkat dari rumah Mama tadi, masih cerah.

Sejurus kemudian hujan turun. Langsung deras. Aku berusaha melindungi kepala Rania dengan tanganku. Sama sekali tak terpikir membawa payung tadi. 

“Ayo Ran kita pulang.” Buru-buru aku menggendong Rania. Kepalanya kudekap di dadaku.

Namun tiba-tiba saja hujan berhenti. Hah secepat itu? Aku menengok lagi ke langit. Payung? Siapa yang ....

“Pamaan!” teriak Rania begitu melihat Pamannya, Arman, datang dengan membawa dua buah payung. Satu payung terbuka di atas kepala kami, dan satunya masih terlipat rapi.

“Bukankah sudah kubilang, tunggu aku pulang!” katanya datar namun terdengar marah. Tidak terlalu kaget sih. Sehari-hari adik suamiku ini pembawaannya dingin, cenderung tidak bicara jika tak perlu. Selama hampir empat tahun aku menjadi kakak iparnya, kami hanya berbicara satu dua kalimat saja, seperlunya. Sebenarnya aku tipikal orang yang mudah akrab dengan orang lain, tapi melihat pembawaan Arman yang seperti ini aku jadi sungkan  mau mengajaknya ngobrol panjang lebar.

“Bukannya sudah kubilang juga, tak perlu repot menjemputku? Aku bisa pergi sendiri!" jawabku ketus. Ya aku tahu maksudnya baik, tapi lancang sekali dia, marah padaku, mantan kakak iparnya.

“Bagaimana kalau Rania sakit karena kehujanan? Ceroboh!” Arman membuka payung yang masih terlipat rapi, lalu menyerahkannya padaku.

“Ayo Ran, ikut Paman,” katanya lagi sembari mengambil alih Rania dari gendonganku.

Sampai di depan mobil, Arman menurunkan Rania, membuka pintu mobil, dan mempersilakanku masuk.

“Masuk!” Hem, lebih terdengar seperti memerintah. Tapi aku menurut saja. Malas berdebat dengannya.

Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Untung ada Rania yang mencairkan suasana. Sambil tetap fokus menyetir, Arman ikut bernyanyi bersama Rania dan selalu menanggapi ocehannya yang lucu. Aneh memang. Sedingin-dinginnya adik iparku ini, entah mengapa, jika bersama Rania, sifatnya bisa berubah 180 derajat.

“Hei kita mau ke mana?” tanyaku ketika menyadari Arman salah mengambil jalan. Jalan ini berlawanan arah dengan jalan menuju rumahku.

“Ke rumah Mama.”

“Tapi, baru sejam yang lalu kan aku berangkat dari rumah Mama ke makam. Aku juga sudah pamitan pada Mama. Kenapa-”

“Ada yang mau Mama sampaikan." Ia menukas cepat. "Setelah itu kuantar pulang," ucapnya datar, seperti biasa.

Ada yang mau disampaikan? Kenapa tiba-tiba? Apakah serius?

“Apa ..., Mama masih bersikeras mengajakku dan Rania tinggal di rumah?" Belakangan, Mama memang sering membahas tentang  ini. Mama selalu bilang, aku sudah dianggapnya sebagai anak, jadi meski Mas Arya telah tiada, Mama memintaku tetap tinggal. Apalagi ada Rania, cucu kandung yang sangat disayangi dan dimanjakannya.

“Atau ...." Tiba-tiba aku teringat sesuatu.

"Oh iya, apa mungkin untuk membicarakan acara lamaranmu yang tertunda dengan Sheila?"

Sheila adalah teman kantor sekaligus calon istri Arman. Acara lamaran mereka seharusnya sudah dilakukan beberapa bulan lalu, tapi karena meninggalnya mas Arya, acara itu ditunda dan sampai sekarang belum dijadwalkan ulang.

"Aku sampai lupa belum menjahitkan kain seragam dari Mama. Ah coba kuhubungi tukang jahit langgananku dulu ya," ocehku sambil mengeluarkan ponsel dari tas.

Arman merebut ponselku dan memasukkan ke kantong kemejanya. "Sok tahu!"

"Sudah. Jangan bahas soal itu lagi!"

Aku menoleh ke arahnya, kepo, kenapa dia semarah itu. "Eh? Kalian lagi ada masalah? Atau ... mmm kena syndrom pra nikah ya?"

Tanpa menunggu jawabannya aku melanjutkan bicara, "Oh itu sih biasa, dulu aku sama mas Arya pas mau nikah juga sempet gitu, tiba-tiba adaa aja yang bikin ragu. Kita pernah-"

Belum selesai aku bicara, mobil tiba-tiba terhenti. 

"Hah ada apa? Kamu mau mampir ke minimarket?"

"Udah ngomongnya?" Arman bertanya tanpa sedikitpun melihat ke arahku.

"Dengar ya, aku lagi tidak ingin membahas tentang pernikahan. Titik."

Ish! Aku mendengkus kesal.

"Paman sama Mama kok berantem sih?" pertanyaan Rania yang polos dengan nada suaranya yang lucu bikin rasa kesalku mereda.

"Nggak berantem kok, Sayang."

"Pamanmu aja tuh kalo ngomong sukanya ngegas. Lembut dikit napa?" kataku lirih tapi aku yakin dia pasti dengar.

*********

Mobil menepi di depan rumah Mama. Mama tergopoh-gopoh keluar rumah. Meyambut aku dan Rania dengan raut muka bahagia, seperti biasa. 

“Rania ... cucu oma ....” Mama membentangkan tangannya begitu melihat Rania turun dari mobil.

Raniapun lari ke pelukan omanya.

“Assalamualaikum Ma ...” sapaku sambil mencium punggung tangan Mama.

Mama mencium pipi kanan kiriku. “Waalaikum salam, ayo masuk Nadia, Maaf ya, Mama suruh Arman bawa kamu ke sini lagi.”

Arman turun dari mobil dan langsung menghampiri kami. Ia menaikkan Rania ke bahunya. “Ayo Ran, kita kasih makan ikan di belakang."

“Yeaay!” Rania bersorak gembira.

“Lihat Nadia, Arman begitu sayang pada Rania,” kata Mama, sambil membimbingku masuk ke dalam rumah. Aku hanya tersenyum. Dari dulu, Arman yang kaku, yang pelit senyum dan kata-kata itu memang sangat dekat dengan Rania. Suka mengajaknya bercerita bahka tiap pulang dari luar kota pasti membawa oleh-oleh mainan atau makanan favorit Rania.

“Mama ingin bicara denganmu,” kata Mama ketika kami sama-sama sudah duduk di ruang tengah.

“Dan Arman ...” lanjutnya.

Bi Inah lalu menggantikan Arman menemani Rania.

“Mama memanggilku?” tanya Arman.

“Ya, Nadia, Arman, Mama ingin bicara.” Ucapan Mama kali ini terdengar tak biasa, serius dan sangat berhati-hati.

“Bagaimana, kalau kalian ...” Mama menatapku dan Arman bergantian.

“...MENIKAH?”

-Bersambung-

Komen (7)
goodnovel comment avatar
siti fauziah
wow...jadi penasaran nih
goodnovel comment avatar
Nila Elok
seru seru lanjut
goodnovel comment avatar
Siti Nur janah
apa mereka menerima usulan mamanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Lamaran

    "Arman... Nadia..." Mama melihatku dan Arman bergantian."Bagaimana kalau kalian ... MENIKAH?"*******Aku tercekat. Sama sekali tak menyangka ini yang akan dikatakan Mama. Kulirik Arman. Dari matanya aku melihat, ia sama terkejutnya denganku.Dijodohkan dengan Arman? Duh, aku tidak bisa membayangkan hidup dengan laki-laki yang dingin dan tidak banyak bicara. Akan seperti apa rumah tangga kami nanti. Apalagi dia adalah adik suamiku. Aneh saja rasanya.Hening terjadi diantara kami beberapa detik. Aku lantas mencoba mencairkannya dengan tawa kecil.“Haha ... Mama ada-ada saja. Nadia belum kepikiran Ma, soal menikah lagi.”Mama menggeser posisi duduknya mendekati. “Kamu masih muda Nadia,” katanya sambil mengusap-usap punggungku. “Sah-sah saja mempunyai pendamping hidup lagi.”“Kamu dan Arman kan sudah mengenal lama, keluarga kita juga sudah dekat, lebih enak, tidak perlu penyesuaian lagi,” sambung Mama.“Iya tapi Ma ...” Aku dan Mama memang sangat dekat. Mama sudah kuanggap seperti Mama

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-21
  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Siapa Dia?

    Aku tiba di mall pukul sepuluh pagi. Tepat ketika pintu mall dibuka aku masuk. Mungkin hari ini aku adalah pengunjung pertama mereka.Secepat kilat aku masuk ke toko sepatu. Siang ini aku harus datang ke wawancara kerja, dan baru semalam tau kalau sepatu pantofelku yang sudah lama menganggur dan kusimpan rapi dalam dus, sudah tidak layak pakai lagi, bagian kulitnya banyak yang mengelupas.Aku nekat juga melamar lowongan kerja yang diinfo Erna kemarin dengan menggunakan fotokopian KTP lamaku saat masih lajang.“Kalau nanti kamu keterima kerja, tunggu beberapa saat sampai mereka tau kamu karyawan yang bisa diandalkan, saat itulah kamu bisa jujur dengan statusmu.” Begitu saran Erna kemarin melalui pesan whats app.Awalnya aku enggan. Aku orang yang paling tidak bisa berbohong, tapi penasaran juga sih, setelah empat tahunan tidak bekerja kantoran, bisa tidak ya kira-kira aku lolos tes wawancara kerja. Disamping yaah butuh duitnya juga. Mau sampai kapan hanya hidup mengandalkan uang santu

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-21
  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Diterima

    “Ini Galang, pemilik Kafe Mentari.”“Ha?”Jadi orang yang berseteru denganku di taksi tadi bosku? Aktor papan atas yang disebutkan Erna kemarin?Aku bengong sesaat, tapi berusaha bersikap sewajar mungkin. “Oh iya iyaaa Pak Galang, halo. " Kupaksakan diri untuk tersenyum padahal sebenarnya masih jengkel dengan kejadian tadi di taksi.Galang membuka topi yang sedari tadi dikenakannya. Membalas senyumku dengan sinis. Wajahnya terlihat sangat jelas kini. Ternyata tampan juga calon bosku ini. Sepintas mirip Dikta mantan personel Yovie dan Nuno saat masih berambut pendek belah tengah. Eh, kenapa aku jadi memuji dia, sih! “Baik, Nadia, pertanyaan pertama, kenapa kamu melamar kerja di sini?” tanya Pak Wira tiba-tiba yang membuatku gelagapan. Pikiranku masih menerawang, bertanya-tanya apakah insiden taksi tadi akan mempengaruhi penilaian Galang terhadapku. Bisa-bisa aku ditolak pada pandangan pertama.“Karena butuh duit Pak,” jawabku spontan. Duh jawaban macam apa ini? Bukan jawaban yang kur

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-21
  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Undangan Reuni

    Arman hanya mengantarku sampai ke TK dan Daycare Mutiara, tempat aku menitipkan Rania, lalu pulang. Sengaja kusuruh dia pulang selain karena sebal dengan percakapan di mobil tadi, aku juga ingin curhat-curhat dulu dengan Erna. Lagipula jarak TK tak terlalu jauh dari rumahku, hanya lima menit jika ditempuh dengan jalan kaki. Beruntung bagiku, sehingga aku bisa menitipkan Rania jika ada keperluan. Apalagi Erna itu kawan baikku sejak SMA.Oh iya, TK ini milik ibunya Erna. Selepas SMU, Erna mengikuti pendidikan guru TK kemudian ikut mengajar dan membantu ibunya mengelola TK ini.“Nad, gimana wawancara kerjanya tadi?” tanya Erna antusias, matanya berbinar-binar, senyum merekah di wajahnya.“Langsung aja tanya, gimana tadi Galang? Nggak usah sok peduli gitu deh!" kataku sambil membukakan bungkus eskrim untuk Rania. Erna termasuk penggemar sinetron dan drama Korea. Dia sering heboh ngobrolin aktor ini dan itu, yang aku tak begitu paham itu siapa. Aku yakin, pasti dia juga salah satu penggema

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-21
  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Ketahuan

    “Jangan bicara kasar di depan anak kecil." Dia berkata lebih lembut kini, tapi menyebalkan, kesannya kok, jadi aku yang antagonis! Berusaha sabar, kutarik napas panjang. Mau marah, tapi kurasa waktunya memang tidak tepat. Aku tak mau Rania melihat kami tak akur sebagai keluarga. "Oke. Tapi kita mau ke mana?" Arman memandangku, diam beberapa detik, lalu bilang, “Aku yang tanya ke kamu, mau ke mana? Aku antar.”Aku menatapnya takjub. Tumben. Ah, pasti Mama yang suruh. Mama gigih sekali ingin menjodohkanku dengan Arman.“Aku mau ke reuni SMA. Yakin mau nganter?”Setahuku Arman bukan orang yang suka dengan reuni. Setiap kali diundang reuni ia tidak pernah mau datang. Bahkan ia juga enggan masuk ke grup WA sekolah.Aku dan Arman satu SMA dan satu angkatan hanya beda kelas. Lucunya, aku baru tahu saat hendak menikah dengan Mas Arya. Padahal kata Erna, Arman ini cukup populer di sekolah, lho. Banyak yang mengidolakan, ya maklum dia kan termasuk anggota klub basket yang sering memenangkan b

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-21
  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Hari Pertama

    Hari Senin, hari pertamaku masuk kerja. Grogi. Ini momen pertamaku bekerja lagi setelah tiga tahun lamanya tidak menyandang status sebagai pekerja kantoran. Ditambah harus bertemu lagi dengan Galang, setelah pertemuan tanpa sengaja tempo hari di acara reuni. Apa yang kira-kira akan dikatakannya nanti? Apakah ia akan menganggapku melakukan penipuan? Huh, entahlah. “Biar kutemani sampai ke dalam,” kata Arman sesampainya kami di Kafe Mentari. Nampaknya ia bisa membaca ekspresi tegang di wajahku. Di perjalanan pulang dari acara reuni kemarin, aku memang menceritakan semuanya. Perihal aku yang menggunakan kartu identitas lamaku untuk melamar kerja. Mau bagaimana lagi, ia sudah terlanjur melihat Galang bicara padaku dengan nada marah. “Jangan!! Kau pikir aku anak kecil harus dianter masuk segala,” cegahku. “Kalau bosmu marah, keluar saja, nanti akan kubantu mencari pekerjaan yang cocok buatmu.” “Heem.” Hanya itu jawabku. “Bahkan seharusnya, kamu tidak perlu bekerja, aku bisa menghidupi

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-09
  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Bos Galak

    “Kamu itu, BISA MOTRET NGGAK, SIH?!” serunya sambil membanting sendok garpu diatas meja. “Aduh Pak, tadi udah bagus lho, tinggal kurangi senyum dikiit aja. Biar nampak elegan, gitu loh.” “Kasih instruksi itu yang jelas, jangan sepotong-potong!” bentaknya. “Maaf, Pak.” Aku menunduk, pura-pura merasa bersalah, padahal sebenarnya jengkel setengah mati. Mentang-mentang bos, seenaknya bentak anak buah. Huh! Mungkin ia sadar, foto yang kubuat demi kemajuan kafenya juga, iapun lantas mengambil kembali sendok dan garpu lalu berpose seperti yang kupinta. Tak menyia-nyiakan kesempatan, akupun mengambil beberapa foto. Setelah nasi goreng, kuletakkan mie sapi lada hitam di mejanya, lalu spagheti, steak, sup iga, mashed potato, burger, roti bakar, dan aneka minuman. Kuminta ia berganti pose. Setelah duduk dengan menoleh ke kanan, kuminta ia duduk menghadap jendela, duduk sambil makan, berdiri, berjalan, kayang, koprol, eh nggak lah, bisa ngamuk dia nanti. “Sekarang bapak pakai kostum chef

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-10
  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Siapa Dia?

    Lonceng yang terpasang di pintu kafe berbunyi ketika aku sedang sibuk membuat konten untuk sosmed.Tak lama, seseorang mendorong pintu dari luar.Sesosok perempuan cantik, tinggi, modis, bak model berjalan masuk dengan anggun. Aku beranjak mendekatinya. Hmm apakah dia pikir kafe ini sudah buka?“Maaf mbak, kafe kami belum buka.” Aku tersenyum dengan kepala sedikit mendongak.Perempuan itu balas tersenyum tapi terlihat sinis.“Kamu nggak tahu siapa saya?” Ia membuka kaca mata hitam. Ampun deh, hari ini, nggak si bos, nggak tamu, kenapa judes semua ya.Siapa dia? Duuh, siapa, sih? Ibu negara? Menteri? Teman lama? Sepertinya familiar. Aku pernah lihat, tapi entah di mana. Lupa.“Maaf, Mbak mau bertemu siapa ya?" tanyaku akhirnya. Mungkin saja dia rekan bisnis Pak Wira. Kenapa aku baru kepikiran sekarang, ya.Perempuan itu masih tetap tersenyum sinis dengan mata memicing melihatku.Sesaat kemudian, secara mengagetkan tiba-tiba ia mendorong bahuku dengan kasar. Berjalan menerobos masuk ke

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-10

Bab terbaru

  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Musuh Tapi Menikah - Ekstra Part 12

    "Serius, Ra, kamu mau berhenti kuliah?" Mata Andini membulat. Apalagi setelah Kinara menjawabnya dengan sebuah anggukan. "Ra, kita baru beberapa bulan kuliah, sayang tauk uang masuknya. Galang yang suruh?" Kinara menggeleng. "Nggak, Ndin." Memang bukan karena permintaan Galang. Justru lelaki itu sama terkejutnya dengan Andini saat Kinara mengutarakan niatnya berhenti kuliah. "Kenapa, Flo?" Galang mengusap mulutnya dengan serbet, menjauhkan piring makan yang telah kosong di depannya. "Bukannya kuliah itu cita-cita kamu dari dulu?" "Hmm, bukannya kamu seneng kalau aku nggak kuliah, nggak ketemu Mas Jagad lagi di sana." "Iya, aku memang cemburu, tapi nggak usah sampai berhenti juga, Sayaang." Galang mencubit gemas pipi Kinara. Aww. "Setelah kupikir-pikir, Lang." Kinara mengusap-usap pipinya yang dicubit Galang tadi. "Aku hanya ingin fokus belajar fotografi, di kuliahan pelajarannya macam-macam." "Nah, kalau alasan ini masuk akal. Oke, aku akan carikan sekolah fotografi terbaik bua

  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Musuh Tapi Menikah - Ekstra Part 11

    Otak Kinara memerintahnya untuk berlari kencang namun otot kakinya menegang, sulit bergerak. Ia hanya mampu berjalan mundur, selangkah demi selangkah, lalu ... "Astaghfirullah." Tiba-tiba kakinya menginjak genangan air hingga ia jatuh terduduk. Kinara menoleh ke kanan dan ke kiri. Kenapa jalanan ini sepi sekali. Ditambah lagi hujan mulai turun rintik-rintik, membuat suasana semakin mencekam. "Oh, kamu rupanya. Sepertinya kita pernah berjumpa, ya." Hendri mengulurkan tangan, seolah mau membantu Kinara bangun dari jatuhnya. Namun Kinara menggeleng. Sedikit pun ia enggan menyentuh lelaki itu. "Mau terus-terusan di sini? Ayo ...." ujar lelaki itu, lembut tapi terdengar menyeramkan. "Kenapa, ha?" Ia mulai membentak, satu tangannya mencengkram kuat pipi Kinara. "Apa yang kau dengar?" Lagi-lagi Kinara hanya sanggup menggeleng tanpa suara. "Biarkan dia, kita bicara di tempat lain!" seru Malya yang nampak gusar. Ia tak mau berada di tempat ini berlama-lama namun merasa perlu menyelesaik

  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Musuh Tapi Menikah - Ekstra Part 10

    "Kamu tahu dia siapa?" bisik Arash ketika Hendri sudah jalan menjauh. "Hah, siapa, Kak?" Kinara sedikit mencondongkan badan mendekat pada Arash. "Dia produser yang disebut Marini." "Ma-maksudnya yang menghamili Marini?" Arash mengangguk. "Hem, begitu menurut pengakuannya." "Tuntutannya belum diajukan, Kak?" Kinara ingat beberapa waktu lalu saat ke rumah sakit tempat Marini dirawat, perempuan itu sempat menunjukkan surat tuntutan. "Para korban pelecehan menolak menandatangi surat tuntutan. Marini pun akhirnya berubah pikiran. Aku tidak bisa memaksa." Kinara menelan ludah. Tak semudah itu memang mengakui kasus pelecehan seksual meski kita sebagai korban. "Tapi aku masih tetap berusaha. Ada seorang korban lagi yang sedkit demi sedkit mulai menguak kebusukannya." "Siapa, Kak?" "Ada, seorang aktris pendatang baru. Maaf, aku tidak bisa sebut nama. Tapi kemungkinan kamu pun tidak tahu. Debutnya baru sebatas pemeran figuran. Ia ditawari casting untuk sebuah film dan dilecehkan ketika

  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Musuh Tapi Menikah - Ekstra Part 9

    Meski sudah kembali ke ibu kota, bukan berarti kesibukan Kinara berkurang. Jadwal syuting yang berbenturan dengan jam kuliah membuatnya terpaksa membolos lagi dan lagi. Saat hanya menjadi asisten, asalkan sudah mempersiapkan segala keperluan Galang, ia santai saja ijin barang beberapa jam untuk mengikuti perkuliahan, lalu setelahnya akan menyusul kembali ke lokasi syuting. Ah, ia jadi paham kenapa Galang sampai sekarang belum juga lulus kuliah. "Kinara, ntar sore jam empat, jangan lupa, lu dan Galang ada talkshow di podcast." Nah, belum lagi undangan wawancara sana-sini. Bagi Kinara sebagai artis pendatang baru, undangan wawancara terdengar mengerikan, bagaimana kalau dia sampai salah bicara. "Datang tepat waktu, promosikan sinetron kita, dan kalau ditanya soal Malya, jawab aja nggak tahu." "Oke, Bang, siap!" Karena Kinara diam saja, akhirnya Galang yang menjawab arahan Bang Sut. "Sayang, santai aja," bisik Galang begitu melihat wajah Kinara yang berubah tegang. "Hah, santai?" Ki

  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Musuh Tapi Menikah - Ekstra Part 8

    "Cut!" teriak Sutradara. Namun Galang bergeming. Bahkan ia memeluk Kinara erat dan semakin erat. "Woy, cut! Selesai! Udah! End!" Bang Sut mengulangi instruksinya hingga membuat Galang sadar dan melepaskan pelukan. "Eh, udah? Gini aja?" Galang menoleh. "Ya, emang udah, lo nggak baca naskahnya?" "Maksud gue, kaya ... nanggung gitu, Bang. Kan bisa diimprove, ditambah adegan kissing mungkin!" "Edan!" Bang Joel yang baru datang menoyor kepala Galang. "Mau merusak moral anak bangsa, lo?" "Jangan didengerin, Bang!" Bang Joel menoleh pada Sutradara. "Otaknya lagi rada-rada korslet!" Lelaki itu menempelkan telunjuk dengan posisi miring di dahinya. Bang Sut tertawa sembari geleng-geleng kepala. Setelahnya ia memberi instruksi untuk break syuting. "Jam setengah tujuh tet kita ganti lokasi, siap-siap, ya!" Mendengar perintah sang sutradara, para kru segera membereskan peralatan, sementara talent kembali ke kamar masing-masing. Ini hari ketiga mereka di Bandung. Revisi naskah membuat merek

  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Musuh Tapi Menikah - Ekstra Part 7

    "Dia, asisten lo kan, Lang? Kita pakai dia!" "Pakai? Saya?" Kinara menunjuk dirinya sendiri dengan raut wajah bertanya-tanya, menoleh pada Galang dan Bang Sut si sutradara secara bergantian. "Maksudnya, Bang?" "Elo jadi artis." Ucapan Bang Sut lebih seperti perintah yang harus disetujui daripada sebuah tawaran. "Cup! Urus dia!" katanya pada sang asisten. "Siap, grak!" "Eh, eh, kita mau kemanaa?" teriak Kinara ketika Ucup si asisten sutradara menarik tangannya. "Heh, Cup! Lu main tarik is-ehm asisten gue sembarangan aja!" Galang pasang badan menghadang langkah sang astrada. "Emangnya dia bersedia?" "Gini, ehm. Ki ... Kinara." Bang Sut maju menengahi. "Bener nama lo Kinara, kan?"Kinara mengangguk. "Karena Malya ngilang dan ntah kapan bisa syuting lagi, sementara sinetron kita kejar tayang, kita terpaksa mengubah jalan ceritanya. Jadi Malya bakal dibuat mendadak mati karena kecelakaan. Terus Galang yang ada di mobil yang sama dengan Malya saat kecelakaan diselamatkan orang. Nah,

  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Musuh Tapi Menikah - Ekstra Part 6

    "Ayok, Lang, kita main!" Kinara menarik tangan Galang usai mengunci pintu penghubung dengan kamar Bang Joel. "Main?" Galang takjub dengan ajakan Kinara, frontal juga dia, ya. "Sekarang? Langsungan, nih?" "Iya lah, keburu Bang Joel berubah pikiran ntar, kita harus manfaatkan waktu berdua." "Okee, siapa takut." Sebenarnya sempat terlintas ancaman Bang Joel tentang uang dua milyar, tapi ah, bodo amat. Ada kesempatan kenapa disia-siakan. Soal yang lain pikir belakangan. Tanpa menunggu lama, Galang membuka baju atasannya, tapi ... "Laaang, ngapain buka bajuuu?" "Lah kata kamu tadi ... main, kan?" Galang mulai ragu-ragu. "Main ini!" Kinara melemparkan papan catur ke atas tempat tidur. "Kamu tahu nggak, pas SD, semua teman udah pernah kutantangin main catur dan tidak ada yang bisa mengalahkanku. Bahkan pak guru olahraga aja kalah tanding catur denganku," ucapnya bangga. "Cuma sama kamu aja aku belum pernah main, karena terlalu gengsi mau ngajakin." Astagaaa .... Galang berdecak. "F

  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Musuh Tapi Menikah - Ekstra Part 5

    "Dua puluh satu ribu lima ratus, Kak," ucap seorang kasir setelah menghitung menu yang dibawa Kinara di hadapannya. "Oh, iya." Kinara tengah membuka dompetnya ketika suara seorang lelaki terdengar dari arah belakang seraya menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan. "Ini, Mbak. Sekalian punya saya." Tentu saja hal itu spontan membuat Kinara menoleh. Mas Jagad? Udah sengaja Kinara makan di kantin fakultas sebelah, eh, masih bertemu mantan juga. Heran. "Nggak-nggak, ini aja," tolak Kinara. Cepat-cepat ia mengambil uang dari dalam dompetnya. "Uang pas," ucapnya seraya tersenyum. "Sudah, Mbak, cepetan dihitung. Uangnya sudah ada di tangan Mbak, kan." Jagad tak mau kalah. Lelaki itu merasa menang langkah karena uang lima puluh ribunya sudah di tangan si embak kasir. "Pak!" Kinara melotot. Tapi demi tidak membuat keributan di depan umum, perempuan itu memilih untuk mengalah. Ia berjalan meninggalkan meja kasir dan duduk di salah satu bangku kosong. "Gimana Ibu, Ra?" tanya Jagad y

  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Musuh Tapi Menikah - Ekstra Part 4

    "Mbok, biar saya yang masak." Hari ini Kinara datang lebih pagi dan langsung menuju dapur rumah Galang. Mbok War yang sedang asik mengupas bawang putih menoleh heran."Kenapa, Mbak? Masakan Mbok selama ini nggak enak, ya?" "Enak, Mbok. Saya cuma, cuma ...." Kinara mencoba mengarang-ngarang alasan. Sebenarnya dia hanya ingin seperti suami istri pada umumnya saja. Pagi-pagi menyiapkan sarapan untuk suami sebelum berangkat kerja. So sweet sepertinya. Tapi, tak mungkin ia mengutarakan itu pada Mbok War, bukan? "Kangen masak sendiri ajah," ucapnya akhirnya. "Oh ... Mbak Kinar pengen masakkin yang spesial buat Mas Galang, ya?" goda Mbok War. Sudah sejak lama perempuan tua itu merasa ada sesuatu antara majikannya dengan sang asisten. Memang sih, yang terlihat di depannya, kedua muda-mudi itu lebih sering beradu argumen. Tapi seperti ada yang beda saja, setidaknya feeling seorang ibu mengatakan demikian. Apalagi ia membersamai Galang bukan baru setahun dua tahun, melainkan semenjak majikann

DMCA.com Protection Status