Share

Siapa Dia?

Author: Rahmi Aziza
last update Last Updated: 2022-10-21 05:20:56

Aku tiba di mall pukul sepuluh pagi. Tepat ketika pintu mall dibuka aku masuk. Mungkin hari ini aku adalah pengunjung pertama mereka.

Secepat kilat aku masuk ke toko sepatu. Siang ini aku harus datang ke wawancara kerja, dan baru semalam tau kalau sepatu pantofelku yang sudah lama menganggur dan kusimpan rapi dalam dus, sudah tidak layak pakai lagi, bagian kulitnya banyak yang mengelupas.

Aku nekat juga melamar lowongan kerja yang diinfo Erna kemarin dengan menggunakan fotokopian KTP lamaku saat masih lajang.

“Kalau nanti kamu keterima kerja, tunggu beberapa saat sampai mereka tau kamu karyawan yang bisa diandalkan, saat itulah kamu bisa jujur dengan statusmu.” Begitu saran Erna kemarin melalui pesan whats app.

Awalnya aku enggan. Aku orang yang paling tidak bisa berbohong, tapi penasaran juga sih, setelah empat tahunan tidak bekerja kantoran, bisa tidak ya kira-kira aku lolos tes wawancara kerja.  Disamping yaah butuh duitnya juga. Mau sampai kapan hanya hidup mengandalkan uang santunan kematian Mas Arya? Rania semakin besar, akan masuk sekolah, biaya yang dibutuhkan juga pasti semakin banyak. Akupun merasa tak nyaman jika terus menerus menerima pemberian dari Arman.

Setelah mendapatkan sepatu yang cocok, aku bergegas keluar mall. Ternyata hujan. Deras lagi. Pantasan, berulangkali mencoba order taksi online dari sebelum keluar mall tadi, tak ada yang nyangkut.

Aku mengedarkan pandangan ke sekitar, siapa tau saja ada taksi lewat.

Ah itu dia, sebuah taksi berwana biru melaju. Di bagian atasnya lampu menyala, tanda taksi itu tak berpenumpang.  Aku melambaikan tangan dan bergegas membuka pintu ketika taksi berhenti tepat di depanku. Tapi di saat bersamaan, seorang lelaki mengenakan jas casual dan bertopi hitam masuk dari sisi pintu yang lainnya.

“Lho?”

“Ehm, maaf, saya yang memberhentikan taksi ini.” Aku mencoba bicara sesopan mungkin, menyembunyikan rasa kesalku.

“Saya juga.” Si lelaki bertopi menjawab ketus, duduk dan menutup pintu taksi.

“Jalan Pak,” katanya lagi tanpa sedikitpun memperhatikanku yang masih terbengong-bengong dengan separo badan masuk ke dalam taksi.

“Eh tunggu-tunggu enak aja.” Aku mulai hilang kesabaran. Tapi rasanya sia-sia bicara sama laki-laki tak punya sopan santun ini.

“Pak, saya tanya, siapa yang memberhentikan taksi ini?” Aku memilih langsung bertanya pada sopir taksi.

“Aduuh kalian ini bikin ribut di taksi saya. Sebenarnya kalian mau ke mana sih?”

“Kota Lama,” jawabku dan si lelaki bertopi hampir berbarengan. Sedikit terkejut aku menoleh ke arahnya. 

“Oalah, tujuan kalian sama to. Ya sudah bareng aja. Hujan-hujan gini susah dapat taksi. Ayo mbak masuk, tutup pintunya.”

 

Aku tidak punya pilihan lain. Daripada telat wawancara, biarlah satu taksi dengan orang asing menyebalkan ini. Toh, Kota Lama tidak terlalu jauh dari sini, jadi hanya sebentar aku duduk bersebelahan dengannya.

 

“Mbaknya mau ke mana?” tanya Pak Sopir memecah keheningan kami di dalam taksi.

 

“Kafe Mentari Pak.”

 

“Lho kafenya kan, belum buka Mbak!”

 

“Iya saya ada tes wawancara kerja di sana.”

 

“Oh, gitu. Moga sukses ya Mbak, tesnya.”

 

“Hehe, makasih Pak.”

 

“Kalo masnya mau ke mana?”

 

“Kafe Mentari." Jawaban dingin si lelaki bertopi sontak membuatku kaget. Sementara ia hanya menunduk, tetap asik dengan ponsel di tangannya.

 

“Lho, sama lagi. Wawancara juga?” tanya si Bapak.

 

Lelaki bertopi tidak menjawab. Diam-diam aku mengamatinya, penasaran juga apa benar dia mau melamar kerja di tempat yang sama? Sebagai apa? Tempo hari aku lihat ada beberapa lowongan kerja lagi di Kafe Mentari selain sebagai Markom. Waduh gawat, aku bisa punya rekan kerja semenyebalkan dia. Ah, tapi belum tentu kan, dia diterima. Ya aku juga belum tentu keterima, sih.

 

“Sepertinya, kalian memang berjodoh hahahaha,” tawa Pak sopir membuyarkan lamunanku. Kesal.

 

Tak lama kemudian, taksi menepi di depan Kafe Mentari. Aku mengulurkan uang seratus ribuan pada Pak Sopir.

 

“Mbak, uang pas aja ada? Dua puluh delapan ribu, saya baru narik nih, nggak punya kembalian.”

 

“Eh? Aduh ngga ada Pak.” Hanya tinggal selembar itu uang di dompetku. Ada sih beberapa lembar lagi uang dua ribuan. Tapi tak cukup buat membayar senilai argo taksi.

 

“Ini saja Pak. ” Si lelaki bertopi meletakkan selembar uang ke tangan Pak sopir.

 

“Yah, sama aja, seratus ribu juga. Kan saya bilang nggak ada kembalian.” Kata Pak Sopir begitu melihat nominal uang yang ada di tangannya.

 

“Kembaliannya buat Bapak.” Si lelaki bertopi menjawab seraya berjalan masuk ke dalam kafe.

 

Aku terperangah, rasanya apa yang barusan dia lakukan, mencabik-cabik harga diriku.

 

“Wah makasih mas,” kata Pak Sopir setengah berteriak.

 

Sebelum berlalu pergi, Pak Sopir mengucapkan terimakasih juga padaku dan mendoakan agar tes wawancara kerjaku lancar.

 

Aku tersenyum kikuk. Kumasukkan kembali uang seratus ribuan ke dalam tas sambil bersungut-sungut dalam hati.

 

Sialan, baru juga mau melamar kerja, udah songong kek gitu.

 

Di dalam kafe suasana sudah cukup ramai. Usai mengisi daftar hadir, aku bergabung dengan para pelamar kerja yang lain. Beberapa orang kuajak ngobrol basa-basi. Eh, tapi ke mana si lelaki bertopi mengapa dia tak kelihatan ya? Hmm mungkin sedang ke toilet atau ... Ah bodo amat, kenapa jadi mencari dia sih.

 

Satu jam berlalu. Aku menunggu panggilan wawancara dengan gelisah. Memikirkan Rania yang kutitipkan di TK tempat Erna mengajar. Duh, kira-kira Rania rewel tidak ya?

 

“Nadia Putri Wijaya. ”

 

Ah namaku dipanggil, akhirnya .... 

 

Aku masuk ke sebuah ruangan, ada dua orang lelaki yang sudah duduk di sana. Satu orang lelaki berpakaian rapi, dengan kemeja lengan panjang biru navy yang dipadukan dengan celana kain casual berwarna hitam. Kutebak, usianya sekitar 35 tahunan. Lalu satunya lagi ...

 

Lelaki bertopi? Lho kapan dia masuk ke sini? Dia masih diwawancara? Tapi, kenapa aku sudah dipanggil?

 

“Selamat siang, Pak.” Aku tersenyum ramah sambil sedikit menundukkan kepala pada si lelaki berkemeja navy.

 

“Oh selamat siang, silakan duduk.” Lelaki berkemeja hitam menunjuk kursi yang ada di depan mejanya.

 

“Nadia Putri Wijaya.” Ia menyebut namaku 

 

“Iya, Pak.”

 

“Sebelumnya perkenalkan, saya Wira, manajer dari Kafe Mentari.” Pak Wira tersenyum ramah.

 

“Lalu ini..”

 

Eh, si lelaki bertopi?

 

“Ini Galang, pemilik Kafe Mentari.”

 

Ha?

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rossa Lina
oh.... ternyata bos kafe Thor.... kecantol ngak ya?? tp ada Arman yg akan di jodohkan
goodnovel comment avatar
Isabella
wkwkwkwkwk ketemu sama artis
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Diterima

    “Ini Galang, pemilik Kafe Mentari.”“Ha?”Jadi orang yang berseteru denganku di taksi tadi bosku? Aktor papan atas yang disebutkan Erna kemarin?Aku bengong sesaat, tapi berusaha bersikap sewajar mungkin. “Oh iya iyaaa Pak Galang, halo. " Kupaksakan diri untuk tersenyum padahal sebenarnya masih jengkel dengan kejadian tadi di taksi.Galang membuka topi yang sedari tadi dikenakannya. Membalas senyumku dengan sinis. Wajahnya terlihat sangat jelas kini. Ternyata tampan juga calon bosku ini. Sepintas mirip Dikta mantan personel Yovie dan Nuno saat masih berambut pendek belah tengah. Eh, kenapa aku jadi memuji dia, sih! “Baik, Nadia, pertanyaan pertama, kenapa kamu melamar kerja di sini?” tanya Pak Wira tiba-tiba yang membuatku gelagapan. Pikiranku masih menerawang, bertanya-tanya apakah insiden taksi tadi akan mempengaruhi penilaian Galang terhadapku. Bisa-bisa aku ditolak pada pandangan pertama.“Karena butuh duit Pak,” jawabku spontan. Duh jawaban macam apa ini? Bukan jawaban yang kur

    Last Updated : 2022-10-21
  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Undangan Reuni

    Arman hanya mengantarku sampai ke TK dan Daycare Mutiara, tempat aku menitipkan Rania, lalu pulang. Sengaja kusuruh dia pulang selain karena sebal dengan percakapan di mobil tadi, aku juga ingin curhat-curhat dulu dengan Erna. Lagipula jarak TK tak terlalu jauh dari rumahku, hanya lima menit jika ditempuh dengan jalan kaki. Beruntung bagiku, sehingga aku bisa menitipkan Rania jika ada keperluan. Apalagi Erna itu kawan baikku sejak SMA.Oh iya, TK ini milik ibunya Erna. Selepas SMU, Erna mengikuti pendidikan guru TK kemudian ikut mengajar dan membantu ibunya mengelola TK ini.“Nad, gimana wawancara kerjanya tadi?” tanya Erna antusias, matanya berbinar-binar, senyum merekah di wajahnya.“Langsung aja tanya, gimana tadi Galang? Nggak usah sok peduli gitu deh!" kataku sambil membukakan bungkus eskrim untuk Rania. Erna termasuk penggemar sinetron dan drama Korea. Dia sering heboh ngobrolin aktor ini dan itu, yang aku tak begitu paham itu siapa. Aku yakin, pasti dia juga salah satu penggema

    Last Updated : 2022-10-21
  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Ketahuan

    “Jangan bicara kasar di depan anak kecil." Dia berkata lebih lembut kini, tapi menyebalkan, kesannya kok, jadi aku yang antagonis! Berusaha sabar, kutarik napas panjang. Mau marah, tapi kurasa waktunya memang tidak tepat. Aku tak mau Rania melihat kami tak akur sebagai keluarga. "Oke. Tapi kita mau ke mana?" Arman memandangku, diam beberapa detik, lalu bilang, “Aku yang tanya ke kamu, mau ke mana? Aku antar.”Aku menatapnya takjub. Tumben. Ah, pasti Mama yang suruh. Mama gigih sekali ingin menjodohkanku dengan Arman.“Aku mau ke reuni SMA. Yakin mau nganter?”Setahuku Arman bukan orang yang suka dengan reuni. Setiap kali diundang reuni ia tidak pernah mau datang. Bahkan ia juga enggan masuk ke grup WA sekolah.Aku dan Arman satu SMA dan satu angkatan hanya beda kelas. Lucunya, aku baru tahu saat hendak menikah dengan Mas Arya. Padahal kata Erna, Arman ini cukup populer di sekolah, lho. Banyak yang mengidolakan, ya maklum dia kan termasuk anggota klub basket yang sering memenangkan b

    Last Updated : 2022-10-21
  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Hari Pertama

    Hari Senin, hari pertamaku masuk kerja. Grogi. Ini momen pertamaku bekerja lagi setelah tiga tahun lamanya tidak menyandang status sebagai pekerja kantoran. Ditambah harus bertemu lagi dengan Galang, setelah pertemuan tanpa sengaja tempo hari di acara reuni. Apa yang kira-kira akan dikatakannya nanti? Apakah ia akan menganggapku melakukan penipuan? Huh, entahlah. “Biar kutemani sampai ke dalam,” kata Arman sesampainya kami di Kafe Mentari. Nampaknya ia bisa membaca ekspresi tegang di wajahku. Di perjalanan pulang dari acara reuni kemarin, aku memang menceritakan semuanya. Perihal aku yang menggunakan kartu identitas lamaku untuk melamar kerja. Mau bagaimana lagi, ia sudah terlanjur melihat Galang bicara padaku dengan nada marah. “Jangan!! Kau pikir aku anak kecil harus dianter masuk segala,” cegahku. “Kalau bosmu marah, keluar saja, nanti akan kubantu mencari pekerjaan yang cocok buatmu.” “Heem.” Hanya itu jawabku. “Bahkan seharusnya, kamu tidak perlu bekerja, aku bisa menghidupi

    Last Updated : 2022-12-09
  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Bos Galak

    “Kamu itu, BISA MOTRET NGGAK, SIH?!” serunya sambil membanting sendok garpu diatas meja. “Aduh Pak, tadi udah bagus lho, tinggal kurangi senyum dikiit aja. Biar nampak elegan, gitu loh.” “Kasih instruksi itu yang jelas, jangan sepotong-potong!” bentaknya. “Maaf, Pak.” Aku menunduk, pura-pura merasa bersalah, padahal sebenarnya jengkel setengah mati. Mentang-mentang bos, seenaknya bentak anak buah. Huh! Mungkin ia sadar, foto yang kubuat demi kemajuan kafenya juga, iapun lantas mengambil kembali sendok dan garpu lalu berpose seperti yang kupinta. Tak menyia-nyiakan kesempatan, akupun mengambil beberapa foto. Setelah nasi goreng, kuletakkan mie sapi lada hitam di mejanya, lalu spagheti, steak, sup iga, mashed potato, burger, roti bakar, dan aneka minuman. Kuminta ia berganti pose. Setelah duduk dengan menoleh ke kanan, kuminta ia duduk menghadap jendela, duduk sambil makan, berdiri, berjalan, kayang, koprol, eh nggak lah, bisa ngamuk dia nanti. “Sekarang bapak pakai kostum chef

    Last Updated : 2022-12-10
  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Siapa Dia?

    Lonceng yang terpasang di pintu kafe berbunyi ketika aku sedang sibuk membuat konten untuk sosmed.Tak lama, seseorang mendorong pintu dari luar.Sesosok perempuan cantik, tinggi, modis, bak model berjalan masuk dengan anggun. Aku beranjak mendekatinya. Hmm apakah dia pikir kafe ini sudah buka?“Maaf mbak, kafe kami belum buka.” Aku tersenyum dengan kepala sedikit mendongak.Perempuan itu balas tersenyum tapi terlihat sinis.“Kamu nggak tahu siapa saya?” Ia membuka kaca mata hitam. Ampun deh, hari ini, nggak si bos, nggak tamu, kenapa judes semua ya.Siapa dia? Duuh, siapa, sih? Ibu negara? Menteri? Teman lama? Sepertinya familiar. Aku pernah lihat, tapi entah di mana. Lupa.“Maaf, Mbak mau bertemu siapa ya?" tanyaku akhirnya. Mungkin saja dia rekan bisnis Pak Wira. Kenapa aku baru kepikiran sekarang, ya.Perempuan itu masih tetap tersenyum sinis dengan mata memicing melihatku.Sesaat kemudian, secara mengagetkan tiba-tiba ia mendorong bahuku dengan kasar. Berjalan menerobos masuk ke

    Last Updated : 2022-12-10
  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Ipar Rasa Pacar

    “Tunggu!” Suaranya terdengar tak asing. Akupun menoleh demi memastikan dugaanku “A.. Arman?!”Spontan aku turun dari mobil. Mau apa sih, dia?“Mau ke mana?” tanyanya dingin seperti biasa.“Aku.. emm.. ada urusan pekerjaan,” jawabku sedikit gugup. Aneh sebenarnya, jawabanku ini kenapa jadi seperti seorang yang ke-gap selingkuh oleh pacar, sih?“Sudah lewat jam kantor, Rania sudah menunggumu di rumah.”“Sudah-sudah, tenang saja, akan kuantar dia pulang,” sahut Galang menengahi ketegangan diantara kami.“Tidak usah. Aku yang akan mengantarnya pulang.” Arman berjalan mendahuluiku menuju mobilnya. Pergi begitu saja tanpa berpamitan pada Galang.Aku menarik napas kesal lalu menoleh ke arah Galang. Ia hanya mengedikkan bahu. “Ikutlah bersama pacarmu.”“Dia bukan pacar saya, Pak!” kataku setengah berbisik.“Lalu?”Aku pergi begitu saja tanpa menjawab pertanyaan Galang. Kupikir-pikir, Arman memang sudah seperti pacar posesifku saja. Selalu mengatur aku harus begini, harus begitu dengan dalih

    Last Updated : 2022-12-11
  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Mak Comblang

    Sampai di rumah, aku teringat dengan selembar foto yang kutemukan terjatuh dari buku agenda Arman. Kupandangi lagi foto itu, mengingat-ingat kapan kira-kira foto itu diambil, saat kejadian apa, dan siapa yang memotretnya. Di foto itu aku tengah duduk di bangku panjang depan kelas. Tidak sendirian, ada Maya di sampingku. Nampaknya seseorang memotret kami dari lantai dua sekolah. Candid, karena aku maupun Maya sama-sama tidak melihat ke kamera. Kami sedang tersenyum menatap lurus ke depan. Entah apa yang kami lihat, aku lupa. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Panggilan whats app. Kulihat nama yang terpampang di layar. Maya. “Assalamualaikum May..” sapaku. “Waalaikum salam Nad, aku mau menagih janjimu kemarin,” kata Maya. “Hah? Janji apa?” Perasaan aku ngga pernah menjanjikan apa-apa deh ke Maya. “Itu tuh.. katanya kamu mau nyomblangin aku sama adik iparmu.” “Ihh siapa juga yang janji.” Maya memang selalu begitu, suka menyimpulkan sesuatu seenaknya sendiri. “Lagian aku kan bilang, dia t

    Last Updated : 2022-12-12

Latest chapter

  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Musuh Tapi Menikah - Ekstra Part 12

    "Serius, Ra, kamu mau berhenti kuliah?" Mata Andini membulat. Apalagi setelah Kinara menjawabnya dengan sebuah anggukan. "Ra, kita baru beberapa bulan kuliah, sayang tauk uang masuknya. Galang yang suruh?" Kinara menggeleng. "Nggak, Ndin." Memang bukan karena permintaan Galang. Justru lelaki itu sama terkejutnya dengan Andini saat Kinara mengutarakan niatnya berhenti kuliah. "Kenapa, Flo?" Galang mengusap mulutnya dengan serbet, menjauhkan piring makan yang telah kosong di depannya. "Bukannya kuliah itu cita-cita kamu dari dulu?" "Hmm, bukannya kamu seneng kalau aku nggak kuliah, nggak ketemu Mas Jagad lagi di sana." "Iya, aku memang cemburu, tapi nggak usah sampai berhenti juga, Sayaang." Galang mencubit gemas pipi Kinara. Aww. "Setelah kupikir-pikir, Lang." Kinara mengusap-usap pipinya yang dicubit Galang tadi. "Aku hanya ingin fokus belajar fotografi, di kuliahan pelajarannya macam-macam." "Nah, kalau alasan ini masuk akal. Oke, aku akan carikan sekolah fotografi terbaik bua

  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Musuh Tapi Menikah - Ekstra Part 11

    Otak Kinara memerintahnya untuk berlari kencang namun otot kakinya menegang, sulit bergerak. Ia hanya mampu berjalan mundur, selangkah demi selangkah, lalu ... "Astaghfirullah." Tiba-tiba kakinya menginjak genangan air hingga ia jatuh terduduk. Kinara menoleh ke kanan dan ke kiri. Kenapa jalanan ini sepi sekali. Ditambah lagi hujan mulai turun rintik-rintik, membuat suasana semakin mencekam. "Oh, kamu rupanya. Sepertinya kita pernah berjumpa, ya." Hendri mengulurkan tangan, seolah mau membantu Kinara bangun dari jatuhnya. Namun Kinara menggeleng. Sedikit pun ia enggan menyentuh lelaki itu. "Mau terus-terusan di sini? Ayo ...." ujar lelaki itu, lembut tapi terdengar menyeramkan. "Kenapa, ha?" Ia mulai membentak, satu tangannya mencengkram kuat pipi Kinara. "Apa yang kau dengar?" Lagi-lagi Kinara hanya sanggup menggeleng tanpa suara. "Biarkan dia, kita bicara di tempat lain!" seru Malya yang nampak gusar. Ia tak mau berada di tempat ini berlama-lama namun merasa perlu menyelesaik

  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Musuh Tapi Menikah - Ekstra Part 10

    "Kamu tahu dia siapa?" bisik Arash ketika Hendri sudah jalan menjauh. "Hah, siapa, Kak?" Kinara sedikit mencondongkan badan mendekat pada Arash. "Dia produser yang disebut Marini." "Ma-maksudnya yang menghamili Marini?" Arash mengangguk. "Hem, begitu menurut pengakuannya." "Tuntutannya belum diajukan, Kak?" Kinara ingat beberapa waktu lalu saat ke rumah sakit tempat Marini dirawat, perempuan itu sempat menunjukkan surat tuntutan. "Para korban pelecehan menolak menandatangi surat tuntutan. Marini pun akhirnya berubah pikiran. Aku tidak bisa memaksa." Kinara menelan ludah. Tak semudah itu memang mengakui kasus pelecehan seksual meski kita sebagai korban. "Tapi aku masih tetap berusaha. Ada seorang korban lagi yang sedkit demi sedkit mulai menguak kebusukannya." "Siapa, Kak?" "Ada, seorang aktris pendatang baru. Maaf, aku tidak bisa sebut nama. Tapi kemungkinan kamu pun tidak tahu. Debutnya baru sebatas pemeran figuran. Ia ditawari casting untuk sebuah film dan dilecehkan ketika

  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Musuh Tapi Menikah - Ekstra Part 9

    Meski sudah kembali ke ibu kota, bukan berarti kesibukan Kinara berkurang. Jadwal syuting yang berbenturan dengan jam kuliah membuatnya terpaksa membolos lagi dan lagi. Saat hanya menjadi asisten, asalkan sudah mempersiapkan segala keperluan Galang, ia santai saja ijin barang beberapa jam untuk mengikuti perkuliahan, lalu setelahnya akan menyusul kembali ke lokasi syuting. Ah, ia jadi paham kenapa Galang sampai sekarang belum juga lulus kuliah. "Kinara, ntar sore jam empat, jangan lupa, lu dan Galang ada talkshow di podcast." Nah, belum lagi undangan wawancara sana-sini. Bagi Kinara sebagai artis pendatang baru, undangan wawancara terdengar mengerikan, bagaimana kalau dia sampai salah bicara. "Datang tepat waktu, promosikan sinetron kita, dan kalau ditanya soal Malya, jawab aja nggak tahu." "Oke, Bang, siap!" Karena Kinara diam saja, akhirnya Galang yang menjawab arahan Bang Sut. "Sayang, santai aja," bisik Galang begitu melihat wajah Kinara yang berubah tegang. "Hah, santai?" Ki

  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Musuh Tapi Menikah - Ekstra Part 8

    "Cut!" teriak Sutradara. Namun Galang bergeming. Bahkan ia memeluk Kinara erat dan semakin erat. "Woy, cut! Selesai! Udah! End!" Bang Sut mengulangi instruksinya hingga membuat Galang sadar dan melepaskan pelukan. "Eh, udah? Gini aja?" Galang menoleh. "Ya, emang udah, lo nggak baca naskahnya?" "Maksud gue, kaya ... nanggung gitu, Bang. Kan bisa diimprove, ditambah adegan kissing mungkin!" "Edan!" Bang Joel yang baru datang menoyor kepala Galang. "Mau merusak moral anak bangsa, lo?" "Jangan didengerin, Bang!" Bang Joel menoleh pada Sutradara. "Otaknya lagi rada-rada korslet!" Lelaki itu menempelkan telunjuk dengan posisi miring di dahinya. Bang Sut tertawa sembari geleng-geleng kepala. Setelahnya ia memberi instruksi untuk break syuting. "Jam setengah tujuh tet kita ganti lokasi, siap-siap, ya!" Mendengar perintah sang sutradara, para kru segera membereskan peralatan, sementara talent kembali ke kamar masing-masing. Ini hari ketiga mereka di Bandung. Revisi naskah membuat merek

  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Musuh Tapi Menikah - Ekstra Part 7

    "Dia, asisten lo kan, Lang? Kita pakai dia!" "Pakai? Saya?" Kinara menunjuk dirinya sendiri dengan raut wajah bertanya-tanya, menoleh pada Galang dan Bang Sut si sutradara secara bergantian. "Maksudnya, Bang?" "Elo jadi artis." Ucapan Bang Sut lebih seperti perintah yang harus disetujui daripada sebuah tawaran. "Cup! Urus dia!" katanya pada sang asisten. "Siap, grak!" "Eh, eh, kita mau kemanaa?" teriak Kinara ketika Ucup si asisten sutradara menarik tangannya. "Heh, Cup! Lu main tarik is-ehm asisten gue sembarangan aja!" Galang pasang badan menghadang langkah sang astrada. "Emangnya dia bersedia?" "Gini, ehm. Ki ... Kinara." Bang Sut maju menengahi. "Bener nama lo Kinara, kan?"Kinara mengangguk. "Karena Malya ngilang dan ntah kapan bisa syuting lagi, sementara sinetron kita kejar tayang, kita terpaksa mengubah jalan ceritanya. Jadi Malya bakal dibuat mendadak mati karena kecelakaan. Terus Galang yang ada di mobil yang sama dengan Malya saat kecelakaan diselamatkan orang. Nah,

  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Musuh Tapi Menikah - Ekstra Part 6

    "Ayok, Lang, kita main!" Kinara menarik tangan Galang usai mengunci pintu penghubung dengan kamar Bang Joel. "Main?" Galang takjub dengan ajakan Kinara, frontal juga dia, ya. "Sekarang? Langsungan, nih?" "Iya lah, keburu Bang Joel berubah pikiran ntar, kita harus manfaatkan waktu berdua." "Okee, siapa takut." Sebenarnya sempat terlintas ancaman Bang Joel tentang uang dua milyar, tapi ah, bodo amat. Ada kesempatan kenapa disia-siakan. Soal yang lain pikir belakangan. Tanpa menunggu lama, Galang membuka baju atasannya, tapi ... "Laaang, ngapain buka bajuuu?" "Lah kata kamu tadi ... main, kan?" Galang mulai ragu-ragu. "Main ini!" Kinara melemparkan papan catur ke atas tempat tidur. "Kamu tahu nggak, pas SD, semua teman udah pernah kutantangin main catur dan tidak ada yang bisa mengalahkanku. Bahkan pak guru olahraga aja kalah tanding catur denganku," ucapnya bangga. "Cuma sama kamu aja aku belum pernah main, karena terlalu gengsi mau ngajakin." Astagaaa .... Galang berdecak. "F

  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Musuh Tapi Menikah - Ekstra Part 5

    "Dua puluh satu ribu lima ratus, Kak," ucap seorang kasir setelah menghitung menu yang dibawa Kinara di hadapannya. "Oh, iya." Kinara tengah membuka dompetnya ketika suara seorang lelaki terdengar dari arah belakang seraya menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan. "Ini, Mbak. Sekalian punya saya." Tentu saja hal itu spontan membuat Kinara menoleh. Mas Jagad? Udah sengaja Kinara makan di kantin fakultas sebelah, eh, masih bertemu mantan juga. Heran. "Nggak-nggak, ini aja," tolak Kinara. Cepat-cepat ia mengambil uang dari dalam dompetnya. "Uang pas," ucapnya seraya tersenyum. "Sudah, Mbak, cepetan dihitung. Uangnya sudah ada di tangan Mbak, kan." Jagad tak mau kalah. Lelaki itu merasa menang langkah karena uang lima puluh ribunya sudah di tangan si embak kasir. "Pak!" Kinara melotot. Tapi demi tidak membuat keributan di depan umum, perempuan itu memilih untuk mengalah. Ia berjalan meninggalkan meja kasir dan duduk di salah satu bangku kosong. "Gimana Ibu, Ra?" tanya Jagad y

  • Dijodohkan dengan Ipar Posesifku   Musuh Tapi Menikah - Ekstra Part 4

    "Mbok, biar saya yang masak." Hari ini Kinara datang lebih pagi dan langsung menuju dapur rumah Galang. Mbok War yang sedang asik mengupas bawang putih menoleh heran."Kenapa, Mbak? Masakan Mbok selama ini nggak enak, ya?" "Enak, Mbok. Saya cuma, cuma ...." Kinara mencoba mengarang-ngarang alasan. Sebenarnya dia hanya ingin seperti suami istri pada umumnya saja. Pagi-pagi menyiapkan sarapan untuk suami sebelum berangkat kerja. So sweet sepertinya. Tapi, tak mungkin ia mengutarakan itu pada Mbok War, bukan? "Kangen masak sendiri ajah," ucapnya akhirnya. "Oh ... Mbak Kinar pengen masakkin yang spesial buat Mas Galang, ya?" goda Mbok War. Sudah sejak lama perempuan tua itu merasa ada sesuatu antara majikannya dengan sang asisten. Memang sih, yang terlihat di depannya, kedua muda-mudi itu lebih sering beradu argumen. Tapi seperti ada yang beda saja, setidaknya feeling seorang ibu mengatakan demikian. Apalagi ia membersamai Galang bukan baru setahun dua tahun, melainkan semenjak majikann

DMCA.com Protection Status