Lagian juga gue masih muda, masih bisa cari pasangan yang pas buat gue. Yang se-frekuensi, yang sayang, dan cinta ke gue.
Gue bukan manusia yang sudah berusia cukup tapi belum nikah dan diharuskan bersegera nikah. Jadi, gak harus 'kan gue nerima perjodohan ini?
"Maaf, Tan. Tapi Salsa ...."
Gue jawab belum selesai tapi sudah dipotong sama perkataan Mas Alvin.
"Gak usah dijawab sekarang," potong Mas Alvin yang dengan spontannya gue langsung menghadap ke dia.
"Jalani saja dulu. Maksud Mas, kita, Salsa dan Mas lebih dekat dulu. Bila sama-sama cocok, yaudah lanjutkan perjodohan ini," tambah Mas Alvin dan gue setuju dengan pendapat dia.
Menurut gue, itu ide bagus. Andai langsung nolak saat itu juga, pasti nyokap gue ngasih saran kek Mas Alvin.
Dari situ juga signal otak gue cerdas. Kalau dijalani dulu, gue yakin pasti tidak akan ada kecocokan di antara gue dan Mas Alvin.
Jelas- jelas kami berdua minyak dan air. Mana bisa nyatu? Gue juga yakin, kalau Mas Alvin sebenarnya tidak setuju atas perjodohan ini.
Mungkin saja dia sudah nolak pas ibunya memberi tahukan tentang hal ini, tapi mungkin karena ibunya memberi wejangan.
Bisa jadi wejangannya itu karena gak enak sama nyokap gue, makanya Mas Alvin jadi mau dan sekarang ngasih pendapat jalani saja dulu.
Namun, kenapa jalani saja dulu, dia sekarang jemput gue ke kampus? Mana tepat pula, kaya dia tahu jam selesai kuliah gue.
Sedetik kemudian otak gue berpikir, mungkin dia sengaja jemput gue biar ibu tahu kalau kita tuh emang beneran jalani saja dulu?
Wah, pinter juga dia ternyata. Suka deh main cantiknya dia. Gak terasa dan gue merasa dua sudut bibir gue ketarik ke atas.
Bukan suka karena cinta lho ya. Nanti salah diartikan lagi dan ini senyuman gue juga bukan karena suka ke hal berbau itu. Ini tuh suka cara pintarnya dia. Pinter memanipulasi keadaan.
Kalau begini 'kan nanti tinggal nunggu bilang ke nyokap, "kami berdua tidak ada kecocokan dan tidak bisa disatukan. Mohon terima kenyataan ini dan jangan dipaksa. Karena apa yang dipaksakan itu tidak baik. Sekian dan mohon bertabah. Kami berdua akan cari pasangan masing-masing yang cocok bagi sudut pandang kami masing-masing. Terima kasih atas sarannya yang menyebalkan ini."
Kalau sudah begitu 'kan, gue yakin, baik nyokap maupun Tante Wanda tidak bisa berkutik apa-apa lagi. Mereka pasti tidak melanjutkan perjodohan ini.
Eh, tunggu!
Senyum yang berkembang itu lenyap saat menyadari kalau mobil ini belok ke arah masuk ke dalam mall.
Langsung dong gue menoleh ke arah Mas Alvin dengan raut wajah seakan bertanya, "kenapa ke sini?"
Dia juga noleh, kayanya menyadari kalau gue natap dia dan ingin mengatakan sesuatu. "Kita jalan-jalan dulu," kata dia.
"Anggap saja ini gantinya karena kamu gak jadi ikut jalan-jalan bareng temen-temen kamu, " tambah dia dengan tangan kanannya ke luar dari kaca mobil menerima kartu parkir.
Mulutku baru ingin berucap protes, tapi di sela dia duluan, "Ya, walau Mas gak tahu, kalian mau jalan-jalan ke mana. Karena yang Mas tahu, wanita itu suka ke mall, jadi mas bawa kamu ke sini."
Mobil masuk area parkiran dan gue menatap lurus ke depan. Sudah tidak menghadap ke dia.
Apa-apaan coba? Dia bawa gue ke sini? Dah tau dari tadi saja selama perjalanan tidak mengobrol. Lalu untuk apa mengulur waktu kebersamaan ini.
Enakan juga langsung diantar pulang, setelah itu 'kan enak. Gue bisa bebas dari ikatan kebersamaan ini yang mencengkramkan.
Gue ngadep balik ke arah dia. "Mas salah, Salsa dan temen-temen tuh gak mau jalan-jalan ke mana-mana. Maksud yang Salsa bilang saat izin gak bisa ikut jalan, itu maksudnya jalan pulang bareng," bohong gue beralasan.
"Ah, begitu? Jadi, kamu gak ada agenda ke mana-mana setelah pulang dari kampus sebenarnya?"
"Iya, mau langsung pulang terus nunggu Ibu pulang ke rumah."
Jadi, lebih baik pulang saja, batin gue berharap.
"Oh, yaudah. Karena sudah sampai sini lanjut aja. Dari pada kamu bengong di rumah sambil nunggu Tante pulang, lebih baik jalan-jalan, bukan?" kata dia dengan mematikan mesin mobil karena mobil sudah terparkir di tempat parkiran.
Lebih baik apaan? Mending pulang lah!
Kecewa dengan jawaban dia yang tidak sesuai keinginan. Gue ngadep ke depan lagi lalu dengan sedikit memoyongkan bibir karena kesal.
"Ayo turun," ajak Mas Alvin yang langsung turun dari mobil.
Karena tidak ada alasan untuk menolak gue nurut aja. Meski dalam hati gak mau.
***
Ini bukan kencan, ya. Yang namanya kencan 'kan jalan bareng pasangan. Nah, ini bukan termasuk. Secara gue dan dia bukan pasangan.
Di mana- mana tuh, kalau orang sedang kencan, jalan bareng pasti bergandengan tangan.
Lha ini, bukannya bergandengan sama tangan dia, gue malah gandengan sama tas. Dah gitu jalan gue dan dia berjarak. Dia jalan di depan, gue di belakang. Fix, jadi ini bukan kencan.
Sebenarnya gedeg sumpah, pengin pulang aja. Tapi gak berani bilang. Untuk apa coba jalan seperti ini. Menikmati nggak, membosankan jelas.
"Apa kamu tidak ingin beli sesuatu?" Tiba-tiba Mas Alvin tanya dengan berhenti jalan dan saat itu gue sedang memanyunkan bibir. Gue kaget dong, dah gitu dia nagdep lagi ke arah gue.
Jelas gue malu dan salah tingkah.
"Haa ...." Gue langsung pasang wajah ceria deh.
"Ada." Gue tersenyum. Sebenarnya gue mau jawab nggak, tapi tiba-tiba otak gue nyuruh berkata ada.
Dalam hati berkata, "mumpung lagi jalan sama kaka sendiri, kenapa nggak ambil kesempatan?"
Haha, ketawa jahat. Kali-kali lha, siapa suruh ngajak ke sini?
Setelah itu langsung ajak Mas Alvin masuk ke salah satu store ternama untuk kalangan menengah. Mas Alvin nurut aja gitu, gak komen apa-apa.
Ngikutin gue dibelakang semabari gue milih apa aja yang gue mau, dari baju, tas, dan juga sepatu. Namanya cewe 'kan kalau belanja ribet. Milihnya lama gitu dan Mas Alvin gak komentar.
Akhirnya setelah lama memilih gue beli tas dan sepatu cuma beli 1, sementara baju beli 3 potong.
Pas di kasir gue gak minta dibayarin sama Mas Alvin, gengsi dong. Main cantik aja. Pura-pura mau bayar sendiri dengan menyodorkan kartu ATM milik gue setelah Mba Kasir nyebutin totalan.
Nah, 'kan langsung dilarang sama Mas Alvin. Dia langsung ikut menyodorkan kartu ATM miliknya dan langsung menjauhkan kartu gue dari hadapan mba kasir.
"Biar Mas aja yang bayar," kata Mas Alvin dan gue pura-pura gak mau.
"Jangan, Mas. Inikan belanjaan Salsa, biar Salsa saja yang bayar," tolak Gue, padahal dalam hati bersorak bahagia, gak nolak. Dan padahal uang di kartu juga belum tentu cukup untuk bayar. Bhakakak.
"Dah, nurut sama Mas. Mas yang ngajak kamu ke sini!" kata Mas Alvin tegas.
Hore, dipertegas. Sempat harap-harap cemas Mas Alvin gak menegaskan, lalu berakhir gue yang bayar. Gak kebayang, deh, kalau itu terjadi, bisa mati karena malu.
Ngerasa ada yang beda hari ini, deh. Biasanya, nyokap kalau bangunin gue tuh dengan suara keras dan menggoyangkan tubuh gue lalu buka gorden yang bikin mata gue silau. Mba pun begitu. Kalau misal nyokap sibuk atau sudah berangkat, beliau bakal nyuruh mba bangunin gue. Mba kalau bangunin gue, ya emang gak bersuara keras tapi dengan penuturan kata lembut, "Kak bangun, Kak udah siang. Kata Ibu ...." Mba akan jelaskan apa yang nyokap perintah. Misal, " Kata Ibu, Kakak mau kuliah. Nanti telat. Ayo bangun." Atau apa lah. Setelah itu mba buka gorden lalu berucap lagi bangunin gue. Di sini emang gitu, ya. Maksud gue, emang mbak kalau manggil gue itu "kakak" bukan "non". Karena nyokap yang nyuruh. Lebih enak kata nyokap kalau manggil gue kakak dari pada non. &nbs
Mata kami saling bersitatap sebentar, sebelum akhirnya Mas Alvin memutuskan tatapan itu karena jalan menuju meja makan. Saat jalan di hadapan gue, Mas Alvin gak nyapa apa gitu. Basa-basi gitu, paling nggak senyum tipis, bukan ngelewatin begitu saja. Padahal gue aja rela senyum merekah, walau hati kesal padanya. Dah gitu, saat dia jalan gak ngadep ke wajah gue. Jalan lurus gitu dan gue yakin, Mas Alvin gak liat kalau gue senyum padanya. Sia-sia buang tenaga dikit untuk senyum yang tidak dianggap dan tidak dihargai. Gue menghembuskan napas dengan berlalunya Mas Alvin, lalu teriak manggil mbak. "Iya, Kak, bentar," sahut mbak yang terdengarnya suara itu dari samping.
Gue jalan sambil mati-matian nahan air mata. Coba bayangin aja, orang yang katanya kakak sendiri gak mau disentuh sama gue, jijik sama gue. Emang gue seburuk itu? Gue bukan bangkai atau kotoran. Gue manusia! Kalau gak boleh, bilang! Gak perlu cara nolak seperti itu. Sudah buang tenaga dan sudah nginjak harga diri gue. Kalau jijik sama gue, bilang! Gue gak bakal susah-susah berusaha hanya untuk cium tangannya. "Sialan!" umpat gue marah dalam hati. Sudah hilang rasa sabar gue selama ini, gue diam bukan berarti gue terima atas perlakuan dia selama ini. Dia baik, tapi dia songong. Kalau benci ke gue, ngomong! Gue gak masalah. Dan gue gak harus berpura-pura baik di depan dia.
Mas Alvin turun dari mobil setelah sampai di area parkir kampus. Sebelumnya sudah gue larang nganter sampai sini. Tapi dia tidak mau menggubris. Gue siap-siap turun, tidak mau keburu dia mengitari mobil terus bukain pintu untuk gue. "Haa," gumam dia saat gue baru ke luar dari mobil. Entah apa maksud gumaman dia. "Makasih sudah nganter Salsa," kata gue. "Belajar yang bener," sahut Mas Alvin. Gue ngangguk-ngangguk terus salim ke dia, izin pamit. Dia ngusap-ngusap pala gue, pemirsa. Dede lemes. "Alvin ...." Tiba-tiba ada yang manggil nama Mas Alvin. Gue langsung noleh ke arah suara.
PoV Meysha Aku tersenyum tipis dan melambai kecil ke arah pintu kafe yang baru saja dibuka oleh sosok pria gagah rupawan, bertumbuh tinggi, tegap, berpakaian kemeja hitam berlengan panjang yang dipadukan dengan celana pants warna abu-abu tua, dan sepatu pantofel berwarna hitam. Pria itu membalas senyumanku, senyuman dia mengembang, kedua sudut bibirnya tertarik ke atas membuat matanya mengecil membentuk seperti bulan sabit, dan tangannya juga melambai ke arahku. Dia melangkah cepat mendekat ke mejaku. Pria itu kekasihku—namanya Alvin Sanjaya—kami sudah menjalin hubungan selama empat tahun lebih. Pertemuan kali ini berbeda dari pertemuan biasanya. Biasanya kami bertemu untuk temu kangen, menumpahkan rasa rindu. Tapi kali ini, ka
PoV Salsa Malam ini nih gue lagi clubbing bareng temen geng dan juga Bagas. Awalnya kami duduk di satu meja mesen cocktail. Tapi karena Clarin sama Maya udah turun ke dance floor, udah joget-joget binal gak karuan. Akhirnya gue ngajak Amel ikut turun. Awalnya si Bagas nglarang gue, nyuruh gue duduk ngobrol aja sambil ngerokok. Tapi gimana ya, gue gak kuat lihat Maya sama Clarin. Jiwa joget gue minta diluapkan. Gue joget-joget di antara beberapa laki-laki. Sengaja gue goyangnya yang nakal. Asyiknya tuh ada cowok nanggepin gue dan tangan dia melingkar di pinggang gue. Udah deh gue lupa semuanya, dunia malam memang asik buat ngilangin stress. Tapi tiba-tiba orang yang joget ama gue ditarik seseorang terus dipukuli. Gue kira ya
Malam ini nyokap kelihatan seneng banget. Raut wajahnya terpancar kebahagiaan, buat hati gue menghangat. Sudah lama banget gak makan bersama bertiga yang di mana salah satunya pria. Dulu, waktu bokap masih ada, makan bersama seperti sekarang, sering dilakukan bahkan hampir tiap hari. Setelah bokap gak ada, makan bersama di meja makan hanya gue dan nyokap. Berduan saja. Makan malam ini spesial menurut gue. Liat Mas Alvin, gue kaya liat bokap. Memori kebersamaan bokap jadi berputar di otak gue. Jadi kangen bokap. Tuh kan gue sedih. "Lho, kok, Salsa nangis?" Mas Alvin bertanya sambil natap gue. "Makanannya pedas, ya, tapi menurut Mas nggak kok. Menurut Tante pedas gak?" "Nggak, bukan makanannya, tapi Mas yang bikin Salsa nangis." Yang awalnya hanya air mata yang keluar, kini diiringi dengan isakan kenceng. "Mas? Maaf, memang apa yang Mas lakukan sampai buat kamu nangis?" "Mas bik
Sebagai anak satu-satunya, nyokap tidak mau acara lamaran gue hanya biasa aja. Sesuai permintaan gue yang hanya minta di rumah lalu makan-makan aja. Tapi nyokap dan Tante Wanda malah nyewa ballroom untuk acara lamaran gue dan Mas Alvin. Sebenarnya gue sedikit ragu dengan lamaran ini. Gue masih bingung dengan perasaan gue sendiri. Gue belum yakin kalau gue sudah ada rasa suka sama Mas Alvin, tapi rasanya kalau gue di dekat Mas Alvin, merasa nyaman apalagi setelah kejadian gue ketauan di club, perilaku Mas Alvin sama gue jadi gak dingin lagi. Buat gue gak takut berada di dekat dia. Gue milih maju, mengiakan adanya lamaran ini yang terkesan mendadak, persiapan hanya beberapa hari saja. Itu karena nyokap. Jujur gue gak tega mematahkan kebahagiaan nyokap yang begitu bahagia mengetahui Mas Alvin mau lamar gue. Nyokap aja sampe ngasih gue tas yang sudah dia janjiin beberapa minggu lalu. Yang tiap kali gue mau berangkat kampus terus tanya ke m
Mau dibujuk seperti apa pun, gw tetep gak mau melakukan pengobatan apa pun. Gak pa-pa hampir setiap hari merasakan sakit pinggang, badan lemas, muntah-muntah terus, gatal-gatal, dan wajah pucat, yang penting gw mau berjuang mempertahankan anak.“Mba, Salsa mau keluar bentar sama teman-teman,” pamitku sama Mba Diah.“Iya, Mbak. Tadi Mas Alvin udah ngomong kalau mbak mau pergi. Mbak hati-hati ya, jangan capek-capek,” jawab Mba Diah kemudian terdengar suara klakson mobilnya Amel.“Wah, wah, bumil cantik kali, udah siap jalan?” goda Maya.“iya, dong. Gw langsung bertingkah kecentilan “Yuk, berangkat!” seru gw langsung masuk ke mobil.Sudah dua bulanan cuma di rumah doang paling keluar kalau ke kampus itu juga baru-baru belakangan ini dan jarang masuk pula karena kondisi kesehatan gw yang kurang baik.Hari ini gw merasa agak baikan, makanya gw izin mau jalan bareng sama teman-teman. Awalnya sih temen-temen cuma mau main di rumah doang, tapi setelah gw ajak dan izin sama Mas Alvin akhirnya
Rumah sudah ramai banyak orang, ada sahabat-sahabatku, nyokap, mertua dan juga ada Mas David.Clarin adalah satu-satunya orang yang paling marah saat dikasih tahu kabar kehamilan gw."Sa, kenapa sih lo gak dengerin omongan gw. Lo itu gk boleh hamil dulu, kenapa gak pake pengaman si!" kesal Clarin saat kami berempat video call. Wajahnya terlihat jelas kalau dia sangat marah."Rin, lo kenapa marah mengetahui kabar bahagianya Salsa? Dia hamil setelah nikah, bukan hamil di luar nikah, seharusnya kita turut bahagia bukan malah marahin Salsa. Aneh lo!" sahut Amel ikut terselut amarah.Gw yang malas berdebat dengan Clarin memilih mengakhiri video call sepihak. "Makasih ya, yang udah ikut bahagia atas kehamilan gw. Nanti besok gw pulang, gw akhiri panggilan ini ya, dahh."Tut. Panggilan video call berakhir sebelum ada yang menyahut. Gw membiarkan mereka bertiga berdebat. Gw kehilangan tenaga untuk ikut serta ngobrol bareng mereka dan gw bodo amat atas ketidak sukaan Clarin sama gw. Berusaha
Semua dirayakan …. Punya orang tua baik dan berkecukupan, punya sahabat yang sefrekuensi dan baik, punya suami ganteng, mapan, baik, dan gak pelit, punya mertua baik dan peduli, punya ipar juga baik, dan juga mau dikasih keturunan, mau jadi ibu. Hidup gw hampir sempurna walaupun tanpa adanya bokap. Tapi gw pernah mendapatkan kasih sayang yang besar darinya. Itu artinya kehidupanku semuanya dirayakan. Akan tetapi, namanya hidup tidak mungkin tidak ada ujian. Dibalik kebahagiaan itu semua, ada hal yang membuat kebahagiaan itu sirna begitu saja. Seakan dengan ujian ini gw merasa jadi orang yang paling menderita di muka bumi ini. Dari banyaknya manusia di muka bumi ini, kenapa harus gw yang mendapatkan sakit ini? Gw baru saja bahagia, baru bisa ikhlas atas kepergian bokap, baru saja ingin memperbaiki diri, mendekat ke Allah. Tapi kenapa harus mendapatkan ujian seberat ini? Hasil pemeriksaan kandungan, gw memang benar hamil satu bulan. Rasanya bahagia sekali mendengar kabar itu. Tapi
PoV SalsaHalo, Permisah. Ada kabar gembira nih. Kalau hari yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Gw mau honeymoon, Permisah.Gw seneng banget.Setelah melalui hari-hari yang melelahkan akhirnya itu semua berlalu gakk terasa dan gw mendapatkan nilai Uas yang cukup menyenangkan."Hati-hati di sana, ya," pesan nyokap tercinta."Ibu gak usah khawatir. Salsa perginya sama Mas suami, jadi bakal aman sentosa," jawab gw girang.Nyokap hanya tersenyum menanggapinya, sementara dua temenku heboh kegirangan.Mau gw tambahin lagi asyiknya nikah muda. Selain dapat uang jajan banyak dari suami, gw dapat juga waktu bersamaan sama teman-teman yang masih utuh. Maksudnya mereka semua masih lajang, jadi mereka bisa banyak waktu sama gw.Andai kalau mereka udah nikah, mereka pasti sibuk dengan rumah tangganya sendiri. Mereka dengan tulus mau mengantarkan gw ke bandara sampai flight. Seru pokoknya. Hidup gw seakan semua dirayakan. Punya nyokap baik, mertua baik dan punya teman yang super-super pedul
PoV Alvin Hai, aku balik lagi. Mau cerita soal pernikahanku sama Salsa yang sudah berjalan tiga bulan lebih tapi tanpa adanya cinta di dalamnya.Ya, seperti yang pernah aku ceritakan sebelumnya. Hari-hariku selalu dihantui rasa bersalah sama Salsa, Meysha, mertuaku, dan ibuku.Aku sampai bingung sendiri gimana caranya buat ngilangin rasa bersalah ini. Aku ingin hidupku bahagia lagi seperti sebelum menikah. Setelah menikah hidupku banyak tipuannya, pura-pura bahagia di depan orang sekitar.Hari ini hari terakhir Salsa masuk kampus sebelum liburan akhir semester tiba dan itu artinya setelah itu kami berdua mau pergi liburan, lebih tepatnya pergi berbulan madu. Harusnya aku senang karena mau liburan, bisa melepas penat, tapi yang kurasakan malah tertekan.Salsa yang mahir menggoda, membuatku takut lepas kendali. Selama ini aku sudah frustasi sendiri menghindari Salsa supaya kami jarang berhubungan suami istri. Ini malah mau pergi berbulan madu yang artinya aku tidak boleh menghindar dem
Kata Mas Alvin, dia akan pulang jam tigaan. Karena jam tiga gw udah ada di rumah, jadinya gw nungguin kepulangan Mas Alvin di ruang Tv. Dan benar saja, jam tigaan Mas Alvin udah pulang.Langsung aja gw sambut kepulangan suami gw yang ganteng banget itu dengan senyuman hangat."Assalamualaikum," salam Mas Alvin saat baru buka pintu rumah."Wa'alaikumussalam, suaminya Salsa." Gw langsung meraih punggung tangannya untuk disalim lalu langsung mengalungkan tangan di leher Mas Alvin.Muach!Ah, oh my God. Terus saja seperti ini kalau dikecup manja sama Mas Alvin, jantung gw langsung berdetak kencang. Padahal yang dikecup kening tapi efeknya sangat luar biasa.Kami berpelukan mesra beberapa menit sebelum Mas Alvin ngajak gw untuk duduk."Mas pasti capek banget, ya? Mau dibikinin minum apa?" tanya gw lembut dan penuh kasih sayang. Walaupun gw anak nakal, tapi soal pelayanan untuk suami, akan gw beri yang sangat baik. Apalagi pelayanan di atas ranjang, tanpa ragu pasti gw akan memberikan yang s
Gue terbangun karena bunyi hp yang cukup keras. Langsung aja gue raih hp yang berada di atas nakas dan ternyata hp gue berbunyi karena alarm. Langsung aja tak matiin terus gue tidur lagi karena masih ngantuk berat. Toh, nanti kalau Mas Alvin pulang dari masjid, dia akan bangunin gue. Jadi lumayan bisa tidur sebentar.Pintu digedor-gedor terus yang membuat gue terbangun dari tidur. Gue heran kenapa Mas Alvin harus gedor-gedor pintu. Kenapa gak masuk aja terus bangunin gue dengan lembut seperti biasa? Perasaan pintu gak gue kunci deh.Gue milih pura-pura gak denger gedoran pintu biar Mas Alvin masuk terus bangunin gue dengan penuh kasih sayang.Baru aja mau pura-pura masih tidur, di luar sana terdengar suara Mbak Diah. Jelas gue heran dong, kenapa yang gedor-gedor Mbak Diah? Langsung aja gue bangun, dengan gontai jalan menuju pintu.Benar adanya kalau yang gedor-gedor ternyata Mbak Diah bukan Mas Alvin. "Mbak Diah?" kata gue kaget.Mbak Diah tersenyum. "Neng baru bangun?" tanya Mbak Di
PoV Salsa Hai, guys. Hehe, bertemu lagi dengan gue, Salsabila. Gue tuh gak nyangka banget kalau Mas Alvin sebaik itu. Dia beliin gue mobil impian. Mobil, pemirsa. Coba bayangin, mobil impian gue! Nyokap gue aja gak mau beliin mobil karena trauma, takut gue kayak bokap. Namun, Mas Alvin pengertian banget. Dia kayak tau sebenernya gue juga pengen punya mobil pribadi, khusus buat gue, seperti teman-teman gue yang lain. Sayangnya karena ketakutan nyokap, buat gue harus menerimanya. Lalu sekarang gue dapat mobil tanpa harus nunggu gue udah kerja dulu? Ini sesuatu banget bagi gue. Gue yang berpikir akan beli mobil nanti setelah udah cari uang sendiri, nyatanya Allah baik banget, mengirim hambanya yang amat baik untuk gue. Makasih, Ya Allah. Gue terharu banget, sumpah. Pokoknya gue sangat-sangat bahagia tapi gue sangat merasa bersalah sudah menuduh Mas Alvin dan udah marah di hadapan dia. Sebagai tanda maaf dan tanda terima kasih, gue malam ini berdandan cantik dan juga berpakain s
PoV Alvin Hai, aku kembali lagi dan mau cerita lagi. Saat aku sedang duduk di sofa ruang tamu di rumah, lagi menunggu Salsa pulang, tiba-tiba Salsa nelpon. Aku angkat telepon dia dan betapa kagetnya saat tiba-tiba Salsa mematikan sambungan telepon setelah tanya aku di mana. Aku khawatir, takut ada hal buruk menimpanya. Sama sekali aku tidak kepikiran kalau dia marah sama aku karena tidak jadi jalan bareng dia. Pikiranku memang sedang terbagi-bagi. Sedang tidak terlalu fokus. Langsung saja aku meluncur ke kampusnya Salsa. Sampai sana aku tidak menemukan Salsa. Aku makin khawatir, mana aku tidak punya nomornya teman-teman Salsa. Aku datang ke rumah mertua, berharap Salsa ada di sana. Nyatanya tidak ada. Aku makin panik, gelisah tak karuan tapi untungnya aku bisa pasang ekspresi wajah biasa di hadapan mertua. Aku tidak mau mertua ikut khawatir. Namun saat aku mau pamit pulang, tiba-tiba gerbang terbuka dan menampakkan istriku. Detik itu juga hatiku terasa plong. Senyum lebar ku