Gue jalan sambil mati-matian nahan air mata. Coba bayangin aja, orang yang katanya kakak sendiri gak mau disentuh sama gue, jijik sama gue. Emang gue seburuk itu? Gue bukan bangkai atau kotoran. Gue manusia!
Kalau gak boleh, bilang! Gak perlu cara nolak seperti itu. Sudah buang tenaga dan sudah nginjak harga diri gue. Kalau jijik sama gue, bilang! Gue gak bakal susah-susah berusaha hanya untuk cium tangannya.
"Sialan!" umpat gue marah dalam hati.
Sudah hilang rasa sabar gue selama ini, gue diam bukan berarti gue terima atas perlakuan dia selama ini. Dia baik, tapi dia songong.
Kalau benci ke gue, ngomong! Gue gak masalah. Dan gue gak harus berpura-pura baik di depan dia.
"Gue selama ini bertingkah baik ke lu, bukan karena gue takut sama elu. Gue hanya menghargai persahabatan orang tua gue dan orang tua lu yang terjalin baik, sialan. Asal lu tau, itu!" rasanya gue pengin nyerocos di hadapan dia kek gitu. Cuma gue malas dan lebih baik ngedumel di dalam hati.
Tiba-tiba tangan gue dicekal dari belakang sebelum gue sampai halaman rumah. Gue kibaskan tangan dia untuk melepas, terus gue lanjut jalan.
Lagi, dia cekal tangan gue. "Berhenti!" pintanya lalu dengan tenaga yang ia miliki balikin badan gue untuk menghadap ke dia.
"Lepasin!" nyolot gue dengan mata sengaja menghunus tajam ke matanya.
Dia tidak menggubris ucapan gue malah narik gue dibawa ke meja makan terus disuruh duduk. "Sarapan dulu," pintanya dengan suara lembut.
Gue gak nyautin. Rasanya males mau ngucap sekata pun. Bahkan gue tidak mau duduk, memilih berdiri acuh membelakangi Mas Alvin.
"Mas gak bermaksud tidak mau disalamin sama kamu. Tidak. Bukan itu. Maksud Mas, Mas gak mau kamu berangkat dulu, sementara sarapan sudah tersedia di meja. Hanya itu niat Mas. Tapi kamu keburu salah paham sebelum Mas memberitahu," kata Mas Alvin sadar kalau gue marah karena hal itu.
"Kamu adik, Mas. Walau selama ini Mas bersifat dingin sama kamu, bukan berarti Mas benci atau apa pun yang Salsa pikirkan tentang Mas. Tidak. Mas tidak seperti itu. Jadi ...." Mas Alvin megang dua pundak gue dari arah belakang, menyuruh gue duduk di bangku yang baru ditarik ke belakang oleh tangan satunya yang baru diturunkan dari pundak gue.
Gue nurut aja duduk, hati yang tadinya panas, jadi mendingin. Tiba-tiba gitu, rasa amarah gue luntur. Emang dasar wanita, mudah banget berubah moodnya.
"Sekarang kamu sarapan dulu sebelum berangkat kuliah. Kalau berangkat dulu, makan pagi kamu sudah sangat terlewat. Bahkan ini saja sudah lewat dari yang seharusnya." Mas Alvin duduk di kursi sebelah gue.
"Dan ...." Mas Alvin nyendokin nasi goreng ke piring jatah gue. "Kamu harus menghargai usaha orang lain. Kasihan orang yang sudah nyiapin sarapan ini. Dia pagi-pagi sudah perang di dapur bikin sarapan, lalu tidak dimakan. Bagaimana perasaan dia?" Mas Alvin ngadep ke arah gue.
Gue yang lagi menundukan kepala liatin nasi goreng yang ada di hadapan gue, segera menoleh ke arah Mas Alvin, saat tau kalau Mas Alvin lagi ngadep ke arah gue.
"Dia mungkin di depan kamu masang wajah baik-baik saja, tapi kamu tidak tau di belakangnya? Bisa jadi, dia ngedumel, "kalau tau gini lebih baik gak usah masak! Cape-capein aja". Gak enak 'kan kedengeranya? Iya, walau dia digaji untuk melakukan itu, tapi pekerjaan dia 'kan bukan cuma itu saja. Coba kalau tidak masak, mereka bisa ngerjain kerjaan lain. Betul tidak?" lanjut Mas Alvin.
Lalu Mas Alvin menyendok nasi goreng di piringnya yang buat gue kaget karena dia nyedok nasi goreng bukan buat nyuapin dia sendiri, tapi buat gue.
"Aaa," pinta dia sambil mengarahkan sesendok nasi goreng ke mulut gue dan gue yang sanking kagetnya, bukannya buka mulut malah terpaku dengan menatap dia.
***
Karena kejadian tadi, dia yang mau nyuapin gue, membuat sekarang suasana jadi kaku.
Gue yang awalnya mau berangkat sendiri dengan menolak ajakan Mas Alvin yang mau ngantar gue ke kampus, berakhir gue berangkat bareng Mas Alvin.
Bagaimana tidak? Saat gue sampai di halaman, di sana tidak ada Pak Jijat. Biasanya kalau habis nganter nyokap ke kantor, doi pulang lagi untuk nganter gue ke kampus. Lalu kenapa sekarang tidak ada?
Malah adanya supir Tante Wanda— Pak Joni—sedang ngotak-ngatik mobilnya Mas Alvin. Mau pesen ojek online atau taksi online kelamaan, jadilah gue berangkat ke kampus sama Mas Alvin.
"Eng, Mas?" panggil gue dengan noleh ngadep dia, memecah keheningan yang sedari tadi tercipta.
"Hmmm," sahut dia tanpa noleh.
Gue tarik napas pelan dulu sebelum lanjut ngomong. "Menurut Salsa, Mas gak harus seperti ini deh. Maksud Salsa, kata Mas waktu itu jalanin saja dulu, ok jalanin dulu. Tapi Mas jangan terlalu dalam memainkan peran. Biasa aja gitu, gak usah seperti ini. Jemput Salsa, ngajak jalan, terus tadi pagi bangunin Salsa, niat banget pagi-pagi dah ke rumah, dan tadi Mas mau nyuapin Salsa, cuma gara-gara siapa tau Mbak liat terus nanti lapor ke Nyokap.
Menurut Salsa gak harus sampai segitunya. Pura-pura sangat dekat bila kebetulan
kita bertemu dan di saat pas ada Ibu Salsa atau Ibu Mas. Gak harus main peran di belakang mereka." Gue natap serius ke dia.
Coba bayangin, Pemirsa. Tadi, saat kejadian dia mau nyuapin gue dan guenya gak buka-buka mulut, dia minta gue untuk buka mulut lagi. "Aaa."
Gue tepis pelan tangan dia untuk menjauh dan dia nurut langsung naro sendok di piring.
Pala dia maju lebih dekat ke arah gue. Saat itu jantung gue berdegup kencang. Gue kira dia mau nyium gue, ternyata salah.
"Nurut saja, siapa tahu ada Mbak kamu yang memperhatikan kita. Biar dia lihat bagaimana tingkah kita berdua lalu dia lapor ke Tante Mira, bukankah itu bisa buat ringannin pura-pura kita?" bisik dia ke telinga gue.
Gue yang awalnya sudah baper gitu atas tingkah laku baiknya dia, tiba-tiba rasanya pengin marah. Marah pada diri sendiri, bisa semudah itu lho gue baper sama dia. Taunya dia cuma sandiwara. Malu banget gue sama diri sendiri?
"Bukankah lakon yang baik, harus bisa mendalami perannya?" jawab dia sekarang. Semudah itu sambil noleh ke arah gue lalu kembali ke arah depan.
"Tapi gak harus sampai segitunya. Lagian, Mas bukan peran yang mau main film," rajuk gue tidak setuju.
"Nikmati saja, tak perlu banyak protes."
Apa? Nikmati saja, gak harus protes?! Bagaimana bisa? Ini tuh sangat mengganggu!
"Kancing kemeja kamu."
Mulut gue baru saja ingin bersuara memprotes, sudah keduluan sama dia yang memerintah.
Saat ini gue pake celana jeans warna telur asin yang dipadukan dengan kemeja putih yang dimasukan ke dalam celana, lalu dua kancing atas kemeja sengaja gak dikancing, sepatu sneakers warna putih dan rambut sengaja gue cepol sedikit berantakan biar terlihat natural tapi keren. Menurut gue gaya gue oke.
Sekarang disuruh dikancing sama dia. Dia gak tau fashion atau gimana sih?
"Kenapa harus dikancing? Gak mau," tolak gue langsung. Jadi jelek lah kalau dikancing. Gak kebayang gimana gaya gue? Kelihatan anak culun. Oh My God, ogah.
Gue langsung ngadep ke depan. Enak banget ngatur gaya orang!
Pas jalanan ke arah belok, dia membelokan arah laju mobilnya lalu setelah itu ia noleh ngadep gue. "Kamu mau ngampus 'kan? Bukan mau tebar pesona?"
"Iya, lalu apa hubungannya sama baju yang gue pake? Ini 'kan gaya tampilan yang wajar," jawab gue dalam hati.
"Mau kancing sendiri apa dikancingi sama Mas?"
Heoh!
Mas Alvin turun dari mobil setelah sampai di area parkir kampus. Sebelumnya sudah gue larang nganter sampai sini. Tapi dia tidak mau menggubris. Gue siap-siap turun, tidak mau keburu dia mengitari mobil terus bukain pintu untuk gue. "Haa," gumam dia saat gue baru ke luar dari mobil. Entah apa maksud gumaman dia. "Makasih sudah nganter Salsa," kata gue. "Belajar yang bener," sahut Mas Alvin. Gue ngangguk-ngangguk terus salim ke dia, izin pamit. Dia ngusap-ngusap pala gue, pemirsa. Dede lemes. "Alvin ...." Tiba-tiba ada yang manggil nama Mas Alvin. Gue langsung noleh ke arah suara.
PoV Meysha Aku tersenyum tipis dan melambai kecil ke arah pintu kafe yang baru saja dibuka oleh sosok pria gagah rupawan, bertumbuh tinggi, tegap, berpakaian kemeja hitam berlengan panjang yang dipadukan dengan celana pants warna abu-abu tua, dan sepatu pantofel berwarna hitam. Pria itu membalas senyumanku, senyuman dia mengembang, kedua sudut bibirnya tertarik ke atas membuat matanya mengecil membentuk seperti bulan sabit, dan tangannya juga melambai ke arahku. Dia melangkah cepat mendekat ke mejaku. Pria itu kekasihku—namanya Alvin Sanjaya—kami sudah menjalin hubungan selama empat tahun lebih. Pertemuan kali ini berbeda dari pertemuan biasanya. Biasanya kami bertemu untuk temu kangen, menumpahkan rasa rindu. Tapi kali ini, ka
PoV Salsa Malam ini nih gue lagi clubbing bareng temen geng dan juga Bagas. Awalnya kami duduk di satu meja mesen cocktail. Tapi karena Clarin sama Maya udah turun ke dance floor, udah joget-joget binal gak karuan. Akhirnya gue ngajak Amel ikut turun. Awalnya si Bagas nglarang gue, nyuruh gue duduk ngobrol aja sambil ngerokok. Tapi gimana ya, gue gak kuat lihat Maya sama Clarin. Jiwa joget gue minta diluapkan. Gue joget-joget di antara beberapa laki-laki. Sengaja gue goyangnya yang nakal. Asyiknya tuh ada cowok nanggepin gue dan tangan dia melingkar di pinggang gue. Udah deh gue lupa semuanya, dunia malam memang asik buat ngilangin stress. Tapi tiba-tiba orang yang joget ama gue ditarik seseorang terus dipukuli. Gue kira ya
Malam ini nyokap kelihatan seneng banget. Raut wajahnya terpancar kebahagiaan, buat hati gue menghangat. Sudah lama banget gak makan bersama bertiga yang di mana salah satunya pria. Dulu, waktu bokap masih ada, makan bersama seperti sekarang, sering dilakukan bahkan hampir tiap hari. Setelah bokap gak ada, makan bersama di meja makan hanya gue dan nyokap. Berduan saja. Makan malam ini spesial menurut gue. Liat Mas Alvin, gue kaya liat bokap. Memori kebersamaan bokap jadi berputar di otak gue. Jadi kangen bokap. Tuh kan gue sedih. "Lho, kok, Salsa nangis?" Mas Alvin bertanya sambil natap gue. "Makanannya pedas, ya, tapi menurut Mas nggak kok. Menurut Tante pedas gak?" "Nggak, bukan makanannya, tapi Mas yang bikin Salsa nangis." Yang awalnya hanya air mata yang keluar, kini diiringi dengan isakan kenceng. "Mas? Maaf, memang apa yang Mas lakukan sampai buat kamu nangis?" "Mas bik
Sebagai anak satu-satunya, nyokap tidak mau acara lamaran gue hanya biasa aja. Sesuai permintaan gue yang hanya minta di rumah lalu makan-makan aja. Tapi nyokap dan Tante Wanda malah nyewa ballroom untuk acara lamaran gue dan Mas Alvin. Sebenarnya gue sedikit ragu dengan lamaran ini. Gue masih bingung dengan perasaan gue sendiri. Gue belum yakin kalau gue sudah ada rasa suka sama Mas Alvin, tapi rasanya kalau gue di dekat Mas Alvin, merasa nyaman apalagi setelah kejadian gue ketauan di club, perilaku Mas Alvin sama gue jadi gak dingin lagi. Buat gue gak takut berada di dekat dia. Gue milih maju, mengiakan adanya lamaran ini yang terkesan mendadak, persiapan hanya beberapa hari saja. Itu karena nyokap. Jujur gue gak tega mematahkan kebahagiaan nyokap yang begitu bahagia mengetahui Mas Alvin mau lamar gue. Nyokap aja sampe ngasih gue tas yang sudah dia janjiin beberapa minggu lalu. Yang tiap kali gue mau berangkat kampus terus tanya ke m
"Cantik banget kamu, Sa." Clarin berkomentar. "Kayak bukan Salsa deh, ya ampun pangling sekali kakak gue." Amel ikut berkomentar. "Duh, ini calon istri Bang Vin." Sekarang Maya yang berkomentar. Baru saja gue selesai dimake up oleh MUA yang dipesan nyokap. Gue sangat berterima kasih dengan orang yang rias, mata bengkak gue jejak habis menangis bisa tertutupi dengan make up. "Sudah siap, sayang?" Nyokap masuk ke kamar menghampiri. Gue ngangguk. "Anak Ibu cantik banget." Nyokap mengusap lengan baru kemudian beliau ngajak untuk ke tempat acara. Sedari tadi gue udah deg-degan banget, sumpah. Padahal waktu ketemu Mas Alvin mengantar ke makam, gue biasa aja. Tapi sekarang jantung gue memompa tidak semestinya, bahkan lebih dari saat gue di make up. Susunan acara sudah mulai hingga akan di waktu intinya, yaitu menemukan gue dengan Mas Alvin. Saat sang MC wanita mengintro agar gue masuk ke dalam r
Sesampainya di kamar hotel, kami berempat sama-sama membersihkan make up bersama sambil ngobrol dan bercanda. Tidak ada yang mandi, semuanya termasuk kategori orang malas. Selesai membersihkan make up kami cuma ganti baju terus tiduran di atas king bed. Sebelum hari ini, teman-teman gue sudah boking ke nyokap kalau pesan kamar jangan yang double bed tapi yang king bed saja. Kata mereka biar puas waktu kebersamaannya sama gue yang sebentar lagi akan nikah dan akan sulit untuk tidur bersama lagi. Mustahil kalau orang empat kumpul terus bisa tidur cepat, yang ada kami malah lanjut ngobrol dan bercanda. Seperti saat ini, sudah tidurannya tak beraturan, ada yang kakinya ke atas kepala ranjang, ada juga yang tiduran tepat di samping pantat, kayak gue tidur tepat di samping pantat Clarin. "Guys, ini 'kan kita tidur bersama nih, nanti kalau Salsa habis nikah, kita ikut tidur bareng aja, ya, lihat malam pertamanya Salsa sama Bang Alvin, s
"Lepaskan!" Bagas memerintah Mas Alvin untuk lepasin gue. "Siapa, lo?" Mas Alvin menolak, membawa gue di belakang tubuhnya. "Gue memang bukan siapa-siapanya Salsa, tapi gue orang yang sayang sama Salsa. Jadi, gue berhak larang lo bawa Salsa." Mas Alvin tersenyum sinis, "Lo cuma orang yang sayang, sementara gue calon suaminya. Catat baik-baik, CALON SUAMINYA!" Mas menjawab dengan penuh penekanan pas di kata calon suaminya. "Calon suami yang dijodohin maksud lo?" Bagas ketawa mengejek. "Lo tuh cowok, dah dewasa pula, lo harusnya punya pikiran yang jauh bukan pendek menerima perjodohan itu. Mikir! Kalau Salsa itu terpaksa mau nerima perjodohan ini. Lo harusnya mikir bagaimana kedepannya, bagaimana nasib Salsa hidup penuh keterpaksaan." "Iya, betul, gue dan Salsa menikah karena dijodohin. Tapi asal lo tau, Salsa sudah punya perasaan suka sama gue. Gue gak maksa agar Salsa mau menerima, tapi dia sendiri yang menerima." Mas Alvin
Mau dibujuk seperti apa pun, gw tetep gak mau melakukan pengobatan apa pun. Gak pa-pa hampir setiap hari merasakan sakit pinggang, badan lemas, muntah-muntah terus, gatal-gatal, dan wajah pucat, yang penting gw mau berjuang mempertahankan anak.“Mba, Salsa mau keluar bentar sama teman-teman,” pamitku sama Mba Diah.“Iya, Mbak. Tadi Mas Alvin udah ngomong kalau mbak mau pergi. Mbak hati-hati ya, jangan capek-capek,” jawab Mba Diah kemudian terdengar suara klakson mobilnya Amel.“Wah, wah, bumil cantik kali, udah siap jalan?” goda Maya.“iya, dong. Gw langsung bertingkah kecentilan “Yuk, berangkat!” seru gw langsung masuk ke mobil.Sudah dua bulanan cuma di rumah doang paling keluar kalau ke kampus itu juga baru-baru belakangan ini dan jarang masuk pula karena kondisi kesehatan gw yang kurang baik.Hari ini gw merasa agak baikan, makanya gw izin mau jalan bareng sama teman-teman. Awalnya sih temen-temen cuma mau main di rumah doang, tapi setelah gw ajak dan izin sama Mas Alvin akhirnya
Rumah sudah ramai banyak orang, ada sahabat-sahabatku, nyokap, mertua dan juga ada Mas David.Clarin adalah satu-satunya orang yang paling marah saat dikasih tahu kabar kehamilan gw."Sa, kenapa sih lo gak dengerin omongan gw. Lo itu gk boleh hamil dulu, kenapa gak pake pengaman si!" kesal Clarin saat kami berempat video call. Wajahnya terlihat jelas kalau dia sangat marah."Rin, lo kenapa marah mengetahui kabar bahagianya Salsa? Dia hamil setelah nikah, bukan hamil di luar nikah, seharusnya kita turut bahagia bukan malah marahin Salsa. Aneh lo!" sahut Amel ikut terselut amarah.Gw yang malas berdebat dengan Clarin memilih mengakhiri video call sepihak. "Makasih ya, yang udah ikut bahagia atas kehamilan gw. Nanti besok gw pulang, gw akhiri panggilan ini ya, dahh."Tut. Panggilan video call berakhir sebelum ada yang menyahut. Gw membiarkan mereka bertiga berdebat. Gw kehilangan tenaga untuk ikut serta ngobrol bareng mereka dan gw bodo amat atas ketidak sukaan Clarin sama gw. Berusaha
Semua dirayakan …. Punya orang tua baik dan berkecukupan, punya sahabat yang sefrekuensi dan baik, punya suami ganteng, mapan, baik, dan gak pelit, punya mertua baik dan peduli, punya ipar juga baik, dan juga mau dikasih keturunan, mau jadi ibu. Hidup gw hampir sempurna walaupun tanpa adanya bokap. Tapi gw pernah mendapatkan kasih sayang yang besar darinya. Itu artinya kehidupanku semuanya dirayakan. Akan tetapi, namanya hidup tidak mungkin tidak ada ujian. Dibalik kebahagiaan itu semua, ada hal yang membuat kebahagiaan itu sirna begitu saja. Seakan dengan ujian ini gw merasa jadi orang yang paling menderita di muka bumi ini. Dari banyaknya manusia di muka bumi ini, kenapa harus gw yang mendapatkan sakit ini? Gw baru saja bahagia, baru bisa ikhlas atas kepergian bokap, baru saja ingin memperbaiki diri, mendekat ke Allah. Tapi kenapa harus mendapatkan ujian seberat ini? Hasil pemeriksaan kandungan, gw memang benar hamil satu bulan. Rasanya bahagia sekali mendengar kabar itu. Tapi
PoV SalsaHalo, Permisah. Ada kabar gembira nih. Kalau hari yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Gw mau honeymoon, Permisah.Gw seneng banget.Setelah melalui hari-hari yang melelahkan akhirnya itu semua berlalu gakk terasa dan gw mendapatkan nilai Uas yang cukup menyenangkan."Hati-hati di sana, ya," pesan nyokap tercinta."Ibu gak usah khawatir. Salsa perginya sama Mas suami, jadi bakal aman sentosa," jawab gw girang.Nyokap hanya tersenyum menanggapinya, sementara dua temenku heboh kegirangan.Mau gw tambahin lagi asyiknya nikah muda. Selain dapat uang jajan banyak dari suami, gw dapat juga waktu bersamaan sama teman-teman yang masih utuh. Maksudnya mereka semua masih lajang, jadi mereka bisa banyak waktu sama gw.Andai kalau mereka udah nikah, mereka pasti sibuk dengan rumah tangganya sendiri. Mereka dengan tulus mau mengantarkan gw ke bandara sampai flight. Seru pokoknya. Hidup gw seakan semua dirayakan. Punya nyokap baik, mertua baik dan punya teman yang super-super pedul
PoV Alvin Hai, aku balik lagi. Mau cerita soal pernikahanku sama Salsa yang sudah berjalan tiga bulan lebih tapi tanpa adanya cinta di dalamnya.Ya, seperti yang pernah aku ceritakan sebelumnya. Hari-hariku selalu dihantui rasa bersalah sama Salsa, Meysha, mertuaku, dan ibuku.Aku sampai bingung sendiri gimana caranya buat ngilangin rasa bersalah ini. Aku ingin hidupku bahagia lagi seperti sebelum menikah. Setelah menikah hidupku banyak tipuannya, pura-pura bahagia di depan orang sekitar.Hari ini hari terakhir Salsa masuk kampus sebelum liburan akhir semester tiba dan itu artinya setelah itu kami berdua mau pergi liburan, lebih tepatnya pergi berbulan madu. Harusnya aku senang karena mau liburan, bisa melepas penat, tapi yang kurasakan malah tertekan.Salsa yang mahir menggoda, membuatku takut lepas kendali. Selama ini aku sudah frustasi sendiri menghindari Salsa supaya kami jarang berhubungan suami istri. Ini malah mau pergi berbulan madu yang artinya aku tidak boleh menghindar dem
Kata Mas Alvin, dia akan pulang jam tigaan. Karena jam tiga gw udah ada di rumah, jadinya gw nungguin kepulangan Mas Alvin di ruang Tv. Dan benar saja, jam tigaan Mas Alvin udah pulang.Langsung aja gw sambut kepulangan suami gw yang ganteng banget itu dengan senyuman hangat."Assalamualaikum," salam Mas Alvin saat baru buka pintu rumah."Wa'alaikumussalam, suaminya Salsa." Gw langsung meraih punggung tangannya untuk disalim lalu langsung mengalungkan tangan di leher Mas Alvin.Muach!Ah, oh my God. Terus saja seperti ini kalau dikecup manja sama Mas Alvin, jantung gw langsung berdetak kencang. Padahal yang dikecup kening tapi efeknya sangat luar biasa.Kami berpelukan mesra beberapa menit sebelum Mas Alvin ngajak gw untuk duduk."Mas pasti capek banget, ya? Mau dibikinin minum apa?" tanya gw lembut dan penuh kasih sayang. Walaupun gw anak nakal, tapi soal pelayanan untuk suami, akan gw beri yang sangat baik. Apalagi pelayanan di atas ranjang, tanpa ragu pasti gw akan memberikan yang s
Gue terbangun karena bunyi hp yang cukup keras. Langsung aja gue raih hp yang berada di atas nakas dan ternyata hp gue berbunyi karena alarm. Langsung aja tak matiin terus gue tidur lagi karena masih ngantuk berat. Toh, nanti kalau Mas Alvin pulang dari masjid, dia akan bangunin gue. Jadi lumayan bisa tidur sebentar.Pintu digedor-gedor terus yang membuat gue terbangun dari tidur. Gue heran kenapa Mas Alvin harus gedor-gedor pintu. Kenapa gak masuk aja terus bangunin gue dengan lembut seperti biasa? Perasaan pintu gak gue kunci deh.Gue milih pura-pura gak denger gedoran pintu biar Mas Alvin masuk terus bangunin gue dengan penuh kasih sayang.Baru aja mau pura-pura masih tidur, di luar sana terdengar suara Mbak Diah. Jelas gue heran dong, kenapa yang gedor-gedor Mbak Diah? Langsung aja gue bangun, dengan gontai jalan menuju pintu.Benar adanya kalau yang gedor-gedor ternyata Mbak Diah bukan Mas Alvin. "Mbak Diah?" kata gue kaget.Mbak Diah tersenyum. "Neng baru bangun?" tanya Mbak Di
PoV Salsa Hai, guys. Hehe, bertemu lagi dengan gue, Salsabila. Gue tuh gak nyangka banget kalau Mas Alvin sebaik itu. Dia beliin gue mobil impian. Mobil, pemirsa. Coba bayangin, mobil impian gue! Nyokap gue aja gak mau beliin mobil karena trauma, takut gue kayak bokap. Namun, Mas Alvin pengertian banget. Dia kayak tau sebenernya gue juga pengen punya mobil pribadi, khusus buat gue, seperti teman-teman gue yang lain. Sayangnya karena ketakutan nyokap, buat gue harus menerimanya. Lalu sekarang gue dapat mobil tanpa harus nunggu gue udah kerja dulu? Ini sesuatu banget bagi gue. Gue yang berpikir akan beli mobil nanti setelah udah cari uang sendiri, nyatanya Allah baik banget, mengirim hambanya yang amat baik untuk gue. Makasih, Ya Allah. Gue terharu banget, sumpah. Pokoknya gue sangat-sangat bahagia tapi gue sangat merasa bersalah sudah menuduh Mas Alvin dan udah marah di hadapan dia. Sebagai tanda maaf dan tanda terima kasih, gue malam ini berdandan cantik dan juga berpakain s
PoV Alvin Hai, aku kembali lagi dan mau cerita lagi. Saat aku sedang duduk di sofa ruang tamu di rumah, lagi menunggu Salsa pulang, tiba-tiba Salsa nelpon. Aku angkat telepon dia dan betapa kagetnya saat tiba-tiba Salsa mematikan sambungan telepon setelah tanya aku di mana. Aku khawatir, takut ada hal buruk menimpanya. Sama sekali aku tidak kepikiran kalau dia marah sama aku karena tidak jadi jalan bareng dia. Pikiranku memang sedang terbagi-bagi. Sedang tidak terlalu fokus. Langsung saja aku meluncur ke kampusnya Salsa. Sampai sana aku tidak menemukan Salsa. Aku makin khawatir, mana aku tidak punya nomornya teman-teman Salsa. Aku datang ke rumah mertua, berharap Salsa ada di sana. Nyatanya tidak ada. Aku makin panik, gelisah tak karuan tapi untungnya aku bisa pasang ekspresi wajah biasa di hadapan mertua. Aku tidak mau mertua ikut khawatir. Namun saat aku mau pamit pulang, tiba-tiba gerbang terbuka dan menampakkan istriku. Detik itu juga hatiku terasa plong. Senyum lebar ku