Ailyn tengah menelepon Mohan dan menanyakan kabar. Sudah tiga hari di Jepang, wanita itu menikmati liburan dengan penuh sukacita.
“Jangan khawatirkan Ayah. Di sini Ayah bekerja sebagai sopir truk. Lumayan, daripada berjudi lagi,” kata Mohan, membuat Ailyn merasa lega.Setidaknya, ia tak perlu khawatir Mohan akan mencuri atau melakukan kejahatan untuk melunasi hutang, andai berjudi lagi.“Syukurlah kalau begitu. Nanti kita bicara lagi.” Ailyn membiarkan Karan memeluknya dari belakang. Pria itu memiringkan kepala, bersandar pada pundak sang istri.“Sudah bicara dengan Ayah?” tanyanya. Ailyn mengangguk. Dilemparnya ponsel ke ranjang, lalu membalikkan badan.“Kau tidak menelepon Kiran? Dia pasti rindu. Aku khawatir terjadi sesuatu di rumah,” ujar Ailyn, membalas pelukan.“Sudah tadi. Aku rasa, Tante ingin membuatnya tak betah, makanya mulai memengaruhi.” Karan melangkah pelan, membuat Ailyn mengikuti gerakannya.Hari ini Karan dan Ailyn mendapat undangan dari salah satu rekan bisnis yang kebetulan menyelenggarakan acara di hotel Jepang. Keduanya berniat berangkat lebih awal karena cukup jauh dan belum hafal daerah sekitar. “Karan, apa kau yakin aku akan cantik memakai gaun ini?” Ailyn bertanya sambil memerhatikan pantulan dirinya di cermin. Gaun panjang berwarna merah terlihat pas di tubuhnya yang ramping. Dengan bagian belakang yang sedikit bolong dan memerlihatkan punggung. “Kau ... luar biasa!” Karan mengacungkan dua jempol sekaligus. Pria itu memilih setelan jas berwarna abu-abu tua, dipadukan dengan dasi berwarna biru mengkilap. Karan menggenggam tangan Ailyn menuju ke parkiran. Mereka pun segera menuju ke hotel yang sudah ditentukan. Satu jam kemudian .... Sampailah mereka di hotel. Seorang pria dewasa sekitar umur 30-an melambaikan tangan pada Karan yang baru masuk. “Hai, kau sampai juga akhirnya.” Pria
Ailyn yang merasa tak tahan, meletakkan gelas dan berniat kembali duduk bersama Karan. Sayangnya, Zamaan menahan dengan pura-pura mengajaknya berkenalan. “Kau tentu tidak keberatan kalau aku mengajak berkenalan, kan? Perkenalkan, namaku Zamaan. Maaf kalau caraku bicara bahasamu sedikit kaku.” Zamaan mengulurkan tangan. Mau tak mau, Ailyn terpaksa menyambut uluran tangan itu dengan senyum palsu. “Tentu tidak. Namaku Ailyn.” Wanita itu langsung menarik tangannya lagi. Dilihatnya Karan yang sejak tadi serius berbincang, kini menoleh padanya. “Kau ... sudah lama menikah? Aku tak tahu kalau CEO itu sudah beristri wanita cantik sepertimu.” Zamaan memuji sambil menatap tubuh Ailyn. “Belum dua bulanan. Ah, aku ke sana dulu.” Ailyn sedikit membungkuk, berusaha terlihat ramah. Namun, lagi-lagi Zamaan mencegah. “Jangan buru-buru. Aku hanya ingin tahu tentangmu.” Pria itu mengintip bagian belakang tubuh Ailyn, membuat wanita itu
Pergi ke Jepang tanpa mengunjungi taman-taman bersejarah tentu kurang asyik. Maka dari itulah Karan mengajak Ailyn mampir ke salah satu teman yang sangat recommended. “Apa aku terlihat cantik dengan pakaian ini?” Ailyn memerhatikan seluruh tubuh, di mana dia dan sang suami kompak menggunakan pakaian adat Jepang. “Kau cantik memakai apa pun,” jawab Karan, merapikan pakaian. Karena akan mengunjungi taman-taman bersejarah, mereka memilih menyewa Yukata dan Kimono yang ada di Suizenji Jojuen di Kota Kumamoto, Prefektur Kumamoto. Kimono yang dikenal saat ini tentu hasil modifikasi pada zaman Heian. Tak heran, Ailyn dan Karan dapat melihat banyaknya jenis dan warna yang mencolok. Apa yang dipakai mereka memang terasa aneh karena ini baru pertama kali. “Kenapa kau malah pakai yang warna hitam?” Ailyn merasa aneh saat melihat Jovan muncul dengan kimono berwarna hitam dan polos. “Apa ini ... aneh?” Jovan yang tak be
Malam yang cukup indah, di mana Karan sudah menyiapkan makan malam romantis di balkon kamar hotel tempatnya menginap. Pria itu membawa Ailyn yang memakai gaun berwarna biru dengan motif bunga dan merak menuju ke balkon. “Wah, siapa yang menyiapkan semua ini?” Ailyn membiarkan Karan menarikkan kursi untuknya agar duduk. “Aku,” jawab Karan, duduk di depan Ailyn yang memerhatikan langit malam bertabur bintang. Sangat indah dan cocok dengan ditemani cahaya lilin di sekeliling. “Bohong! Kau bersamaku sejak kita pulang dari taman dan makan ramen. Ini pasti Jovan yang menyiapkan,” ujar Ailyn, mengibaskan rambutnya. “Memang dia yang menyiapkan, tapi aku yang punya ide.” Karan sedikit merungut, tak suka dengan apa yang istrinya katakan. “Baiklah, baiklah suamiku yang tampan.” Ailyn mencubit pipi Karan, membuatnya hanya meringis. Karan bersikap keren dengan menepuk tangan tiga kali. Tak berapa lama, Jovan muncul memb
“Karan, tunggu!” Bella yang mengenakan celana panjang, memudahkannya untuk berlari mengejar Karan. Pria itu mengumpat, memasuki kamar di mana Jovan menginap. Asistennya yang baru hendak membuka pintu, langsung mundur keheranan. Dilihatnya Karan buru-buru mengunci pintu. Tak dihiraukan ketukan pintu, di mana Bella terus memaksa untuk masuk dan memanggilnya. “Karan, buka! Kita harus bicara! Karan!” Bella menjerit, membuat beberapa orang yang melintas memerhatikan. Wanita itu tak peduli, yang penting Karan keluar. “Tuan, apa yang terjadi? Siapa di luar?” tanya Jovan, membiarkan Karan mengintip dari lubang kecil di pintu. “Teman lama kita, Bella. Entah apa yang membuatnya sampai berada di sini.” Karan mengusap dagu. “Pasti dia ada hubungannya dengan Farel,” kata Jovan. Serta-merta wajah Karan berubah, tak mengerti kenapa Bella bisa ada sangkut-pautnya dengan Farel. Jovan menghela napas, mempersilakan Karan untu
Zamaan menghubungi Nayden untuk meminta bantuan. Sayangnya, Nayden berpihak pada Alex karena merasa lebih dianggap keluarga, bukan seperti Zamaan yang terkesan hanya memanfaatkan. “Ini masalah pribadimu. Sama sekali tidak ada sangkut-pautnya denganku. Aku dan Alex berteman jauh sebelum mengenalmu. Jadi, maaf-maaf saja.” Kalimat itu terngiang-ngiang di telinganya. Nayden dianggap pengecut dan tak bisa diandalkan. Sejak Alex menolak memberi gadis-gadis padanya untuk dijual, Zamaan merancang siasat untuk balas dendam. “Aku tidak mau tahu! Kalian harus datang sekarang juga dan bantu aku mengalahkan Alex!” titahnya pada seseorang yang kini membelakangi. “Berani bayar berapa? Ingat, Zamaan! Kau bukan lagi seorang polisi yang bisa memerintah dan bertindak seenaknya.” Seseorang itu mengingatkan bahwa kini posisi Zamaan tak lebih dari warga biasa sebab telah dipecat dari kepolisian dengan tidak hormat karena lalai dalam tugas.
"Kau serius membuat Ailyn marah?” Alex tersenyum puas mendengar Bella mengatakan ia berhasil membuat Ailyn pergi setelah melihatnya mengecup Karan. “Tentu. Aku yakin, mereka pasti sebentar lagi akan bertengkar.” Bella melipat kaki kanan dan kaki kiri, bersila. Wanita itu percaya diri telah melakukan tugasnya dengan baik. “Ini kabar gembira. Aku tak sabar ingin segera tahu. Apa mereka benar-benar akan pulang?” tanya Alex. “Ya. Aku lihat asistennya itu memasukkan koper ke dalam bagasi mobil. Mungkin karena kejadian malam itu mereka memutuskan untuk pulang,” papar Bella. Alex manggut-manggut, menghisap rokok sampai asap mengepul. Dilihatnya Yuki-Kun memasuki ruangan di mana mereka biasa duduk bersila. Bella melirik ponsel. Ia melihat panggilan masuk dari Kusuma, dan terpaksa harus mengangkatnya. “Aku permisi dulu,” ujarnya. Alex hanya menoleh. “Iya, Tuan.” Bella berdiri di depan rumah ala Jepang itu. “Di mana kau? B
Kusuma memerhatikan seluruh ruang kerja Karan. Apa dia melewatkan sesuatu? Pria itu berdiri mematung dengan kedua tangan di pinggang. “Di mana Karan meletakkan berkas untuk cabang perusahaan? Biasanya di lemari samping, tapi tidak ada.” Digaruknya bibir dengan jari telunjuk. Selalunya Karan meletakkan berkas sesuai urutan rapat atau kepentingan. Namun, berkali-kali diperiksa, Kusuma tidak menemukan berkas yang dicari. Menurutnya, tidak mungkin Karan akan membawa berkas penting saat liburan. Kalaupun ia, pasti ada yang tahu. “Kalau Farel tidak tahu, tidak mungkin Bella tahu. Dia datang setelah Karan pergi.” Kusuma merasa ada yang aneh. “Aku akan mengecek CCTV.” Berbalik ia hendak memeriksa. Namun, Farel yang sejak tadi bersembunyi di balik pintu dan mendengarkan, buru-buru menyusun rencana. “Kau di sini?” Kusuma menutup pintu. “Iya, Pa. Rencananya hari ini Farel ingin membahas mengenai sampel penelitian parfum. Ap