Farel menunjukkan rekaman saat dia meminta Bella menceritakan tentang Karan selama mereka berteman. Yunita manggut-manggut, mendengarkan dengan teliti.
“Kita bisa gunakan Bella untuk menghancurkan Karan. Kita minta dia menyusul ke Bali dan mengatakan kalau dia dan Karan ada hubungan spesial,” ujar Yunita.“Tapi, Bella bilang hanya dia yang suka, sementara Karan tidak memberi kejelasan hubungan. Nanti dia curiga."Farel membuat Yunita memikirkan sekali lagi tentang rencananya. “Bagaimana dengan berkas yang Mama minta?"Farel menunjukkan foto berisi berkas-berkas penting yang ia dapatkan dari ruangan Karan.Yunita tersenyum lebar. Dengan demikian, mereka bisa melakukan sesuatu jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.“Ma, mana Kiran?” Kusuma muncul sambil membawa balon.“Mungkin di kamarnya.” Yunita menjawab sambil memerhatikan balon di tangan kanan sang suami.Kusuma diam, lalu menuju ke kamar Karan.Ailyn tengah menelepon Mohan dan menanyakan kabar. Sudah tiga hari di Jepang, wanita itu menikmati liburan dengan penuh sukacita. “Jangan khawatirkan Ayah. Di sini Ayah bekerja sebagai sopir truk. Lumayan, daripada berjudi lagi,” kata Mohan, membuat Ailyn merasa lega. Setidaknya, ia tak perlu khawatir Mohan akan mencuri atau melakukan kejahatan untuk melunasi hutang, andai berjudi lagi. “Syukurlah kalau begitu. Nanti kita bicara lagi.” Ailyn membiarkan Karan memeluknya dari belakang. Pria itu memiringkan kepala, bersandar pada pundak sang istri. “Sudah bicara dengan Ayah?” tanyanya. Ailyn mengangguk. Dilemparnya ponsel ke ranjang, lalu membalikkan badan. “Kau tidak menelepon Kiran? Dia pasti rindu. Aku khawatir terjadi sesuatu di rumah,” ujar Ailyn, membalas pelukan. “Sudah tadi. Aku rasa, Tante ingin membuatnya tak betah, makanya mulai memengaruhi.” Karan melangkah pelan, membuat Ailyn mengikuti gerakannya.
Hari ini Karan dan Ailyn mendapat undangan dari salah satu rekan bisnis yang kebetulan menyelenggarakan acara di hotel Jepang. Keduanya berniat berangkat lebih awal karena cukup jauh dan belum hafal daerah sekitar. “Karan, apa kau yakin aku akan cantik memakai gaun ini?” Ailyn bertanya sambil memerhatikan pantulan dirinya di cermin. Gaun panjang berwarna merah terlihat pas di tubuhnya yang ramping. Dengan bagian belakang yang sedikit bolong dan memerlihatkan punggung. “Kau ... luar biasa!” Karan mengacungkan dua jempol sekaligus. Pria itu memilih setelan jas berwarna abu-abu tua, dipadukan dengan dasi berwarna biru mengkilap. Karan menggenggam tangan Ailyn menuju ke parkiran. Mereka pun segera menuju ke hotel yang sudah ditentukan. Satu jam kemudian .... Sampailah mereka di hotel. Seorang pria dewasa sekitar umur 30-an melambaikan tangan pada Karan yang baru masuk. “Hai, kau sampai juga akhirnya.” Pria
Ailyn yang merasa tak tahan, meletakkan gelas dan berniat kembali duduk bersama Karan. Sayangnya, Zamaan menahan dengan pura-pura mengajaknya berkenalan. “Kau tentu tidak keberatan kalau aku mengajak berkenalan, kan? Perkenalkan, namaku Zamaan. Maaf kalau caraku bicara bahasamu sedikit kaku.” Zamaan mengulurkan tangan. Mau tak mau, Ailyn terpaksa menyambut uluran tangan itu dengan senyum palsu. “Tentu tidak. Namaku Ailyn.” Wanita itu langsung menarik tangannya lagi. Dilihatnya Karan yang sejak tadi serius berbincang, kini menoleh padanya. “Kau ... sudah lama menikah? Aku tak tahu kalau CEO itu sudah beristri wanita cantik sepertimu.” Zamaan memuji sambil menatap tubuh Ailyn. “Belum dua bulanan. Ah, aku ke sana dulu.” Ailyn sedikit membungkuk, berusaha terlihat ramah. Namun, lagi-lagi Zamaan mencegah. “Jangan buru-buru. Aku hanya ingin tahu tentangmu.” Pria itu mengintip bagian belakang tubuh Ailyn, membuat wanita itu
Pergi ke Jepang tanpa mengunjungi taman-taman bersejarah tentu kurang asyik. Maka dari itulah Karan mengajak Ailyn mampir ke salah satu teman yang sangat recommended. “Apa aku terlihat cantik dengan pakaian ini?” Ailyn memerhatikan seluruh tubuh, di mana dia dan sang suami kompak menggunakan pakaian adat Jepang. “Kau cantik memakai apa pun,” jawab Karan, merapikan pakaian. Karena akan mengunjungi taman-taman bersejarah, mereka memilih menyewa Yukata dan Kimono yang ada di Suizenji Jojuen di Kota Kumamoto, Prefektur Kumamoto. Kimono yang dikenal saat ini tentu hasil modifikasi pada zaman Heian. Tak heran, Ailyn dan Karan dapat melihat banyaknya jenis dan warna yang mencolok. Apa yang dipakai mereka memang terasa aneh karena ini baru pertama kali. “Kenapa kau malah pakai yang warna hitam?” Ailyn merasa aneh saat melihat Jovan muncul dengan kimono berwarna hitam dan polos. “Apa ini ... aneh?” Jovan yang tak be
Malam yang cukup indah, di mana Karan sudah menyiapkan makan malam romantis di balkon kamar hotel tempatnya menginap. Pria itu membawa Ailyn yang memakai gaun berwarna biru dengan motif bunga dan merak menuju ke balkon. “Wah, siapa yang menyiapkan semua ini?” Ailyn membiarkan Karan menarikkan kursi untuknya agar duduk. “Aku,” jawab Karan, duduk di depan Ailyn yang memerhatikan langit malam bertabur bintang. Sangat indah dan cocok dengan ditemani cahaya lilin di sekeliling. “Bohong! Kau bersamaku sejak kita pulang dari taman dan makan ramen. Ini pasti Jovan yang menyiapkan,” ujar Ailyn, mengibaskan rambutnya. “Memang dia yang menyiapkan, tapi aku yang punya ide.” Karan sedikit merungut, tak suka dengan apa yang istrinya katakan. “Baiklah, baiklah suamiku yang tampan.” Ailyn mencubit pipi Karan, membuatnya hanya meringis. Karan bersikap keren dengan menepuk tangan tiga kali. Tak berapa lama, Jovan muncul memb
“Karan, tunggu!” Bella yang mengenakan celana panjang, memudahkannya untuk berlari mengejar Karan. Pria itu mengumpat, memasuki kamar di mana Jovan menginap. Asistennya yang baru hendak membuka pintu, langsung mundur keheranan. Dilihatnya Karan buru-buru mengunci pintu. Tak dihiraukan ketukan pintu, di mana Bella terus memaksa untuk masuk dan memanggilnya. “Karan, buka! Kita harus bicara! Karan!” Bella menjerit, membuat beberapa orang yang melintas memerhatikan. Wanita itu tak peduli, yang penting Karan keluar. “Tuan, apa yang terjadi? Siapa di luar?” tanya Jovan, membiarkan Karan mengintip dari lubang kecil di pintu. “Teman lama kita, Bella. Entah apa yang membuatnya sampai berada di sini.” Karan mengusap dagu. “Pasti dia ada hubungannya dengan Farel,” kata Jovan. Serta-merta wajah Karan berubah, tak mengerti kenapa Bella bisa ada sangkut-pautnya dengan Farel. Jovan menghela napas, mempersilakan Karan untu
Zamaan menghubungi Nayden untuk meminta bantuan. Sayangnya, Nayden berpihak pada Alex karena merasa lebih dianggap keluarga, bukan seperti Zamaan yang terkesan hanya memanfaatkan. “Ini masalah pribadimu. Sama sekali tidak ada sangkut-pautnya denganku. Aku dan Alex berteman jauh sebelum mengenalmu. Jadi, maaf-maaf saja.” Kalimat itu terngiang-ngiang di telinganya. Nayden dianggap pengecut dan tak bisa diandalkan. Sejak Alex menolak memberi gadis-gadis padanya untuk dijual, Zamaan merancang siasat untuk balas dendam. “Aku tidak mau tahu! Kalian harus datang sekarang juga dan bantu aku mengalahkan Alex!” titahnya pada seseorang yang kini membelakangi. “Berani bayar berapa? Ingat, Zamaan! Kau bukan lagi seorang polisi yang bisa memerintah dan bertindak seenaknya.” Seseorang itu mengingatkan bahwa kini posisi Zamaan tak lebih dari warga biasa sebab telah dipecat dari kepolisian dengan tidak hormat karena lalai dalam tugas.
"Kau serius membuat Ailyn marah?” Alex tersenyum puas mendengar Bella mengatakan ia berhasil membuat Ailyn pergi setelah melihatnya mengecup Karan. “Tentu. Aku yakin, mereka pasti sebentar lagi akan bertengkar.” Bella melipat kaki kanan dan kaki kiri, bersila. Wanita itu percaya diri telah melakukan tugasnya dengan baik. “Ini kabar gembira. Aku tak sabar ingin segera tahu. Apa mereka benar-benar akan pulang?” tanya Alex. “Ya. Aku lihat asistennya itu memasukkan koper ke dalam bagasi mobil. Mungkin karena kejadian malam itu mereka memutuskan untuk pulang,” papar Bella. Alex manggut-manggut, menghisap rokok sampai asap mengepul. Dilihatnya Yuki-Kun memasuki ruangan di mana mereka biasa duduk bersila. Bella melirik ponsel. Ia melihat panggilan masuk dari Kusuma, dan terpaksa harus mengangkatnya. “Aku permisi dulu,” ujarnya. Alex hanya menoleh. “Iya, Tuan.” Bella berdiri di depan rumah ala Jepang itu. “Di mana kau? B
“Om adalah teman Papamu. Ambil ini dan berikan pada Ailyn.” Pria itu menyerahkan kado kecil pada Kiran. “Ini apa, Om?” tanyanya dengan polos. “Berikan saja, ya. Kiran kan anak baik.” Pria itu mengelus pipi dan kepala Kiran. Setelah itu, ia menghilang dari pandangan. Heran dengan kado kecil itu, Kiran meletakkan mangkok dan berlari mendekati Ailyn. “Kak, ini untuk Kakak,” katanya. “Wah, ini apa, Sayang?” Ailyn tersenyum, menerima kado itu. Kiran menaikkan pundak. “Entah. Tadi ada pria, katanya teman Papa. Dia nyuruh Kiran memberikannya pada Kakak.” “Apa?” Ailyn terkejut. Dilihatnya sekeliling. Tidak ada wajah yang mencurigakan. Lalu, siapa pengirimnya? Dibukanya kado yang ternyata berisi surat. Jantung Ailyn berdebar hebat. Rasa takut yang sejak beberapa hari dirasakan, ternyata suatu pertanda. “Aku tahu, suatu saat aku akan mati. Entah karena penyakit yang selama ini menyerang atau terbunuh Karan. Aku sudah lama
Ailyn sedang becermin. Meja rias yang dipenuhi berbagai macam alat kecantikan itu terlihat seperti milik perias. Terinspirasi dari meja rias di rumah Lila waktu itu. "Aku merasa semakin gendut." Ailyn memeriksa tubuhnya. Malam ini adalah acara syukuran tujuh bulanan. Mereka mengundang beberapa rekan kerja, baik dari perusahaan ataupun rekan sesama artis. “Sayang, kau sudah siap?” Karan memasuki kamar. Ia berdecak kagum melihat istrinya menggunakan pakaian longgar dan panjang berwarna merah. “Wah, kau mau ke pesta apa bagaimana ini? Kok cantik sekali. Sudah seperti mau photo shoot saja.” Karan mengecup sekilas. Ailyn membiarkan Karan mengelus perutnya yang kian membesar. “Kau baru saja memberi ide. Bagaimana kalau kita photo shoot setelah ini? Aku kan model, Karan.” “Terserah kau saja. Ayo, Sayang. Tamu sudah datang.” Pria berkemeja biru itu menggandeng tangan istrinya yang mulai kesulitan berjalan. Dibiarkann
Ailyn dan Karan mendekat. Keduanya tak menyangka akan bertemu Bella setelah sekian lama. “Ka-kalian di sini?” Bella menutupi wajah anaknya dengan tas. “Itu ... Anakmu?” tanya Ailyn, sembari mengusap perut. Bella mengangguk, sedikit gugup. Ia malah menoleh ke kanan dan kiri seperti menunggu seseorang. “Apa yang kau lakukan panas-panas begini di parkiran?” Karan ikut memerhatikan sekitar. Tak ada siapa pun yang bisa diperhatikan. “A-aku menunggu sopir.” Bella menjawab dengan terbata-bata, sementara sang anak mengibas tangannya sampai tas itu terjatuh. Gelagapan Bella memungutnya sebelum diambil Karan yang juga membungkukkan badan hendak membantu. Sopir? Anak kecil? Ada banyak pertanyaan di benak Ailyn. Selama ini yang ia tahu Bella dikirim ke luar kota karena hamil anak Krishna yang belum keluar dari penjara."Papamu membantu keuanganku sampai sekarang. Dia juga yang menyediakan tempat tinggal dan sopir," tutur
Jovan melirik sekilas. Mendadak ia juga merasa khawatir. Apa yang sebenarnya terjadi pada majikannya? Kenapa rasa bahagia itu lenyap seketika? “Karan, a-aku tidak tahu harus bagaimana. Yang jelas, anak ini milik kita. Anakku dan anakmu.” Ailyn menangis, menyentuh perutnya. Melihat istrinya menangis, Karan tertawa keras sampai terpingkal-pingkal. Hal itu membuat Ailyn penasaran, apa yang terjadi. “Aku tahu, Sayang. Aku hanya bercanda. Masa iya, aku meragukan kehamilanmu. Ada-ada saja kau ini.” Karan memeluk Ailyn yang memukul dadanya karena kesal. Sesaat tadi pikirannya sudah negatif. Beberapa detik lalu rasanya amarah ingin meluap. “Jahat!” Ailyn memukul, tapi semakin mengencangkan pelukan. Mendapati semua hanya candaan semata, Jovan mengurut dada, lega. Keduanya pun sepakat untuk pergi ke dokter kandungan sebelum memberitahukan kabar baik itu pada keluarga. Sesampainya di rumah sakit .... “Selam
Hari yang hening, di mana bunga-bunga nan indah beserta daun pandan yang diiris tipis ditaburkan ke makam. Suara tangis bersahutan. “Papa!” rintihan dan kesedihan tergambar jelas di wajah mungil itu. Wajah yang kini semakin basah karena air mata. Makam dengan batu nisan berwarna putih bertuliskan nama seseorang mulai ditaburi bunga. Alex Brawijaya. Seorang pria yang tewas dalam perkelahian semalam. “Jangan bersedih. Ini sudah takdir, Sayang,” bisik Ailyn, merangkul pundak adik iparnya yang terus saja memeluk batu nisan. Karan ikut berjongkok. Peristiwa semalam bukan hanya kelabu, tapi gelap segelap-gelapnya. Seorang pria dengan obsesi tinggi telah pergi untuk selamanya. “Iya, Sayang. Biarkan Papa beristirahat dengan tenang.” Karan menimpali. Air matanya turut menetes. Ditolehnya beberapa orang yang mulai meninggalkan pemakaman. Sengaja makam Alex diletakkan bersebelahan dengan makam Marina, sesuai permintaan Kiran.
Kusuma berlari keluar dari mobil menuju ke rumah sakit. Ia dikabari sang istri sakit perut sampai dilarikan ke rumah sakit. Namun, belum juga menginjakkan kaki di tempat itu, pengawal pribadi Ailyn mencegah. “Tuan, tak perlu masuk,” katanya. “Memang kenapa? Apa wanita itu ... maksudku, Yunita baik-baik saja?” Kusuma enggan menyebut kata istri. “Dia hanya pura-pura sakit agar bisa mengecoh kita. Nyaris saja saya kecolongan kalau tidak segera membaca situasi,” paparnya, membuat Kusuma mengernyitkan dahi. “Mengecoh? Kecolongan? Apa yang kau bicarakan? Tunggu! Kau siapa?” Kusuma baru menyadari pria asing yang kini bicara dengannya tak pernah ia kenal. “Saya pengawal pribadi Nona Ailyn mulai hari ini. Tadi saya dan beberapa teman diminta mengantar Nyonya ke sini, tapi saya mendapat telepon anak buah diserang.” Pria itu menceritakan bahwa saat ini anak buahnya dikunci di kamar bersama pengawal yang lain, termasuk pelayan da
“Emmm .... “ Ailyn berusaha melepaskan ikatan yang membelenggu kaki dan tangannya. Karena mulutnya disumpal dengan sapu tangan, ia tak bisa berteriak. Semua terjadi begitu cepat tanpa bisa dicegah. “Sstttt! Jangan berisik, Sayang. Aku datang untuk memberi akhir yang indah pada cerita kita,” lirih Alex, mengusap pipi Ailyn dengan jarinya. Berhasil mengikat kedua tangan dan kaki Ailyn di atas ranjang, Alex melempar masker dan topi sembarangan ke lantai. “Emmmm!” Ailyn berusaha keras melepaskan ikatan yang terasa menyakiti pergelangan tangan dan kaki. “Ah, aku merasa terlalu jahat. Kau pasti ingin bicara denganku, kan?” Alex menaiki ranjang, membuka sumpal di mulut Ailyn. “Sialan!” Ailyn bernapas tersengal, membiarkan rambutnya menghalangi wajah. Keringat dingin mulai deras mengucur di kening dan lehernya. “Jangan terlalu kasar. Aku datang untuk menjemputmu. Lihat, aku bawakan surat ceraimu.” Alex mengeluarkan kertas yang
Meskipun Yunita melarangnya masuk ke kamar, tetap saja Ailyn bersimpati dengan sering-sering memeriksa keadaan mertuanya. “Keluar kau! Aku tak sudi melihatmu!” Ailyn menghela napas, menoleh pada Yunita yang menarik selimut hingga menutupi sebagian wajahnya. “Ya sudah. Aku akan keluar. Mama cepat sembuh biar kita bisa ribut lagi.” Ailyn bangkit, menuju ke pintu. “Kenapa kau selalu membuatku emosi, Wanita Sialan!” Yunita menyingkap selimut, lalu menggulungnya dengan cepat. Seolah tahu apa yang akan mertuanya lakukan, Ailyn bergegas keluar dan menutup pintu. Tepat saat pintu ditutup, selimut melayang dan mengenai lantai. Yunita bernapas kasar. “Kau bisa keluar. Buat Ailyn tetap berada di kamarnya agar rencana kita berjalan lancar,” kata Yunita. Pintu kamar mandi terbuka. Tampak Farel keluar dengan wajah dipenuhi senyuman. “Farel pergi dulu.” Pria itu mengendap-endap keluar dari kamar Yunita. Sementara itu
Ailyn menyenggol lengan suaminya saat melihat Yunita muncul dengan wajah suram, seolah kurang tidur. Kantung matanya menghitam. “Sepertinya, ada yang kurang tidur,” bisik Karan. Suasana masih sepi di ruang makan itu, sampai Kusuma menoleh pada istrinya yang duduk sembari memegangi perut. “Kau mirip sekali dengan kuntilanak kesurupan.” Kusuma bicara tanpa memandang. Tangannya bergerak cepat menyendok makanan. “Pa, panggilkan dokter. Mama sakit perut, mencret,” bisik Yunita, tapi tetap terdengar jelas di telinga Karan yang duduk di depannya. “Kau kan bisa panggil sendiri. Tak usah manja. Kau bukan anak kecil lagi,” kata Kusuma, meminum air. Ailyn dan Karan menunduk, menahan tawa. Sepertinya, harapan Karan terkabul agar Yunita sakit perut dan mencret. “Ih, Papa! Sakit sekali loh ini. Masa Papa tega membiarkan Mama kesakitan.” Yunita menyentuh bagian belakang tubuhnya yang sedikit terangkat. “Memang apa yang ka