Karan baru saja tiba di kediaman keluarga Kusuma. Matanya langsung memerhatikan seluruh kawasan luas itu.
“Banyak sekali perubahan,” lirihnya, membiarkan pengawal membawakan kopernya. Pria itu melangkah mendekati pintu utama.Belum sempat mengetuk pintu, ternyata pintu dibuka lebih dulu. Seorang wanita berbaju merah berdiri di depan pintu dengan tatapan tak suka. Siapa lagi kalau bukan ibu tirinya, Yunita.“Apa aku harus meminta izin untuk masuk?” Karan lebih dulu bicara saat Yunita hanya mematung sambil melipat kedua tangannya.“Apa perlu kupersilakan? Kau bukan anak ingusan itu lagi, kan?” Sudut bibir Yunita terangkat.‘Dasar!’ rutuk Karan dalam hati. Wanita penggoda itu malah bicara seolah-olah rumah itu miliknya. Tangan Karan yang mengepal, sedikit terangkat. Namun, ia harus diam mengingat baru saja tiba.“Siapa, Sayang?” Suara seseorang membuat Yunita langsung berubah. Kalau sampai suaminya tahu apa yang tadi ia[Hentikan, Om! Selama aku masih bernapas, aku tidak butuh uangmu!] Ailyn membalas dengan memberikan tambahan emoticon pisau. Alex sudah bertindak di luar batas. “Kalau dibiarkan, dia pasti akan semakin menjadi-jadi,” keluh Ailyn. Tanpa diduga, Alex membalas dengan mengirim foto pistol di atas meja. Tanpa dijelaskan pun Ailyn paham maksudnya. Alex akan membunuh siapa pun yang tak menurutinya. Selang beberapa waktu, Ailyn sampai di depan kantor K2 Company. Ia turun setelah membayar ongkos taksi. Pikirannya berkecamuk. Dirapikannya rambut dan baju, lalu melangkah menuju ke satpam yang berdiri di depan gerbang. “Semoga berhasil,” lirihnya. “Selamat pagi, Pak,” sapa Ailyn. “Pagi, Mbak. Ada yang bisa dibantu?” Satpam berkumis tipis itu memerhatikan seluruh tubuh Ailyn yang mengenakan kemeja putih dan rok cokelat selutut. “Ah, saya dapat tawaran casting iklan produk terbaru di sini. Apa masih ada lowongan? Soalnya baru
Ailyn hanya bisa diam saat menunggu di ruang Anggrek. Sesuai namanya, ruangan itu dipenuhi ornamen anggrek yang indah. “Eh, bukannya dia model itu?” Seorang wanita dengan rok mini berwarna putih berbisik, tapi masih bisa didengar Ailyn yang duduk tak jauh darinya. “Iya, ya. Dulu dia terlibat skandal sama produsernya, kalau aku tidak salah dengar. Dia masih berani menunjukkan wajah?” balas temannya. Ailyn mulai memanas. Ia mengibaskan map yang dibawa karena keringat mendadak mengucur deras di keningnya. Pembahasan tentang masa lalunya ternyata masih belum selesai. “Lama sekali,” keluh Ailyn. Ia merasa gerah, padahal ruangan itu ber-AC. “Kau ... model sampo itu, kan? Yang pernah viral itu?” tanya wanita yang tadi berbisik. “Kalau memang iya, kenapa? Toh, itu sudah berlalu sangat lama. Tak ada gunanya diungkit,” ketus Ailyn. Ia pura-pura memeriksa ponsel, padahal tidak ada pesan apa pun. Pandangannya fokus, se
Waktu berlalu dengan cepat. Tahu-tahu Ailyn sudah keluar dari perusahaan. Disekanya keringat di dahi. “Hufftt! Hari yang melelahkan!” “Taksi! Taksi!” Ailyn menghentikan taksi untuk pulang. Hari sudah sore saat ia menyelesaikan syuting pertamanya yang berjalan lancar. Bahkan bisa dibilang sangat lancar sebab beberapa karyawan memuji penampilannya yang tak perlu banyak pengarahan. Didekatinya taksi yang berhenti. “Maaf, Mbak. Lagi ada aksi mogok kerja. Kami akan kembali beroperasi besok,” ujar sopir taksi, lantas meninggalkan Ailyn. “Aih? Bukannya tadi pagi masih baik-baik saja?” Ailyn terpaksa berjalan kaki. Rasanya berat untuk melangkah, tapi tak ada pilihan. "Aku akan pulang dan memberi tahu Ayah, kalau aku sudah dapat pekerjaan,” katanya. Senyum lebarnya seketika sirna melihat beberapa orang berdiri tak jauh darinya. “Bukannya mereka ... anak buah Om Alex?” Langkah Ailyn berhenti. Ia bermaksud untuk berbal
Alex dengan kesal memasuki rumah. Ia pura-pura tersenyum saat Kiran mendekat dan memeluknya. “Papa dari mana?” tanyanya. “Papa ada urusan sekejap. Mama sudah tidur?” Alex menaiki tangga sembari menggendong Kiran. Anaknya hanya mengangguk. Sampai di depan pintu, diperhatikan olehnya Marina tertidur. “Kau mau makan malam bersama Papa?” Alex mencubit pipi tambun anaknya yang menggemaskan. Perlahan ia menuruni tangga lagi tanpa ada niatan menutup pintu. Kiran langsung mengangguk, membiarkan sang papa membawanya masuk ke dapur. Keduanya pun makan malam bersama. “Kau—“ Karan yang menyusul, terhenti melihat ayah dan adik tirinya tengah makan sambil bercanda. “Jangan bertengkar denganku di depan Kiran. Kau tentu mengerti. Tunggu dulu sebentar.” Tanpa menoleh dan terus menyuapi Kiran, Alex bicara. Karan mendengus kasar. Berbalik ia menuju ke kamar Marina untuk memeriksa keadaannya. Wajah pucat itu membuatnya merasa sedih.
"Ailyn belum bisa dihubungi. Aku jadi tak bisa berpikir. Huhh!” Karan menyisir rambut, lantas becermin sekali lagi sebelum berangkat. Seluruh ruangan yang pernah dipenuhi poster superhero kini sudah bersih. Rupanya pelayan di rumah itu sudah membersihkannya tanpa diminta. Yakin penampilannya sudah sempurna, ia keluar menuju ke dapur untuk sarapan bersama. Dilihatnya Kusuma, Yunita, juga Farel sudah menunggu. “Selamat pagi,” sapanya. “Pagi,” jawab mereka bersamaan. Tanpa banyak kata, mereka mulai menikmati sarapan. Terasa aneh di lidah Karan yang belum terbiasa. “Pa, apa Papa sudah memikirkan tentang Jovan? Kalau dia tidak bisa menjadi Sekretaris, bagaimana kalau jadi sopir pribadi Karan?” usulnya di sela-sela makan. “Mama setuju. Semalam kami sudah membicarakannya saat kau belum pulang. Farel yang akan menjadi Sekretarisnya,” tukas Yunita. Karan berdecak tanpa suara. Siapa yang ditanya, malah orang lain yan
“Jelaskan semuanya padaku, Ailyn. Kenapa kau bisa terluka? Siapa yang melakukan ini? Om Alex itu?” Karan memberondong dengan berbagai pertanyaan. Mengingat semalam ia bertengkar dengan ayah tirinya itu, Karan yakin dialah pelakunya. “Banyak sekali pertanyaanmu.” Ailyn menatap sinis. Ia tak memerhatikan Jovan yang sesekali melirik dari kaca spion. “Aku cemas.” Karan menggenggam tangan itu dengan lembut. “Tidak perlu seperti ini.” Aliyn menarik tangannya perlahan. Bisa copot jantungnya kalau tangan itu terus digenggam. Debaran yang ia rasakan terasa menyulitkannya untuk bernapas. “Kemarin saat aku diantar pulang sopirmu, aku melihat banyak daging buah semangka bertaburan, jadi aku mengikutinya.” Ailyn pun menceritakan tentang apa yang terjadi padanya hingga berakhir di rumah sakit dan dijaga Alex. Ia juga tak menyangka ayahnya akan tega melakukan itu. “Makanya, aku ingin segera membantumu. Namun .... “ K
Ailyn sampai di depan perusahaan. Ia bergegas masuk, melewati beberapa orang yang langsung menatapnya penasaran. “Tuan!” panggilnya saat Geri baru saja keluar. “Kau dari mana? Kok lama sekali? Eh?” Geri terkejut melihat wanita itu dibalut perban. “Kecelakaan, Tuan. Sedikit luka, jangan khawatir.” Ailyn berusaha terlihat kuat. Ia menampilkan senyum termanis. “Ya ampun! Kenapa kau ke sini kalau terluka?” Geri menarik tangannya agar duduk. Hal itu menjadi pusat perhatian para calon model yang menunggu sejak tadi. “Aku tidak selemah itu. Hari ini ada syuting? Aku rasa, tidak bisa kalau seperti ini.” Ailyn meringis. Tentu tidak akan bisa syuting dengan kepala diperban. “Tidak masalah. Tuan Muda juga belum memeriksa para model. Kau istirahat saja sana. Besok baru kerja.” Geri menyentuh dagu Ailyn, memeriksa layaknya dokter. “Tidak!” Ailyn berteriak, membuat Geri terkejut. “Ah, maksudku ... aku tidak mau semakin le
Sesaat suasana sepi menyelimuti. Tak ada yang bicara. Baik Alex ataupun Ailyn, keduanya membisu, sampai Alex memulai pembicaraan lebih dulu. “Bagaimana harimu? Kalau kau tak kabur, pasti sekarang kau sudah istirahat,” kata Alex, melirik dari kaca spion. Sebisa mungkin dia akan bersikap baik. Walau hanya sekadar bicara, ia merasa aneh. Tiba-tiba bicara sopan pada wanita yang sangat diinginkan adalah hal aneh baginya. “Biasa saja,” jawab Ailyn. Ia menoleh ke kanan dan kiri, mengawasi jalanan. Yakin kalau ia menuju ke arah rumahnya, Ailyn menghela napas lega. “Jangan berpikir negatif. Aku benar-benar akan mengantarmu pulang. Oh, ya. Kau ... sungguh punya pacar?” Alex bicara seperti bicara pada anak sendiri. Mencari tahu informasi dengan cara halus adalah rencananya. Ailyn sukar diajak kompromi. Jadi, Alex menggunakan cara lain untuk mengatasinya. “Tentu. Makanya, berhenti mengejarku.” Ailyn ingin sekali memaki, tapi ia m
“Om adalah teman Papamu. Ambil ini dan berikan pada Ailyn.” Pria itu menyerahkan kado kecil pada Kiran. “Ini apa, Om?” tanyanya dengan polos. “Berikan saja, ya. Kiran kan anak baik.” Pria itu mengelus pipi dan kepala Kiran. Setelah itu, ia menghilang dari pandangan. Heran dengan kado kecil itu, Kiran meletakkan mangkok dan berlari mendekati Ailyn. “Kak, ini untuk Kakak,” katanya. “Wah, ini apa, Sayang?” Ailyn tersenyum, menerima kado itu. Kiran menaikkan pundak. “Entah. Tadi ada pria, katanya teman Papa. Dia nyuruh Kiran memberikannya pada Kakak.” “Apa?” Ailyn terkejut. Dilihatnya sekeliling. Tidak ada wajah yang mencurigakan. Lalu, siapa pengirimnya? Dibukanya kado yang ternyata berisi surat. Jantung Ailyn berdebar hebat. Rasa takut yang sejak beberapa hari dirasakan, ternyata suatu pertanda. “Aku tahu, suatu saat aku akan mati. Entah karena penyakit yang selama ini menyerang atau terbunuh Karan. Aku sudah lama
Ailyn sedang becermin. Meja rias yang dipenuhi berbagai macam alat kecantikan itu terlihat seperti milik perias. Terinspirasi dari meja rias di rumah Lila waktu itu. "Aku merasa semakin gendut." Ailyn memeriksa tubuhnya. Malam ini adalah acara syukuran tujuh bulanan. Mereka mengundang beberapa rekan kerja, baik dari perusahaan ataupun rekan sesama artis. “Sayang, kau sudah siap?” Karan memasuki kamar. Ia berdecak kagum melihat istrinya menggunakan pakaian longgar dan panjang berwarna merah. “Wah, kau mau ke pesta apa bagaimana ini? Kok cantik sekali. Sudah seperti mau photo shoot saja.” Karan mengecup sekilas. Ailyn membiarkan Karan mengelus perutnya yang kian membesar. “Kau baru saja memberi ide. Bagaimana kalau kita photo shoot setelah ini? Aku kan model, Karan.” “Terserah kau saja. Ayo, Sayang. Tamu sudah datang.” Pria berkemeja biru itu menggandeng tangan istrinya yang mulai kesulitan berjalan. Dibiarkann
Ailyn dan Karan mendekat. Keduanya tak menyangka akan bertemu Bella setelah sekian lama. “Ka-kalian di sini?” Bella menutupi wajah anaknya dengan tas. “Itu ... Anakmu?” tanya Ailyn, sembari mengusap perut. Bella mengangguk, sedikit gugup. Ia malah menoleh ke kanan dan kiri seperti menunggu seseorang. “Apa yang kau lakukan panas-panas begini di parkiran?” Karan ikut memerhatikan sekitar. Tak ada siapa pun yang bisa diperhatikan. “A-aku menunggu sopir.” Bella menjawab dengan terbata-bata, sementara sang anak mengibas tangannya sampai tas itu terjatuh. Gelagapan Bella memungutnya sebelum diambil Karan yang juga membungkukkan badan hendak membantu. Sopir? Anak kecil? Ada banyak pertanyaan di benak Ailyn. Selama ini yang ia tahu Bella dikirim ke luar kota karena hamil anak Krishna yang belum keluar dari penjara."Papamu membantu keuanganku sampai sekarang. Dia juga yang menyediakan tempat tinggal dan sopir," tutur
Jovan melirik sekilas. Mendadak ia juga merasa khawatir. Apa yang sebenarnya terjadi pada majikannya? Kenapa rasa bahagia itu lenyap seketika? “Karan, a-aku tidak tahu harus bagaimana. Yang jelas, anak ini milik kita. Anakku dan anakmu.” Ailyn menangis, menyentuh perutnya. Melihat istrinya menangis, Karan tertawa keras sampai terpingkal-pingkal. Hal itu membuat Ailyn penasaran, apa yang terjadi. “Aku tahu, Sayang. Aku hanya bercanda. Masa iya, aku meragukan kehamilanmu. Ada-ada saja kau ini.” Karan memeluk Ailyn yang memukul dadanya karena kesal. Sesaat tadi pikirannya sudah negatif. Beberapa detik lalu rasanya amarah ingin meluap. “Jahat!” Ailyn memukul, tapi semakin mengencangkan pelukan. Mendapati semua hanya candaan semata, Jovan mengurut dada, lega. Keduanya pun sepakat untuk pergi ke dokter kandungan sebelum memberitahukan kabar baik itu pada keluarga. Sesampainya di rumah sakit .... “Selam
Hari yang hening, di mana bunga-bunga nan indah beserta daun pandan yang diiris tipis ditaburkan ke makam. Suara tangis bersahutan. “Papa!” rintihan dan kesedihan tergambar jelas di wajah mungil itu. Wajah yang kini semakin basah karena air mata. Makam dengan batu nisan berwarna putih bertuliskan nama seseorang mulai ditaburi bunga. Alex Brawijaya. Seorang pria yang tewas dalam perkelahian semalam. “Jangan bersedih. Ini sudah takdir, Sayang,” bisik Ailyn, merangkul pundak adik iparnya yang terus saja memeluk batu nisan. Karan ikut berjongkok. Peristiwa semalam bukan hanya kelabu, tapi gelap segelap-gelapnya. Seorang pria dengan obsesi tinggi telah pergi untuk selamanya. “Iya, Sayang. Biarkan Papa beristirahat dengan tenang.” Karan menimpali. Air matanya turut menetes. Ditolehnya beberapa orang yang mulai meninggalkan pemakaman. Sengaja makam Alex diletakkan bersebelahan dengan makam Marina, sesuai permintaan Kiran.
Kusuma berlari keluar dari mobil menuju ke rumah sakit. Ia dikabari sang istri sakit perut sampai dilarikan ke rumah sakit. Namun, belum juga menginjakkan kaki di tempat itu, pengawal pribadi Ailyn mencegah. “Tuan, tak perlu masuk,” katanya. “Memang kenapa? Apa wanita itu ... maksudku, Yunita baik-baik saja?” Kusuma enggan menyebut kata istri. “Dia hanya pura-pura sakit agar bisa mengecoh kita. Nyaris saja saya kecolongan kalau tidak segera membaca situasi,” paparnya, membuat Kusuma mengernyitkan dahi. “Mengecoh? Kecolongan? Apa yang kau bicarakan? Tunggu! Kau siapa?” Kusuma baru menyadari pria asing yang kini bicara dengannya tak pernah ia kenal. “Saya pengawal pribadi Nona Ailyn mulai hari ini. Tadi saya dan beberapa teman diminta mengantar Nyonya ke sini, tapi saya mendapat telepon anak buah diserang.” Pria itu menceritakan bahwa saat ini anak buahnya dikunci di kamar bersama pengawal yang lain, termasuk pelayan da
“Emmm .... “ Ailyn berusaha melepaskan ikatan yang membelenggu kaki dan tangannya. Karena mulutnya disumpal dengan sapu tangan, ia tak bisa berteriak. Semua terjadi begitu cepat tanpa bisa dicegah. “Sstttt! Jangan berisik, Sayang. Aku datang untuk memberi akhir yang indah pada cerita kita,” lirih Alex, mengusap pipi Ailyn dengan jarinya. Berhasil mengikat kedua tangan dan kaki Ailyn di atas ranjang, Alex melempar masker dan topi sembarangan ke lantai. “Emmmm!” Ailyn berusaha keras melepaskan ikatan yang terasa menyakiti pergelangan tangan dan kaki. “Ah, aku merasa terlalu jahat. Kau pasti ingin bicara denganku, kan?” Alex menaiki ranjang, membuka sumpal di mulut Ailyn. “Sialan!” Ailyn bernapas tersengal, membiarkan rambutnya menghalangi wajah. Keringat dingin mulai deras mengucur di kening dan lehernya. “Jangan terlalu kasar. Aku datang untuk menjemputmu. Lihat, aku bawakan surat ceraimu.” Alex mengeluarkan kertas yang
Meskipun Yunita melarangnya masuk ke kamar, tetap saja Ailyn bersimpati dengan sering-sering memeriksa keadaan mertuanya. “Keluar kau! Aku tak sudi melihatmu!” Ailyn menghela napas, menoleh pada Yunita yang menarik selimut hingga menutupi sebagian wajahnya. “Ya sudah. Aku akan keluar. Mama cepat sembuh biar kita bisa ribut lagi.” Ailyn bangkit, menuju ke pintu. “Kenapa kau selalu membuatku emosi, Wanita Sialan!” Yunita menyingkap selimut, lalu menggulungnya dengan cepat. Seolah tahu apa yang akan mertuanya lakukan, Ailyn bergegas keluar dan menutup pintu. Tepat saat pintu ditutup, selimut melayang dan mengenai lantai. Yunita bernapas kasar. “Kau bisa keluar. Buat Ailyn tetap berada di kamarnya agar rencana kita berjalan lancar,” kata Yunita. Pintu kamar mandi terbuka. Tampak Farel keluar dengan wajah dipenuhi senyuman. “Farel pergi dulu.” Pria itu mengendap-endap keluar dari kamar Yunita. Sementara itu
Ailyn menyenggol lengan suaminya saat melihat Yunita muncul dengan wajah suram, seolah kurang tidur. Kantung matanya menghitam. “Sepertinya, ada yang kurang tidur,” bisik Karan. Suasana masih sepi di ruang makan itu, sampai Kusuma menoleh pada istrinya yang duduk sembari memegangi perut. “Kau mirip sekali dengan kuntilanak kesurupan.” Kusuma bicara tanpa memandang. Tangannya bergerak cepat menyendok makanan. “Pa, panggilkan dokter. Mama sakit perut, mencret,” bisik Yunita, tapi tetap terdengar jelas di telinga Karan yang duduk di depannya. “Kau kan bisa panggil sendiri. Tak usah manja. Kau bukan anak kecil lagi,” kata Kusuma, meminum air. Ailyn dan Karan menunduk, menahan tawa. Sepertinya, harapan Karan terkabul agar Yunita sakit perut dan mencret. “Ih, Papa! Sakit sekali loh ini. Masa Papa tega membiarkan Mama kesakitan.” Yunita menyentuh bagian belakang tubuhnya yang sedikit terangkat. “Memang apa yang ka