Ailyn sampai di depan perusahaan. Ia bergegas masuk, melewati beberapa orang yang langsung menatapnya penasaran.
“Tuan!” panggilnya saat Geri baru saja keluar.“Kau dari mana? Kok lama sekali? Eh?” Geri terkejut melihat wanita itu dibalut perban.“Kecelakaan, Tuan. Sedikit luka, jangan khawatir.” Ailyn berusaha terlihat kuat. Ia menampilkan senyum termanis.“Ya ampun! Kenapa kau ke sini kalau terluka?” Geri menarik tangannya agar duduk. Hal itu menjadi pusat perhatian para calon model yang menunggu sejak tadi.“Aku tidak selemah itu. Hari ini ada syuting? Aku rasa, tidak bisa kalau seperti ini.” Ailyn meringis. Tentu tidak akan bisa syuting dengan kepala diperban.“Tidak masalah. Tuan Muda juga belum memeriksa para model. Kau istirahat saja sana. Besok baru kerja.” Geri menyentuh dagu Ailyn, memeriksa layaknya dokter.“Tidak!” Ailyn berteriak, membuat Geri terkejut.“Ah, maksudku ... aku tidak mau semakin leSesaat suasana sepi menyelimuti. Tak ada yang bicara. Baik Alex ataupun Ailyn, keduanya membisu, sampai Alex memulai pembicaraan lebih dulu. “Bagaimana harimu? Kalau kau tak kabur, pasti sekarang kau sudah istirahat,” kata Alex, melirik dari kaca spion. Sebisa mungkin dia akan bersikap baik. Walau hanya sekadar bicara, ia merasa aneh. Tiba-tiba bicara sopan pada wanita yang sangat diinginkan adalah hal aneh baginya. “Biasa saja,” jawab Ailyn. Ia menoleh ke kanan dan kiri, mengawasi jalanan. Yakin kalau ia menuju ke arah rumahnya, Ailyn menghela napas lega. “Jangan berpikir negatif. Aku benar-benar akan mengantarmu pulang. Oh, ya. Kau ... sungguh punya pacar?” Alex bicara seperti bicara pada anak sendiri. Mencari tahu informasi dengan cara halus adalah rencananya. Ailyn sukar diajak kompromi. Jadi, Alex menggunakan cara lain untuk mengatasinya. “Tentu. Makanya, berhenti mengejarku.” Ailyn ingin sekali memaki, tapi ia m
"Ayo, jangan takut. Kau akan sering datang ke sini setelah kita menikah nanti.” Alex berjalan lebih dulu, membiarkan Ailyn mengikuti dengan langkah ketakutan. Hutan ini belum pernah ia kunjungi. Selain seram karena gelap di beberapa sisi, tempat itu adalah markas besar ketua mafia. “Gandhi!” panggil Alex. Gandhi yang keluar membawa tas besar mendekat. Keduanya saling berbisik-bisik, menambah kecurigaan. “Ayolah, Karan! Aku takut. Kau di mana?” Ponsel yang masih dalam keadaan tersambung, membuat Ailyn masih bisa berkomunikasi dengan Karan. “Aku sudah dekat. Tunggu sebentar lagi. Pokoknya, jangan matikan teleponnya.” Ailyn mengangguk, lalu memasukkan ponsel ke dalam bra. Ia sendiri tak tahu kenapa melakukannya. Alih-alih menyembunyikannya di dalam saku atau tas, malah bra yang jadi pilihan. “Ayo, kau butuh istirahat. Ini sudah malam. Pacarmu mungkin akan terlambat. Bisa jadi dia akan tersesat.” Alex mempersilakannya mas
Karan mengintai dari balik tiang besar. Dapat dipastikan yang berjaga lebih dari 20 orang. Mansion yang cukup besar. “Entah di mana Ailyn, aku harus mencarinya.” Karan mengendap-endap melewati pot besar di sisi kanan mansion menuju ke arah samping. Dilihatnya pintu dari kayu. “Apa itu jalan menuju ke bagian belakang?” Karan bertanya pada diri sendiri. Jika diperhatikan baik-baik, sisi dekat pintu sangat gelap. Yakin akan berhasil, Karan melompati batu dan berguling di rerumputan bak adegan aksi dalam film. “Hup!” Karan melompat ke balik batu saat melihat penjaga melintas. Sekelebat bayangan penjaga itu kini lenyap. “Aku harus masuk.” Karan membuka sabuk celana, lantas melilitkannya pada tangan. Jika ada serangan mendadak, dia bisa mengantisipasi. Dicobanya membuka pintu yang ternyata tak dikunci. “Mereka sepertinya tahu rencanaku. Tak masalah. Aku akan lebih berhati-hati.” Segera ia memasuki mansion. Ruanga
“Karan?” Ailyn mengernyitkan dahi, bingung dengan situasi ini. Ditambah Gandhi muncul dengan dibantu anak buahnya, membuat Ailyn semakin tak paham. “Kau ... memanggil Karan dengan sebutan ‘Nak’? Kalian saling kenal? Atau .... ” Ailyn menurunkan high heel dan memakainya lagi. Pria yang ia pukul dengan high heel pula mendekat. Kini mereka memerhatikan Karan dan Alex bergantian. “Ay, sebenarnya .... “ Karan hendak mendekat, tapi Gandhi berdiri di depannya dengan kaki ditekuk-berdiri dengan satu kaki bertumpu. “Tentu saja aku memanggilnya seperti itu. Dia kan masih muda. Masa iya, aku akan memanggil dia Kakak?” Alex terkekeh, menyembunyikan sebenarnya. Kalau dia mengungkapkan jati diri sekarang, yang ada rencana bisa kacau. Karan malah akan mendapatkan simpati Ailyn, sedangkan dia kian dibenci. “Oh.” Ailyn mengurut dada. Pikirannya tadi sudah negatif. Tak jauh berbeda dengan Ailyn, Karan menghela napas panjang. Aman semen
Mobil yang Karan kendarai berhenti di depan rumah Ailyn yang sepi. Saat memeriksa arloji, ternyata sudah pukul 01.15. “Mampirlah sebentar. Aku akan mengobati lukamu,” kata Ailyn, membuka pintu mobil. “Ayahmu? Dia pasti marah melihat kita pulang bersama.” Karan ikut keluar, bersamaan dengan Jovan sampai. “Dia pasti di tempat judi, jangan risau.” Ailyn melangkah menuju ke pintu, diikuti dua pria tampan di belakangnya. Ailyn membuka pintu yang ternyata tak dikunci. Kepalanya yang berdenyut keras sejak dibawa ke mansion, mendadak terasa sembuh. Bukan karena sudah tak lagi sakit, tapi ketegangan yang ia rasakan sejak tadi membuatnya tak memikirkan sakit lagi. “Duduklah! Aku akan mengambi minuman dan kotak P3K.” Ailyn meletakkan ponsel Karan di atas meja, lantas memasuki dapur. Karan dan Jovan kompak duduk. Keduanya memerhatikan rumah sederhana nan minimalis itu. “Tuan baik-baik saja? Maaf, saya tidak
Ailyn membuka pintu rumah. Sudah tak heran dengan kebiasaan di mana kalau bukan tengah malam, maka ia harus membukakan pintu untuk Mohan pagi-pagi sekali. “Anak sialan! Tak tahu diuntung! Malah memilih pria tak jelas!” Mohan memasuki rumah sambil mengomel. “Aku sudah tak peduli dengan apa yang akan Ayah katakan,” balas Ailyn, memasuki kamar. Dibiarkannya Mohan menuju ke dapur. Pria itu menyingkap tudung saji, lalu berdecak kesal. “Mana makanannya, Ailyn? Kenapa kau tidak masak?” Mohan memekik, membuat Ailyn hanya menggerakkan bibir. “Aku tidak lapar, sekaligus malas memasak,” jawabnya. Beberapa pakaian di dalam lemari diperhatikan. Tak tahu akan ada pemotretan atau tidak, tapi dia bersiap-siap. Mendengar jawaban sang anak, Mohan kian emosi. Kini ia melangkah menuju ke kamar Ailyn. “Tidak lapar, katamu? Kau pikir hanya kau yang butuh makan? Saat kau tidak lapar, kau seenaknya tidak masak, begitu?” “Kalau Aya
Alex memasuki rumah dengan pakaian santai. Sejak semalam, tidurnya terganggu. Ia berniat untuk beristirahat di kamar. Ketika pintu kamar dibuka, terlihat Marina tengah merapikan seprai. “Sayang, kau sudah sehat?” Alex bertanya. Marina menoleh, bergumam. Tangannya cekatan merapikan kasur dan meletakkan vas berisi bunga segar di atas nakas. “Mas sudah makan?” tanyanya, membiarkan sang suami mengecup kening. “Sudah. Tadi aku mengantar Gandhi untuk memeriksakan kesehatan, lalu makan di jalan menuju ke sini,” kata Alex. “Loh? Gandhi sakit apa?” Marina duduk di tepi ranjang, membiarkan sang suami mengusap rambutnya dengan mesra. “Kena tembak berandalan, semalam,” jawab Alex. Mustahil dia mengatakan Karan yang sudah menembaknya. Padahal dia sudah melarang semua anak buah untuk melukai anak tirinya karena takut ketahuan Marina, malah Karan yang tega menyakiti. “Tapi, Mas baik-baik saja, kan? Aku khawatir
“Tunggu, jelaskan dulu. Kau ... tidak akan menikahi si tua itu, kan, Ailyn?” Karan mendekat, tapi Mohan mendorongnya pelan. “Karan, aku—“ Ailyn terdiam. Kini ia merutuki dirinya yang sudah ceroboh menyebut nama Karan. “Pergilah. Kau masih muda, jangan mengejar Ailyn. Dia pantas mendapat yang seumuran. Sana, cari wanita muda.” Mohan memerhatikan wajah pria yang menurutnya tak pantas untuk Ailyn. Selain terlalu muda, dia juga tak berharap banyak. “Kau bilang memberiku waktu seminggu, dan itu baru akan berakhir besok malam. Jadi, tunggu aku meminta izin orang tua,” papar Karan. “Aku berubah pikiran. Waktumu habis. Jadi ... silakan pergi.” Mohan tersenyum lebar, bak senyum seorang Joker. “Ayah, aku akui, kami memang hanya teman. Tolonglah, jangan paksa aku menikahi orang yang tak aku inginkan. Hidup kami pasti tak bahagia.” Ailyn menyentuh lengan Mohan. Air matanya kian bertambah laju mengalir. Paling tidak, ia
“Om adalah teman Papamu. Ambil ini dan berikan pada Ailyn.” Pria itu menyerahkan kado kecil pada Kiran. “Ini apa, Om?” tanyanya dengan polos. “Berikan saja, ya. Kiran kan anak baik.” Pria itu mengelus pipi dan kepala Kiran. Setelah itu, ia menghilang dari pandangan. Heran dengan kado kecil itu, Kiran meletakkan mangkok dan berlari mendekati Ailyn. “Kak, ini untuk Kakak,” katanya. “Wah, ini apa, Sayang?” Ailyn tersenyum, menerima kado itu. Kiran menaikkan pundak. “Entah. Tadi ada pria, katanya teman Papa. Dia nyuruh Kiran memberikannya pada Kakak.” “Apa?” Ailyn terkejut. Dilihatnya sekeliling. Tidak ada wajah yang mencurigakan. Lalu, siapa pengirimnya? Dibukanya kado yang ternyata berisi surat. Jantung Ailyn berdebar hebat. Rasa takut yang sejak beberapa hari dirasakan, ternyata suatu pertanda. “Aku tahu, suatu saat aku akan mati. Entah karena penyakit yang selama ini menyerang atau terbunuh Karan. Aku sudah lama
Ailyn sedang becermin. Meja rias yang dipenuhi berbagai macam alat kecantikan itu terlihat seperti milik perias. Terinspirasi dari meja rias di rumah Lila waktu itu. "Aku merasa semakin gendut." Ailyn memeriksa tubuhnya. Malam ini adalah acara syukuran tujuh bulanan. Mereka mengundang beberapa rekan kerja, baik dari perusahaan ataupun rekan sesama artis. “Sayang, kau sudah siap?” Karan memasuki kamar. Ia berdecak kagum melihat istrinya menggunakan pakaian longgar dan panjang berwarna merah. “Wah, kau mau ke pesta apa bagaimana ini? Kok cantik sekali. Sudah seperti mau photo shoot saja.” Karan mengecup sekilas. Ailyn membiarkan Karan mengelus perutnya yang kian membesar. “Kau baru saja memberi ide. Bagaimana kalau kita photo shoot setelah ini? Aku kan model, Karan.” “Terserah kau saja. Ayo, Sayang. Tamu sudah datang.” Pria berkemeja biru itu menggandeng tangan istrinya yang mulai kesulitan berjalan. Dibiarkann
Ailyn dan Karan mendekat. Keduanya tak menyangka akan bertemu Bella setelah sekian lama. “Ka-kalian di sini?” Bella menutupi wajah anaknya dengan tas. “Itu ... Anakmu?” tanya Ailyn, sembari mengusap perut. Bella mengangguk, sedikit gugup. Ia malah menoleh ke kanan dan kiri seperti menunggu seseorang. “Apa yang kau lakukan panas-panas begini di parkiran?” Karan ikut memerhatikan sekitar. Tak ada siapa pun yang bisa diperhatikan. “A-aku menunggu sopir.” Bella menjawab dengan terbata-bata, sementara sang anak mengibas tangannya sampai tas itu terjatuh. Gelagapan Bella memungutnya sebelum diambil Karan yang juga membungkukkan badan hendak membantu. Sopir? Anak kecil? Ada banyak pertanyaan di benak Ailyn. Selama ini yang ia tahu Bella dikirim ke luar kota karena hamil anak Krishna yang belum keluar dari penjara."Papamu membantu keuanganku sampai sekarang. Dia juga yang menyediakan tempat tinggal dan sopir," tutur
Jovan melirik sekilas. Mendadak ia juga merasa khawatir. Apa yang sebenarnya terjadi pada majikannya? Kenapa rasa bahagia itu lenyap seketika? “Karan, a-aku tidak tahu harus bagaimana. Yang jelas, anak ini milik kita. Anakku dan anakmu.” Ailyn menangis, menyentuh perutnya. Melihat istrinya menangis, Karan tertawa keras sampai terpingkal-pingkal. Hal itu membuat Ailyn penasaran, apa yang terjadi. “Aku tahu, Sayang. Aku hanya bercanda. Masa iya, aku meragukan kehamilanmu. Ada-ada saja kau ini.” Karan memeluk Ailyn yang memukul dadanya karena kesal. Sesaat tadi pikirannya sudah negatif. Beberapa detik lalu rasanya amarah ingin meluap. “Jahat!” Ailyn memukul, tapi semakin mengencangkan pelukan. Mendapati semua hanya candaan semata, Jovan mengurut dada, lega. Keduanya pun sepakat untuk pergi ke dokter kandungan sebelum memberitahukan kabar baik itu pada keluarga. Sesampainya di rumah sakit .... “Selam
Hari yang hening, di mana bunga-bunga nan indah beserta daun pandan yang diiris tipis ditaburkan ke makam. Suara tangis bersahutan. “Papa!” rintihan dan kesedihan tergambar jelas di wajah mungil itu. Wajah yang kini semakin basah karena air mata. Makam dengan batu nisan berwarna putih bertuliskan nama seseorang mulai ditaburi bunga. Alex Brawijaya. Seorang pria yang tewas dalam perkelahian semalam. “Jangan bersedih. Ini sudah takdir, Sayang,” bisik Ailyn, merangkul pundak adik iparnya yang terus saja memeluk batu nisan. Karan ikut berjongkok. Peristiwa semalam bukan hanya kelabu, tapi gelap segelap-gelapnya. Seorang pria dengan obsesi tinggi telah pergi untuk selamanya. “Iya, Sayang. Biarkan Papa beristirahat dengan tenang.” Karan menimpali. Air matanya turut menetes. Ditolehnya beberapa orang yang mulai meninggalkan pemakaman. Sengaja makam Alex diletakkan bersebelahan dengan makam Marina, sesuai permintaan Kiran.
Kusuma berlari keluar dari mobil menuju ke rumah sakit. Ia dikabari sang istri sakit perut sampai dilarikan ke rumah sakit. Namun, belum juga menginjakkan kaki di tempat itu, pengawal pribadi Ailyn mencegah. “Tuan, tak perlu masuk,” katanya. “Memang kenapa? Apa wanita itu ... maksudku, Yunita baik-baik saja?” Kusuma enggan menyebut kata istri. “Dia hanya pura-pura sakit agar bisa mengecoh kita. Nyaris saja saya kecolongan kalau tidak segera membaca situasi,” paparnya, membuat Kusuma mengernyitkan dahi. “Mengecoh? Kecolongan? Apa yang kau bicarakan? Tunggu! Kau siapa?” Kusuma baru menyadari pria asing yang kini bicara dengannya tak pernah ia kenal. “Saya pengawal pribadi Nona Ailyn mulai hari ini. Tadi saya dan beberapa teman diminta mengantar Nyonya ke sini, tapi saya mendapat telepon anak buah diserang.” Pria itu menceritakan bahwa saat ini anak buahnya dikunci di kamar bersama pengawal yang lain, termasuk pelayan da
“Emmm .... “ Ailyn berusaha melepaskan ikatan yang membelenggu kaki dan tangannya. Karena mulutnya disumpal dengan sapu tangan, ia tak bisa berteriak. Semua terjadi begitu cepat tanpa bisa dicegah. “Sstttt! Jangan berisik, Sayang. Aku datang untuk memberi akhir yang indah pada cerita kita,” lirih Alex, mengusap pipi Ailyn dengan jarinya. Berhasil mengikat kedua tangan dan kaki Ailyn di atas ranjang, Alex melempar masker dan topi sembarangan ke lantai. “Emmmm!” Ailyn berusaha keras melepaskan ikatan yang terasa menyakiti pergelangan tangan dan kaki. “Ah, aku merasa terlalu jahat. Kau pasti ingin bicara denganku, kan?” Alex menaiki ranjang, membuka sumpal di mulut Ailyn. “Sialan!” Ailyn bernapas tersengal, membiarkan rambutnya menghalangi wajah. Keringat dingin mulai deras mengucur di kening dan lehernya. “Jangan terlalu kasar. Aku datang untuk menjemputmu. Lihat, aku bawakan surat ceraimu.” Alex mengeluarkan kertas yang
Meskipun Yunita melarangnya masuk ke kamar, tetap saja Ailyn bersimpati dengan sering-sering memeriksa keadaan mertuanya. “Keluar kau! Aku tak sudi melihatmu!” Ailyn menghela napas, menoleh pada Yunita yang menarik selimut hingga menutupi sebagian wajahnya. “Ya sudah. Aku akan keluar. Mama cepat sembuh biar kita bisa ribut lagi.” Ailyn bangkit, menuju ke pintu. “Kenapa kau selalu membuatku emosi, Wanita Sialan!” Yunita menyingkap selimut, lalu menggulungnya dengan cepat. Seolah tahu apa yang akan mertuanya lakukan, Ailyn bergegas keluar dan menutup pintu. Tepat saat pintu ditutup, selimut melayang dan mengenai lantai. Yunita bernapas kasar. “Kau bisa keluar. Buat Ailyn tetap berada di kamarnya agar rencana kita berjalan lancar,” kata Yunita. Pintu kamar mandi terbuka. Tampak Farel keluar dengan wajah dipenuhi senyuman. “Farel pergi dulu.” Pria itu mengendap-endap keluar dari kamar Yunita. Sementara itu
Ailyn menyenggol lengan suaminya saat melihat Yunita muncul dengan wajah suram, seolah kurang tidur. Kantung matanya menghitam. “Sepertinya, ada yang kurang tidur,” bisik Karan. Suasana masih sepi di ruang makan itu, sampai Kusuma menoleh pada istrinya yang duduk sembari memegangi perut. “Kau mirip sekali dengan kuntilanak kesurupan.” Kusuma bicara tanpa memandang. Tangannya bergerak cepat menyendok makanan. “Pa, panggilkan dokter. Mama sakit perut, mencret,” bisik Yunita, tapi tetap terdengar jelas di telinga Karan yang duduk di depannya. “Kau kan bisa panggil sendiri. Tak usah manja. Kau bukan anak kecil lagi,” kata Kusuma, meminum air. Ailyn dan Karan menunduk, menahan tawa. Sepertinya, harapan Karan terkabul agar Yunita sakit perut dan mencret. “Ih, Papa! Sakit sekali loh ini. Masa Papa tega membiarkan Mama kesakitan.” Yunita menyentuh bagian belakang tubuhnya yang sedikit terangkat. “Memang apa yang ka