Ailyn membuka pintu rumah. Sudah tak heran dengan kebiasaan di mana kalau bukan tengah malam, maka ia harus membukakan pintu untuk Mohan pagi-pagi sekali.
“Anak sialan! Tak tahu diuntung! Malah memilih pria tak jelas!” Mohan memasuki rumah sambil mengomel.“Aku sudah tak peduli dengan apa yang akan Ayah katakan,” balas Ailyn, memasuki kamar. Dibiarkannya Mohan menuju ke dapur.Pria itu menyingkap tudung saji, lalu berdecak kesal. “Mana makanannya, Ailyn? Kenapa kau tidak masak?” Mohan memekik, membuat Ailyn hanya menggerakkan bibir.“Aku tidak lapar, sekaligus malas memasak,” jawabnya. Beberapa pakaian di dalam lemari diperhatikan. Tak tahu akan ada pemotretan atau tidak, tapi dia bersiap-siap.Mendengar jawaban sang anak, Mohan kian emosi. Kini ia melangkah menuju ke kamar Ailyn.“Tidak lapar, katamu? Kau pikir hanya kau yang butuh makan? Saat kau tidak lapar, kau seenaknya tidak masak, begitu?”“Kalau AyaAlex memasuki rumah dengan pakaian santai. Sejak semalam, tidurnya terganggu. Ia berniat untuk beristirahat di kamar. Ketika pintu kamar dibuka, terlihat Marina tengah merapikan seprai. “Sayang, kau sudah sehat?” Alex bertanya. Marina menoleh, bergumam. Tangannya cekatan merapikan kasur dan meletakkan vas berisi bunga segar di atas nakas. “Mas sudah makan?” tanyanya, membiarkan sang suami mengecup kening. “Sudah. Tadi aku mengantar Gandhi untuk memeriksakan kesehatan, lalu makan di jalan menuju ke sini,” kata Alex. “Loh? Gandhi sakit apa?” Marina duduk di tepi ranjang, membiarkan sang suami mengusap rambutnya dengan mesra. “Kena tembak berandalan, semalam,” jawab Alex. Mustahil dia mengatakan Karan yang sudah menembaknya. Padahal dia sudah melarang semua anak buah untuk melukai anak tirinya karena takut ketahuan Marina, malah Karan yang tega menyakiti. “Tapi, Mas baik-baik saja, kan? Aku khawatir
“Tunggu, jelaskan dulu. Kau ... tidak akan menikahi si tua itu, kan, Ailyn?” Karan mendekat, tapi Mohan mendorongnya pelan. “Karan, aku—“ Ailyn terdiam. Kini ia merutuki dirinya yang sudah ceroboh menyebut nama Karan. “Pergilah. Kau masih muda, jangan mengejar Ailyn. Dia pantas mendapat yang seumuran. Sana, cari wanita muda.” Mohan memerhatikan wajah pria yang menurutnya tak pantas untuk Ailyn. Selain terlalu muda, dia juga tak berharap banyak. “Kau bilang memberiku waktu seminggu, dan itu baru akan berakhir besok malam. Jadi, tunggu aku meminta izin orang tua,” papar Karan. “Aku berubah pikiran. Waktumu habis. Jadi ... silakan pergi.” Mohan tersenyum lebar, bak senyum seorang Joker. “Ayah, aku akui, kami memang hanya teman. Tolonglah, jangan paksa aku menikahi orang yang tak aku inginkan. Hidup kami pasti tak bahagia.” Ailyn menyentuh lengan Mohan. Air matanya kian bertambah laju mengalir. Paling tidak, ia
Ailyn tak bisa memejamkan mata. Andai ditampung, air matanya sudah memenuhi ember besar. Lusa dia akan dinikahkan dengan orang yang tak diinginkan. “Ayah jahat! Kenapa tega padaku? Ibu ... aku rindu ibu. Aku ingin menyusul ibu saja,” ujarnya, masih dengan isak tangis. Sembari menutup kepala dengan bantal, wanita itu membiarkan segala kesedihan menyatu. Mohan sudah dibutakan uang yang Alex janjikan. Drrr ... Drr .... Ailyn mengambil ponsel yang bergetar sejak tadi. Tenaganya bagai dikuras habis. “Hm?” Tanpa memeriksa siapa yang menelepon, diletakkannya benda itu di atas telinga. “Ay, kau baik-baik saja? Aku takut terjadi sesuatu padamu.” Suara Karan terdengar lirih, nyaris tak terdengar apa-apa. “Aku dikunci di kamar.” Ailyn menyeka air mata, mulai membetulkan posisi duduknya agar bersandar. “Aku ... sudah mengatakan pada Papa tentang rencanaku itu.” Karan yang hanya memakai kaos berwarna putih dan cela
Ailyn menoleh kala pintu dibuka. Mohan memasuki kamarnya sembari membawa nampan makanan. “Makanlah! Kau butuh tenaga untuk hidup,” ujarnya. Diletakkannya nampan di dekat Ailyn. Wanita itu tak menghiraukannya. Yang diperhatikan malah pintu yang dibuka. ‘’Kesempatan untuk kabur,' batinnya. Sayang, seolah dapat membaca apa yang terucap di hati Ailyn, Mohan langsung berkata, “Jangan berpikir untuk bisa kabur. Selangkah kakimu keluar dari kamar ini, maka nyawaku taruhannya!” “Bawa saja makanannya, aku tak lapar. Lebih baik kalau aku mati saja biar aku bertemu dengan Ibu,” katanya, menatap jendela. Sejak semalam ia berusaha membuka, tapi tak bisa. Mohan sudah menguncinya dari luar. Kalaupun bisa keluar, Indah akan siap mencegah. Tepat di belakang rumah Ailyn, berdekatan dengan dapur Indah. Akan mudah bagi wanita penggosip itu untuk ikut campur. “Heh! Kau pikir semudah itu bertemu orang yang sudah mati? Kau p
Alex berlari menaiki tangga. Tenaganya yang masih kuat dan tubuhnya yang sehat bugar, memudahkannya bergerak. “Kiran!” panggilnya, cukup lunak. Entah ke mana anaknya berlari, ia tak sempat melihatnya tadi. Takut sampai Kiran memberi tahu Marina, buru-buru ia memasuki kamar. “Kiran, Sayang.” Pandangannya memerhatikan seluruh isi kamar. Tampak Marina memeriksa koper suaminya. “Mas, kenapa kau menyiapkan koper sekarang? Bukannya kau ke Bangladesh lusa?” tanyanya. Alex menelan ludah, perlahan mendekati sang istri yang tampak bingung dan ingin mengetahui segera. “Begini, Sayang. Aku pikir, akan lebih baik kalau aku berangkat hari ini. Lagi pula, kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi di perjalanan, kan?” Alex mengelus punggung istrinya, mengecup pelan. Harus ekstra hati-hati dalam berbicara, atau semua akan berakhir fatal. “Untuk apa kau ke sana? Mengirim barang lagi? Bukannya kau sering menyuruh
Ailyn mengusap keringat. “Aku harus keluar. Jangan sampai mereka datang.” Dipukulkannya benda itu pada kaca jendela yang tak terlalu besar. Berukuran persegi. Cukup sulit memang, tapi ia berusaha. Tak peduli jika kacanya pecah dan Mohan marah, yang ia pikirkan hanya bagaimana cara lolos dari tempat itu. “Berhasil!” Ailyn berhasil menghancurkan kaca. Perlahan ia mengambil pecahan yang masih tertancap, lalu mengumpulkannya di sudut. Dengan menaiki wastafel yang agak licik, Ailyn berusaha keras untuk keluar. Meskipun tak terlalu tinggi, jatuh dari tempat itu lumayan sakit. Brakkk! Tubuh Ailyn mendarat di tumpukan kardus setelah melompat. Kakinya terkilir, tapi ia masih bisa berdiri. “Aku harus cepat pergi sebelum nenek peyot itu melihat.” Ailyn memerhatikan dapur Indah. Sepi. Berarti, aman baginya untuk kabur. “Suara apa itu?” Terdengar suara yang membuat Ailyn buru-buru memasang high heel, lantas berlari
“Ikuti mobil itu! Itu mobil Karan!” Alex menunjuk pada mobil di depannya yang melaju kencang. Dia yakin akan berhasil menangkap Ailyn dan Karan. “Bos, Nyonya menelepon,” kata Gandhi sembari menyetir. Ia melihat ponsel di kursi sebelah berdering. “Dia meneleponmu karena aku tak membawa ponsel. Sial! Gara-gara marah, aku melempar ponsel sembarangan.” Alex tampak geram. “Apa harus aku angkat?” tanyanya, melirik dari kaca spion. “Ya. Katakan ada rapat mendadak. Aku harus menangani sesuatu,” ucap Alex, memerhatikan mobil di depannya. Gandhi pun mengambil ponsel, lantas menjawab telepon Marina. “Halo, Nyonya.” “Kau di mana? Apa kau bersama Mas Alex?” Marina terdengar cemas saat suaminya pergi dengan marah. “Di jalan, Nyonya. Kami mendapat telepon penting. Ada barang selundupan yang ditahan polisi. Jadi, kami akan mengadakan rapat dengan anggota mafia,” tutur Gandhi. Terdengar Marina mengeluh. Dia ingin agar
Kusuma menuruni tangga sambil melihat-lihat keadaan rumah. Sepi sekali, pikirnya. “Farel, di mana Karan?” tanyanya. “Dia bilang ada urusan penting, Pa. Katanya sih, mau ngurus surat kontrak dengan PT Suedanis. Entah ya, kok belum pulang.” Farel pura-pura menatap arloji, semakin membuat Kusuma curiga. Pria paruh baya itu mengira saat ini Karan pasti menemui model itu. “Apa tadi ... model itu masuk kerja? Aku lupa untuk memperingatkan agar dia tidak mendekati Karan.” Kusuma berhenti di anak tangga terakhir. “Sepertinya tidak, Pa. Soalnya Geri bilang syuting ditunda sampai lusa.” Farel membuka kancing teratas bajunya. “Karan tidak bisa dihubungi. Apa dia ke rumah Marina? Ah, mungkin saja.” Langkah Kusuma yang sempat terhenti diteruskan. Tak peduli pada Farel yang memerhatikan punggung sang ayah tiri sampai Kusuma menghenyakkan tubuhnya ke sofa. “Pa, bagaimana kalau tiba-tiba Karan kawin lari? Kita harus memiki
“Om adalah teman Papamu. Ambil ini dan berikan pada Ailyn.” Pria itu menyerahkan kado kecil pada Kiran. “Ini apa, Om?” tanyanya dengan polos. “Berikan saja, ya. Kiran kan anak baik.” Pria itu mengelus pipi dan kepala Kiran. Setelah itu, ia menghilang dari pandangan. Heran dengan kado kecil itu, Kiran meletakkan mangkok dan berlari mendekati Ailyn. “Kak, ini untuk Kakak,” katanya. “Wah, ini apa, Sayang?” Ailyn tersenyum, menerima kado itu. Kiran menaikkan pundak. “Entah. Tadi ada pria, katanya teman Papa. Dia nyuruh Kiran memberikannya pada Kakak.” “Apa?” Ailyn terkejut. Dilihatnya sekeliling. Tidak ada wajah yang mencurigakan. Lalu, siapa pengirimnya? Dibukanya kado yang ternyata berisi surat. Jantung Ailyn berdebar hebat. Rasa takut yang sejak beberapa hari dirasakan, ternyata suatu pertanda. “Aku tahu, suatu saat aku akan mati. Entah karena penyakit yang selama ini menyerang atau terbunuh Karan. Aku sudah lama
Ailyn sedang becermin. Meja rias yang dipenuhi berbagai macam alat kecantikan itu terlihat seperti milik perias. Terinspirasi dari meja rias di rumah Lila waktu itu. "Aku merasa semakin gendut." Ailyn memeriksa tubuhnya. Malam ini adalah acara syukuran tujuh bulanan. Mereka mengundang beberapa rekan kerja, baik dari perusahaan ataupun rekan sesama artis. “Sayang, kau sudah siap?” Karan memasuki kamar. Ia berdecak kagum melihat istrinya menggunakan pakaian longgar dan panjang berwarna merah. “Wah, kau mau ke pesta apa bagaimana ini? Kok cantik sekali. Sudah seperti mau photo shoot saja.” Karan mengecup sekilas. Ailyn membiarkan Karan mengelus perutnya yang kian membesar. “Kau baru saja memberi ide. Bagaimana kalau kita photo shoot setelah ini? Aku kan model, Karan.” “Terserah kau saja. Ayo, Sayang. Tamu sudah datang.” Pria berkemeja biru itu menggandeng tangan istrinya yang mulai kesulitan berjalan. Dibiarkann
Ailyn dan Karan mendekat. Keduanya tak menyangka akan bertemu Bella setelah sekian lama. “Ka-kalian di sini?” Bella menutupi wajah anaknya dengan tas. “Itu ... Anakmu?” tanya Ailyn, sembari mengusap perut. Bella mengangguk, sedikit gugup. Ia malah menoleh ke kanan dan kiri seperti menunggu seseorang. “Apa yang kau lakukan panas-panas begini di parkiran?” Karan ikut memerhatikan sekitar. Tak ada siapa pun yang bisa diperhatikan. “A-aku menunggu sopir.” Bella menjawab dengan terbata-bata, sementara sang anak mengibas tangannya sampai tas itu terjatuh. Gelagapan Bella memungutnya sebelum diambil Karan yang juga membungkukkan badan hendak membantu. Sopir? Anak kecil? Ada banyak pertanyaan di benak Ailyn. Selama ini yang ia tahu Bella dikirim ke luar kota karena hamil anak Krishna yang belum keluar dari penjara."Papamu membantu keuanganku sampai sekarang. Dia juga yang menyediakan tempat tinggal dan sopir," tutur
Jovan melirik sekilas. Mendadak ia juga merasa khawatir. Apa yang sebenarnya terjadi pada majikannya? Kenapa rasa bahagia itu lenyap seketika? “Karan, a-aku tidak tahu harus bagaimana. Yang jelas, anak ini milik kita. Anakku dan anakmu.” Ailyn menangis, menyentuh perutnya. Melihat istrinya menangis, Karan tertawa keras sampai terpingkal-pingkal. Hal itu membuat Ailyn penasaran, apa yang terjadi. “Aku tahu, Sayang. Aku hanya bercanda. Masa iya, aku meragukan kehamilanmu. Ada-ada saja kau ini.” Karan memeluk Ailyn yang memukul dadanya karena kesal. Sesaat tadi pikirannya sudah negatif. Beberapa detik lalu rasanya amarah ingin meluap. “Jahat!” Ailyn memukul, tapi semakin mengencangkan pelukan. Mendapati semua hanya candaan semata, Jovan mengurut dada, lega. Keduanya pun sepakat untuk pergi ke dokter kandungan sebelum memberitahukan kabar baik itu pada keluarga. Sesampainya di rumah sakit .... “Selam
Hari yang hening, di mana bunga-bunga nan indah beserta daun pandan yang diiris tipis ditaburkan ke makam. Suara tangis bersahutan. “Papa!” rintihan dan kesedihan tergambar jelas di wajah mungil itu. Wajah yang kini semakin basah karena air mata. Makam dengan batu nisan berwarna putih bertuliskan nama seseorang mulai ditaburi bunga. Alex Brawijaya. Seorang pria yang tewas dalam perkelahian semalam. “Jangan bersedih. Ini sudah takdir, Sayang,” bisik Ailyn, merangkul pundak adik iparnya yang terus saja memeluk batu nisan. Karan ikut berjongkok. Peristiwa semalam bukan hanya kelabu, tapi gelap segelap-gelapnya. Seorang pria dengan obsesi tinggi telah pergi untuk selamanya. “Iya, Sayang. Biarkan Papa beristirahat dengan tenang.” Karan menimpali. Air matanya turut menetes. Ditolehnya beberapa orang yang mulai meninggalkan pemakaman. Sengaja makam Alex diletakkan bersebelahan dengan makam Marina, sesuai permintaan Kiran.
Kusuma berlari keluar dari mobil menuju ke rumah sakit. Ia dikabari sang istri sakit perut sampai dilarikan ke rumah sakit. Namun, belum juga menginjakkan kaki di tempat itu, pengawal pribadi Ailyn mencegah. “Tuan, tak perlu masuk,” katanya. “Memang kenapa? Apa wanita itu ... maksudku, Yunita baik-baik saja?” Kusuma enggan menyebut kata istri. “Dia hanya pura-pura sakit agar bisa mengecoh kita. Nyaris saja saya kecolongan kalau tidak segera membaca situasi,” paparnya, membuat Kusuma mengernyitkan dahi. “Mengecoh? Kecolongan? Apa yang kau bicarakan? Tunggu! Kau siapa?” Kusuma baru menyadari pria asing yang kini bicara dengannya tak pernah ia kenal. “Saya pengawal pribadi Nona Ailyn mulai hari ini. Tadi saya dan beberapa teman diminta mengantar Nyonya ke sini, tapi saya mendapat telepon anak buah diserang.” Pria itu menceritakan bahwa saat ini anak buahnya dikunci di kamar bersama pengawal yang lain, termasuk pelayan da
“Emmm .... “ Ailyn berusaha melepaskan ikatan yang membelenggu kaki dan tangannya. Karena mulutnya disumpal dengan sapu tangan, ia tak bisa berteriak. Semua terjadi begitu cepat tanpa bisa dicegah. “Sstttt! Jangan berisik, Sayang. Aku datang untuk memberi akhir yang indah pada cerita kita,” lirih Alex, mengusap pipi Ailyn dengan jarinya. Berhasil mengikat kedua tangan dan kaki Ailyn di atas ranjang, Alex melempar masker dan topi sembarangan ke lantai. “Emmmm!” Ailyn berusaha keras melepaskan ikatan yang terasa menyakiti pergelangan tangan dan kaki. “Ah, aku merasa terlalu jahat. Kau pasti ingin bicara denganku, kan?” Alex menaiki ranjang, membuka sumpal di mulut Ailyn. “Sialan!” Ailyn bernapas tersengal, membiarkan rambutnya menghalangi wajah. Keringat dingin mulai deras mengucur di kening dan lehernya. “Jangan terlalu kasar. Aku datang untuk menjemputmu. Lihat, aku bawakan surat ceraimu.” Alex mengeluarkan kertas yang
Meskipun Yunita melarangnya masuk ke kamar, tetap saja Ailyn bersimpati dengan sering-sering memeriksa keadaan mertuanya. “Keluar kau! Aku tak sudi melihatmu!” Ailyn menghela napas, menoleh pada Yunita yang menarik selimut hingga menutupi sebagian wajahnya. “Ya sudah. Aku akan keluar. Mama cepat sembuh biar kita bisa ribut lagi.” Ailyn bangkit, menuju ke pintu. “Kenapa kau selalu membuatku emosi, Wanita Sialan!” Yunita menyingkap selimut, lalu menggulungnya dengan cepat. Seolah tahu apa yang akan mertuanya lakukan, Ailyn bergegas keluar dan menutup pintu. Tepat saat pintu ditutup, selimut melayang dan mengenai lantai. Yunita bernapas kasar. “Kau bisa keluar. Buat Ailyn tetap berada di kamarnya agar rencana kita berjalan lancar,” kata Yunita. Pintu kamar mandi terbuka. Tampak Farel keluar dengan wajah dipenuhi senyuman. “Farel pergi dulu.” Pria itu mengendap-endap keluar dari kamar Yunita. Sementara itu
Ailyn menyenggol lengan suaminya saat melihat Yunita muncul dengan wajah suram, seolah kurang tidur. Kantung matanya menghitam. “Sepertinya, ada yang kurang tidur,” bisik Karan. Suasana masih sepi di ruang makan itu, sampai Kusuma menoleh pada istrinya yang duduk sembari memegangi perut. “Kau mirip sekali dengan kuntilanak kesurupan.” Kusuma bicara tanpa memandang. Tangannya bergerak cepat menyendok makanan. “Pa, panggilkan dokter. Mama sakit perut, mencret,” bisik Yunita, tapi tetap terdengar jelas di telinga Karan yang duduk di depannya. “Kau kan bisa panggil sendiri. Tak usah manja. Kau bukan anak kecil lagi,” kata Kusuma, meminum air. Ailyn dan Karan menunduk, menahan tawa. Sepertinya, harapan Karan terkabul agar Yunita sakit perut dan mencret. “Ih, Papa! Sakit sekali loh ini. Masa Papa tega membiarkan Mama kesakitan.” Yunita menyentuh bagian belakang tubuhnya yang sedikit terangkat. “Memang apa yang ka