SKL 6
.
Di sebuah kamar sederhana, seorang gadis tertidur pulas memberi hak tubuhnya yang begitu lelah sejak pagi hingga malam menjelang.
Suara ponsel berdering membangunkan tidurnya. Nabila beringsut duduk dan mengambil ponsel yang terletak di nakas. Gadis itu menguap dan mengucek matanya agar bisa melihat dengan jelas siapa penelepon di tengah malam itu.
Deandra Pradipta SMA. Begitu Nabila menyimpan kontak Dee.
"Halo, Bila … Nabila aku mau minta tolong. Plis help!" teriak Dee begitu Nabila menggeser layar untuk mengangkat telepon.
Nabila sempat tersentak mendengarnya. Lalu, sambungan terputus tiba-tiba dan belum sempat Nabila simpulkan apa yang terjadi.
Nabila terlihat kebingungan dengan sisa kantuk yang bersarang. Ponsel masih ia genggam di tangannya. Pasalnya yang menelepon bukan sahabatnya atau teman dekat, tapi teman yang dulu sangat tidak menyukainya.
Namun, Nabila kembali berpikir tentang satu kalimat yang diucapkan Dee sebelum sambungan terputus. Gadis itu menggeleng pelan, masih memikirkan kemungkinan Dee menghubunginya. Kini mata itu sepenuhnya terbuka, dan mulai berpikir kemungkinan bahwa Dee sedang dalam bahaya.
Nabila kembali mencoba menghubungi nomor Dee lewat telepon seluler. Dari nada bicaranya tampak Dee serius sedang membutuhkan pertolongan, meskipun Nabila sendiri tak tahu mengapa. Setahunya Dee dikabarkan menikah dengan seorang putra pewaris tunggal.
Di sudut halte yang dikelilingi kegelapan itu, Dee kembali harus memaki keadaan. Kuotanya habis tak tahu keadaan sedang darurat. Untuk pertama kali ia berdoa dalam hatinya, semoga Nabila menghubunginya balik entah dengan apa pun caranya.
Ponselnya berdering, tanpa disadari Dee tersenyum merasa lega karena doanya terkabul. Padahal sebelumnya ia bahkan tak sudi berbicara dengan Nabila yang menurutnya norak plus cupu.
"Halo … Bila," panggil Dee. Ia menurunkan ponselnya dan menatap layarnya, begitu takut jika sambungan itu kembali terputus.
"Dee?" tanya Nabila memastikan, meskipun ia beberapa kali sudah melihat profilnya. Ia tak mau percaya begitu saja, karena memang dihubungi oleh Dee adalah sesuatu yang janggal. Atau penipuan, bisa saja terjadi di zaman sekarang.
"Iya, ini aku, Bil." Dee berusaha meyakinkan.
"Tolongin aku," ucap Dee dengan sungkan. Ada rasa malu menghakimi dirinya, baik dengan Nabila hanya saat membutuhkan.
"Bukankah kamu menikah tadi pagi?" tanya Nabila bingung.
"Iya, dan aku ditalak bahkan belum sehari menikah. Aku diusir dari rumah, Bil." Kembali air mata Dee mengalir meski ia coba untuk menahannya. Kalimat Bryan, bentakan mama dan papa yang mengusirnya kembali berputar di kepala.
Nabila terkejut bukan kepalang, bahkan ia yang sedari tadi duduk di kasur kini berdiri dan berjalan mengitari kamar seolah sedang mencari serpihan jawaban dari semua kebingungannya.
"Kenapa, Dee?" tanya Nabila penasaran
Dee diam tak menjawab, hanya isak tangis yang terdengar menyayat. Nabila melihat jam yang ada di dinding kamar, sudah pukul satu pagi hari.
"Oke, lupakan jawabannya. Kamu nggak harus cerita. Sekarang posisimu di mana?" tanya Nabila yang tak mendesak jawaban dari Dee.
"Halte jalanan," jawab Dee.
"Astaghfirullah, Dee. Kamu harus aman dulu. Cari tempat yang aman, hotel murah atau apa."
Dee hanya mengangguk pelan meski Nabila tak melihatnya. Ia ingin datang ke rumah Nabila, tapi gadis itu sudah tidak tinggal di Jakarta sejak orangtuanya meninggal.
"Aku sekarang di kampung nenek, di Surabaya. Nanti aku kirim alamatnya, tapi datang besok aja, soalnya nggak ada bus yang akan ke sini malam-malam begini."
Kembali Dee mengangguk seraya mengusap air matanya.
"Gegas sekarang, Dee. Aku takut ada preman di situ."
"Iya," jawab Dee lesu.
"Kamu ada uang?" tanya Nabila. Hatinya merasa pilu mendengar kabar Dee yang sama sekali tak terbayang sebelumnya. Jauh berbeda.
"Ada," Dee mengatakan ada sedikit uang untuk bertahan di Jakarta dan menuju ke rumah Nabila.
Dee berdiri dan kembali mendorong kopernya saat melihat sebuah taksi lewat di depannya. Ia segera menyetop agar tak ketinggalan, karena malam semakin larut.
"Aku udah di taksi, Bil." Dee menutup pintu taksi dengan cepat. Sesekali ia menatap sang sopir dengan penuh kecurigaan karena rasa takut.
"Jangan matiin ponselnya!" perintah Nabila yang seolah memahami keadaan Dee. Ia tahu betul mana pernah gadis itu naik taksi atau angkutan umum lainnya. Ke mana-mana selalu diantar sopir bak ratu yang dikawal.
Dee menarik napas lega, Nabila seolah membaca isi hatinya. Setidaknya berbiacara dengannya tak membuat keadaan dalam taksi terlalu sunyi.
Dee memerintahkan sopir untuk berhenti di sebuah hotel, tangannya sudah memegang pintu ingin membuka. Namun, ia urungkan saat menyadari keadaan diri yang belum beradaptasi. Dee salah, ia merasa masih Dee yang dulu hingga membuat sopir berhenti di sebuah hotel mewah.
"Lanjut, Pak. Di perempatan jalan, hotel sebelah kanan ya."
Dee menyuruh sang sopir untuk melanjutkan perjalanan dan berhenti di hotel sederhana yang bayarannya hanya tiga ratus ribu per malam.
.
"Bro, seriusan lo cerai sama Dee?" tanya salah satu teman kantor Bryan yang menjabat sebagai kepala HRD. Ia mencampakkan sebuah koran yang memuat berita dua keluarga yang sedang hot itu.
Bryan yang sedang menikmati kopi di ruangnya mengangguk dengan pasti.
"Karena?" tanyanya lagi.
"Lo nggak bisa baca ya?" sindir Bryan.
"Ya, bukan itu. Gue nggak percaya aja." Arnold menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Gak nyangka ya. Gue pikir ya elegan banget, cantik banget, ternyata bablas banget juga."
Media berita sedang panas memberitakan kasus perceraian sepasang pengantin yang dianggap sebagai pernikahan paling mewah. Perpaduan kekuatan dua perusahaan besar. Perpaduan pengantin cantik dan tampan yang akan melahirkan anak-anak yang berparas indah dan cerdas. Ternyata semuanya diluar ekspektasi. Di situ tertulis bahwa Dee membohongi Bryan karena tak bisa menjaga kesuciannya dan tak jujur dari awal.
Semua orang heboh menggosipkan itu di sana sini. Bahkan Renita dan William terpaksa harus pulang karena kuping mereka terasa panas mendengar itu.
"Selama ini kami mendidik anak-anak dengan baik, terkadang memang ada hal yang dilakukan di belakang kita yang tidak kita ketahui. Dee sudah menanggung akibat dari perbuatannya, kami mencoretnya dari barisan keluarga Pradipta agar ia tahu akibat dari perbuatannya."
Renita mengklarifikasi dengan tenang saat ditemui awak media.
Tak ada yang bisa mereka lakukan, selain mengelak dan menunggu hingga berita itu perlahan memudar dan hilang dengan sendirinya. Meskipun tetap saja mereka akan dikenang sebagai orangtua yang memiliki anak yang dijandakan di malam pertama.
"Ada yang menghubungi Dee?" tanya William pada anak-anaknya.
Nadine dan Carissa menggeleng.
Jantung Carissa tak henti berdegup, ia takut jika ketahuan memberikan uang untuk Dee. Ia takut jika salah satu satpam memergokinya keluar dari rumah. Namun, ia tetap berusaha tenang agar tak mencurigakan.
"Kalau sampai ada yang menemui atau menghubungi Dee, bersiaplah menuai nasib yang sama." William menatap tajam pada kedua anaknya. Menegaskan bahwa tak ada lagi hubungan antara mereka dan Dee.
SKL 7.Pukul tujuh pagi, saat matahari yang begitu menantang sudah menembus masuk lewat jendela kamar di hotel. Dee sudah membereskan semua barang-barang dan bersiap untuk melanjutkan tujuan. Sejenak ia membuka ponsel ingin memberitahu Nabila bahwa ia akan berangkat dengan kereta api. Semalam saat Dee tiba di hotel, ia tersenyum malu sekaligus perih melihat notifikasi top up kuota dari Nabila.Gadis itu membulatkan mata dengan dada yang tiba-tiba kembali sesak saat melihat sebuah notifikasi yang memberikan berita tentang perceraiannya. Sesaat Dee kembali duduk di ranjang sederhana itu, demi membaca setiap kalimat yang ditulis oleh pemilik tulisan. Dee menggengam erat ponsel di tangannya dengan merapatkan giginya. Bisa-bisanya Bryan dan keluarga mengumumkan berita perceraian itu beserta sebabnya, yang membuat nama Dee semakin buruk di media. Nama yang dulu dikenal sebagai putri dari pengusaha kaya raya yang selalu tampil elegan, kini malah kebalikannya.Dee mengutuk si penulis berita
SKL 8.Setelah putus dari Aldo, Dee tetap melanjutkan hidupnya seperti biasanya. Ia tak ingin galau berkepanjangan, lebih tepatnya tak terlalu menampakkan di depan orang lain, meski sebenarnya ia sakit hati juga kecewa. Namun, Dee tak pernah menjadi pengikut setia kalimat penggalau cinta.'Aku tak bisa hidup tanpamu.''Nadiku berhenti berdenyut tanpamu.'B u l s h i t! Kalimat-kalimat galau yang menurut Dee tidak masuk akal.Gadis itu tetap kuliah, pulang ke rumah dan keluar di malam hari. Ia bersama teman-temannya kerap mengunjungi klub malam dan minum hingga mabuk. Setelah itu ia tak akan pulang ke rumah, menginformasikan orangtuanya tak bisa pulang karena sudha terlalu larut sebab mengerjakan tugas kuliah. Lalu, ia akan menginap di hotel, atau menginap di kos teman.Orangtuanya tak begitu peduli dengan pergaulannya karena mereka sendiri sibuk dengan perusahaan yang semakin berkembang pesat. Sebab itu, hidup Dee semakin liar.Hari terus berjalan, dan aktivitas Dee masih sama. Siang
SKL 9.Setelah pertemuan itu, Dee dan Danial semakin dekat. Keduanya saling merasa cocok dan bahkan terang-terangan sepakat untuk melakukan misi yang sama. Balas dendam antara hati ke hati. Sasaran mereka adalah Aldo dan Sofia.Setiap pagi sebelum berangkat ke kantor, Danial selalu menyempatkan diri untuk mengantar Dee ke kampus sesuai dengan janjinya. Setiap kali ada waktu, mereka jalan berdua, mengintai ke tempat yang sama dengan Aldo dan pacarnya. Seperti hari itu, Dee dan Danial mengikuti Aldo yang memasuki sebuah restoran mewah saat makan siang. Dee melangkah dengan anggun seraya tangan tetap mengait di lengan Danial. Keduanya terlihat begitu romantis dengan senyum terukir, tangan yang saling menggenggam dan canda tawa saat saling bercerita.Diam-diam Aldo mengamati mereka, hingga gadis depannya itu mengikuti arah Aldo memandang. Terlihatlah seorang Dee di sana tengah mengobrol dengan pacar barunya. "Sayang," panggil gadis itu pada Aldo. Seketika ia merasa cemburu dengan tatap
SKL 10.Dee melihat jam di ponsel sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Ia baru saja turun di stasiun kereta api. Lebih dari sepuluh jam di dalam kereta, dan ia sempat sejenak tertidur karena lelahnya pikiran. Gadis itu mengedarkan pandangan ke sana ke mari, mencari sesosok yang mungkin sedari tadi menunggunya, tapi ia tak menemukan."Gapapa, Bil. Aku naik taksi aja ya," tolak Dee saat Nabila menawarkan diri untuk menjemputnya di stasiun kereta api.Dilihat dari lokasi yang dikirimkan oleh Nabila, rumahnya tak terlalu jauh dari stasiun tempatnya turun. Mungkin hanya memakan waktu sekitar lima belas atau dua puluh menit dengan menggunakan motor.Nabila tertawa di seberang sana. Menertawakan Dee yang mungkin belum terbiasa dengan kondisi yang sekarang. Yang ada di pikirannya angkutan hanya berupa jenis mobil."Nggak ada taksi di sini, Dee. Kalau pun ada jarang," kata Nabila.Dee mengerutkan kening, sadar diri akan keadaaan. Lantas ia kembali membuka dompet dan melihat uang yang
SKL 11."Aku mau mandi dulu, takut magribnya kelewat," ucap Nabila yang berdiri di pintu kamar Dee. Ia membawa Dee dan barang-barangnya ke sebuah kamar yang akan ditempati gadis itu entah sampai kapan. Tadi pagi Nabila sudah membersihkannya sebelum membuka warung dan mengajar di pondok pesantren.Nabila juga menjelaskan bahwa kamar mandi di rumah itu hanya satu, dan Dee mengerti. Itu artinya setiap akan mandi penghuni rumah harus mengantri."Atau mau salat magrib barengan sama aku dan nenek?" tanya Nabila sebelum beranjak dari kamar itu.Dee diam, tiba-tiba darahnya seolah berhenti mengalir entah sebab apa, ada rasa takut mendengar kata salat. Seumur hidup ia tak pernah mengerjakannya, meskipun ia tak lupa bagaimana panggilan adzan berkumandang, tapi ia selalu mengabaikan. Terkadang saat ia pulang siang hari, sore atau entah kapan yang tetap diabaikan.Gadis itu menelan ludah dengan susah, ia menggaruk bagian belakang kepalanya. Dee tak pernah tahu cara salat, gerakan-gerakannya. Ia
SKL 12."Kamu ingin semua orang punya pemikiran sepertimu," "Sama seperti saat kamu bully aku waktu SMA," tambah Nabila sedikit mengenang masa lalunya."Semua orang harus seperti kamu, yang nggak sama seperti kamu berarti salah. Pemikiran kamu itu ternyata masih bertahan sampe sekarang,"Dee menatap Nabila beberapa saat, terlihat bingung karena temannya ternyata juga ikut menyalahkannya, dan malah menyangkut-pautkan dengan masa lalu. Diakui ia memang sering membully dulu, tapi haruskah dibahas sekarang saat hatinya benar-benar porak poranda?"Kamu masih marah sama aku?" tanya Dee.Nabila menggeleng dengan pasti. Luka itu memang menyakitkan, dan setiap akan tidur Nabila selalu mencoba memaafkan, tapi tetap tak bisa terlupakan."Jadi?" tanya Dee dengan nada lirih. Lebih ke pasrah pada apa pun yang nanti akan dikatakan Nabila. Pasrah karena posisinya sekarang hanya sebagai penumpang, dan ia tak tahu lagi harus ke mana jika Nabila tidak menerimanya.Pasrah karena posisinya memang bersal
SKL 13.Beberapa tahun yang lalu.Dua satpam berdiri dengan sikap tegas di depan gerbang menyambut anak-anak yang masuk ke sekolah, atau para orangtua yang memasuki mobil mewahnya ke pekarangan sekolah yang luas demi mengantarkan anak-anaknya.Sekolah elit, rata-rata perkumpulan anak-anak pengusaha dan pejabat. Hampir tidak ada anak-anak yang berasal dari ekonomi kelas menengah ke bawah yang sekolah di sana.Kecuali Nabila. Nabila Asyifa, nama yang disematkan oleh kedua orangtuanya.Saat para siswa-siswi lain diantarkan oleh orangtuanya naik mobil mewah, ia malah menggunakan angkutan umum. Atau jika ibunya sedang tidak sibuk, maka akan diantarkan naik motor hingga di depan gerbang sekolah. Nabila biasanya datang lebih awal, karena jiwa muda dan labilnya masih merasa minder dengan perbedaan. Perbedaan hidupnya dan anak-anak di sini.Ia bukan anak pindahan, tapi anak yang direkomendasikan SMP-nya untuk mendapatkan beasiswa melanjutkan sekolah di sana. Nabila merasa bahagia karena ia m
SKL 14."Astaghfirullah …," ucap dua orang lelaki yang berdiri di depan pos jaga bersamaan. Beberapa detik yang lalu keduanya sibuk mendengarkan ceramah-ceramah agama dari ponselnya. Lalu, saat mereka melihat ke pagar, seorang gadis dengan cepat melangkah masuk ke pesantren yang pagarnya sedikit terbuka. Keduanya saling menatap dan mengurut dada melihat seorang gadis mengenakan celana hotpants dan kaus ketat yang membungkus bagian depannya, ia menenteng dua plastik besar berisi nasi kotak. Dua orang yang bertugas sebagai satpam itu terheran-heran mengapa gadis itu berani sekali memasuki arena pesantren dengan pakaian seperti itu."Kenapa sih, Pak? Kayak liat setan aja," gerutu Dee yang mendekat, ia tak terima dengan sikap mereka. Sikap yang menunjukkan bahwa Dee begitu tak layak berada di depan mereka."Kamu nggak bisa baca ya, Neng?" tanya salah satu lelaki itu."Baca apaan?" tanya Dee.Telunjuk dua lelaki itu bersamaan menunjukkan sebuah plang bertuliskan kawasan wajib menutup aur
SKL 34."Saya terima nikah dan kawinnya Deandra Pradipta binti William Pradipta, dengan mas kawin yang telah tersebut tunai." Ustad Fatih mengucapkan kalimat sakral itu dalam satu tarikan napas. Membuat Dee yang duduk di sampingnya menarik napas lega saat semua saksi mengatakan sah."Sah!""Alhamdulillah," seru mereka serentak. Kemudian sejenak Abi membacakan doa keberkahan dalam acara tersebut.Dee tak mengadakan resepsi yang terlalu mewah seperti pernikahanya dengan Bryan beberapa bulan yang lalu. Tak menyewa gedung, dan pelaminan yang megah. Ia hanya meminta pesta sederhana di rumahnya, karena yang ia inginkan bukan lagi kemewahan, melainkan hubungan sah di hadapan Allah dan hambanya.Hanya keluarga besar yang hadir di sana. Keluarga Dee dan keluarga Ustadz Fatih. Tak lupa Nabila dan nenek ikut hadir menyaksikan pernikahan Dee.Dee terlihat cantik dibalut gaun pengantin berwarna putih. Sangat jauh berbeda dengan pernikahan yang dulu dengan gaun seksi menampakkan belahan dada, jug
SKL 33."Bil, aku mau suruh Simbok buat beresin kamar untukmu dulu ya, atau mau di sini?" kata Dee saat ia membereskan beberapa baju yang ia bawa dari rumah Nabila.Nabila mengamati seisi ruangan, dan melihat ranjang king size di tengah ruang yang terlihat sangat empuk."Nggak usah lah, Dee. Biar aku tidur di sini aja. Cuma untuk beberapa hari aja, kan?" tolak Nabila seraya mengelilingi kamar Dee yang ukurannya hampir keseluruhan rumahnya di kampung."Lagian kayaknya kita belum pernah ya tidur sekamar," kekeh Nabila. Sejenak Dee berpikir, benar apa yang dikatakan oleh Nabila. Saat ia datang ke rumah Nabila, ia tidur sendirian karena kamar rumah itu sempit-sempit. Jadi, Nabila mengutamakan kenyamanan Dee dengan kesederhanaan yang ia miliki.Kemudian Dee tersenyum menatapnya, sepertinya akan lebih seru jika setiap waktu bisa bersama Nabila. Bisa diajarkan baca Al-Qur'an lebih fasih, tadarus bersama, bangun salat malam bersama."Iya juga ya," ucap Dee dan melepas jilbabnya.Nabila berj
SKL 32."Nggak, Bil!" bantah Dee."Aku nggak mau pulang ke sana, mereka nggak mau terima aku lagi. Aku diusir, Bil. Kamu nggak tau gimana mama sama papa kalau udah marah, merengek pun di bawah kakinya mereka gak akan luluh." Dee kembali menggeleng dengan kuat saat Nabila memintanya untuk pulang menjemput restu orangtua.Perlahan Nabila mulai bisa berdamai dengan rasa tak terbalas dalam hatinya. Kini malah ia yang menjadi perantara hubungan Dee dan Ustadz Fatih, tentu melalui Abi dan Ummi.Keluarga Ustadz Fatih ingin datang langsung ke rumah orangtua Dee untuk melamar dan memperjelas hari dan tanggal pertunangan mereka dilakukan. Namun, Dee menolak dan tak berani pulang."Aku sudah memikirkan ini, Bil. Makanya aku nggak usah nikah aja, ribet. Nggak sanggup aku terusir untuk keduakali. Susah payah aku berdamai dengan rasa sakit, dan perlahan jadi rindu yang menyakitkan tanpa temu. Tak ada keberanianku untuk kembali ke rumah itu." Dee mengungkapkan isi hatinya."Nggak gitu, Dee. Restu o
SKL 31."Saya calon suaminya," ucap Ustadz Fatih dengan tegas. Lalu, ia mendekat pada keduanya yang tampak seperti orang sedang bertengkar.Mendengar itu Danial menatapnya, lalu tersenyum miring meremehkan kalimat lelaki itu. Siapa dia hingga berani mengatakan seperti itu di depannya.Tak menyiakan kesempatan, Dee langsung menarik tangannya dan melepas diri dari cengkeraman tangan Danial. Gadis itu menggosok lengannya yang terasa sedikit perih.Kini Danial kembali menatap Dee, bertanya lewat tatapan mata tentang siapa lelaki dengan peci hitam di kepalanya itu."Siapa dia, Dee?" tanya Danial.Dee hanya diam tak menjawab. "Dee …," panggil Danial meminta jawaban."Dia guruku di pesantren," jawab Dee singkat. Tak perlu menjelaskan banyak hal pada Danial. Pun, Dee tak terlalu percaya diri untuk mengiyakan bahwa Ustadz Fatih adalah calon suaminya.Ia mungkin akan berterimakasih untuk jawaban Ustadz Fatih, karena dengan seperti itu Danial pasti merasa hubungan Dee dan Ustadz Fatih lebih da
SKL 30.Dee menatap lama pada sosok lelaki yang terlibat dalam masa lalu kelamnya. Mendadak hatinya kembali gerimis, karena melihat wajah itu kembali mengingat dosa-dosanya.Danial.Di seberang jalan sana, lelaki itu masih terus menatap Dee. Namun ia lantas menyeberangi jalan karena Dee mulai bangkit dan ingin pergi darinya.Kali ini Danial tak boleh membiarkan Dee pergi lagi, sudah lama ia mencari keberadaan gadis itu sejak kepulangannya dari London untuk urusan bisnis bersama sang papa.Malam itu, ia berangkat tanpa memberitahu Dee yang menurutnya tidak penting dalam hidupnya. Toh, mereka hanya sebatas hubungan tanpa ikatan, dan bersatu hanya untuk membalas dendam pada sang mantan."Dee …!" panggil Danial menghentikan gadis itu."Tunggu!" teriaknya. Sempat ia mendapat makian dari beberapa pengendara motor karena menerobos jalan saat mereka sedang berkendara. Mungkin Danial sudah gi la hingga mau membahayakan nyawa sendiri demi seorang gadis.Dee terus melangkah menuju motornya, ras
SKL 29."Nabila udah makan, Nek?" tanya Dee saat ia keluar dari kamar dan menuju meja makan.Nenek hanya menggeleng. Sejak siang Nabila belum makan, bahkan hari ini ia tak mengajar di pesantren. Nenek sudah mencoba menasehati, dan mengajaknya untuk bercerita tentang apa yang ia rasakan saat ini. Selain itu, nenek hanya diam mengawasi membiarkan cucunya menikmati waktu untuk tenang.Dee langsung menuju kamar Nabila dan mengetuk pintu. Tak ada sahutan dari dalam sana saat ia memberi salam. Ia coba untuk membuka pintu, tapi sepertinya Nabila sengaja mengunci pintunya dari dalam."Bil … makan dulu yuk!" ajak Dee. Namun, tetap tak dihiraukan oleh Nabila."Sudah, Dee. Nanti kalau lapar dia pasti makan," ucap sang nenek.Seperti malam kemarin, saat nenek terjaga karena sesak pipis, ia melihat Nabila duduk di meja makan dan menikmati makannya. Hal itu membuat nenek urung ke kamar mandi, takut Nabila malu karena ketahuan makan diam-diam.Dee tak lagi membujuk, karena nenek juga menyuruhnya ma
SKL 28."Saya sudah tidak perawan." Dee kembali mengulang kalimatnya. "Bagaimana? Pikiran Ustadz berubah, kan? Tidak ada lelaki yang mau menikahi gadis seperti saya."Dee terpaksa harus mengatakan itu. Jika pun benar Ustadz Fatih menyukainya, setidaknya ia tak akan menyesal telah menikahinya nanti atau malah ia akan menuai nasib yang sama seperti pernikahan pertamanya.Juga karena memang benar itu kenyataan dalam hidupnya, ia juga harus jujur di depan Ustadz Fatih. Namun, lebih dari itu semua, yang terpikirkan olehnya hanyalah Nabila. Ia tak mau menjadi orang yang memangkas perasaan dan harapan Nabila. Demi Nabila, ia sanggup melakukan apa pun.Ustadz Fatih berdiri mematung di depan Dee, sulit menerima kenyataan atas ucapan gadis itu barusan. Dunianya seketika terasa runtuh oleh harapan dan ekpektasi yang terlalu dalam. Ia tahu Dee masih dalam proses berhijrah, tapi sama sekali tak tahu seburuk apa masa lalunya.Abi dan Ummi mendekat, dan melihat keduanya dalam jarak beberapa langka
SKL 27."Kenapa bisa seperti ini, Nak? Salah paham apa?" tanya Abi saat ia dan keluarganya tiba di rumah. Mereka berbicara lebih santai tanpa embel-embel Ustadz untuk keponakannya itu, karena sedang berada di dalam rumah."Benar gadis yang kami cintai itu adalah Dee?" Kini malah Ummi yang bertanya.Ustadz Fatih hanya mengangguk, "iya, Abi, Ummi. Saya menyukai Dee dan ingin mengenalnya lebih jauh untuk memantapkan hati melamar."Sejenak ketiganya berpikir keras, kenapa Nabila yang selalu ya sopan, tiba-tiba pergi begitu saja sebelum acaranya selesai. Bahkan saat mereka bertanya pada nenek pun, tak ada kejelasan yang menghilangkan rasa penasaran."Selama ini saya sering mengirimi surat untuk Dee. Maafkan saya, Abi. Seharusnya lebih dulu memberitahu Abi dan Ummi." Ustadz Fatih mulai jujur dengan apa yang selama ini terjadi tanpa sepengetahuan Abi.Abi dan Ummi menghela napas panjang, lalu mengobrol lebih banyak hal tentang kemungkinan yang terjadi antara dua gadis itu..Sementara di su
SKL 26."Silakan masuk Abi, Ummi, Ustadz," ucap nenek Ramlah mempersilakan tamu mereka masuk.Setelah salat asar, Ustadz Fatih beserta Abi dan Ummi melangsungkan niat untuk bertamu ke rumah itu untuk satu tujuan yang mulia. Ustadz Fatih sudah menceritakan keinginannya pada Abi dan meminta mereka untuk datang mewakili orangtuanya.Nabila juga sudah menceritakan semuanya pada nenek, sesuai dengan isi dari surat-surat itu. Keduanya hanya berkomunikasi lewat surat, dan hari ini Ustadz Fatih menepati janjinya.Dengan senyum mengembang, mereka masuk dan duduk di tempat yang telah disediakan. Nenek ikut duduk bersama, menunggu kedua cucunya yang sedang di dapur untuk menjamu tamu dengan hidangan alakadarnya."Siap kamu, Bil?" tanya Dee tak henti-hentinya menggoda. Ia pikir Nabila sudah lebih banyak kemajuan mengenai pengakuan perasaannya. Ia sudah berani bertemu dan chatingan dengan Ustadz Fatih."Jantungnya gimana, Bil, Aman?" tanya Dee mengedipkan sebelah matanya seraya memegang dada Nabi