SKL 12."Kamu ingin semua orang punya pemikiran sepertimu," "Sama seperti saat kamu bully aku waktu SMA," tambah Nabila sedikit mengenang masa lalunya."Semua orang harus seperti kamu, yang nggak sama seperti kamu berarti salah. Pemikiran kamu itu ternyata masih bertahan sampe sekarang,"Dee menatap Nabila beberapa saat, terlihat bingung karena temannya ternyata juga ikut menyalahkannya, dan malah menyangkut-pautkan dengan masa lalu. Diakui ia memang sering membully dulu, tapi haruskah dibahas sekarang saat hatinya benar-benar porak poranda?"Kamu masih marah sama aku?" tanya Dee.Nabila menggeleng dengan pasti. Luka itu memang menyakitkan, dan setiap akan tidur Nabila selalu mencoba memaafkan, tapi tetap tak bisa terlupakan."Jadi?" tanya Dee dengan nada lirih. Lebih ke pasrah pada apa pun yang nanti akan dikatakan Nabila. Pasrah karena posisinya sekarang hanya sebagai penumpang, dan ia tak tahu lagi harus ke mana jika Nabila tidak menerimanya.Pasrah karena posisinya memang bersal
SKL 13.Beberapa tahun yang lalu.Dua satpam berdiri dengan sikap tegas di depan gerbang menyambut anak-anak yang masuk ke sekolah, atau para orangtua yang memasuki mobil mewahnya ke pekarangan sekolah yang luas demi mengantarkan anak-anaknya.Sekolah elit, rata-rata perkumpulan anak-anak pengusaha dan pejabat. Hampir tidak ada anak-anak yang berasal dari ekonomi kelas menengah ke bawah yang sekolah di sana.Kecuali Nabila. Nabila Asyifa, nama yang disematkan oleh kedua orangtuanya.Saat para siswa-siswi lain diantarkan oleh orangtuanya naik mobil mewah, ia malah menggunakan angkutan umum. Atau jika ibunya sedang tidak sibuk, maka akan diantarkan naik motor hingga di depan gerbang sekolah. Nabila biasanya datang lebih awal, karena jiwa muda dan labilnya masih merasa minder dengan perbedaan. Perbedaan hidupnya dan anak-anak di sini.Ia bukan anak pindahan, tapi anak yang direkomendasikan SMP-nya untuk mendapatkan beasiswa melanjutkan sekolah di sana. Nabila merasa bahagia karena ia m
SKL 14."Astaghfirullah …," ucap dua orang lelaki yang berdiri di depan pos jaga bersamaan. Beberapa detik yang lalu keduanya sibuk mendengarkan ceramah-ceramah agama dari ponselnya. Lalu, saat mereka melihat ke pagar, seorang gadis dengan cepat melangkah masuk ke pesantren yang pagarnya sedikit terbuka. Keduanya saling menatap dan mengurut dada melihat seorang gadis mengenakan celana hotpants dan kaus ketat yang membungkus bagian depannya, ia menenteng dua plastik besar berisi nasi kotak. Dua orang yang bertugas sebagai satpam itu terheran-heran mengapa gadis itu berani sekali memasuki arena pesantren dengan pakaian seperti itu."Kenapa sih, Pak? Kayak liat setan aja," gerutu Dee yang mendekat, ia tak terima dengan sikap mereka. Sikap yang menunjukkan bahwa Dee begitu tak layak berada di depan mereka."Kamu nggak bisa baca ya, Neng?" tanya salah satu lelaki itu."Baca apaan?" tanya Dee.Telunjuk dua lelaki itu bersamaan menunjukkan sebuah plang bertuliskan kawasan wajib menutup aur
SKL 15."Nggak punya malu banget sih, udah jelas-jelas ini pesantren berani sekali berpakaian seperti itu," kesal salah satu satpam. Tangannya bergerak hendak kembali mengusir Dee yang masih disembunyikan Nabila di belakang tubuhnya."Maaf Ustadzah, gadis ini ngaku-ngaku sepupu ustadzah," tambahnya lagi memberitahu Nabila. Nabila hanya mengangguk, sembari kedua tangannya direntangkan untuk menutupi lekuk tubuh Dee. Meskipun tak banyak yang tertutupi, karena tubuh Nabila dan Dee hampir sama langsingnya.Namun, itu sebagai salah satu bentuk usaha Nabila untuk menjauhkan pandangan orang-orang di sana, terutama ustadz Fatih yang sedari tadi hanya menunduk, tak memandang ke arahnya."Dia teman saya, Pak. Maafkan kami."Dua satpam itu saling menatap, tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Nabila yang selama ini tampil syar'i ternyata memiliki teman yang bahkan gemar memakai baju tak cukup kain.Di belakang Nabila, Dee hanya mengamati mereka. Diam-diam ia juga mengamati bagaimana ustadz
SKL 16."Nyebelin banget ya santri-santri di sana," ujar Dee dengan wajah yang merah padam. Rasa kesalnya tampak belum berhenti mengingat cara mereka memperlakukannya di sana.Dee mendecak kesal, masih mengomel berapi-api saat ia sampai di rumah Nabila. Gadis itu merasa tersinggung dengan tatapan, ucapan dan perlakuan mereka."Udah gede gitu nggak bisa salat. Nutup auratnya nggak bener, bisa apa ya kira-kira?" "Nggak bener kali hidupnya. Ancur!""Malu-maluin banget nerobos pesantren pake pakaian kayak gitu."Beberapa santri membicarakan Dee saat mereka keluar dari musalla. Masih menggosipkan Dee yang berani berpakaian tidak tertutup dan memasuki area pesantren mereka. Mereka juga menertawakan gadis itu yang salah melakukan gerakan salat. Tatapan miris mereka yang melihat Dee seolah tak berguna, tak bisa melakukan ibadah dengan baik."Heran deh, apa begitu harusnya anak-anak pesantren, wajar?" tanya Dee menghempaskan duduknya di sebuah kursi di depan teras Nabila. "Ngomel mulu kamu,
SKL 17."Ajarkan aku menjadi sepertimu, Bil …!" pinta Dee pada Nabila.Dalam keheningan malam, Dee mendengar Nabila membaca Al-Qur'an dari dalam kamarnya. Seketika bulu kuduknya meremang seolah medasakan ketakutan. Dulu, ia pernah menonton film horor di bioskop bersama temannya. Tokoh dalam film itu membacakan ayat-ayat Al-Qur'an untuk mengusir setan, dan Dee seperti merasakan kembali kengerian itu.Nabila terkejut dan langsung melirik ke arah pintu saat pintu terbuka dan terlihat Dee di sana. Gadis itu membukanya seraya mengucapkan kalimat yang membuat kening Nabila bertaut. Ia baru saja selesai salah di sepertiga malamnya, seperti kebiasaannya sejak masuk kuliah. Hanya lewat sujudnya Nabila bisa membisikkan keluh kesahnya, juga menyampaikan rindu yang teramat untuk kedua orangtuanya.Setelah itu ia melantunkan bacaan ayat suci Al-Quran dengan suara pelan, yang mungkin lama kelamaan membuatnya kusyu membaca dan tanpa sadar bersuara lebih dari yang direncanakan, hingga membangunkan
SKL 18."Biar Dee aja, Nek. Sekalian belajar biar lancar motoran di jalan raya."Dee menawarkan diri untuk memberi bantuan pada nenek yang butuh pertolongan. Hari ini mereka akan membuat seratus nasi kotak untuk seorang dermawan yang akan membagikannya di hari Jumat berkah."Ditemenin Nabila ya," ucap nenek khawatir jika Dee pergi sendirian, mengingat ia bukan berasal dari sini. Beberapa hari ini gadis itu terlihat bersemangat membantunya, juga semangat untuk belajar membaca Al-Qur'an yang belum banyak kemajuan. Melihat perubahan itu, nenek pun jadi lebih menyukai Dee, sebagai bentuk menghargai usahanya."Nggak usah, Nek. Nabila biar di sini bantu Nenek. Kalau saya yang tinggal di rumah, takutnya bukan terbantu malah bikin nambah kerjaan," Dee nyengir pada nenek dan Nabila yang disambut tawa kecil mereka."Oke, lah. Aku yang bantu Nenek biar pesanannya cepat." Nabila akhirnya memutuskan seraya menyerahkan kunci motor pada Dee.Dee berjalan keluar dari rumah untuk membeli beberapa ke
SKL 19."Pesantren?" ulang Nabila seraya menautkan dua alisnya.Dee mengangguk yakin. Entah mengapa saat ia melihat Nabila menangis, rasa bersalahnya menjadi berkali-kali lipat, dan keinginan untuk masuk ke pesantren muncul begitu saja sebagai cara untuk dimaafkan. Dee tak berpikir lama untuk keputusan itu, tapi ia ingin Nabila memaafkannya dan tetap mau menjadi sahabatnya. Mungkin salah satu caranya adalah dengan menjadi lebih baik, dan tidak berpura-pura. Dee pernah beberapa kali diajak Nabila mendengar pengajian di sana. Ia menyimak meski tak sepenuhnya mengerti, tapi ketika ia lihat gadis-gadis di sana menyimak dengan fokus dan berdiskusi tentang materinya, Dee merasa iri. Iri pada cara mereka berbicara yang sopan, cara mereka berdiskusi dan takzim pada Ummi dan Abi. Lalu, setelah ia pikir-pikir mungkin rasa itu bukan iri, melainkan keinginan untuk menjadi seperti mereka, tapi tak bisa.Bahkan saat Dee melihat Ummi menangis dalam memimpin doa, yang diikuti oleh jamaahnya, ia mer