SKL 10.Dee melihat jam di ponsel sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Ia baru saja turun di stasiun kereta api. Lebih dari sepuluh jam di dalam kereta, dan ia sempat sejenak tertidur karena lelahnya pikiran. Gadis itu mengedarkan pandangan ke sana ke mari, mencari sesosok yang mungkin sedari tadi menunggunya, tapi ia tak menemukan."Gapapa, Bil. Aku naik taksi aja ya," tolak Dee saat Nabila menawarkan diri untuk menjemputnya di stasiun kereta api.Dilihat dari lokasi yang dikirimkan oleh Nabila, rumahnya tak terlalu jauh dari stasiun tempatnya turun. Mungkin hanya memakan waktu sekitar lima belas atau dua puluh menit dengan menggunakan motor.Nabila tertawa di seberang sana. Menertawakan Dee yang mungkin belum terbiasa dengan kondisi yang sekarang. Yang ada di pikirannya angkutan hanya berupa jenis mobil."Nggak ada taksi di sini, Dee. Kalau pun ada jarang," kata Nabila.Dee mengerutkan kening, sadar diri akan keadaaan. Lantas ia kembali membuka dompet dan melihat uang yang
SKL 11."Aku mau mandi dulu, takut magribnya kelewat," ucap Nabila yang berdiri di pintu kamar Dee. Ia membawa Dee dan barang-barangnya ke sebuah kamar yang akan ditempati gadis itu entah sampai kapan. Tadi pagi Nabila sudah membersihkannya sebelum membuka warung dan mengajar di pondok pesantren.Nabila juga menjelaskan bahwa kamar mandi di rumah itu hanya satu, dan Dee mengerti. Itu artinya setiap akan mandi penghuni rumah harus mengantri."Atau mau salat magrib barengan sama aku dan nenek?" tanya Nabila sebelum beranjak dari kamar itu.Dee diam, tiba-tiba darahnya seolah berhenti mengalir entah sebab apa, ada rasa takut mendengar kata salat. Seumur hidup ia tak pernah mengerjakannya, meskipun ia tak lupa bagaimana panggilan adzan berkumandang, tapi ia selalu mengabaikan. Terkadang saat ia pulang siang hari, sore atau entah kapan yang tetap diabaikan.Gadis itu menelan ludah dengan susah, ia menggaruk bagian belakang kepalanya. Dee tak pernah tahu cara salat, gerakan-gerakannya. Ia
SKL 12."Kamu ingin semua orang punya pemikiran sepertimu," "Sama seperti saat kamu bully aku waktu SMA," tambah Nabila sedikit mengenang masa lalunya."Semua orang harus seperti kamu, yang nggak sama seperti kamu berarti salah. Pemikiran kamu itu ternyata masih bertahan sampe sekarang,"Dee menatap Nabila beberapa saat, terlihat bingung karena temannya ternyata juga ikut menyalahkannya, dan malah menyangkut-pautkan dengan masa lalu. Diakui ia memang sering membully dulu, tapi haruskah dibahas sekarang saat hatinya benar-benar porak poranda?"Kamu masih marah sama aku?" tanya Dee.Nabila menggeleng dengan pasti. Luka itu memang menyakitkan, dan setiap akan tidur Nabila selalu mencoba memaafkan, tapi tetap tak bisa terlupakan."Jadi?" tanya Dee dengan nada lirih. Lebih ke pasrah pada apa pun yang nanti akan dikatakan Nabila. Pasrah karena posisinya sekarang hanya sebagai penumpang, dan ia tak tahu lagi harus ke mana jika Nabila tidak menerimanya.Pasrah karena posisinya memang bersal
SKL 13.Beberapa tahun yang lalu.Dua satpam berdiri dengan sikap tegas di depan gerbang menyambut anak-anak yang masuk ke sekolah, atau para orangtua yang memasuki mobil mewahnya ke pekarangan sekolah yang luas demi mengantarkan anak-anaknya.Sekolah elit, rata-rata perkumpulan anak-anak pengusaha dan pejabat. Hampir tidak ada anak-anak yang berasal dari ekonomi kelas menengah ke bawah yang sekolah di sana.Kecuali Nabila. Nabila Asyifa, nama yang disematkan oleh kedua orangtuanya.Saat para siswa-siswi lain diantarkan oleh orangtuanya naik mobil mewah, ia malah menggunakan angkutan umum. Atau jika ibunya sedang tidak sibuk, maka akan diantarkan naik motor hingga di depan gerbang sekolah. Nabila biasanya datang lebih awal, karena jiwa muda dan labilnya masih merasa minder dengan perbedaan. Perbedaan hidupnya dan anak-anak di sini.Ia bukan anak pindahan, tapi anak yang direkomendasikan SMP-nya untuk mendapatkan beasiswa melanjutkan sekolah di sana. Nabila merasa bahagia karena ia m
SKL 14."Astaghfirullah …," ucap dua orang lelaki yang berdiri di depan pos jaga bersamaan. Beberapa detik yang lalu keduanya sibuk mendengarkan ceramah-ceramah agama dari ponselnya. Lalu, saat mereka melihat ke pagar, seorang gadis dengan cepat melangkah masuk ke pesantren yang pagarnya sedikit terbuka. Keduanya saling menatap dan mengurut dada melihat seorang gadis mengenakan celana hotpants dan kaus ketat yang membungkus bagian depannya, ia menenteng dua plastik besar berisi nasi kotak. Dua orang yang bertugas sebagai satpam itu terheran-heran mengapa gadis itu berani sekali memasuki arena pesantren dengan pakaian seperti itu."Kenapa sih, Pak? Kayak liat setan aja," gerutu Dee yang mendekat, ia tak terima dengan sikap mereka. Sikap yang menunjukkan bahwa Dee begitu tak layak berada di depan mereka."Kamu nggak bisa baca ya, Neng?" tanya salah satu lelaki itu."Baca apaan?" tanya Dee.Telunjuk dua lelaki itu bersamaan menunjukkan sebuah plang bertuliskan kawasan wajib menutup aur
SKL 15."Nggak punya malu banget sih, udah jelas-jelas ini pesantren berani sekali berpakaian seperti itu," kesal salah satu satpam. Tangannya bergerak hendak kembali mengusir Dee yang masih disembunyikan Nabila di belakang tubuhnya."Maaf Ustadzah, gadis ini ngaku-ngaku sepupu ustadzah," tambahnya lagi memberitahu Nabila. Nabila hanya mengangguk, sembari kedua tangannya direntangkan untuk menutupi lekuk tubuh Dee. Meskipun tak banyak yang tertutupi, karena tubuh Nabila dan Dee hampir sama langsingnya.Namun, itu sebagai salah satu bentuk usaha Nabila untuk menjauhkan pandangan orang-orang di sana, terutama ustadz Fatih yang sedari tadi hanya menunduk, tak memandang ke arahnya."Dia teman saya, Pak. Maafkan kami."Dua satpam itu saling menatap, tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Nabila yang selama ini tampil syar'i ternyata memiliki teman yang bahkan gemar memakai baju tak cukup kain.Di belakang Nabila, Dee hanya mengamati mereka. Diam-diam ia juga mengamati bagaimana ustadz
SKL 16."Nyebelin banget ya santri-santri di sana," ujar Dee dengan wajah yang merah padam. Rasa kesalnya tampak belum berhenti mengingat cara mereka memperlakukannya di sana.Dee mendecak kesal, masih mengomel berapi-api saat ia sampai di rumah Nabila. Gadis itu merasa tersinggung dengan tatapan, ucapan dan perlakuan mereka."Udah gede gitu nggak bisa salat. Nutup auratnya nggak bener, bisa apa ya kira-kira?" "Nggak bener kali hidupnya. Ancur!""Malu-maluin banget nerobos pesantren pake pakaian kayak gitu."Beberapa santri membicarakan Dee saat mereka keluar dari musalla. Masih menggosipkan Dee yang berani berpakaian tidak tertutup dan memasuki area pesantren mereka. Mereka juga menertawakan gadis itu yang salah melakukan gerakan salat. Tatapan miris mereka yang melihat Dee seolah tak berguna, tak bisa melakukan ibadah dengan baik."Heran deh, apa begitu harusnya anak-anak pesantren, wajar?" tanya Dee menghempaskan duduknya di sebuah kursi di depan teras Nabila. "Ngomel mulu kamu,
SKL 17."Ajarkan aku menjadi sepertimu, Bil …!" pinta Dee pada Nabila.Dalam keheningan malam, Dee mendengar Nabila membaca Al-Qur'an dari dalam kamarnya. Seketika bulu kuduknya meremang seolah medasakan ketakutan. Dulu, ia pernah menonton film horor di bioskop bersama temannya. Tokoh dalam film itu membacakan ayat-ayat Al-Qur'an untuk mengusir setan, dan Dee seperti merasakan kembali kengerian itu.Nabila terkejut dan langsung melirik ke arah pintu saat pintu terbuka dan terlihat Dee di sana. Gadis itu membukanya seraya mengucapkan kalimat yang membuat kening Nabila bertaut. Ia baru saja selesai salah di sepertiga malamnya, seperti kebiasaannya sejak masuk kuliah. Hanya lewat sujudnya Nabila bisa membisikkan keluh kesahnya, juga menyampaikan rindu yang teramat untuk kedua orangtuanya.Setelah itu ia melantunkan bacaan ayat suci Al-Quran dengan suara pelan, yang mungkin lama kelamaan membuatnya kusyu membaca dan tanpa sadar bersuara lebih dari yang direncanakan, hingga membangunkan