Betapa teganya ibu mertua tidak mengangkat cucianku, sementara dia sendiri tahu bahwa bagiku hanya memiliki sedikit pakaian, dia sendiri juga melarang diri ini untuk memakaikan bayi Rima pospak dengan alasan pemborosan. Kulirik keranjang pakaian, yang tersisa hanya 3 popok kain, ada empat bedong, Aku tidak yakin pakai yang itu akan cukup sampai malam nanti bahkan esok pagi.
Pergi kupandangi cucianku yang tengah melayang di tiup badai dan angin hujan deras dengan hati remuk redam. Mungkin karena aku berlatar belakang yatim piatu miskin sehinggaa ibu mertua sama sekali tidak menghargai keberadaanku. Mungkin aku tidak seperti menantu menantu nya yang lain yang berasal dari keluarga kaya dan kerabat dekatnya. Pernikahan kami nyaris tidak disetujui andai kak Aidil tidak nekat menyatakan keinginannya.Kabarnya suamiku yang anak bungsu hendak dijodohkan dengan seorang bidan, tapi karena kaidah lebih mencintai diri ini maka urung lah mertua bermenantukan seorang petugas kesehatan.Mungkin itulah yang membuat mertua punya sikap kasar dan sentimen negatif kepadaku, selalu begitu, sejak hari pertama diri ini jadi menantu."Jika terus begini aku tidak tahan, aku bisa depresi dan gila, anakku bisa jadi korban sindrom depresi melahirkan. Ingin rasanya aku kembali ke rumah Inaq--nenekku--orang yang sudah membesarkanku dan menggantikan kasih orang tua yang telah diambil Tuhan." Aku menggumam sambil mengusap air mataku.Tadinya, aku hanya pelayan di rumah makan dengan gaji seadanya, sebisa mungkin ku cukupkan uang tersebut untuk kebutuhanku dan nenek, hingga tiba-tiba Kak Aidil datang dalam hidupku untuk menawarkan cintanya. Dia bilang, dia akan membahagiakan ku, dia bilang keluarganya akan menggantikan ruang kosong di dalam hati ini yang merindukan sosok orang tua. Tapi lihat buktinya, bahkan untuk perkara air saja ibu mertua sangat perhitungan.Andai aku kaya, andai aku punya daya dan upaya. Andai berandai-andai, berangan-angan seandainya aku adalah menantu kaya yang hanya pura-pura miskin, tentu akan terkejut sekali ibu mertua dengan kenyataannya dan di hari itulah aku akan balas dendam mengerjai ibu mertua, tapi itu hanya angan-angan dan cerita sinetron, kenyataannya hidupku masih pahit saja sampai sekarang, ya, sampai sekarang.Melihatku terduduk sedih di teras, Kak Aidil yang baru pulang langsung bergegas masuk, dia menghampiriku dan langsung memapahku masuk."Dik, ngapain duduk di sini ketika hujan dan petir, pamali," ucapnya sambil berusaha membangunkanku.Aku yang sejak tadi sudah tak mampu menahan kesedihan langsung menangis tersedu-sedu di bahu suamiku yang berhati lembut. Sejak pertama kali mengenal hingga sekarang tak sekalipun pria itu menyakiti hati atau mengecewakanku. Dia amat baik dan perhatian, tapi, satu hal yang kurang kusukai darinya, ia terlalu menggantungkan hidup dan keputusan pada ibunya.Mungkin nanti, jika wanita tua jahat itu sudah meninggal, mungkin itulah waktunya suamiku mulai mandiri dan aku baru akan merdeka dari tekanan ini."Kenapa menangis Dik?""Aku lelah dan sakit, Mas, cucianku basah," ucapku sambil menahan sesak yang naik dan menusuk tenggorokan.."Astaga ... Ini kenapa berdarah, kamu demam Dik Zahra?" tanyanya melihat kainku yang berwarna merah, suamiku langsung panik terlebih ketika meraba tubuhku yang panas luar biasa."Tadi, aku mencuci di sumur, menimba dan mandi, lalu menggigil dan keluar darah Mas!""Jangan-jangan jahitannya lepas, Dik?""Gak tahu, Kak, yang pasti sakit sekali," ucapku menangis tersedu di bahunya."Ayo masuk dulu, ganti kain dan minum obat," ucapnya lembut."Itu pakaian Rima hanya tinggal tiga biji, gak akan cukup kak," ucapku sedih."Sudah jangan khawatir, nanti Kakak belikan pospak.""Nanti ibu keberatan," ucapku ragu."Tenang, biar nanti aku yang kasih tahu Ibu, kamu tadi timba air ya, kenapa gak minta tambahan dari ibu?""Ibu bilang gak bisa ....""Apa alasannya?" desak suamiku setengah tidak percaya. "Mungkin kamu gak paham apa kata-katanya, Sayang. Apa mungkin ibu melarang kamu ambil air?""Dia bilang tagihan listrik akan membengkak balasku lirih."Seember air tidak cukup Kak, aku harus mandi, masak, mencuci dan lain sebagainya," keluhku dengan air mata berderai, teringat kembali betapa susahnya siang tadi diri ini menggeret air dari sumur yang dalam."Adik kesakitan menarik beratnya timba, belum lagi cuaca sangat panas," ucapku dengan suara parau karena menahan sedu sedan dan sesak dada."Kalau begitu kita akali saja Dik. Nanti kakak beli ember tambahan, dan ketika ibu menyalakan air, Kakak bisa nekat nyuci baju kalian dan mandi, kamu pun mandi.""Tapi ibu bisa curiga, kalau ketahuan semuanya bisa gawat, Kak.""Gak akan ketahuan kalau kita diam-diam aja.""Maaf ya kak, kalo aku ngeluh, perasaannya yang hidupnya serumit ini ... kok hanya aku ya, Kak? Kakak-kakakmu baik baik saja dengan jatah air yah minim.""Mereka kan punya bak mandi yang besar Dik, sementara kita, kamar mandi pun masih setengah rampung, belum ada bak.""Lalu kenapa Ibumu pelit sekali dengan air?""Mungkin maksudnya baik, dia ingin membiasakan kita hidup prihatin. Sudahlah ya, jangan sedih, aku akan pergi menemui ibu untuk bicara," ucapnya mengusap bahuku lalu membantuku berbaring. Setelah Kak Aidil ganti baju, dia keluar dengan senyum lebarnya.Mungkin berselang 5 menit dari kepergian Aidil tiba-tiba aku mendengar suara kegaduhan dari rumah ibu mertua, sayup-sayup kudengar ibunya Kak aidil berteriak dan menghardik anaknya. Kucoba menajamkan pendengaran karena hari masih hujan jadi suaranya tidak begitu jelas."Apa katamu, Pampers? Gayamu ...!" teriak wanita itu dengan lantang. "Ajarkan istrimu untuk tidak terlalu manja, hanya karena perkara air dia sampai mengadu begini padamu. Kau lihat tidak dari semua Kakak dan Kakak iparmu, apakah ada dari mereka yah pernah complain dengan pengaturanku? hanya istrimu saja yang banyak tingkah dan manja. Mentang-mentang baru lahiran. Asal tahu aja ya, semua orang juga lahiran, tapi tidak ada yang semanja dia!"Mendengar itu dadaku rasanya ditusuk-tusuk, air mata ini melelek begitu saja, aku tersinggung dan jiwaku merasa sangat tersakiti, aku ingin keluar dan menjelaskan betapa sakitnya badan ini, tapi itu bukanlah ide yang bagus.Yang kulakukan hanya bisa tersedu sambil mengadu pada Allah.Suamiku kembali ke rumah degan wajah sedih dan kecewa, dari kejauhan dia terlihat gontai sementara ada rasa iba sekaligus sedih juga melihat dia terpaksa bertengkar dengan sang ibu karena aku. Kutunggu diambang pintu dan ketika netranya bersitatap denganku, dia tetap berpura-pura menyungginggakan senyum dan mengangguk, berusaha menenangkanku padahal aku sendiri tahu dia tengah berperang dengan batinnya sendiri.Ingin kucoba mengajaknya pindah dari lingkungan ini tapi aku sendiri paham bahwa kami tidak memiliki uang atau simpanan. Rasanya akan memberatkan sekali kalau dalam kondisi sakit begini harus pindah, bingung memikirkan biaya, belum kebutuhan makan dan biaya lainnya. Kepalaku pusing, terhimpit oleh beban yang rasanya tak bisa kutanggung. Belum lagi rasa iba dan bersalah pada suamiku, rasanya aku telah menjadi istri yang begitu menyusahkannya.Namun bukankah Tuhan tahu persis bahu mana yang harus Dia berikan beban, bukankah manusia diberi ujian sesuai kadar kemampuannya? Apakah
"Bayimu popoknya basah, tolong diganti dek," ucap kak Tina memperlihatkan popok Rima."Oh iya baiklah," jawabku dengan suara parau karena habis menangis."Kamu kenapa, apa kamu habis menangis?""Tidak juga," jawabku pelan. Kakak ipar lalu bangun, memeriksa sudut rumah membuka kamar mandiku. Ingin sekali kucegah dia karena tidak ingin kakaknya Kak Aidil melihat pemandangan yang ada di sana. Ketika pintu kamar mandi berderit dan terbuka langsung saja terlihat pemandangan yang tidak mengenakkan mata tumpukan cucian yang penuh di dalam bak, lalu ada cucian piring di dalam bak lain, dan ember air yang kosong melompong.Sialnya dia melihat sarungku yang bekas darah, lalu kakak iparku nampak syok dan menggeleng pelan."Apa kamu tidak punya air di rumah?""Udah habis Kak Kakak tahulah kalau ibu nifas, kami membutuhkan banyak air bahkan untuk membersihkan diri sendiri pun membutuhkan air berkali-kali hingga bersih," jawabku menunduk."Rumahmu terlihat kotor dan berantakan, kamar mandimu juga
Keesokan harinya, Setelah azan berkumandang terdengar bunyi ketukan air yang jatuh di permukaan ember kosong, menyadari itu, aku dan suami langsung bangun. Bahu membahu kami mengisi air, dia mencuci bajuku dan anak, sementara aku mencuci piring. Dibantunya juga diri ini untuk mandi dengan puas lantas diisinya dua ember besar itu hingga penuh.Hari ini aku merasa sedikit segar, sedikit gembira dan lega, sakit punggung yang kemari nyaris membuatku tak bisa duduk kini terasa lebih lentur dan lega. Sebelum berangkat ke kebun dan Empang ayahnya, Kak Aidil menyiapkan sarapan seadanya, mie sakura dan telur yang terasa nikmat sekali karena disiapkan suami sendiri. Kami makan dari mangkuk yang sama sambil sesekali bercanda dan saling berebut telur."Hati hati di rumah ya, akan kusuruh bibi penjual ikan untuk mengantarkan cakalang asap, jadi kau tidak perlu repot-repot menyiangi ikan dan mengolahnya.""Harus juga kak, dibikin sambal, enak," jawabku."Baiklah, jangan lupa ajak Rina berjemur
Kreeek ....Derit engsel kamar mandi terbuka, mungkin seumur hidup, baru kali ini aku dalam hidup suara pintu terdengar seram sekali. Mungkin ketegangan diri ini yang membuatku gemetar dan tak tahu harus bagaimana.Ibu mertua terlihat memindai suasana kamar mandi dan terkejut melihat ada dua ember besar yang terisi penuh air di sana."Ember baru?""I-iya.""Sejak kapan?""Semalam.""Uang dari mana?""Dicicil, Bu, kata Kak Aidil, biarlah dia mencicil ember agar stok air di rumah tetap ada, jadi saya tidak perlu menimba dan pendarahan lagi."Sebenarnya, jika hanya perkara ember tidak harus jadi pencetus emosi ibu mertua sampai terlihat benci sekali terhadap menantunya, sekali lagi itu hanya ember. Perkara remeh remeh air dan ember."Lancang sekali berani berhutang tanpa bertanya dulu, apa kalian hendak mempermalukanku?!" Wanita itu langsung meradang, diseretnya lenganku ke teras lalu dengan emosi yang amat membuncah wanita itu mencecarku dengan segala makian dan hujatan."Tidak tahu
"Berani sekali kau menghidupkan pompa dalam keadaan sulit air seperti ini, udara panas dan kering, hujan jarang turun dan kau malah menyia-nyiakan air!"teriak Ibu sambil pergi mendekati mesin dan berniat mematikannya."Ibu tidak bisa menyentuhnya, aku benar benar sudah sakit hati dengan ini! Kenapa perkara air saja ibu pelit sekali!" "Ada apa kamu, Aidil?" ujar Kak Yanto kakaknya yang tertua. Kak Yanto adalah kakak bertubuh tinggi dengan kulit gelap, perawakan serta roman mukanya tegas membuat orang takut dan segan ketika berjumpa dengannya."Aku hanya protes kenapa seseorang membatasi air bagi seorang ibu yang baru melahirkan dan membutuhkan lebih banyak untuk bersih bersih dan mencuci!""Apa salahnya berhemat, dari dulu desa kita memang kesulitan air bersih!" Ujar Kak Yanto mendekat."Matikan mesinnya.""Aku tak akan matikan sampai ibu mengizinkan istriku untuk menggunakan air lebih banyak.""Istriku juga pernah melahirkan dan mengalami masa nifas tapi aku tidak membuat kehebohan
Dalam keadaan yang sudah rusuh seperti itu tiba-tiba kak Tina datang dari tempat dia bekerja sebagai guru. Wanita itu dengan segera menepikan motornya dan setengah berlari menghampiri kami."Abah, Ibu apa yang sedang terjadi di sini?!" Seakan punya firasat dia segera berlari dan menghampiriku."Kami sudah memberi pelajaran kepada wanita yang sedang tidak tahu diuntung ini!"ucap Ibu sambil berkacak pinggang dan menunjuk dengan jari telunjuknya.Kakak Tina yang seakan paham apa yang terjadi setelah melihat pekarangan becek dan mesin pompa segera menggendong anakku dan memintaku untuk bangkit."Ayo bangun masuklah ke dalam," suruhnya dengan suara lembut namun penuh penegasan. Kakaknya suamiku. yang nomor dua ini memang satu-satunya yang merupakan PNS dan bersekolah tinggi dalam keluarga mertuaku."Jangan coba untuk melindungi wanita ini! karena kami akan mengusirnya!""Abah, Ibu, tolong tenang ya, malu dilihat orang, dia ini adalah menantu kalian dan ia sedang sakit, saya mohon Abah ...
Aku yang tak kuasa menahan tangisan dan gejolak kesedihan langsung bersimpuh di depan ibu mertua. Memohon di kakinya agar tidak diperlakukan serendah itu."Ibu tidak pantas ibu merendahkan saya seperti ini, saya adalah menantu Ibu," ucapku menangis."Hahah, apa kau merasa takut dan lemah hati?""Tolong maafkan saya," ucapku "Harusnya pikirkan dulu sikapmu sebelum bertindak, kau membuat keluargaku malu, kau menjadikan masyarakat punya topik pembicaraan atas kami semua. Aku ini orang terhormat, bukan rendahan sepertimu," ucapnya sambil mendorong kepalaku. Saking kerasnya dorongan tangan ibu menyodok kepala, gelungan rambut yang kuikat sampai terlepas dan membuat anak rambutku terurai menutupi wajah."Tolong jangan suruh saya buka baju ..." Sungguh miris hati ini sampai memohon seperti itu, aku seperti berada di jaman penjajahan, terhina dan tidak punya pilihan."Baik, kalo tidak mau buka baju," ujarnya sambil melirik suami, dan kedua putranya, berikut juga cucu cucunya yang terdiam.
Mungkin karena melihat kami yang sudah rapi dan berkemas kemas, ibu mertua menjadi risih dan rasa ingin tahunya segera memaksa wanita itu untuk mendatangi pelataran rumah kami. "Heh, mau kemana kalian," ujarnya ketika melihat Kak Aidil menumpuk kardus pakaian dan perlengkapan rumah tangga.Aku yang sibuk mengganti popok Rima hanya acuh tak acuh saja, kuputuskan untuk fokus pada anakku dan membiarkan wanita itu bicara dengan putranya. Kubuka dompet, di mana aku menyisihkan uang belanja untuk keperluan mendadak, ada beberapa lembar dan kurasa akan cukup jika kugunakan uang itu sebagai ongkos dan modal bertahan hidup dua sampai tiga hari."Ibu tanya kamu mau ke mana?!" teriak wanita itu sekali lagi, aku tersentak, tapi tidak bersuara banyak."Mau ke rumah neneknya Zahra, untuk sementara kami akan tinggal di sana sampai istriku sembuh dan bisa mengerjakan tugasnya sendiri," jawab Kak Aidil sambil mengikat kardus."Oh, tidak bisa! Tidak boleh ada seorang pun dari anakku yang bisa meningga
"Baru sebentar Nek," Jawa Erlin."Dua jam Aku mau memanggil untuk meminta air minum, kenapa kau malah duduk santai di sini?" Dua jam apanya, Erlin bahkan belum duduk selama sepuluh menit. Aneh sekali wanita tua yang semakin hari semakin temperamen ini."Ibu Dia baru saja datang dan sekedar mengobrol denganku sebentar...""Aku juga sudah bilang padanya untuk tidak meninggalkan rumah jauh-jauh dan sulit kujangkau. Aku membutuhkan dia sepanjang waktu."Aduh penting untukku untuk menegaskan batasan tentang ibu yang semakin hari semakin seperti penjajah saja."Ibu dia juga manusia, dia butuh berinteraksi mendapatkan dukungan dari keluarganya dan sedikit pencerahan Apa salahnya jika dia mengobrol dengan salah satu anggota keluarga dan meninggalkan Ibu sebentar saja. Alih alih marah gara gara telat ambilkan air, Kenapa Ibu tidak ambil air sendiri saja lalu semuanya tuntas?'"Tuntas katamu?""Ya.""Ya ampun ...." Ibu mertua hanya menggeleng sambil membuang nafasnya kasar, dia tertawa sih ini
"udahlah jangan terlalu dipikirkan perkara ibu yang minta anak laki-laki darimu beliau tidak tahu seberapa keras kita berusaha hanya saja Tuhan belum mengizinkan, jadi jangan terlalu, dibawa santai saja," jawab Kak Aidil sambil tersenyum."Aku sedikit prihatin dan khawatir tentang keponakan baru kita.""Dia pasti bisa mengatasinya wanita itu punya daya dan keluarga yang mendukungnya jadi kamu tidak perlu khawatir. Ibu pasti juga akan berpikir dua kali untuk menyakiti anak itu.""Yang terjadi hari ini tidak akan kau percayai, Kak, Ibu melempar piring dan menghujat masakan Erlin.""Sungguhkah itu terjadi Apakah ibu melakukannya kepada menantu baru yang keluarganya sangat terpandang dan dihormati?""Aku sudah bilang bahwa Ibu tidak pandang bulu.""Astaghfirullah, biar aku yang bicara nanti.""Sejak kapan ibu akan mendengar kata-katamu, Kak?" Aku tergelap sambil menggelengkan kepala sementara Ia hanya menghela nafas sambil mendecak kecil. Aku tahu bahwa dia sangat dimanjakan ibu tapi jika
"Ah, aku mendengar Ibu, aku paham setiap makna kalimat yang ibu lontarkan.""Bicarakan hal itu kepada Erlin dan lain kali jangan membuat dia membantahku karena kau Aku tidak tahan Aku tidak akan segan-segan untuk menamparnya. Juga aku tidak mau mendengar dia memprotes apapun.""Iya Bu."Ah, hidup di antara lingkungan rumah Nyai hatima seperti hidup dalam penjara, banyak aturan dan tidak bisa bebas sekehendak hati. Sebenarnya aku juga penasaran, kami ini dianggapnya pembantu atau menantu. Kenapa terkadang perlakuan ibu begitu kasar dan sulit diterima oleh akal sehat, sulit diterima oleh hati nurani yang sudah terbiasa mendapatkan perlakuan lembut, tiba-tiba mendapatkan kekasaran Itu menyakitkan sekali."Pergilah!" Ucapnya sambil mengibaskan tangan di udara."Baiklah, Bu, Erlin sedang memasak makanan lain, sudah kutitipkan pesan padanya jika sudah selesai dia harus segera mengantarnya pada ibu.""Cepat sedikit, aku lapar!""Baik Ibu sabarlah sedikit!""Dari dulu hanya kau saja yang se
Usai menyapu bekas pecahan piring, kutemui keponakanku Erlin di dapur, ia tengah memotong daging dengan air mata yang masih membasahi kelopak matanya. Gadis itu terisak dengan kesedihan yang tak mampu ia sembunyikan.Aku paham, dia belumlah kuat mental sepertiku, dia masih baru di lingkungan ini dan mungkin latar belakang keluarganya yang lemah lembut membuat dia merasa sangat kaget ketika diperlakukan dengan keras. Ah, ibu mertua memang sangat tidak bijaksana."Sabar ya, semua akan membaik.""Tapi, kok Nenek bisa segitunya ....""Ah, sayang, nanti Nenek dengar, sebaiknya kau lanjutkan memasak, lihat tutorialnya di YouTube dan kau pasti bisa. Sementara bibi akan kembali ke rumah untuk menyiapkan makan siang.""Bi ... Aku butuh kehadiranmu untuk tetap di sini karena belakangan ini aku merasakan ketegangannya belum pernah ku alami sebelumnya." Wanita muda itu menahan lenganku dengan tatapan membalas dan aku bisa melihat jelas bahwa dia ketakutan dengan ibu mertua."Dengar Nak, sebenarny
Akhir bulan Syawal pun tiba, ferdi yang sudah tak sabar lagi untuk segera meminang kekasihnya akhirnya diluluskan keinginannya oleh ibu mertua untuk menikah lebih cepat, menikah sebelum musim penghujan dan sebelum orang orang akan repot dengan urusan pekerjaan dan kebun mereka.Seminggu setelah pernikahan, Ferdi memboyong sang istri Erlin untuk pindah ke lingkungan kami. Ke rumah induk tentunya, bersama dengan ibu mertua. Sebenarnya aku sudah ngeri membayangkan apa yang akan terjadi namun, aku mencoba berpikir positif dengan segala logika dan harapan terbaik, semoga ibu mertua bersikap baik pada cucu menantu.Hari-hari bergulir, kebiasaan dan adat rumah ini mulai terlihat, mantu mulai kaget dan heran akan pembagian kaku air yang harus dijatah setiap harinya. Setiap pagi, setiap kali aku mengantarkan jatah makanan dari gudang gadis itu akan mengernyit dan tidak paham tentang apa yang terjadi. dia selalu memasang wajah tak nyaman dengan sekeranjang makanan yang kini jadi tugasku untuk
Aku kembali dari rumah induk dengan perasaan hati yang sudah tidak menentu. Aku khawatir kejadian yang pernah kualami akan terulang pada gadis lain yang baru bergabung ke rumah ini.Namun Gadis itu adalah wanita kaya dan juga anak orang baik-baik, ibu mertua akan berpikir dua kali untuk menyakiti dan mengerjainya, jadi kurasa kekhawatiranku sama sekali tidak beralasan. "Tapi, bagaimana jika itu terjadi. Dia akan dijatah dengan makanan yang harus belajar ia cukupkan dan seember air setiap harinya? Apakah dia bisa?" Konon menjatah anak menantu dengan seember air adalah kebiasaan dari para tetua keluarga ibu mertua yang ingin membimbing menantu mereka untuk hidup disiplin dan pandai menjaga harta serta mengelola hidup.Aku tak mau mencampuri atau berkomentar miring tentang kebiasaan itu, semuanya adalah hak orang tua untuk melakukannya, tapi, pada posisi tertentu, misalnya, di saat melahirkan atau sakit rasanya seember air itu sangat tidak cukup. Sanggupkah nanti, calon istri Ferdi yang
Bersama dengan itu, dua belas tahun berlalu, kini anakku sudah duduk di bangku kelas enam SD ya, rima berangsur tumbuh menjadi anak remaja yang cantik dan cerdas. Anak anak Kak Yanto dan Dani sudah dewasa juga, mereka sudah duduk di bangku kuliah. Bahkan Ferdi anak sulung Kak Yanto dan Mbak Devi sudah lulus universitas dan bekerja mengabdikan diri di kantor desa kampung kami. Dia tumbuh jadi pemuda baik santun, pintar dan bijak.Suatu hari ia temui kami yang sedang asyik menggelar rujak dan kue di pelataran rumah ibu. Tanpa banyak basa basi ferdi langsung mengungkapkan keinginannya untuk menikahi kekasihnya."Mama, nenek, Tante, aku ingin menikah dengan Erlin pacarku, kami sudah lama bersama dan ingin melanjutkan ke jenjang berikutnya," ucapnya."Boleh saja, tanyakan pada kekasihmu kapan kamu boleh bertandang untuk melamar," ujarku dengan penuh semangat."Wah Alhamdulillah," ujar Mbak Devi dan Kak Tania serempak."Kau tahu kan, aturan keluarga ini, anak laki laki harus memboyong ist
"Aku sengaja datang ke sini untuk bicara dengan Mbak Devi," ucapku di ambang pintu rumah kakak ipar tertuaku. Para anggota keluarga intinya beserta anaknya menoleh dan sedikit gak setuju dengan kedatanganku."Untuk apa?""Untuk meluruskan segalanya.""Aku tak butuh bicara.""Kalau begitu dendamnya akan tetap lekat di hati Mbak Devi. Kita harus bicara.""Tentang apa lagi?""Agar aku dan Mbak Devi tidak bermusuhan lagi terlepas bahwa kita akan hidup satu lingkungan atau Aku akan pergi dari tempat ini kita harus tetap bicara.""Kalau begitu bicara saja secara langsung"Mbak tidak khawatir anggota keluarga mendengarnya?""Buat apa aku khawatir jika yang terjadi di antara kalian sudah seperti rahasia umum?""Mbak, kau bicara begitu seakan aku dan kak Yanto punya skandal atau hubungan rahasia padahal kami tidak ubahnya hanya seperti orang asing yang nyaris tidak pernah saling akur." "Lalu apa kabarnya ketika aku dan dia pergi mengunjungimu ke desa? Apakah itu bukan menunjukkan bahwa kami p
"Aku sengaja datang ke sini untuk bicara dengan Mbak Devi," ucapku di ambang pintu rumah kakak ipar tertuaku. Para anggota keluarga intinya beserta anaknya menoleh dan sedikit gak setuju dengan kedatanganku."Untuk apa?""Untuk meluruskan segalanya.""Aku tak butuh bicara.""Kalau begitu dendamnya akan tetap lekat di hati Mbak Devi. Kita harus bicara.""Tentang apa lagi?""Agar aku dan Mbak Devi tidak bermusuhan lagi terlepas bahwa kita akan hidup satu lingkungan atau Aku akan pergi dari tempat ini kita harus tetap bicara.""Kalau begitu bicara saja secara langsung"Mbak tidak khawatir anggota keluarga mendengarnya?""Buat apa aku khawatir jika yang terjadi di antara kalian sudah seperti rahasia umum?""Mbak, kau bicara begitu seakan aku dan kak Yanto punya skandal atau hubungan rahasia padahal kami tidak ubahnya hanya seperti orang asing yang nyaris tidak pernah saling akur." "Lalu apa kabarnya ketika aku dan dia pergi mengunjungimu ke desa? Apakah itu bukan menunjukkan bahwa kami p