"Bayimu popoknya basah, tolong diganti dek," ucap kak Tina memperlihatkan popok Rima.
"Oh iya baiklah," jawabku dengan suara parau karena habis menangis."Kamu kenapa, apa kamu habis menangis?""Tidak juga," jawabku pelan.Kakak ipar lalu bangun, memeriksa sudut rumah membuka kamar mandiku. Ingin sekali kucegah dia karena tidak ingin kakaknya Kak Aidil melihat pemandangan yang ada di sana. Ketika pintu kamar mandi berderit dan terbuka langsung saja terlihat pemandangan yang tidak mengenakkan mata tumpukan cucian yang penuh di dalam bak, lalu ada cucian piring di dalam bak lain, dan ember air yang kosong melompong.Sialnya dia melihat sarungku yang bekas darah, lalu kakak iparku nampak syok dan menggeleng pelan."Apa kamu tidak punya air di rumah?""Udah habis Kak Kakak tahulah kalau ibu nifas, kami membutuhkan banyak air bahkan untuk membersihkan diri sendiri pun membutuhkan air berkali-kali hingga bersih," jawabku menunduk."Rumahmu terlihat kotor dan berantakan, kamar mandimu juga memprihatinkan," ucapnya.Sebenarnya aku malu, tapi apa dayaku, komentar kakak ipar ada benarnya, namun aku tak mampu membersihkan rumah karena sakit.Selagi dia terdiam, kuganti popok anakku dengan kain sarung, kubungkus dia lalu kususui.Mungkin melihat keponakannya yang telanjang ke bawah kakak ipar langsung memprotes."Kenapa tidak dipakaikan baju, nanti masuk angin ...""Tidak ada baju Kak, sebagian kotor dan sebagian lain masih basah di tiang jemuran," balasku."Kenapa tidak dijemur di teras agar tidak basah kena hujan?"Pertanyaannya terlihat gemas, tapi andai dia tahu apa yang kurasakan, tentu ... ah tak tahulah apa responnya."Tadi, siang kupaksakan diri menimba air, mungkin karena terlalu panas dan timbanya berat, Jadi aku pusing dan demam, lalu pendarahan dan lemas. Aku tertidur hingga tak sadar hujan turun," balasku. Tanpa kucegah, air mataku meluncur begitu saja, belakangan kusadari bahwa depresi semakin menghampiri buktinya aku bisa menangis kapanpun dan dimana pun. Kakak iparku nampak terhenyak, dia terlihat ingin berkomentar lagi tapi dia membatalkannya."Kemana Aidil tadi?""Pergi membeli Pampers untuk Rima," jawabku."Jadi karena itu Ibu terdengar marah-marah?""Nggak tahu Kak ... pikiranku gamang, aku hanya ingin segera sembuh dan bisa kuat mengerjakan tugas rumah lagi, kalau aku demam begini, Kak Aidil makin repot," jawabnya sambil menyeka air mata uang jatuh ke sudut bibir."Sabar ya ...." Dia menepuk punggung tanganku. "Kamu pasti bisa menjalani ini.""Bisa bantu saya untuk bicara pada ibu agar beliau berkenan memberikan air lebih?"Kakak ipar yang ditanya seperti itu hanya diam saja dia menatapku dan mengalihkan pandangannya ke kamar mandi secara bergantian."Apa suamimu sudah membicarakan ini pada ibu?""Sudah tapi saya tidak tahu apa yang terjadi setelahnya?""Kamu harus sabar ya ... nanti kita lihat ... Kakak pulang dulu,"pamitnya sambil menghela nafas lalu pergi.Aku tidak tahu mengapa Kakak mendadak terdiam dan langsung pamit pergi. Apakah kak Tina benar-benar tidak bisa membantuku untuk bicara pada ibunya? Mengapa ibu mertua pelit sekali dengan air? tak tahukah dia bahwa seseorang akan terhalang rezekinya ketika tak mau membagikan air yang berlimpah?Astagfirullah ....*Mungkin sekitar 30 menit kemudian suamiku terdengar datang. Bunyi motor yang diberi knalpot racing itu aku tahu persis bahwa itu adalah motornya. Andai aku bisa menjual motor itu lalu pindah dari tempat ini ... Tapi sayang segala sesuatu dikuasai ibu mertua.Beliau tidak membiarkan anaknya tinggal jauh darinya, dan anak lelaki yang tidak memiliki pekerjaan disuruh untuk mengelola kebun, memelihara kolam ikan dan memanen hasilnya. Sementara keuntungan dari semua itu 100% beliau yang memegangnya.Mengapa ibu mertua tidak membagi saja secara rata, agar masing-masing anak bisa mengatur keuangan sendiri dan bisa membeli apa yang kami inginkan? Seketat itukah dia?Tok ... Tok ....Rumah diketuk lalu tak lama kemudian Kak Aidil masuk dan mengucapkan salam."Waalaikumsalam Kak," jawabku."Ini dia barang-barang yang kau perlukan." Diletakkannya dua plastik putih dari Alfamaret lalu sebuah ember besar beserta tutupnya."Apa yang Kak Aidil beli?""Aku belikan Pampers untuk rima lalu pembalut untukmu, juga minyak kayu putih, bedak dan lotion bayi," jawabnya."Lalu ember itu kakak dapat dari mana?""Aku menghutangnya di toko ujung kampung, nanti kalau panen aku akan langsung membayarnya," jawab suamiku dengan senyum tipisAku paham bahwa sebenarnya dia resah dan takut juga namun karena begitu besarnya rasa cinta dan tanggung jawab dia sampai rela berhutang."Besok ketika keren menyala kau bisa langsung mengisi ember sampai penuh.""Bagaimana kalau ibu mematikan keran sebelum embernya penuh? Maukah kakak mengambilkan air untuk saya?""Aku mau, tapi aku pagi-pagi harus sudah berada di kebun, kalau tidak, ibu akan marah. Oleh karena itu, aku carikan solusi lain agar kamu dan aku bisa lega dan tidak repot.""Oh, baiklah Kak."Bagaimanapun aku harus mengerti posisi kak Aidil, dia juga serba salah. Dia juga bingung memilih membelaku istrinya atau harus patuh kepada kehendak ibunya. Kami ada dua wanita yang dia cintai tapi dimensi yang berbeda. Ibunya berada di puncak keluhuran hidupnya, sementara aku, hanya wanita yang baru datang, kebetulan dia cintai dan kami memiliki anak. Sedikit tidaknya aku tidak mau membebani Kak Aidil. Aku paham betul bawa hubungan suami istri harus dijalani dengan saling bahu-membahu dan mendukung.Biarlah untuk sementara aku akan bertahan, lagipula sudah ada ember tambahan yag cukup besar, kurasa itu cukup untuk pemakaian sehari.Hanya saja ... aku sedikit resah, bagaimana kalau nanti ibu sampai tahu?"Kamu istirahat saja besok subuh subuh biar kakak yang cuci semua pakaian itu dan mencuci piring, Kakak juga akan langsung mandi dan mengisi kedua ember mau jadi kamu tidak akan pendarahan lagi. Maaf ya, karena Ini pertama kalinya punya anak jadi kakak tidak punya pengalaman sebagai seorang ayah dan suami yang siaga.""Tidak apa-apa, Kakak sudah berkorban banyak banting tulang dari pagi sampai petang untuk kami.""Aku minta maaf karena belum bisa memberimu uang belanja seperti pria lain, Ada saatnya nanti aku akan bicara pada Bapak, aku akan memberikan beliau pengertian agar beliau mau membagi hasil dengan rata." Hati ini berdebar membayangkan pria kaku dan pendiam itu akan luluh terhadap Kak Aidil, dia dan ibu mertua sama saja."Semoga bisa ya, Kak," jawabku dengan setitik harapan di hati, berharap bahwa apa yang dikatakan Kak Aidil akan menjadi kenyataan sehingga aku bisa hidup lebih lega dari ini.Aku berharap bahwa jangan sampai kami membohongi diri sendiri dengan harapan palsu.Mungkin terdengar mustahil bahwa semuanya akan berubah tapi Allah maha membolak-balikkan hati manusia, semoga hati ibu mertua berangsur lembut, bisa memahami dan membantu kesulitanku.Keesokan harinya, Setelah azan berkumandang terdengar bunyi ketukan air yang jatuh di permukaan ember kosong, menyadari itu, aku dan suami langsung bangun. Bahu membahu kami mengisi air, dia mencuci bajuku dan anak, sementara aku mencuci piring. Dibantunya juga diri ini untuk mandi dengan puas lantas diisinya dua ember besar itu hingga penuh.Hari ini aku merasa sedikit segar, sedikit gembira dan lega, sakit punggung yang kemari nyaris membuatku tak bisa duduk kini terasa lebih lentur dan lega. Sebelum berangkat ke kebun dan Empang ayahnya, Kak Aidil menyiapkan sarapan seadanya, mie sakura dan telur yang terasa nikmat sekali karena disiapkan suami sendiri. Kami makan dari mangkuk yang sama sambil sesekali bercanda dan saling berebut telur."Hati hati di rumah ya, akan kusuruh bibi penjual ikan untuk mengantarkan cakalang asap, jadi kau tidak perlu repot-repot menyiangi ikan dan mengolahnya.""Harus juga kak, dibikin sambal, enak," jawabku."Baiklah, jangan lupa ajak Rina berjemur
Kreeek ....Derit engsel kamar mandi terbuka, mungkin seumur hidup, baru kali ini aku dalam hidup suara pintu terdengar seram sekali. Mungkin ketegangan diri ini yang membuatku gemetar dan tak tahu harus bagaimana.Ibu mertua terlihat memindai suasana kamar mandi dan terkejut melihat ada dua ember besar yang terisi penuh air di sana."Ember baru?""I-iya.""Sejak kapan?""Semalam.""Uang dari mana?""Dicicil, Bu, kata Kak Aidil, biarlah dia mencicil ember agar stok air di rumah tetap ada, jadi saya tidak perlu menimba dan pendarahan lagi."Sebenarnya, jika hanya perkara ember tidak harus jadi pencetus emosi ibu mertua sampai terlihat benci sekali terhadap menantunya, sekali lagi itu hanya ember. Perkara remeh remeh air dan ember."Lancang sekali berani berhutang tanpa bertanya dulu, apa kalian hendak mempermalukanku?!" Wanita itu langsung meradang, diseretnya lenganku ke teras lalu dengan emosi yang amat membuncah wanita itu mencecarku dengan segala makian dan hujatan."Tidak tahu
"Berani sekali kau menghidupkan pompa dalam keadaan sulit air seperti ini, udara panas dan kering, hujan jarang turun dan kau malah menyia-nyiakan air!"teriak Ibu sambil pergi mendekati mesin dan berniat mematikannya."Ibu tidak bisa menyentuhnya, aku benar benar sudah sakit hati dengan ini! Kenapa perkara air saja ibu pelit sekali!" "Ada apa kamu, Aidil?" ujar Kak Yanto kakaknya yang tertua. Kak Yanto adalah kakak bertubuh tinggi dengan kulit gelap, perawakan serta roman mukanya tegas membuat orang takut dan segan ketika berjumpa dengannya."Aku hanya protes kenapa seseorang membatasi air bagi seorang ibu yang baru melahirkan dan membutuhkan lebih banyak untuk bersih bersih dan mencuci!""Apa salahnya berhemat, dari dulu desa kita memang kesulitan air bersih!" Ujar Kak Yanto mendekat."Matikan mesinnya.""Aku tak akan matikan sampai ibu mengizinkan istriku untuk menggunakan air lebih banyak.""Istriku juga pernah melahirkan dan mengalami masa nifas tapi aku tidak membuat kehebohan
Dalam keadaan yang sudah rusuh seperti itu tiba-tiba kak Tina datang dari tempat dia bekerja sebagai guru. Wanita itu dengan segera menepikan motornya dan setengah berlari menghampiri kami."Abah, Ibu apa yang sedang terjadi di sini?!" Seakan punya firasat dia segera berlari dan menghampiriku."Kami sudah memberi pelajaran kepada wanita yang sedang tidak tahu diuntung ini!"ucap Ibu sambil berkacak pinggang dan menunjuk dengan jari telunjuknya.Kakak Tina yang seakan paham apa yang terjadi setelah melihat pekarangan becek dan mesin pompa segera menggendong anakku dan memintaku untuk bangkit."Ayo bangun masuklah ke dalam," suruhnya dengan suara lembut namun penuh penegasan. Kakaknya suamiku. yang nomor dua ini memang satu-satunya yang merupakan PNS dan bersekolah tinggi dalam keluarga mertuaku."Jangan coba untuk melindungi wanita ini! karena kami akan mengusirnya!""Abah, Ibu, tolong tenang ya, malu dilihat orang, dia ini adalah menantu kalian dan ia sedang sakit, saya mohon Abah ...
Aku yang tak kuasa menahan tangisan dan gejolak kesedihan langsung bersimpuh di depan ibu mertua. Memohon di kakinya agar tidak diperlakukan serendah itu."Ibu tidak pantas ibu merendahkan saya seperti ini, saya adalah menantu Ibu," ucapku menangis."Hahah, apa kau merasa takut dan lemah hati?""Tolong maafkan saya," ucapku "Harusnya pikirkan dulu sikapmu sebelum bertindak, kau membuat keluargaku malu, kau menjadikan masyarakat punya topik pembicaraan atas kami semua. Aku ini orang terhormat, bukan rendahan sepertimu," ucapnya sambil mendorong kepalaku. Saking kerasnya dorongan tangan ibu menyodok kepala, gelungan rambut yang kuikat sampai terlepas dan membuat anak rambutku terurai menutupi wajah."Tolong jangan suruh saya buka baju ..." Sungguh miris hati ini sampai memohon seperti itu, aku seperti berada di jaman penjajahan, terhina dan tidak punya pilihan."Baik, kalo tidak mau buka baju," ujarnya sambil melirik suami, dan kedua putranya, berikut juga cucu cucunya yang terdiam.
Mungkin karena melihat kami yang sudah rapi dan berkemas kemas, ibu mertua menjadi risih dan rasa ingin tahunya segera memaksa wanita itu untuk mendatangi pelataran rumah kami. "Heh, mau kemana kalian," ujarnya ketika melihat Kak Aidil menumpuk kardus pakaian dan perlengkapan rumah tangga.Aku yang sibuk mengganti popok Rima hanya acuh tak acuh saja, kuputuskan untuk fokus pada anakku dan membiarkan wanita itu bicara dengan putranya. Kubuka dompet, di mana aku menyisihkan uang belanja untuk keperluan mendadak, ada beberapa lembar dan kurasa akan cukup jika kugunakan uang itu sebagai ongkos dan modal bertahan hidup dua sampai tiga hari."Ibu tanya kamu mau ke mana?!" teriak wanita itu sekali lagi, aku tersentak, tapi tidak bersuara banyak."Mau ke rumah neneknya Zahra, untuk sementara kami akan tinggal di sana sampai istriku sembuh dan bisa mengerjakan tugasnya sendiri," jawab Kak Aidil sambil mengikat kardus."Oh, tidak bisa! Tidak boleh ada seorang pun dari anakku yang bisa meningga
Semua orang terkejut, mereka terbelalak, tidak menyangka, sebagian terperangah, menutup mulut dengan kedua tangan, dan sebagian lain seakan menggeleng tidak percaya. "Serius kamu, jangan mengada-ada ya," ucap Pak RT dengan suara lantang."Demi Allah, Pak, saya tidak bohong," jawabku berani menatap mata pria itu. Bola mata tajam yang penuh wibawa itu memicing, mungkin memindai kejujuranku. Aku berani membalas dan menunjukkan bahwa pupil ini tidak mengkerut menunjukkan kebohongan."Jangan bikin fitnah kamu! Kami keluarga terhormat yang menjunjung tinggi norma dan agama, beraninya kau memfitnah saya!" Tiba tiba ibu mertua mendekat dan hendak melayangkan tamparan, tapi warga mencegahnya."Jangan Buk Nyai, sabar dulu dengarkan penuturan menantu Ibu, baru Buk Nyai membela diri," ujar seorang pria perjaket jeans biru."Jangan dengarkan wanita stress itu, sejak melahirkan bayi dia kehilangan kewarasannya," ujar Ayah."Yang membuat saya tidak waras adalah air yang dijatah hanya seember se
"Baiklah, tidak apa untuk kali ini saya menuruti omongan Pak RT," jawab suamiku dengan ekspresi datar, dia masih kesal tapi menahan perasaannya."Kak, yakin?" Aku berbisik dan menggeleng pada suamiku."Gak enak kalo terlalu berontak, malu sama aparat dan tetangga, takutnya nanti kita kesulitan dan menyesal juga," jawab Kak Aidil menngenggam jemariku."Tapi, Kak ....""Dek, saya akan jamin bahwa akan ada yang berubah setelah ini." Kata kata dari bibir Kak Aidil membuatku tidak mampu mengadu argumen lebih banyak lagi."Saya mau tetap tinggal dan membantu abah di kebun, dengan syarat air jangan dibatasi, minimal cukup untuk mandi, cuci dan masak juga upah saya jangan ditahan lagi," jawab Kak Aidil dengan tegasnya."Kamu tahu air sangat terbatas!""Baiklah, kalo begitu kami pindah!" Kak Aidil juga tak kalah tegasnya."Tidak apa, biarkan saja, Bah, istrinya baru melahirkan, kami yang akan berhemat agar air cukup," ucap Mbak Devi yang tiba-tiba buka suara. Entah apa yang akan terjadi pada
"Baru sebentar Nek," Jawa Erlin."Dua jam Aku mau memanggil untuk meminta air minum, kenapa kau malah duduk santai di sini?" Dua jam apanya, Erlin bahkan belum duduk selama sepuluh menit. Aneh sekali wanita tua yang semakin hari semakin temperamen ini."Ibu Dia baru saja datang dan sekedar mengobrol denganku sebentar...""Aku juga sudah bilang padanya untuk tidak meninggalkan rumah jauh-jauh dan sulit kujangkau. Aku membutuhkan dia sepanjang waktu."Aduh penting untukku untuk menegaskan batasan tentang ibu yang semakin hari semakin seperti penjajah saja."Ibu dia juga manusia, dia butuh berinteraksi mendapatkan dukungan dari keluarganya dan sedikit pencerahan Apa salahnya jika dia mengobrol dengan salah satu anggota keluarga dan meninggalkan Ibu sebentar saja. Alih alih marah gara gara telat ambilkan air, Kenapa Ibu tidak ambil air sendiri saja lalu semuanya tuntas?'"Tuntas katamu?""Ya.""Ya ampun ...." Ibu mertua hanya menggeleng sambil membuang nafasnya kasar, dia tertawa sih ini
"udahlah jangan terlalu dipikirkan perkara ibu yang minta anak laki-laki darimu beliau tidak tahu seberapa keras kita berusaha hanya saja Tuhan belum mengizinkan, jadi jangan terlalu, dibawa santai saja," jawab Kak Aidil sambil tersenyum."Aku sedikit prihatin dan khawatir tentang keponakan baru kita.""Dia pasti bisa mengatasinya wanita itu punya daya dan keluarga yang mendukungnya jadi kamu tidak perlu khawatir. Ibu pasti juga akan berpikir dua kali untuk menyakiti anak itu.""Yang terjadi hari ini tidak akan kau percayai, Kak, Ibu melempar piring dan menghujat masakan Erlin.""Sungguhkah itu terjadi Apakah ibu melakukannya kepada menantu baru yang keluarganya sangat terpandang dan dihormati?""Aku sudah bilang bahwa Ibu tidak pandang bulu.""Astaghfirullah, biar aku yang bicara nanti.""Sejak kapan ibu akan mendengar kata-katamu, Kak?" Aku tergelap sambil menggelengkan kepala sementara Ia hanya menghela nafas sambil mendecak kecil. Aku tahu bahwa dia sangat dimanjakan ibu tapi jika
"Ah, aku mendengar Ibu, aku paham setiap makna kalimat yang ibu lontarkan.""Bicarakan hal itu kepada Erlin dan lain kali jangan membuat dia membantahku karena kau Aku tidak tahan Aku tidak akan segan-segan untuk menamparnya. Juga aku tidak mau mendengar dia memprotes apapun.""Iya Bu."Ah, hidup di antara lingkungan rumah Nyai hatima seperti hidup dalam penjara, banyak aturan dan tidak bisa bebas sekehendak hati. Sebenarnya aku juga penasaran, kami ini dianggapnya pembantu atau menantu. Kenapa terkadang perlakuan ibu begitu kasar dan sulit diterima oleh akal sehat, sulit diterima oleh hati nurani yang sudah terbiasa mendapatkan perlakuan lembut, tiba-tiba mendapatkan kekasaran Itu menyakitkan sekali."Pergilah!" Ucapnya sambil mengibaskan tangan di udara."Baiklah, Bu, Erlin sedang memasak makanan lain, sudah kutitipkan pesan padanya jika sudah selesai dia harus segera mengantarnya pada ibu.""Cepat sedikit, aku lapar!""Baik Ibu sabarlah sedikit!""Dari dulu hanya kau saja yang se
Usai menyapu bekas pecahan piring, kutemui keponakanku Erlin di dapur, ia tengah memotong daging dengan air mata yang masih membasahi kelopak matanya. Gadis itu terisak dengan kesedihan yang tak mampu ia sembunyikan.Aku paham, dia belumlah kuat mental sepertiku, dia masih baru di lingkungan ini dan mungkin latar belakang keluarganya yang lemah lembut membuat dia merasa sangat kaget ketika diperlakukan dengan keras. Ah, ibu mertua memang sangat tidak bijaksana."Sabar ya, semua akan membaik.""Tapi, kok Nenek bisa segitunya ....""Ah, sayang, nanti Nenek dengar, sebaiknya kau lanjutkan memasak, lihat tutorialnya di YouTube dan kau pasti bisa. Sementara bibi akan kembali ke rumah untuk menyiapkan makan siang.""Bi ... Aku butuh kehadiranmu untuk tetap di sini karena belakangan ini aku merasakan ketegangannya belum pernah ku alami sebelumnya." Wanita muda itu menahan lenganku dengan tatapan membalas dan aku bisa melihat jelas bahwa dia ketakutan dengan ibu mertua."Dengar Nak, sebenarny
Akhir bulan Syawal pun tiba, ferdi yang sudah tak sabar lagi untuk segera meminang kekasihnya akhirnya diluluskan keinginannya oleh ibu mertua untuk menikah lebih cepat, menikah sebelum musim penghujan dan sebelum orang orang akan repot dengan urusan pekerjaan dan kebun mereka.Seminggu setelah pernikahan, Ferdi memboyong sang istri Erlin untuk pindah ke lingkungan kami. Ke rumah induk tentunya, bersama dengan ibu mertua. Sebenarnya aku sudah ngeri membayangkan apa yang akan terjadi namun, aku mencoba berpikir positif dengan segala logika dan harapan terbaik, semoga ibu mertua bersikap baik pada cucu menantu.Hari-hari bergulir, kebiasaan dan adat rumah ini mulai terlihat, mantu mulai kaget dan heran akan pembagian kaku air yang harus dijatah setiap harinya. Setiap pagi, setiap kali aku mengantarkan jatah makanan dari gudang gadis itu akan mengernyit dan tidak paham tentang apa yang terjadi. dia selalu memasang wajah tak nyaman dengan sekeranjang makanan yang kini jadi tugasku untuk
Aku kembali dari rumah induk dengan perasaan hati yang sudah tidak menentu. Aku khawatir kejadian yang pernah kualami akan terulang pada gadis lain yang baru bergabung ke rumah ini.Namun Gadis itu adalah wanita kaya dan juga anak orang baik-baik, ibu mertua akan berpikir dua kali untuk menyakiti dan mengerjainya, jadi kurasa kekhawatiranku sama sekali tidak beralasan. "Tapi, bagaimana jika itu terjadi. Dia akan dijatah dengan makanan yang harus belajar ia cukupkan dan seember air setiap harinya? Apakah dia bisa?" Konon menjatah anak menantu dengan seember air adalah kebiasaan dari para tetua keluarga ibu mertua yang ingin membimbing menantu mereka untuk hidup disiplin dan pandai menjaga harta serta mengelola hidup.Aku tak mau mencampuri atau berkomentar miring tentang kebiasaan itu, semuanya adalah hak orang tua untuk melakukannya, tapi, pada posisi tertentu, misalnya, di saat melahirkan atau sakit rasanya seember air itu sangat tidak cukup. Sanggupkah nanti, calon istri Ferdi yang
Bersama dengan itu, dua belas tahun berlalu, kini anakku sudah duduk di bangku kelas enam SD ya, rima berangsur tumbuh menjadi anak remaja yang cantik dan cerdas. Anak anak Kak Yanto dan Dani sudah dewasa juga, mereka sudah duduk di bangku kuliah. Bahkan Ferdi anak sulung Kak Yanto dan Mbak Devi sudah lulus universitas dan bekerja mengabdikan diri di kantor desa kampung kami. Dia tumbuh jadi pemuda baik santun, pintar dan bijak.Suatu hari ia temui kami yang sedang asyik menggelar rujak dan kue di pelataran rumah ibu. Tanpa banyak basa basi ferdi langsung mengungkapkan keinginannya untuk menikahi kekasihnya."Mama, nenek, Tante, aku ingin menikah dengan Erlin pacarku, kami sudah lama bersama dan ingin melanjutkan ke jenjang berikutnya," ucapnya."Boleh saja, tanyakan pada kekasihmu kapan kamu boleh bertandang untuk melamar," ujarku dengan penuh semangat."Wah Alhamdulillah," ujar Mbak Devi dan Kak Tania serempak."Kau tahu kan, aturan keluarga ini, anak laki laki harus memboyong ist
"Aku sengaja datang ke sini untuk bicara dengan Mbak Devi," ucapku di ambang pintu rumah kakak ipar tertuaku. Para anggota keluarga intinya beserta anaknya menoleh dan sedikit gak setuju dengan kedatanganku."Untuk apa?""Untuk meluruskan segalanya.""Aku tak butuh bicara.""Kalau begitu dendamnya akan tetap lekat di hati Mbak Devi. Kita harus bicara.""Tentang apa lagi?""Agar aku dan Mbak Devi tidak bermusuhan lagi terlepas bahwa kita akan hidup satu lingkungan atau Aku akan pergi dari tempat ini kita harus tetap bicara.""Kalau begitu bicara saja secara langsung"Mbak tidak khawatir anggota keluarga mendengarnya?""Buat apa aku khawatir jika yang terjadi di antara kalian sudah seperti rahasia umum?""Mbak, kau bicara begitu seakan aku dan kak Yanto punya skandal atau hubungan rahasia padahal kami tidak ubahnya hanya seperti orang asing yang nyaris tidak pernah saling akur." "Lalu apa kabarnya ketika aku dan dia pergi mengunjungimu ke desa? Apakah itu bukan menunjukkan bahwa kami p
"Aku sengaja datang ke sini untuk bicara dengan Mbak Devi," ucapku di ambang pintu rumah kakak ipar tertuaku. Para anggota keluarga intinya beserta anaknya menoleh dan sedikit gak setuju dengan kedatanganku."Untuk apa?""Untuk meluruskan segalanya.""Aku tak butuh bicara.""Kalau begitu dendamnya akan tetap lekat di hati Mbak Devi. Kita harus bicara.""Tentang apa lagi?""Agar aku dan Mbak Devi tidak bermusuhan lagi terlepas bahwa kita akan hidup satu lingkungan atau Aku akan pergi dari tempat ini kita harus tetap bicara.""Kalau begitu bicara saja secara langsung"Mbak tidak khawatir anggota keluarga mendengarnya?""Buat apa aku khawatir jika yang terjadi di antara kalian sudah seperti rahasia umum?""Mbak, kau bicara begitu seakan aku dan kak Yanto punya skandal atau hubungan rahasia padahal kami tidak ubahnya hanya seperti orang asing yang nyaris tidak pernah saling akur." "Lalu apa kabarnya ketika aku dan dia pergi mengunjungimu ke desa? Apakah itu bukan menunjukkan bahwa kami p