Aku duduk bersandar di sofa depan televisi. Tubuhku rasanya lelah sekali hari ini. Bagaimana tidak lelah, setelah mama mertuaku pulang. Mas Umar datang dan membawa satu kantong besar pakaian kotor ke rumah.
"Tolong cucikan ya, Dil!" Kata 'tolong' yang aku dengar dari mas Umar, membuat keningku saling bertaut. Enak sekali dia membawa pakaian kotor sebanyak ini ke rumah. Belum lagi aku tau, siapa pemilik pakaian kotor itu. "Nggak mau Mas! Memangnya ini pakaian siapa? Banyak sekali," keluhku. "Itu pakaian mama sama Lila, masa kamu nggak mau sih? Di rumah mama, airnya tidak mengalir, jadi tidak bisa cuci pakaian," jelas mas Umar. Mulutku terbuka lebar. Pakaian mama dan Lila? Bisa-bisanya mas Umar membawa semua pakaian itu ke rumah. Kalaupun air tidak mengalir, kan masih bisa menggunakan air sumur. Di belakang rumah mama juga masih ada sumur yang banyak airnya. Kenapa tidak menggunakan itu saja? Kenapa malah meminta aku mencucinya? Bukannya aku tidak mau, tapi mereka kan masih mampu mengerjakannya sendiri. "Kenapa tidak dibawa ke laundry saja? Oh iya, sumur di belakang juga masih berproduksi, kan?" tanyaku kesal. "Jangan banyak tanya Dil! Kerjakan saja semuanya! Aku juga tidak tau kenapa, mama cuma memintaku membawa pulang ke rumah. Masalah laundry dan sumur, mana aku tau," sahut mas Umar, berlalu pergi setelah meletakkan kantong besar itu. Sambil duduk di sofa aku memijit kaki dan tanganku bergantian. Pegal sekali rasanya harus mengerjakan semuanya sendiri. "Dil, bagi uang dong! Mas mau keluar," ujar mas Umar, tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingku. Aku melotot kaget. "Bukannya kamu punya pegangan uang gaji kamu? Kenapa malah minta lagi ke aku?" tanyaku, menatapnya curiga. "Uangku dipinjam mama. Katanya buat bayar listrik dan air. Cepat mana uangnya, aku mau berangkat ini!" desak mas Umar. Hampir saja aku tersedak mendengar alasan mama minjam uang ke mas Umar. Bukannya tadi pagi sekali mama bilang mau bayar arisan berlian? Bisa-bisanya mama bilang ke mas Umar buat bayar air dan listrik. Dasar picik sekali! "Aku tidak memegang uang lagi Mas, kalau mau ada lima ribu di dompet," ujarku. "Yang benar saja kamu Dil, masa iya kami nggak ada uang? Uang kemarin itu ke mana? Lima ribu mana cukup buat beli kopi," omel mas Umar, wajahnya memerah menahan marah. Aku tidak peduli dengan kemarahan mas Umar. Percuma dia sekolah tinggi, tapi mau saja dibodohi ibunya sendiri. Uang yang dia beri saja masih kurang, malah mau memintanya lagi. "Semua uangnya sudah aku bayarkan ke kredit mobil dan motor kamu, sisanya bayar rumah, bayar air, bayar listrik. Tuh sisanya cuma seratus lima puluh buat beli beras, gas, dan lainnya. Mau kamu ambil lagi? Kalau mau ambil saja, tapi nanti kalau kamu lapar, isap aja jempol kamu buat mengganjal lapar, atau pulang ke rumah mama bilang saja minta makan," sahutku, kemudian aku beranjak dari sofa dan berlalu meninggalkan mas Umar. Seolah tidak peka apa arti kata-kataku tadi, mas Umar malah ikut menyusulku ke kamar. "Dil, seratus lima puluh juga tidak apa-apa. Mana uangnya?" Tanpa malu mas Umar menengadahkan telapak tangannya ke arahku. Mataku melotot sempurna. Aku kira dia merasa malu karena sudah memberi uang bulanan kurang, lalu membatalkan niatnya meminta uang. Tapi ternyata aku salah, dia malah semakin menjadi-jadi. "Kamu gila atau apa Mas? Kamu benar-benar mau mengambil uang yang tidak seberapa itu?" tanyaku tidak percaya. "Iya, aku perlu uang itu Dil. Kan tidak lucu kalau aku datang ke acara temanku tanpa membawa sepeser uang pun. Cepat mana uangnya? Nanti kalau tidak aku gunakan juga aku kembalikan lagi," sahut mas Umar, terus mendesak aku memberikannya uang. "Nih ambil! Ingat ya Mas, kalau uang itu habis. Aku tidak bercanda soal kata-kataku tadi. Jangan protes kalau di meja makan hanya ada piring kosong yang tersaji!" ancamku, berharap mas Umar takut. "Kamu tenang saja, aku pergi dulu!" sahut mas Umar, gegas pergi setelah mengambil kunci motor trailnya. Kepalaku berdenyut sakit. Baru satu hari uang itu ada di tangan, sekarang sudah habis tak tersisa. 'Lebih baik aku ke rumah mama saja, dari pada di sini. Iya kalau uangnya balik lagi. Kalau nggak? Bisa makan angin aku di sini. Punya suami kelewatan pintar akhirnya bodoh sendiri,' umpatku, gegas aku menyiapkan tas besar dan mengisinya dengan pakaian. Tanpa memberitahu mas Umar lebih dulu, aku langsung pergi ke rumah mamaku dengan menggunakan motor matic pemberian mamaku sewaktu kuliah. "Eh Dila, tumben kamu ke sini sendiri. Umar mana?" tanya mama, menyambutku di teras rumah. Aku berdiri sejenak setelah memarkirkan motorku. Sudah hampir tiga bulan aku tidak ke rumah mama. Rumah yang selalu saja aku rindukan, rumah yang menyimpan sejuta kenangan dari aku kecil sampai beranjak dewasa. Puas memandangi rumah, aku bergegas menghampiri mama. "Mas Umar sedang sibuk Ma, jadi Dila sendiri ke sini. Sudah kangen banget sama mama," jawabku berbohong, lalu memeluk mama erat. Dalam pelukan mama aku terisak. Pelukan hangat mama mampu membuatku merasa nyaman dan melupakan bebanku selama ini. "Kamu nangis Dil?" tanya mama, mengurai pelukan dan menatapku serius. "Hehehe iya Ma, maaf ya Ma," sahutku, tertawa kecil mencoba menyembunyikan semuanya. "Kita masik dulu, baru nanti di dalam cerita!" ujar mama, menuntunku ke dalam rumah. Aku meletakkan barang bawaanku di samping sofa, lalu ikut duduk di samping mama. Beberapa kali aku mencoba menyembunyikan ekspresiku, tapi mama pasti selalu bisa menebaknya. Mungkin ini yang disebut ikatan batin antara ibu dan anak. Sekuat apapun aku menyembunyikan kebenaran tentang rumah tanggaku, mama pasti akan dengan mudah mengetahuinya. "Apa kamu dan Umar ada masalah?" tanya mama, mulai mengintrogasi ku. "Aku tidak ada masalah Ma. Semuanya baik-baik saja," jawabku dengan kepala menunduk. Aku tidak berani mengangkat kepala dan bertatap langsung dengan mama. "Jangan bohong Dil! Mama ini mama kamu, apapun yang kamu sembunyikan, Mama pasti tau. Cerita saja, Mama akan jadi pendengar yang baik!" ujar mama mencoba meyakinkan aku. Aku mengangkat kepalaku, menatap wajah mama mencari kebenaran di sana. Saat aku mulai merasa yakin, aku menghela nafas panjang. Lalu mulai menceritakan semuanya. Semuanya yang berkaitan dengan rumah tangga dan keuanganku selama ini. Mama menutup mulutnya terkejut mendengar ceritaku. Sebenarnya aku tidak bermaksud menceritakan keburukan suami, mertua dan iparku. Buktinya selama dua tahun aku memendamnya sendiri. Tapi kali ini semuanya sudah keterlaluan. Jalan satu-satunya, aku menceritakan semuanya guna meringankan beban pikiran dan hatiku.Setelah mendengar dan mencerna semua ceritaku. Mama menatap sayu ke arahku. Aku bisa merasakan perasaan mama saat mengetahui aku begitu tertekan selama ini. "Kamu yang sabar ya, Dil! Hidup berumah tangga memang seperti itu. Berumah tangga tidak semudah kelihatannya. Dibalik kebahagiaan yang terlihat, pasti ada duka yang terpendam. Pernikahan kalian baru dua tahun, masih ada tahun-tahun ke depannya. Semoga saja setelah itu Umar bisa berubah. Usia kalian yang masih labil, pasti akan sulit mengendalikan diri," ujar mama menasehati. Mataku menatap nanar ke arah mama. Aku tau saat ini mama marah, mama kecewa saat putrinya diperlakukan seperti ini. Tapi, mendengar nasihat mama, aku mulai meragukan perasaanku sendiri. "Mama tidak marah aku diperlakukan seperti ini?" tanyaku, menatap lekat netra coklat mama. Mama memalingkan wajahnya, lalu menghembuskan nafas panjang. "Mau semarah apa pun Mama, Mama bisa apa Dil? Mama memang orang
Hari berganti hari, sampai kini mendekati tanggal gajian mas Umar. Setelah pertengkaran malam itu. Hubunganku dengan mas Umar semakin renggang. Entah aku yang terlalu egois karena ingin dimengerti, atau mas Umar yang tidak pernah peka. Aku menjalani hari seperti biasanya. Walaupun tidak ada lagi uang belanja dari jatah bulanan. Aku masih bisa memasak makanan untuk mas Umar. Tentunya itu uang dari hasil kiriman mamaku, dan mas Umar tau itu. "Dil, besok Mas pulangnya telat, kamu tidak usah masak!" ujar mas Umar, sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Aku mengangguk tanda mengiyakan. Hanya obrolan singkat yang mewarnai rumah tangga kami. Tidak ada kemesraan atau kehangatan seperti awal-awal pernikahan. Dan benar saja, sampai tengah malam bahkan hampir dini hari, mas Umar belum juga pulang. Ini bukan kali pertama, sudah sering akhir-akhir ini mas Umar seperti itu. Entah menghindari aku, atau ada urusan lain. "Dil
Hampir setengah jam aku di kamar mandi. Akhirnya aku memutuskan untuk keluar. Tapi, begitu aku keluar keadaan di kamar terlihat sepi. Mas Umar sudah tidak ada di tempatnya lagi. Aku tidak ambil pusing, segera aku memakai pakaian kebangsaan ibu rumah tangga, yaitu daster. Sudah siap dan rapi, aku gegas keluar dari kamar. Terlalu lama mengurung diri di kamar mandi, perutku keroncongan juga. Cacing-cacing di dalam perut sudah berdemo ria meminta isi amunisi. "Ke mana mas Umar? Di kamar tidak ada, di depan televisi dan dapur juga tidak ada," gumamku heran. Merasa penasaran ke mana perginya suamiku itu. Aku memutuskan mencarinya di ruang tamu atau teras rumah. Namun lagi-lagi mas Umar tidak ada. Mobilnya juga sudah tak terlihat lagi. "Paling juga ke rumah ibunya," batinku. Tak mau ambil pusing ke mana perginya mas Umar, aku memutuskan untuk makan. Akhir-akhir ini mas Umar sudah biasa pergi tanpa pamit atau bila
Tanganku terkepal, dada ini rasanya sesak bagai dihantam godam besar. Dengan santainya mas Umar mengatakan itu tanpa memikirkan bagaimana perasaanku. Hanya gara-gara uang jatah bulanan itu, dia tega membuat aku hancur. "Aku tidak setuju, aku tidak mau dimadu. Kalau kamu memang mau melakukan itu, aku lebih baik minta cerai saja," ujarku. Entah dari mana aku mendapatkan keberanian untuk mengucapkan itu. Perceraian memang tidak pernah aku inginkan. Tapi untuk dimadu, aku tidak mau. Sebelum dimadu saja mas Umar tidak pernah adil antara aku dan ibunya. Apalagi ada orang baru lagi. Bisa-bisa aku tersisih. Rahang mas Umar mengeras, wajahnya memerah menahan marah. "Gila kamu Dil! Aku tidak akan menceraikan kamu," Setelah mengatakan itu, mas Umar berlalu pergi tanpa mengatakan apapun lagi. Badanku merosot begitu saja, terduduk di lantai keramik. Perasaanku sudah campur aduk saat ini. Marah, sedih, kecewa berkecam
Tatapan yang sangat menyebalkan dari mama mertuaku, membuatku kesal. Namun sebisa mungkin aku menahannya. Aku tidak boleh lagi terlihat lemah. Cukup tadi saja aku menangis di depan mereka saat mas Umar menjatuhkan kata talak. Kini tidak lagi. Aku harus terlihat kuat dan tegar, biar bagaimanapun ini juga kemauanku untuk tidak dimadu. "Aku mau pulang Ma, pulang ke tempat asal aku berada," jawabku, dengan mimik wajah sesantai mungkin. "Oh pulang ke habitat awal? Baguslah kalau kamu sadar sendiri. Toh ini juga bukan rumah kamu lagi," ujar mama mertuaku, tersenyum sinis. Aku mengulum senyum mendengar kata-kata mama. Ingin rasanya aku tertawa terbahak-bahak saat ini, tapi dengan cepat aku tahan. "Yang dikatakan mama itu benar. Kamu bukan nyonya di rumah ini lagi. Dalam waktu beberapa hari, aku yang akan jadi nyonya di rumah milik mas Umar," sambung Liana dengan bangganya. Kali ini aku tidak bisa lagi menahannya. A
Disepanjang perjalanan menuju rumah mama, air mataku tak henti-hentinya mengalir membasahi pipi. Sengaja aku memacu motorku pelan dengan kaca helm ditutup. Aku tidak mau orang lain melihat keadaanku yang begitu menyedihkan. Perjalanan yang harusnya aku tempuh selama dua jam, kini malah molor jadi tiga jam perjalanan. Air mata yang tidak berhenti mengalir membuat penglihatan buram, mau tak mau aku memelankan laju motor agar bisa selamat sampai tujuan. Dada ini terasa sesak. Dua tahun yang lalu aku dilamar dan dinikahi. Besar sekali harapanku untuk bisa membangun biduk rumah tangga yang harmonis dengan mas Umar. Tapi sekarang semuanya sudah sirna, kandas sudah angan-anganku. Ternyata benar apa yang dikatakan mama dulu. Membangun rumah tangga memang tidaklah mudah seperti yang dibayangkan. Banyak sekali yang belum aku ketahui, seluk beluknya, cara mempertahankannya dari segala badai yang menerpa. Motorku berhenti tepat di halaman rumah mam
Dua hari sudah aku menyandang status janda, selama dua hari itu juga mas Umar sudah tak ada kabar lagi. Entahlah apa yang terjadi dengan mas Umar. Tapi dari berita yang aku dapat dari Maryam temanku, sekaligus teman kantor mas Umar. Mas Umar sudah menikah satu hari yang lalu, tepat setelah satu hari dia menjatuhkan talak. Apa pria memang seperti itu? Tidak bisa kosong sebentar, sudah harus diisi lagi. Pagi ini aku sudah rapi dengan pakaianku. Kemeja putih dan rok span berwarna hitam selutut melekat sempurna di tubuhku. Sudah dua tahun aku tidak menggunakan pakaian ini, untung saja masih muat dan bisa dipakai. "Aduh cantiknya, mau ke mana?" tanya mama berdiri di depan kamarku dengan senyum hangatnya. Aku tersipu malu dipuji mama seperti itu. Dengan penuh semangat aku menghampiri mama dan bergelayut manja di tangannya. "Dila mau interview Ma, doakan Dila ya!" jawabku cepat. "Interview? Kapan ka
Mas Umar masuk bergandengan tangan dengan istri barunya. Sebenarnya aku tidak heran kenapa mas Umar bisa ada di sini. Ini sudah masuk jam makan siang, wajar saja ia ke sini dan juga dekat dengan kantor tempatnya bekerja. Awalnya keduanya terlihat berbincang sambil sesekali tertawa lepas, bahagia sekali pengantin baru ini. Tapi, tawa itu berhenti kala tatapan matanya jatuh ke arahku. "Dila?" ujar mas Umar terkejut, suaranya terdengar nyaring membuat semua pengunjung berbalik menatapnya. Aku menundukkan kepalaku, berusaha sebisa mungkin agar tidak terlihat. Tapi, karena sudah terlanjur melihat keberadaanku di sini, mas Umar langsung menghampiri aku dengan istri barunya-- Liana. "Eh, ada si janda dua hari, makan di sini juga?" tanya Liana mengejekku. Aku diam saja, tidak ada keinginan untuk membalasnya, apa lagi ada Firman di depanku yang kini terlihat bingung. "Janda? maksudnya apa Dil?" tanya F
"Dil, kamu marah sama Mama?" tanya mama, masuk ke dalam kamarku. Setelah kejadian itu, aku memilih mengurung diri di kamar. Bukan karena aku marah, aku hanya masih merasa kesal saja. Terlebih Lila memfitnahku di depan keluarga Firman, ada kedua mertuaku saat itu. Aku menoleh menatap mama. Daru raut wajah mama, terlihat jelas sekali kalau saat ini mama mungkin merasa bersalah. "Tidak Ma, aku tidak marah," jawabku, mencoba tersenyum. Melihat mama mendekat, Firman memutuskan untuk keluar dari kamar, memberi ruang untuk aku dan mama saling bicara. "Boleh Mama duduk di sini?" tanya mama, menunjuk ke arah sampingku. "Boleh Ma, duduk aja!" sahutku, menggeser posisi. "Maafkan Mama, Dil! Semua kekacauan tadi siang terjadi karena Mama. Mama yang salah karena mengundang mereka ke sini. Mama tidak bermaksud seperti itu, Mama hanya ingin menyambung silaturahmi, sekaligus memberi mereka bukti
Emosiku kini mulai membuncah. Aku yang tadinya sudah merasa bisa menerima masukan dari Firman kembali meradang. Ternyata memang sesulit ini berlaku baik pada orang jahat pada kita. Mau seperti apapun baiknya kita, pasti akan selalu saja ada salah di mata yang tidak suka. "Jangan bicara sembarangan kamu La! Untuk apa aku berpura-pura hamil? Kalau kenyataannya begini, mau apa kamu? Memangnya salah, kalau aku benar hamil? Toh, aku punya suami, wajar saja aku bisa hamil seperti ini. Kalau kamu tidak percaya, ikut aku ke kamar dan kita buktikan semuanya!" Tantangku, entah seperti apa wajahku saat ini. "Santai dong Mbak! Aku kan cuma tanya dan memastikan. Kalau memang benar hamil, baguslah kalau begitu. Paling tidak, Mbak tidak dikatakan mandul lagi," cibir Lila, semakin menjadi-jadi. "Asal kamu tau, aku tidak mandul! Apa kurang bukti waktu kita bertemu di klinik kemarin? Kamu juga memeriksakan kandungan kamu kan?" Balasku, kini tatapanku ter
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Aku duduk di sebuah kursi di tengah-tengah hiasan yang sudah mama siapkan. Hati ini terasa sangat bahagia, ternyata begini rasanya mengandung dan melaksanakan ritual mandi-mandi tujuh bulanan. Aku tidak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya, apalagi setelah penghinaan dan fitnah masa lalu yang aku dapatkan dari orang paling terdekat di hidupku. 'Dasar mandul! Pantas saja suaminya tidak betah.' 'Gara-gara tidak bisa memberi keturunan, suaminya meninggalkannya.' Kata-kata itu akan terus aku ingat. Bukan aku seorang pendendam, tapi aku akan selalu mengingat setiap kata yang membuatku terpuruk waktu itu. Aku tidak akan bisa lupa. Air mata ini menetes begitu saja, seiring guyuran air pertama membasahi pucuk kepala dan akhirnya jatuh membasahi seluruh tubuh ini. Sensasi dingin namun terasa segar, begitu aku nikmati. "Memang lain ya, pancaran ibu hamil itu beda sekali
Semua keputusan akhirnya berakhir merujuk rumah ibuku di desa. Aku tentu saja dengan senang hati menerimanya. Selain aku merindukan ibu dan saudara laki-lakiku, aku juga merasa nyaman jika acara dilaksanakan di rumah ibu sendiri. Keesokan harinya, aku dan Firman sudah bersiap berangkat menuju desa. Rencana awal untuk membeli bahan makanan kami batalkan. Rasanya tak tega jika harus meminta ibu memasak semuanya. Apalagi ibuku semakin hari bertambah usia. "Gimana Yank?" tanya Firman, menyusulku ke kamar. "Aku sudah siap, ayo pergi!" Dengan cepat aku meraih lengan Firman dan berjalan bergandengan tangan. Banyak sekali yang kami ceritakan selama perjalanan. Bernostalgia masa lalu kami berdua. "Kamu benar-benar serius waktu itu, atau cuma karena kasihan denganku, Yank?" tanyaku, selalu saja bertanya yang tidak jelas. "Jangan mulai Yank! Kenapa sih hobi sekali bertanya seperti itu? pertanyaan kamu ini menjebak tau! Aku jawab ti
Firman menanyakan itu dengan tegas. Mata teduhnya yang sering aku lihat, sekarang menampakkan kilat tajam. "Da-dari Silvi," jawabku sedikit takut. Silvi, adalah temanku dulu saat berkuliah. Sebenarnya bukan teman dekat. Hanya kenal begitu saja, karena aku dan dia juga tidak satu jurusan. Beberapa waktu lalu saat aku dan Firman pergi ke salah satu minimarket, tanpa sengaja aku bertemu dia. Dia menanyakan kabarku, lalu meminta nomor teleponku dengan alasan ingin menjalin tali silaturahmi. "Silvi? Sejak kapan kamu berteman dengan dia?" tanya Firman, ia tampak terkejut. "Berteman akrab sih tidak, cuma kenal begitu saja. Kebetulan dia punya nomor ponselku," jelasku. "Sayang, Silvi itu tidak tau, kalau aku sudah menikah dengan kamu. Lalu, untuk apa dia mengirim foto itu?" ujar Firman, kali ini aku yang terkejut. Memang benar, pernikahan kami diadakan tidak meriah. Yang diundang juga orang-orang dekat saja. Sedang para teman-tem
Setelah pertemuan di klinik, aku jadi malas berpergian ke mana-mana. Aku malas jika harus bertemu dengan mereka. Bukan takut karena akan dihina. Aku hanya tidak mau menambah masalah lagi saja. "Sayang, kamu di rumah aja atau ikut aku?" tanya Firman, ia sudah rapi dengan pakaiannya. Malam minggu seperti ini, Firman jarang sekali berpergian keluar jika tidak bersamaku. Tapi malam ini, ia terpaksa menghadiri reuni bersama teman-teman satu jurusannya dulu saat kuliah. "Aku malas Mas, kamu saja yang pergi!" tolakku. "Memangnya kamu tidak takut?" tanya Firman, ia sengaja menggodaku kali ini. Keningku mengernyit, apa maksudnya bertanya seperti itu? "Takut apa? Takut sendirian di rumah? Biarpun sendirian, tidak akan mungkin ada hantu yang muncul Mas!" sahutku, kemudian terkekeh. "Bukan hantu, Sayangku! Aku kan pergi reuni, kalau reuni kan biasanya bertemu dengan teman-teman lama. Siapa tau diantara teman lama itu ada
"Puas kamu, hah? Puas sudah membuatku begini? Sekarang, dengan santainya kamu menanyakan di mana suamiku. Kamu punya otak tidak?" Aku terkejut bukan main mendengar bentakan Lila. Memangnya apa salahku? Apa hanya bertanya suaminya di mana, aku pantas mendapatkan bentakan di depan umum seperti ini? "Apa maksud kamu?" tanyaku bingung. "Sudah La, kamu kenapa sih? Jangan buat keributan, ini tempat umum!" tegur mama mas Umar, menarik lengan Lila menjauh. Bukannya menurut, Lila justru menghempaskan tangan mamanya dengan kasar. Ia kembali maju menarik lenganku kasar. "Kamu masih bisa tanya kenapa? Semua ini gara-gara kamu! Aku hamil, juga gara-gara kamu! Aku tidak punya suami, juga gara-gara kamu!" bentak Lila, wajahnya terlihat menyeramkan. "Lila, sudah!" hardik mamanya. "Kamu apa-apaan sih? Kenapa kamu menyalahkan Dila? ini di tempat umum La, malu didengar dan dilihat orang-orang," Lanjut mamanya lagi, memperhatikan
Firman menggenggam tanganku di atas meja. Mantan kekasihnya langsung mendengus kesal melihat kami. Dalam hati aku tertawa puas. Rasakan itu! "Bagiku janda ataupun perawan, sama saja. Toh sama-sama jadi istri juga, mengurus keluarga. Aku tidak pernah membedakan status. Yang jelas aku mencintai istriku, begitu juga sebaliknya. Terkadang di jaman seperti ini juga lebih bagus janda. Janda lebih berpengalaman. Yang terpenting, janda lebih banyak rasa perawan, sedangkan perawan rasanya seperti janda," jelas Firman. Ada rasa dongkol sekaligus bahagia mendengarnya. Bahagia karena Firman membelaku, sedang dongkol karena Firman menyebut soal rasa. Memangnya dia pernah merasakan itu sebelumnya? "Kamu menyindirku Fir?" tanya wanita itu, seraya berdiri bertolak pinggang. Aku dan Firman langsung menoleh bertatapan. Apa maksudnya menyindir? Perasaan dari tadi Firman bicaranya hanya menyebut tentang aku. Kenapa dia malah marah? "Keterlaluan kamu Fi
Sebisa mungkin aku menahan emosi. Kata-kata wanita itu, benar-benar membuat hatiku sakit. Apa hanya karena penampilanku seperti ini? Apa semua harus dinilai dari penampilan luarnya? "Bukan, ini istriku!" jawab Firman, wajahnya langsung berubah kesal. Wanita itu tampak terkejut. Ekspresi terkejutnya sukses membuat aku mengumpat dalam hati. Seolah dia buat sengaja. "Eh, maaf Fir. Istri ya? Aku kira tadi babu kamu. Maaf ya istri Firman!" ucapnya, tersenyum sinis. Suasana hatiku kembali berubah. Ingin rasanya aku cepat pulang. Kata-kata pembantu masih mending dibandingkan dengan babu. Apa dia sengaja mengatakan itu? Mana senyumnya sinis begitu. Ini sih, sama saja dia menabuh genderang perang. "Sis, tolong jaga cara bicara kamu! Aku rasa, kata babu itu terlalu kasar. Dia ini calon ibu untuk anak-anakku," ucap Firman tegas. Wajar saja Firman marah. Suami mana yang tidak marah, kalau istrinya dihina sedemikian rupa. Walaupun tida