Hari ini aku mulai kembali kerja. Waktu liburku habis sia-sia karena harus mengurusi masalah yang dibuat oleh mama mas Umar dan adiknya. Cukup lama aku menyalakan motor, tapi motorku tak kunjung menyala juga.
"Kalau seperti ini terus, bisa-bisa aku terlambat nanti. Lebih baik aku tunggu angkot saja di depan," batinku, dengan cepat menutup dan mengunci pintu rumah. Sama seperti hari biasanya, sudah jadi kebiasaan para ibu-ibu untuk berkumpul di depan teras salah seorang tetangga. Aku berjalan tergesa-gesa melewati kumpulan ibu-ibu itu. Hanya anggukan dan senyuman yang aku lemparkan untuk mereka yang menyapaku. "Kenapa jalan kaki mbak Dila? Motornya ke mana?" tanya salah seorang ibu. "Biasa lah Bu Mini, paling mbak Dila dijemput calon gebetan baru. Kan statusnya janda, jadi diantar jemput deh," sindir ibu yang berbadan tambun. Aku tidak menanggapi kata-katanya. Tidak penting dan hanya membuang waktu saja. "Mogok Bu. Kalau bBeberapa staf satu divisiku mulai mendekat. Mata mereka menatap dalam ke arahku. Dipandangi seperti itu, nyaliku seketika langsung menciut."Ada apa?" tanyaku gugup. "Benar kamu janda?" tanya seorang pria, teman satu divisiku. Tanpa bisa menjawab, aku hanya mengangguk tanda mengiyakan. "Wah, kalau benar janda. Bisa dong Abang mendekat?" ujar pria yang aku ketahui bernama Imran. Amel langsung memukul pundak Imran keras. "Ingat anak istri di rumah Ran! Dasar buaya cap kaleng!" celetuk Amel. Aku terkekeh mendengarnya, sedangkan yang dipukul malah nyengir tidak jelas. "Masa sih kamu janda Dil? Em, maksudku, secara kan usia kamu kelihatan masih muda begitu. Kapan nikah dan cerainya?" tanya Vilia, teman divisi yang duduk di seberangku. Aku tidak menjawabnya karena Firman tiba-tiba saja masuk ke ruangan kami. Melihat Firman datang, teman-temanku langsung bubar dan duduk di kursi mereka masing-masing.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Entah keberuntungan dari mana, sepulangnya aku dari kantor. Aku memutuskan pergi ke minimarket, dan di situ aku melihat seorang pria dan wanita paruh baya saling bergandengan tangan mesra. Ya, tidak salah lagi. Itu pria yang sama, kekasih Lila--adiknya mas Umar. Melihat mereka dari kejauhan, aku menyeringai memikirkan rencana pembalasanku. "De, tunggu di sini sebentar. Mas mau angkat telpon dulu!" ujar pria itu, menjauh. Senyum kemenangan terbit di wajahku. Dengan langkah pasti aku mulai mendekati wanita paruh baya itu. "Permisi Bu," sapaku, mengulas senyum ramah. Wanita paruh baya itu menoleh ke arahku. Keningnya saling bertaut, melihat orang asing sepertiku. "Iya, ada apa ya?" tanyanya. Sebelum melancarkan aksiku, aku menengok mengamati sekitar. Dalam hati ini terus saja berdoa, semoga suami perempuan itu tidak cepat kembali. "Ada apa Mbak?" tanya wanita itu lagi, penas
Untuk sepersekian detik semuanya terdiam, kini rasa syok dan terkejut sudah berlalu. Melihat putrinya ditarik paksa oleh istri sah sang kekasih. Mama mas Umar gegas merangsek maju menarik tangan Lila yang satunya. "Lepaskan! Apa maksud kamu menarik dan menjambak anak saya, hah? Dasar wanita tidak waras," maki mama mas Umar, berapi-api. Istri sah kekasih Lila tidak mempedulikan makian yang keluar dari mama mas Umar. Ia terus berjalan menjauh sampai hampir tiba di pintu pagar halaman. Lila yang ditarik paksa terus menjerit dan memaki. "Diam! Sekarang saya akan membuat kamu merasa malu karena sudah berani jadi duri di rumah tangga saya. Dasar jalang sialan!" umpat istri sah yang aku ketahui bernama Karmila. Mas Umar berlari mengejar sang adik, sedangkan Liana seperti biasa hanya menjadi penonton atas kekacauan di keluarga itu. "Lepaskan adik saya! kita bisa bicarakan baik-baik Bu!" ucap mas Umar, kini sudah merentangkan kedua tangan
Semua tugas atasan sudah aku kerjakan. Beberapa hari ini Firman jarang sekali terlihat. Entah aku yang tidak melihat keberadaannya, atau dia yang memilih menghindar jika melihatku. Awalnya aku merasa acuh dan menganggap itu tidak penting. Tapi, di sudut hatiku merasa ada yang aneh dengan menghilangnya Firman. Seperti ada sesuatu yang hilang. Mungkin hilang dalam artian teman. "Dil, sudah waktu pulang nih. Kamu mau di sini aja?" tanya Amel membuyarkan lamunanku. Aku menggeleng cepat. Mana mungkin aku mau di sini sendirian. Suasana kantor yang sudah sepi, membuat nyaliku menciut juga. "Eh, tunggu aku Mel! Aku beres-beres sebentar," pintaku, gegas membereskan semua meja kerjaku. Kami berdua berjalan beriringan keluar ruangan. Hari ini hari pertamaku lembur di kantor ini. Saat keluar dari kantor, langit yang tadinya masih terang, kini sudah berubah jadi gelap. Bintang-bintang bertaburan menghiasi langit yang cerah. "Dil, a
"Ehem, Dil," Suara panggilan Firman membuyarkan keheningan yang tadi sempat tercipta. Aku merapatkan ponsel ke arah telinga dan menggenggamnya sedikit erat. "Ya," jawabku singkat. Hening... Suasana kembali hening seperti semula. Firman menghentikan kata-katanya. Tapi, aku juga enggan memulainya. "Maaf," ucap Firman lagi. Begitu singkat kata-kata yang keluar dari mulut kami. "Maaf? Karena apa?" tanyaku, mengernyitkan keningku. "Maaf karena aku datang ke rumah orang tua kamu tanpa memberitahu kamu dulu," ujar Firman, ada nada penyesalan yang aku dengar dari sini. Kali ini aku terdiam. Firman mengakui semuanya. Ia datang ke rumah orang tuaku tanpa pemberitahuan, setelah semuanya terjadi, baru memberitahuku. Ada sedikit rasa kesal juga, sekaligus bahagia. Bukan bahagia karena sudah dilamar. Bahagia karena Firman seorang pria gentleman. Jarang sekali aku menemui pria seperti dia, bahk
Dua hari sudah berlalu, setelah Firman mendatangi orang tuaku. Aku terus memikirkan lamaran Firman. Antara menerima atau menolaknya. Aku lebih memilih menerimanya. Aku juga berhak bahagia. Terserah orang lain mau bilang aku apa nanti. Mau mengatakan aku gatal atau apapun itu nanti, aku tidak peduli. Toh sama saja. Sendiri digosipin, menikah juga sama. Enak menikah, mana ada temannya lagi. "Kamu yakin Dil?" tanya Mama, saat aku melangsungkan panggilan telepon. "Yakin Ma, Dila sangat yakin kali ini," jawabku pasti. Beberapa detik suara mama tidak terdengar. Aku mengerti, mungkin mama masih merasa berat dengan keputusan besarku ini. "Ma," Panggilku. "Ya Dil? Ada apa? Kita bicara sampai di mana tadi Di" tanya mama, gelagapan. "Mama kenapa? Mama baik-baik aja kan?" Bukannya menjawab, aku memilih menanyakan keadaan mama. "Mama baik-baik saja. Hanya sedikit terkejut saja dengan keputusan kamu. Apapun itu, Mama harap kam
Firman berdiri di depan gang tempatku tinggal. Sesuai rencana Firman malam ini, dia akan mengajakku bertemu kedua orang tuanya, sekaligus makan malam bersama. Aku sengaja meminta Firman menungguku di depan sana, karena tidak mau lagi mendengar gosip terbaru dari para ibu-ibu di sini. "Wah, mbak Dila cantik sekali. Tumben jalan kaki Mbak. Motornya mana?" Aku terkesiap. Hampir saja aku jatuh, mendengar suara salah seorang tetanggaku yang tiba-tiba terdengar. Suasana kampung yang kurang penerangan, membuat posisinya samar terlihat. "Eh, itu mbak Dila terkejut," timpal salah seorang lagi. Aku menyipitkan kedua mataku. Ya Allah, ternyata ibu-ibu biang gosip sedang berkumpul. Aku menggelengkan kepalaku pelan. Aku kira jadwal pergosipan ini hanya dilakukan siang hari. Ternyata malam hari juga. Senyum ramah terbit di wajahku. Walaupun itu sebuah keterpaksaan. "Mari Bu!" ucapku, segera berlalu. Malas sekali rasanya, jika harus
"Cih, sombong sekali! Lihat saja nanti kalau sudah sah jadi menantu. Kalian pasti menyesal karena sudah memungut janda mandul dan gatal ini!" Kata-kata ibu mas Umar benar-benar membuatku kesal sekaligus malu. Aku tidak mandul, dan akan aku buktikan nanti setelah menikah. "Kita lihat saja nanti Ma! Aku atau putra Mama yang bermasalah di sini!" ucapku, tidak ada lagi rasa hormat dan segan pada wanita paruh baya yang menghinaku di depan banyak orang. Mendengar ucapanku, mama mas Umar mendengus kesal dan pergi begitu saja diikuti anggota keluarga yang lainnya. Tatapan mama mas Umar sebelum pergi begitu mengerikan. Sedang Lila menatapku sinis, dan mas Umar hanya menunduk sendu. "Sudahlah Sayang, lebih baik kita makan saja di sini! Untuk apa meladeni janda gatal seperti dia. Buang-buang waktu saja," ejek Liana, tersenyum sinis ke arahku menarik lengan mas Umar. "Tolong jaga mulut anda Nona! Kalau mau pergi, ya pergi saja! Toh, kedatangan
"Dil, kamu marah sama Mama?" tanya mama, masuk ke dalam kamarku. Setelah kejadian itu, aku memilih mengurung diri di kamar. Bukan karena aku marah, aku hanya masih merasa kesal saja. Terlebih Lila memfitnahku di depan keluarga Firman, ada kedua mertuaku saat itu. Aku menoleh menatap mama. Daru raut wajah mama, terlihat jelas sekali kalau saat ini mama mungkin merasa bersalah. "Tidak Ma, aku tidak marah," jawabku, mencoba tersenyum. Melihat mama mendekat, Firman memutuskan untuk keluar dari kamar, memberi ruang untuk aku dan mama saling bicara. "Boleh Mama duduk di sini?" tanya mama, menunjuk ke arah sampingku. "Boleh Ma, duduk aja!" sahutku, menggeser posisi. "Maafkan Mama, Dil! Semua kekacauan tadi siang terjadi karena Mama. Mama yang salah karena mengundang mereka ke sini. Mama tidak bermaksud seperti itu, Mama hanya ingin menyambung silaturahmi, sekaligus memberi mereka bukti
Emosiku kini mulai membuncah. Aku yang tadinya sudah merasa bisa menerima masukan dari Firman kembali meradang. Ternyata memang sesulit ini berlaku baik pada orang jahat pada kita. Mau seperti apapun baiknya kita, pasti akan selalu saja ada salah di mata yang tidak suka. "Jangan bicara sembarangan kamu La! Untuk apa aku berpura-pura hamil? Kalau kenyataannya begini, mau apa kamu? Memangnya salah, kalau aku benar hamil? Toh, aku punya suami, wajar saja aku bisa hamil seperti ini. Kalau kamu tidak percaya, ikut aku ke kamar dan kita buktikan semuanya!" Tantangku, entah seperti apa wajahku saat ini. "Santai dong Mbak! Aku kan cuma tanya dan memastikan. Kalau memang benar hamil, baguslah kalau begitu. Paling tidak, Mbak tidak dikatakan mandul lagi," cibir Lila, semakin menjadi-jadi. "Asal kamu tau, aku tidak mandul! Apa kurang bukti waktu kita bertemu di klinik kemarin? Kamu juga memeriksakan kandungan kamu kan?" Balasku, kini tatapanku ter
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Aku duduk di sebuah kursi di tengah-tengah hiasan yang sudah mama siapkan. Hati ini terasa sangat bahagia, ternyata begini rasanya mengandung dan melaksanakan ritual mandi-mandi tujuh bulanan. Aku tidak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya, apalagi setelah penghinaan dan fitnah masa lalu yang aku dapatkan dari orang paling terdekat di hidupku. 'Dasar mandul! Pantas saja suaminya tidak betah.' 'Gara-gara tidak bisa memberi keturunan, suaminya meninggalkannya.' Kata-kata itu akan terus aku ingat. Bukan aku seorang pendendam, tapi aku akan selalu mengingat setiap kata yang membuatku terpuruk waktu itu. Aku tidak akan bisa lupa. Air mata ini menetes begitu saja, seiring guyuran air pertama membasahi pucuk kepala dan akhirnya jatuh membasahi seluruh tubuh ini. Sensasi dingin namun terasa segar, begitu aku nikmati. "Memang lain ya, pancaran ibu hamil itu beda sekali
Semua keputusan akhirnya berakhir merujuk rumah ibuku di desa. Aku tentu saja dengan senang hati menerimanya. Selain aku merindukan ibu dan saudara laki-lakiku, aku juga merasa nyaman jika acara dilaksanakan di rumah ibu sendiri. Keesokan harinya, aku dan Firman sudah bersiap berangkat menuju desa. Rencana awal untuk membeli bahan makanan kami batalkan. Rasanya tak tega jika harus meminta ibu memasak semuanya. Apalagi ibuku semakin hari bertambah usia. "Gimana Yank?" tanya Firman, menyusulku ke kamar. "Aku sudah siap, ayo pergi!" Dengan cepat aku meraih lengan Firman dan berjalan bergandengan tangan. Banyak sekali yang kami ceritakan selama perjalanan. Bernostalgia masa lalu kami berdua. "Kamu benar-benar serius waktu itu, atau cuma karena kasihan denganku, Yank?" tanyaku, selalu saja bertanya yang tidak jelas. "Jangan mulai Yank! Kenapa sih hobi sekali bertanya seperti itu? pertanyaan kamu ini menjebak tau! Aku jawab ti
Firman menanyakan itu dengan tegas. Mata teduhnya yang sering aku lihat, sekarang menampakkan kilat tajam. "Da-dari Silvi," jawabku sedikit takut. Silvi, adalah temanku dulu saat berkuliah. Sebenarnya bukan teman dekat. Hanya kenal begitu saja, karena aku dan dia juga tidak satu jurusan. Beberapa waktu lalu saat aku dan Firman pergi ke salah satu minimarket, tanpa sengaja aku bertemu dia. Dia menanyakan kabarku, lalu meminta nomor teleponku dengan alasan ingin menjalin tali silaturahmi. "Silvi? Sejak kapan kamu berteman dengan dia?" tanya Firman, ia tampak terkejut. "Berteman akrab sih tidak, cuma kenal begitu saja. Kebetulan dia punya nomor ponselku," jelasku. "Sayang, Silvi itu tidak tau, kalau aku sudah menikah dengan kamu. Lalu, untuk apa dia mengirim foto itu?" ujar Firman, kali ini aku yang terkejut. Memang benar, pernikahan kami diadakan tidak meriah. Yang diundang juga orang-orang dekat saja. Sedang para teman-tem
Setelah pertemuan di klinik, aku jadi malas berpergian ke mana-mana. Aku malas jika harus bertemu dengan mereka. Bukan takut karena akan dihina. Aku hanya tidak mau menambah masalah lagi saja. "Sayang, kamu di rumah aja atau ikut aku?" tanya Firman, ia sudah rapi dengan pakaiannya. Malam minggu seperti ini, Firman jarang sekali berpergian keluar jika tidak bersamaku. Tapi malam ini, ia terpaksa menghadiri reuni bersama teman-teman satu jurusannya dulu saat kuliah. "Aku malas Mas, kamu saja yang pergi!" tolakku. "Memangnya kamu tidak takut?" tanya Firman, ia sengaja menggodaku kali ini. Keningku mengernyit, apa maksudnya bertanya seperti itu? "Takut apa? Takut sendirian di rumah? Biarpun sendirian, tidak akan mungkin ada hantu yang muncul Mas!" sahutku, kemudian terkekeh. "Bukan hantu, Sayangku! Aku kan pergi reuni, kalau reuni kan biasanya bertemu dengan teman-teman lama. Siapa tau diantara teman lama itu ada
"Puas kamu, hah? Puas sudah membuatku begini? Sekarang, dengan santainya kamu menanyakan di mana suamiku. Kamu punya otak tidak?" Aku terkejut bukan main mendengar bentakan Lila. Memangnya apa salahku? Apa hanya bertanya suaminya di mana, aku pantas mendapatkan bentakan di depan umum seperti ini? "Apa maksud kamu?" tanyaku bingung. "Sudah La, kamu kenapa sih? Jangan buat keributan, ini tempat umum!" tegur mama mas Umar, menarik lengan Lila menjauh. Bukannya menurut, Lila justru menghempaskan tangan mamanya dengan kasar. Ia kembali maju menarik lenganku kasar. "Kamu masih bisa tanya kenapa? Semua ini gara-gara kamu! Aku hamil, juga gara-gara kamu! Aku tidak punya suami, juga gara-gara kamu!" bentak Lila, wajahnya terlihat menyeramkan. "Lila, sudah!" hardik mamanya. "Kamu apa-apaan sih? Kenapa kamu menyalahkan Dila? ini di tempat umum La, malu didengar dan dilihat orang-orang," Lanjut mamanya lagi, memperhatikan
Firman menggenggam tanganku di atas meja. Mantan kekasihnya langsung mendengus kesal melihat kami. Dalam hati aku tertawa puas. Rasakan itu! "Bagiku janda ataupun perawan, sama saja. Toh sama-sama jadi istri juga, mengurus keluarga. Aku tidak pernah membedakan status. Yang jelas aku mencintai istriku, begitu juga sebaliknya. Terkadang di jaman seperti ini juga lebih bagus janda. Janda lebih berpengalaman. Yang terpenting, janda lebih banyak rasa perawan, sedangkan perawan rasanya seperti janda," jelas Firman. Ada rasa dongkol sekaligus bahagia mendengarnya. Bahagia karena Firman membelaku, sedang dongkol karena Firman menyebut soal rasa. Memangnya dia pernah merasakan itu sebelumnya? "Kamu menyindirku Fir?" tanya wanita itu, seraya berdiri bertolak pinggang. Aku dan Firman langsung menoleh bertatapan. Apa maksudnya menyindir? Perasaan dari tadi Firman bicaranya hanya menyebut tentang aku. Kenapa dia malah marah? "Keterlaluan kamu Fi
Sebisa mungkin aku menahan emosi. Kata-kata wanita itu, benar-benar membuat hatiku sakit. Apa hanya karena penampilanku seperti ini? Apa semua harus dinilai dari penampilan luarnya? "Bukan, ini istriku!" jawab Firman, wajahnya langsung berubah kesal. Wanita itu tampak terkejut. Ekspresi terkejutnya sukses membuat aku mengumpat dalam hati. Seolah dia buat sengaja. "Eh, maaf Fir. Istri ya? Aku kira tadi babu kamu. Maaf ya istri Firman!" ucapnya, tersenyum sinis. Suasana hatiku kembali berubah. Ingin rasanya aku cepat pulang. Kata-kata pembantu masih mending dibandingkan dengan babu. Apa dia sengaja mengatakan itu? Mana senyumnya sinis begitu. Ini sih, sama saja dia menabuh genderang perang. "Sis, tolong jaga cara bicara kamu! Aku rasa, kata babu itu terlalu kasar. Dia ini calon ibu untuk anak-anakku," ucap Firman tegas. Wajar saja Firman marah. Suami mana yang tidak marah, kalau istrinya dihina sedemikian rupa. Walaupun tida