Pagi ini Kinan masak seperti biasa. Dia juga membuatkan kopi untuk suaminya. Semalam mereka tak tidur bersama karena pertengkaran yang sebelumnya terjadi. Bagas mengamati istrinya yang sedang menyiapkan makanan di meja makan. Dia heran dengan Kinan yang tetap menyiapkan makanan untuknya, padahal biasaya setelah mereka bertengkar Kinan akan mogok masak seperti tempo hari. Bagas merasa Kinan tengah merencanakan sesuatu. Dia ingat perkataan Kinan semalam yang mengatakan akan pergi dari rumah. "Kamu masak untukku?" tanya Bagas pada istrinya. "Terus buat siapa kalau bukan buatmu, Mas," sahut Kinan dingin, tangannya dengan cekatan menata lauk dan sayur di meja makan. Bagas masih diam mengamati. Lalu dia duduk dan makan apa yang disediakan oleh istrinya. Dia makan dengan lahapnya seolah butuh energi lebih. "Setelah ini aku mau langsung berangkat," ucap Bagas dingin. Samar Kinan tersenyum simpul dan Bagas sempat melirik istrinya itu. Lal
Pak Rahmat mengantarkan Kinan ke kost'an milik Bu Liana. Letaknya masih satu kampung dengan rumah keluarganya. Jadi Mertua Kinan bisa sewaktu-waktu mengunjunginya. "Kinan, kamu baik-baik di sini ya. Uang kost untuk bulan ini sudah Bapak bayar. Jaga Caca baik-baik," Pak Rahmat berpesan sebelum meninggalkan Kinan dan cucunya. "Iya, Pak. Terima kasih sudah mau membantu dan memberikan solusi," ucap Kinan pada Bapak Mertuanya. Pak Rahmat mengangguk, sebenarnya dia merasa berat meninggalkan mereka sendiri di tempat asing. Namun dia juga tak mau egois dengan memaksa Kinan tetap bersama anaknya. Kinan memandang ke sekeliling kamar kostnya. Ada kamar mandi dalam dan dapur mini di ruangan itu, juga kamar yang lumayan luas dengan teras yang teduh karena ada pepohonan di depannya. Ada 4 kamar berjejer di sana, semuanya tertutup rapat. Sedangkan rumah pemiliknya jauh dari tempat kost itu. Belakang tempat kost yang ia tempati masih kebun dan tanah kosong.
Risa mondar-mandir di depan rumah mencari keberadaan suaminya. Tangannya menggengam ponsel sambil sesekali melakukan panggilan telepon. "Kamu ke mana sih, Mas? Kenapa gak ngasih tahu aku dulu sebelum keluar rumah," gumam Risa dengan wajah cemberut. "Ris, kamu ngapain sih mondar mandir kayak setrikaan? Pening kepala Mama ngeliatnya," gerutu Bu Yuni melihat kelakuan anaknya. Dia sedang bersantai di teras sambil ngemil buah. "Mas Rangga, Ma ... Dia dari tadi keluar gak balik-balik." jawab Risa dengan gelisah. "Lah, biasanya jam segini kan dia kerja, ngapain kamu nungguin? Nanti sore dia juga balik kok," sahut Bu Yuni santai. "Mas Rangga gak kerja, tasnya masih ada di kamar. Lagian tadi dia cuma pakai baju rumahan aja kok," Risa menyanggah ucapan Mamanya. "Loh kok bisa? Gak bisa dibiarin itu Ris, baru juga usahanya mulai sukses udah males-malesan keluyuran. Kamu cari dia sekarang, Ris. Ntar malah jadi kebiasaan dia tuh," omel Bu Yuni sama pa
Kinan meminta Radit untuk putar balik. Dia melihat Bagas, suaminya menunggunya di depan kostnya. Kinan masih takut terhadap lelaki itu, apalagi di kost'an itu dia belum mengenal siapapun. "Jadi itu tadi tempat kostmu, Kinan? Sepertinya tadi suamimu kan yang sedang menunggu di depan pintu?" tanya Radit pada perempuan di sebelahnya. "Iya, Mas. Itu tadi Mas Bagas. Dia sudah beberapa kali melakukan kekerasan padaku. Dan aku takut jika dia akan melakukannya lagi, apalagi di tempat itu aku masih baru," jawab Kinan masih takut. "Ini sudah malam kasihan Caca kalau dia tidak bisa istirahat dengan baik. Rencananya kita mau menunggu atau gimana, Kinan?" tanya Radit lagi. "Ehm ... gimana ya. Anterin aku ke rumah Mertuaku aja, Mas. Mungkin sekarang itu tempat yang aman untukku saat ini. Besok baru akan aku pikirkan lagi," jawab Kinan yakin. "Yaudah, aku anterin kamu ke sana ya. Kamu bisa hubungi aku kalau misalkan butuh bantuan, tadi nomerku udah kamu save,
Rangga gelisah, semalaman dia tak dapat memejamkan mata. Dia memikirkan Kinan yang tak memberinya kabar sama sekali. Bahkan ketika dihubungi, Kinan malah mematikan telponnya. Sampai pagi ponsel Kinan masih tak aktif, Rangga mencoba meghubunginya berkali-kali. "Ada apa denganmu, Kinan," gumam Rangga. Risa melihat suaminya gelisah. Dia yakin ada masalah yang dihadapi oleh suaminya itu. "Kenapa kamu tak tenang gitu sih, Mas? Tak biasanya kamu seperti ini, bentar-bentar liat hp, berdiri lalu duduk lagi. Makanan di meja gak kamu makan malah kamu aduk-aduk aja. Ada apa sebenarnya? tanya Risa pada suaminya. "Ada sedikit masalah, Dek. Tapi gak apa-apa, aku bisa mengatasinya sendiri," jawab Rangga cuek tanpa melihat istrinya. "Apa ada masalah di kantor? Ataukah ada hubungannya dengan noda merah di bajumu kemarin?" tanya Risa memancing respon suaminya. "Apaan sih kamu, Dek. Tolong jangan buat aku semakin pusing dengan kelakuanmu itu. Kesab
Risa menangis luruh ke lantai, dia tak sanggup mendengar perbincangan antara suaminya dan Kinan yang diam-diam bermain di belakangnya. Rangga berjanji akan menikahi Kinan? Pasti hal ini membuat hati Risa hancur berkeping-keping. Tulang tubuhnya terasa lunglai, tenaganya hilang seketika. Risa tak menyangka jika suami yang awalnya tergila-gila padanya telah mengkhianatinya. Hancur!! Satu kata yang mewakili hatinya saat ini. Satu-satunya lelaki yang dia cintai, ternyata bukan miliknya sendiri. "Risa?" Rangga terkejut akan kedatangan istrinya. Kinan sama halnya dengan Rangga, dia syok melihat istri dari kekasihnya ada di sini dan memergokinya saat berdua. "Mbak Risa?" Kinan bergetar menyebut nama perempuan itu, antara takut dan syok. Rangga lantas mendekati istrinya. Dia menyentuh pundak wanita itu untuk memastikan keadaannya. "Dek, maafkan aku-—" ucap Rangga terhenti. "Diam kamu, Mas! Tega kamu ya ..." ucap Risa
Bu Nur membuka pintu dan melihat siapa yang sudah bertamu dengan cara tak sopan. Pak Rahmat dan Santi turut mengekor di belakang karena penasaran. "Kenapa teriak-teriak Bu Yuni? Kan bisa bertamu baik-baik," ucap Bu Nur tak nyaman. Bu Nur bersama Risa mencari-cari keberadaan Kinan. Rangga kemudian berlari menyusul kedua perempuan itu, takut mereka berbuat nekad di rumah Bu Nur. "Mana bisa aku bicara baik-baik dalam keadaan emosi seperti ini! Mana menantumu yang sok cantik itu," ucap Bu Nur dengan mata melotot. "Maaf, Bu Nur jika kami sudah tak sopan. Risa, Ibu, ayo kita pulang, jangan membuat kekacauan di rumah ini," ucap Rangga memohon. "Kami gak akan pulang sebelum bertemu dengan Kinan, perempuan ulat itu," ketus Bu Yuni. Kinan yang merasa namanya disebut akhirnya keluar juga dari kamar. Dia menggendong Caca bersamanya. Bagas juga muncul dari belakang tak jadi makan karena penasaran kenapa Bu Yuni marah-marah di rumah orangtuanya.
Rangga terduduk lemas di depan rumah Bu Nur, semangatnya hilang seketika. Kepergian Kinan membawa pergi separuh jiwanya. Hati kecilnya berbisik lirih."Berjuanglah jangan menyerah." Semangat Rangga mulai muncul lagi. Seketika Rangga bangkit, dia berjalan tergesa ke rumah. Mengambil motornya dan memacu kuda besinya itu dengan kencang. Dia mengikuti di mana Kinan pergi. Iya, Rangga ingin mencari tahu keberadaan Kinan setelah ini. Dia akan memantaunya dalam diam dan akan bergerak jika waktunya tepat. Dia tak ingin melepaskan perempuan yang dicintainya begitu saja. Dewi fortuna berada di pihaknya, dia bisa menyusul mobil Pak Rahmat. Dia menjaga jarak agar mereka tak merasa jika dibuntuti. Perjalanan ke rumah orangtua Kinan tak butuh waktu lama. Hanya setengah jam lebih mereka sudah sampai. "Kinan, kita udah sampai, ayo turun ...." ucap Bu Nur kepada Kinan yang menatap ragu ke arah rumahnya. "I-iya, Bu." Kinan gugup dan takut bertemu d
"Yaelah ... kayak cewek aja sih pake curhat-curhatan segala!" cibir Rangga."Emang cewe doang yang butuh didengar, aku juga dong," sahut Dewa.Lia datang membawa teh hangat dan cemilan untuk Lala dan Dewa. Gadis itu lalu mempersilakan tamunya untuk mencicipinya."Silakan, seadanya saja ...."ucap Lia.Dewa memperhatikan adik Rangga itu, matanya tak berkedip melihat Lia yang polos namun tetep terlihat kecantikannya."Rangga, itu adik kamu bukan?" tanya Dewa berbisik."Iya, kenapa emang?" tanya Rangga balik."Kayaknya aku bakalan sering main ke rumah ibumu nanti deh, Ga." celetuk Dewa."Eh, gak ada ya, jangan coba-coba deketin adikku atau kamu akan berurusan sama kakaknya," balas Rangga seraya menunjuk dirinya."Yeay ... emang kamu gak mau punya ipar ganteng dan mapan kayak aku, Ga?" komentar Dewa."Udah deh, jangan becanda," jawab Rangga.Lia lalu pamit ke depan menemani Andika yang sedang bermain di luar, Dewa minta ijin Rangga untuk sekedar mengobrol bersama Lia di depan.Tinggal Lala
Kinan membuka map itu dan melihat apa isi di dalamnya. Ternyata di dalam map itu ada sertifikat rumah atas nama Kinan. Diam-diam Bu Niken dan suaminya telah membeli rumah Bu Nilam dan mengalihkan namanya atas nama Kinan.Kinan menyeka sudut matanya yang basah, rasa haru menyeruak di dada."Bu, Pak ... saya gak tahu harus bagaimana lagi untuk mengungkapkan rasa terima kasih saya kepada kalian. Begitu banyak yang sudah kalian berikan untukku," ucap Kinan dengan mata berkaca-kaca."Tak perlu begitu, Kinan. Kami juga orangtuamu jadi wajar kan kalau kami ingin memberikan sesuatu kepada putri kami," ucap Bu Niken dengan senyum lembutnya.Kinan lantas memeluk wanita yang telah melahirkan suaminya itu dengan perasaan bahagia. Bu Niken membalas pelukan menantunya dengan erat.Kinan lantas memeluk wanita yang telah melahirkan suaminya itu dengan perasaan bahagia. Bu Niken membalas pelukan menantunya dengan erat."Cukup dampingi Radit dan jadikan dia raja di hatimu, maka dia akan memperlakukan
"Bagaimana mungkin, Mas? Andika belum punya kekuatan hukum karena dia anak di bawah umur. Lalu bagaimana kalau aku menikah dengan Dion nanti, sementara dia tak ingin tinggal bareng ibuku?" tanya Risa tak terima.Bu Lina dan Lia menggelengkan kepala tak percaya dengan penuturan Risa. Sementara Bu Yuni menatap tajam putrinya."Apa kamu bilang? Dan kamu lebih memilih Dion daripada Ibumu sendiri, hah?!" tanya Bu Yuni dengan mendelikkan matanya."Sudahlah, Bu. Aku tak mau nantinya Dion seperti Mas Rangga, pergi meninggalkanku karena sikap Ibu," jawab Risa datar."Hei, ibu bahkan belum tahu bagaimana dan siapa Dion, apa pekerjaannya, sudah mapankah dia hingga berani menikahi putriku?" seru Bu Yuni."Tak penting, Bu. Yang penting anak dalam kandunganku memiliki seorang ayah," jawab Risa kekeh.Bu Lina dan Lia merasa heran dengan perdebatan anak dan ibu itu. Sebegitu tak berharganya kah seorang Rangga di mata mereka hingga di depannya mereka berdebat tentang seorang laki-laki lain tanpa ada r
"Loh, sayang banget, Mbak. Apa karena sedang hamil ya jadi gitu? Tapi beneran loh, Mbak ... mumpung ada gratisan, uenak pula," Bu Abdul kembali menawari Risa."Saya kan udah bilang gak berselera, Bu!" ucap Risa dengan wajah ditekuk.Karena merasa tak tahan saat melihat semua orang mengucapkan selamat kepada Kinan dan Radit, apalagi melihat Kinan yang selalu tersenyum bahagia membuat Risa pergi dari tempat itu dengan rasa dongkol.Ini merupakan kejutan buat Risa. Di saat dia mengira Kinan akan menderita karena gagal menikah, justru Kinan kini bahahia dengan sebuah kejutan istimewa.****Risa pulang ke rumah dengan rasa panas di hati. Ketika sampai, dia melihat ibunya-Bu Yuni- sudah duduk di ruang tamu bersama Bu Lina dan Lia "Oh, sudah sampai, Bu. Kirain besok mau ke sininya," ucap Risa kepada ibunya."Iyalah, setelah mendengar ceritamu waktu kamu telepon kemarin hati Ibu langsung panas aja," jawab Bu Yuni.Setelah itu dia beralih menatap Bu Lina dan bertanya kepadanya."Jadi selama i
Radit duduk di samping Ayahnya. Pak Penghulu mengambil tempat di depan Radit bersama wakilnya.Paklik dari Radit kemudian memberi sambutan untuk tamu yang sudah hadir. Setelah mengucapkan salam dan basa-basi kecil, dia mengungkapkan tujuannya datang ke rumah Kinan bersama keluarga."Saya rasa Bapak/Ibu sekalian tahu apa maksud kami datang ke sini ya ... karena ada Pak Penghulu bersama kami. Benar kami ingin menikahkan putra kami Radit Mahesa bersama Kinan Wulandari yang tempo hari sempat tertunda karena suatu hal." tutur Paklik Radit.Suasana kembali riuh saat Paklik dari Radit memperjelas maksud dan tujuannya."Dan untuk mempersingkat waktu, kami ingin segera memulai acara akadnya, silakan, Pak bisa dimulai ...." Paklil Radit mempersilakan.Kinan yang ada di dalam akhirnya disuruh keluar oleh adiknya, Dinda."Mbak, udah ditungguin, cepetan keluar," ucap Dinda."Eh, bentar Mbak. Ganti baju, gih. Ini ada kebaya cantik dan kerudungnya," ucap MuA itu bergegas."Bu Niken dan keluarganya
Hari itu Bu Rina meminta bantuan Ranti dan Dinda serta beberapa tetangga lainnya. Pak Abdul dan istrinya juga secara khusus diminta bantuannya.Sementara ada orang suruhan Bu Niken yang membantu Kinan agar tampak lebih cantik."Kenapa aku mesti dirias seperti ini, Mbak?" tanya Kinan heran."Ini atas perintah Bu Niken. Dia ingin mengunjungimu dan dia tak ingin melihatmu pucat seperti ini." ucap perempuan itu.Kinan pun akhirnya menurut dan membiarkan dirinya dirias oleh orang suruhan Bu Niken."Aku juga bawain baju yang cantik buat Mbak Kinan. Setelah ini Mbak ganti baju juga ya," ucap perempuan itu.Kinan mengangguk kecil, sebenarnya dia ingin menolak untuk berhias apalagi jika dia mengingat Radit masih terbaring lemah. Tapi karena semua atas permintaan Bu Niken, maka Kinan tak dapat menolaknya.Sementara Bu Rina dengan wajah sumringah, membersihkan rumahnya dengan bantuan Ranti, seolah akan ada acara di rumahnya. Dinda lebih memilih untuk menjaga Caca."Bu, ini bunga pesanan Ibu, say
"Tolong! Kinan!?"Bu Rina berteriak kala melihat api yang membakar beberapa perabotan rumah tangga dan sebagian dapurnya.Kinan terlonjak!Wajahnya pucat pasi dan baru menyadari keadaan sekitarnya. Dengan wajah panik, Kinan mencoba menyiramkan air ke arah api yang mulai membesar.Dinda yang semula di kamar ketakutan, dia ikut membantu Kinan mengambil air di kamar mandi."Din, kamu bawa Caca keluar, banyak asap di sini!" perintah Kinan pada adiknya.Lantas Dinda menghampiri Caca yang masih tertidur dan membawanya ke depan rumah.Alih-alih padam, api itu semakin besar dan merembet.Bu Rina berlari keluar dan meminta pertolongam kepada para tetangga."Tolong! Tolong kebakaran!"Karena hari masih pagi, masih banyak orang yang ada di rumah dan belum berangkat bekerja.Para lelaki yang ada di sana segera berlarian ke rumah Kinan, ada Pak Abdul dan Rangga juga yang turut membantu.Mereka bekerja sama memadamkan api itu hingga tak lama kemudian api bisa dipadamkan.Semua merasa lega, setidakn
"Apa maksudnya, Mbak? Coba jelaskan dan tolong jangan bertele-tele." Bu Niken penasaran.Rangga mulai merasa ada yang aneh dengan ucapan Risa, namun dia tak dapat mencegah karena Risa jauh dari jangkauannya."Radit terlalu baik untuk seorang Kinan. Kalian belum tahu sepenuhnya siapa perempuan itu, dia wanita perusak rumah tangga orang, dia merebut suami saya dan kini pernikahan saya sudah diujung tanduk. Suami saya menceraikan saya karena Kinan dan kini saya tinggal menunggu surat gugatan cerai darinya," Risa berkata dengan mata berkaca-kaca.Sebisa mungkin Risa ingin membuat mereka percaya, dia memasang wajah sendu seolah dia memang pihak yang terdzalimi.Rangga segera menghampiri Risa dan menarik tangannya."Hentikan, Risa! Pergi dari sini sekarang juga!" ucap Rangga seraya menarik tangan Risa."Tidak, Mas. Biarkan aku bicara, aku ingin mengungkapkan kebenaran ini di depan mereka semua, Kinan pantas mendapatkannya," teriak Risa seraya melepaskan tangan Rangga.Kinan tertunduk malu,
Telepon selular itu jatuh begitu saja setelah Kinan mendapatkan kabar buruk dari Alya, kakak Radit."Kinan, ada apa ini? Siapa yang menelponmu, Nak," seru Bu Rina cemas.Ranti mengambil telepon yang masih terhubung itu, dia mencoba berbicara dengan si penelpon dan masih ada Alya yang menunggu tanggapan dari keluarga Kinan.Wajah Ranti berubah pias begitu mendengar keterangan dari Alya. Sedangkan saat ini semua orang menunggu penjelasan dari Ranti."Ada apa, Ran?" tanya Pak Abdul.Bu Rina bersender di tembok, hatinya terlalu lemah untuk mendengarkan kabar buruk. Sedangkan Kinan masih mematung dengan wajah dingin, tak bersuara dan tatapan matanya kosong."Radit kecelakaan, dia terluka parah dan saat ini ada di rumah sakit," terang Ranti.Semua ternganga, suasana berubah menjadi gempar, setiap orang berbicara dengan pendapatnya masing-masing."Kita harus ke rumah sakit sekarang juga, semoga Radit baik-baik saja," ucap Pak Abdul memberi komando."Kinan! Hei, Kinan ada apa denganmu?!" teri