"Kau dengar dia bicara begitu?""Iya, Bang," balas Adi.Hening untuk beberapa waktu. Adi tidak pernah menyangka keisengannya pergi ke minimarket dua puluh empat jam, malah membuatnya bertemu dengan Bram. Siapa sangka duduk lima menit di sana justru membuat lelaki itu turut mendengar percakapan Bram dengan seseorang yang dia duga seorang elit politik.Jadi Bram punya hubungan dengan seseorang yang punya kuasa bisa memutasinya ke mana pun Bram suka. Tapi kenapa kali ini nama Rafael dibawa-bawa."Dan semua karena ada Rafael De Angelo di kota ini?"Adi lagi-lagi mengiyakan. "Sepertinya orang itu punya pengaruh besar di kedinasan," tutur Adi."Orang seperti itu memang ada Di. Tinggal pilihan ada di tangan kita. Kamu mau ikut tim mana. Kamu akan tahu kalau kami pun punya sisi gelap. Oke, aku akan coba cari tahu, elit politik mana yang punya gesekan dengan tuanmu. Padahal dia kelihatannya bersih. Tidak neko-neko.""Tidak neko-neko bagaimana. Aku yakin dia juga punya andil di pemerintahan. Me
Meera menggigit bibir, kenapa dirinya jadi tidak bisa mengendalikan diri untuk tidak menyapa Rafael. Padahal Bram sudah jelas memintanya untuk menjauhi pria yang kini tengah memandangnya. Sedikit mengerutkan alis, tampak bingung dengan sikap Meera."Emm, bukan begitu. Saya cuma mau bilang terima kasih untuk yang kemarin," ucap Meera pada akhirnya.Wanita itu lantas berbalik, ingin kembali ke kelas. Sampai kalimat Rafael menghentikan langkahnya."Apa kamu mau menerima tawaranku kemarin?" Meera membalikkan badan, wajahnya menyiratkan tidak suka dengan perkataan Rafael."Tawaran yang mana?"Walau sudah lebih dulu dapat menebak, apa salahnya Meera memastikan. Rafael berdiri lantas berjalan mendekati Meera, lalu pria itu berbisik di telinga Meera. "Berselingkuh dengan saya."Bola mata Meera membulat cantik saat dugaannya tepat. "Anda jangan sembarangan ya. Ini lingkungan sekolah. Anda tahu kan kalau ini tidak benar."Rafael tersenyum tipis. "Asal kamu setuju semua tidak ada yang salah. Su
Rafael rupanya sedang tidak berada di penginapan saat Meera datang. Namun pria itu kembali lima belas menit kemudian. Saat itu Meera bisa melihat dengan jelas bagaimana sayangnya lelaki tersebut pada Lyli."Janji ya Om, kapan-kapan ajak Delia ke sini. Nanti aku bawa dia berkeliling."Suara imut Lyli membuat Meera tanpa sadar menarik sudut bibirnya. Jelas sekali jika Rafael tipe pria yang bakal sayang dengan anak-anak. Atau lelaki itu memang sudah punya anak. Siapa tadi? Delia? Kenapa Meera mendadak tidak menyukai nama itu?Sepertinya nama Delia menimbulkan kebencian di hati Meera. Beda dengan Lyli yang sama sekali tidak membuat Meera merasa tak suka. Justru sebaliknya."Dadah Om, Lyli ke kamar dulu."Rafael balas melambaikan tangan setelah mencium pipi Lyli lebih dulu. Saat itulah resepsionis yang bertugas memberitahu Rafael kalau dia punya tamu. Dia lumayan terkejut melihat Meera tersenyum canggung padanya, waktu mereka bertemu pandang."Oh, itu istri saya.""Maafkan kami Tuan, kami
Bagi seorang Prasetyo Pramudya, setia dan cinta itu omong kosong. Dua kata itu dan teman-temannya tidak ada dalam kamusnya. Kenal saja tidak apalagi mengerti. Dan kini perempuan yang dia incar untuk dia tiduri, meminta dua hal itu padanya.Pras mana mau tahu dan mana peduli, dia hanya mengetahui kalau dia menginginkan Meta lebih dari apapun. Yang dia mau membawa Meta secepatnya ke ranjang. Itu yang paling utama.Otak Pras memang korslet, tidak pernah bisa berpikir benar. Dia pikir perempuan hanya alat untuk melampiaskan nafsu, menyalurkan hasrat. Dia tidak pernah mengetahui kalau perempuan punya hati dan perasaan. Pras abai dengan hal itu.Maka jangan salahkan Meta jika wanita itu terus menghindari Pras. Menutup semua akses pertemuan juga telepon. Hingga pada akhirnya Pras kelimpungan sendiri. Dia kebingungan ketika tidak menemukan Meta di tempat kerja. Dia juga tak mendapati Meta tinggal di apart yang sama.Dengan bantuan Rafael, Meta berhasil menyembunyikan diri. Namun Rafael sepert
Helaan napas lega terdengar dari arah Pras dan Meta secara bersamaan. Tubuh keduanya masih menyisakan getar kepanikan dengan peluh nyaris membasahi pakaian yang mereka kenakan.Tiga puluh menit yang menegangkan bagi Pras dan Meta yang sama-sama belum pernah melihat orang melahirkan. Namun kali ini mereka terpaksa membantu seorang wanita yang akan melahirkan bayinya.Tidak ada orang di lobi apartemen, selain seorang satpam yang juga masih bujang. Ketiganya dipaksa keadaan saat itu. Masih terbayang bagaimana Meta yang menangis ketika melihat kepala bayi tampak dari jalan lahir si ibu.Tak ada waktu untuk mencari pertolongan selain mereka sendiri yang nol besar soal persalinan. Air mata Meta makin deras mengalir saat menyambut kelahiran bayi berwarna merah yang juga menangis kencang di depan lift yang kosong.Bersamaan dengan itu suara ambulans datang, serta petugas medis sigap memberikan pertolongan untuk si ibu dan bayi yang kembali digendong Meta setelah dipotong tali pusarnya. Pras
"Ganti bajumu!" Meta melempar sehelai kaos pada Pras yang terpaksa dia izinkan masuk ke unitnya.Pria itu duduk di sofa ruang tamu, memperhatikan detail tempat tinggal Meta yang baru. Ini bukan apartemen yang bisa dijangkau oleh kantong Meta yang masih kaum mendang mending. Pras mulai curiga.Ada orang lain yang membantu Meta. Entah siapa itu yang jelas dia orang kaya. Sebab tempat ini terhitung mahal. Saking penasarannya, dia mencari tahu menggunakan ponsel.Meta baru saja keluar dari kamar mandi ketika dikejutkan oleh Pras yang sudah duduk di kasur. Pria itu menatap tajam padanya."Ngapain kamu malah di sini? Ganti bajumu cepat!""Apa hubunganmu dengan Rafael?" Pras malah balik bertanya.Meta memicingkan mata, merasa aneh dengan pertanyaan Pras. "Apa maksudmu?"Pras menggertakkan gigi. Detik setelahnya pria itu menerjang Meta hingga jatuh di karpet dengan Pras menindih tubuhnya."Apa yang kau lakukan ha?" "Kau pikir aku tidak tahu, apartemen ini salah satu properti Rafael meski at
Empat brankar didorong masuk dengan Adi bingung sendiri. Dia terlambat menolong sebab dia mampir ke toilet dulu. Adi tahu jalan selanjutnya sepi, jadi dia pikir tidak masalah berhenti sebentar sebelum kembali mengikuti mobil Bram.Tapi siapa sangka, saat dia datang, tiga mobil rusak parah dengan dua mobil sudah kosong. Dia melihat Rafael telah membawa Meera menjauh, tinggal Bram yang masih tertinggal di dalam. Pria itu syok melihat keadaan di depan mata.Meski benci, Adi keluarkan juga Bram dan supirnya dari dalam mobil yang nyaris hancur dengan bahan bakar sudah berceceran di mana-mana. Ledakan kemungkinan besar bisa terjadi.Dan benar saja, saat Adi selesai mengamankan Bram dan supirnya. Pun dengan Rafael dan Meera yang posisinya sudah aman lebih dulu, mobil Bram meledak, api dengan cepat menyambar mobil Rafael, juga kijang besi yang lain. Kebakaran hebat dengan letupan besar terjadi di tengah pekatnya malam.Scene selanjutnya jelas menampilkan riwehnya UGD tempat Rafael, Meera, Bra
Pagi menjelang dengan sinar mentari menerobos masuk melalui tirai jendela yang masih tertutup. Pras menggerakkan tubuhnya, perlahan membuka mata. Netranya memindai tempatnya berada. Hingga dia ingat kalau ini tempat Meta. Ah salah, ini apartemen Rafael.Sial! Pria itu memata-matainya melalui Meta. Dia akan membalasnya, nanti. Itu pasti. Pras beranjak bangun, sama sekali tidak malu dengan tubuhnya yang polos tanpa pakaian.Tujuannya mencari Meta, pagi hari, waktu yang rawan untuk seorang lelaki. "Meta! Meta! Kau di mana?"Pras mencari ke kamar mandi, tapi tak ada. Bahkan aroma sabun tidak tercium. Kaki Pras melangkah menemukan celana, lantas memakainya. Masih bertelanjang dada dia keluar kamar. Sepi, tidak ada tanda-tanda kehidupan di tempat itu."Ke mana dia?"Pras menghubungi ponsel Meta, deringnya terdengar tak jauh darinya. Benda pipih milik Meta, Pras temukan di atas meja dengan sebuah pesan yang seketika membuat jantung Pras berdebar kencang."Terima kasih atas apa yang kau lakuk
"Sah?" "Sah!" Ucapan syukur terdengar melaung di ruang luas kediaman Rafael yang kini disulap jadi sebuah tempat berhias penuh bunga. Area di mana Rionald akhirnya bisa menikahi Dewi kembali. Pria itu tak bisa menahan haru kala melihat Dewi muncul diantar Paramita. "Ingat, Bang. Jangan sia-siakan kesempatan kedua yang sudah diberikan. Jangan sampai kamu sakiti dia lagi. Malu sama cucu yang sudah seabrek dan masih mau nambah lagi." Paramita memperingatkan Rionald yang langsung mengangguk. Diraihnya tangan Dewi, dipandanginya paras perempuan yang kini kembali jadi istrinya. Dalam pandangan Rionald, wajah Dewi masih sama cantiknya seperti tiga puluh tahun lalu. "Ingatkan aku jika aku berbuat salah, pukul kalau perlu." Rionald sungguh ingin memperbaiki semua. Dia hanya ingin menghabiskan sisa hidup bersama Dewi sambil merawat cucu kandung mereka yang lima bulan lagi akan lahir. Dewi mengangguk, dia sangat terharu juga tersentuh, setelah melihat kesungguhan Rionald yang ingin ber
"Cedric Laurent De Angelo dan Celine Laura De Angelo. Intinya mereka adalah sumber kebahagiaan, bukankah surga itu tempat di mana semua orang merasa bahagia. Nama mereka juga bermakna pemenang. Walau perjalanan mereka sejujurnya baru saja dimulai." Nadine tak bisa berhenti tersenyum, menatap dua buah hatinya yang sedang tidur pulas, setelah tadi menjerit karena lapar. Seperti kata Rafael, ASI Nadine memang keluar lebih awal, hingga perempuan itu tak kesusahan pasal ASI. Anugerah lain yang tidak semua perempuan dapatkan. Sita contohnya, ASI-nya baru keluar di hari keempat, dan mulai lancar setelah satu minggu. Nadine sendiri langsung bisa duduk dan berjalan ke kamar mandi, persalinan normal memang lebih cepat pulih. Terlebih perempuan itu melahirkan tanpa jahitan sama sekali. Yang Nadine rasakan tinggal rasa perut yang masih tidak nyaman dan kesulitan jika akan ke kamar mandi. Langkahnya juga masih pelan, belum secepat keadaan normal. Karenanya dia masih memakai kursi roda jika
"Bayinya tidak menangis," gumam seorang staf tanpa sadar. Dirinya baru menyadari kesalahannya saat sang rekan menyenggol lengannya, dan reflek menutup mulutnya.Sementara Reva serta sang dokter langsung memeriksa, dan wajah keduanya seketika berubah pucat berbalut panik. Leher bayi laki-laki Nadine terlilit tali pusat. Bagaimana bisa, padahal USG terakhir tidak menunjukkan hal tersebut.Pertolongan lekas dilakukan . Tali pusat dipotong dengan oksigen segera diberikan. Namun bayi mungil itu tak jua memberi respon, sedangkan saudarinya terus menjerit melengking.Suaranya terdengar sampai ke ruang tunggu di mana hampir semua anggota keluarga De Angelo plus Hermawan dan Heni ada di sana."Pak, kenapa cuma satu yang menangis?" Heni bertanya dengan kecemasan level tinggi pada sang suami. "Berdoa ya, Bu. Semua mohon doanya. Semoga Nadine dan bayinya diberi keselamatan."Semua orang lantas menundukkan, berdoa dalam hati masing-masing. Bahkan David, orang yang tak kenal kata doa ikut trenyuh
"La? Malah sudah pecah. Bukaan baru empat.""Kita masih bisa tunggu, Dok." Reva mengangguk paham, sebagai dokter dia tahu kalau mereka punya waktu dua puluh empat jam setelah ketuban pecah untuk melahirkan bayi, tanpa ada efek samping yang membahayakan bayinya.Meski kehamilan Nadine lemah di awal tapi semakin ke sini, kandungan Nadine menunjukkan kekuatannya. Hingga tidak ada masalah jika mereka harus menunggu lagi, tanpa perlu tindakan sesar."Sabar ya, aku tahu rasanya sakit. Tapi percaya deh, yang sedang kamu perjuangkan melalui rasa sakit ini adalah hal yang tak ternilai harganya."Nadine mengangguk mendengar ucapan Reva. Selang oksigen dan infus sudah terpasang, sebab tadi Nadine mengeluh sesak. Saat itulah ponsel Reva berdering. Perempuan itu melihat siapa penelponnya. Hingga dia menjawabnya di situ, tanpa berpindah tempat."Kenapa, Re?" Tanya Rafael dari ujung sana."Abang cepet ke rumah dah, anakmu tidak sabar ingin segera melihat dunia," balas Reva bersamaan dengan Nadine
"Kok makin kenceng, Re. Aduh sorry." Sita melotot melihat tangannya diremas reflek oleh sang kakak. Suasana mobil berubah panik. Reva yang menyetir bak orang gila turut menambah atmosfer Too Fast Too Furious di dalamnya."Re, slow, Re! Banyak nyawa di dalam sini." Paramita memperingatkan. Perempuan itu mendekap erat dua cucunya. Takut kalau Reva membuat kesalahan fatal."Tenang Ma, Reva punya lisensi balapan F1," Reva menjawab asal. Sebuah wireless blue tooth terpasang di telinganya. Perempuan itu tengah berkoordinasi dengan dokter di rumah sakit."Jangan ngaco kamu. F1 cuma buat kamu doang penumpangnya, ini se-erte penumpangnya." Paramita masih bisa berteriak di sela desis kesakitan Nadine. Perempuan itu dengan cepat kehilangan rona merah di parasnya."Santai Ma. Santai Nad. Jangan jejeritan. Nanti tenaganya habis. Kalau betul kontraksi mungkin itu baru satu atau dua. Aku bisa periksa tapi gak mungkin kan aku lakukan di sini, depan anak-anak pula. Jadi tahan ya, kita cus ke rumah s
Meski bahasanya masih belepotan, belum jelas pengucapannya, tapi Maira yang tadinya ditindih Laiv sampai menjerit melengking, bisa paham apa yang Nadine perintahkan. Bocah yang masih memakai baju tidur itu lekas berlari ke arah dapur, di mana Paramita tadi berada. Tak berapa lama perempuan itu datang dengam seorang ART mengikuti. "Bukan kontraksi kan?" Tanya Paramita. Dia dan sang ART memapah Nadine untuk duduk di sofa."Kayaknya bukan, Nadine cuma kaget, Maira di-smack down Laiv."Paramita melotot pada sang cucu sementara yang dimarah malah pasang muka innocent, tidak bersalah. Laiv kadang bisa kalem, kadang bisa ikutan tantrum macam Maira yang memang hobi ngereog."Maira, bisa tolong panggilkan Tante Reva di kamar. Bilang Tante Nadine perutnya sakit. Laiv tunggu di sini.""Peyut atit," kutip Maira sambil melangkah pergi seraya melompat kegirangan.Sepeninggal Maira, giliran Laiv yang ditatar Paramita. "Laiv, Sayang. Lain kali gak boleh kayak gitu lagi. Maira nanti bisa terluka. Bi
Seminggu sejak kasus Dewi masuk ke ranah pengadilan, persoalan itu justru merembet ke pihak berwajib. Ternyata si Jojo ini spesialias menikahi wanita untuk dikuras hartanya.Modusnya sama, pria itu akan menjerat janda yang dia nilai kaya, lalu istrinya akan menuntut si perempuan karena sudah mengganggu rumah tangganya. Jelas-jelas di sini Jonathan adalah seorang penipu, tapi para korbannya tidak mau melaporkan kejadian ini pada aparat keamanan. Dengan alasan malu. Mereka lebih suka menyerahkan harta bendanya, menanggung rugi dari pada aibnya tersebar luas.Sepertinya petualangan Jonathan bakal berakhir ketika dia berusaha menjerat Dewi. Bukannya untung, dia malah buntung. Jangan sangka jika Rafael akan diam saja, melihat tantenya ditipu mentah-mentah oleh lelaki yang tampang saja tak lebih baik dari satpam dirumahnya."Aku heran deh, dia pakai pelet apa waktu menipu, Tante."Itu komen Rafael yang masih tak habis pikir. Bagaimana bisa Dewi terjerat lelaki macam Jonathan."Tante pikir
"Siapa Jonathan?""Rivalnya Om," timpal Rafael cepat atas pertanyaan sang paman.Rionald lekas berdiri untuk mengintip sosok pria yang disebut Rafael sebagai saingannya. Tampak seorang lelaki mengenakan pakaian yang lumayan mahal, melongok dari luar gerbang. Terlihat kepo sekali dengan kediaman Rafael."B aja. Ganas siapa antara aku sama dia?" Selidik Rionald yang seketika membuat Dewi merona. Kenapa juga mantan suaminya malah menyinggung urusan ranjang. Dewi akui, Jonathan tak selihai Rionald, maklumlah, Rionald mantan player, pengalamannya menyenangkan wanita jangan ditanya lagi. Namun ketika membahasnya langsung dihadapan banyak orang, tentu saja Dewi malu setengah mati."Om, itu kan privasi. Tanyanya waktu di kamarlah, jangan di forum terbuka begini. Bikin malu aja," tandas Rafael seolah tahu apa yang Dewi pikirkan."Oke deh, nanti aku tanya kalau kita sudah sekamar lagi. Jadi, apa ni rencana kita?""Kita samperinlah, kita cari tahu apa maunya si Jojo ini."Tak berapa lama, Rafae
Ha? Suami baru? Kapan Dewi menikah lagi? Mereka tidak ada yang tahu. Dan kini mendadak wanita ayu yang masih diuber Rionald ini muncul di pintu kediaman Rafael. Minta bantuan untuk disembunyikan dari suami barunya. Kenapa?"Emang Tante kapan nikahnya?" Ceplos Nadine sambil menyuapi Rafael."Emm, dua bulan lalu," balas Dewi malu-malu."Terus kenapa kamu lari ke sini? Maaf, bukannya kami tidak menerimamu. Tapi akan jadi runyam urusannya kalau kamu sudah punya suami." Atma berujar pelan, penuh kehati-hatian agar tidak menyinggung perasaan perempuan yang bagaimanapun adalah ibu dari cucunya. Bahkan Rionald masih tergila-gila pada Dewi sampai detik ini. Rionald tidak mau menerima perempuan lain selain mama David."Maaf, Yah. Tapi aku sudah bingung harus cari perlindungan ke mana." Dewi mulai menangis dengan Paramita lekas mendekat untuk menenangkan."Jangan menangis, cerita dulu. Nanti kita lihat kami bisa bantu atau tidak."Paramita membimbing Dewi duduk di sebuah sofa, Arya mengulurkan