Pagi menjelang dengan sinar mentari menerobos masuk melalui tirai jendela yang masih tertutup. Pras menggerakkan tubuhnya, perlahan membuka mata. Netranya memindai tempatnya berada. Hingga dia ingat kalau ini tempat Meta. Ah salah, ini apartemen Rafael.Sial! Pria itu memata-matainya melalui Meta. Dia akan membalasnya, nanti. Itu pasti. Pras beranjak bangun, sama sekali tidak malu dengan tubuhnya yang polos tanpa pakaian.Tujuannya mencari Meta, pagi hari, waktu yang rawan untuk seorang lelaki. "Meta! Meta! Kau di mana?"Pras mencari ke kamar mandi, tapi tak ada. Bahkan aroma sabun tidak tercium. Kaki Pras melangkah menemukan celana, lantas memakainya. Masih bertelanjang dada dia keluar kamar. Sepi, tidak ada tanda-tanda kehidupan di tempat itu."Ke mana dia?"Pras menghubungi ponsel Meta, deringnya terdengar tak jauh darinya. Benda pipih milik Meta, Pras temukan di atas meja dengan sebuah pesan yang seketika membuat jantung Pras berdebar kencang."Terima kasih atas apa yang kau lakuk
Dua hari sejak Meta pergi, Pras sama sekali belum menemukan jejak wanita itu. Pras pusing tujuh keliling. Dia sudah coba mengalihkan pikirannya dari Meta tapi tidak bisa. Perempuan itu seperti bayangan yang terus menghantui ke manapun Pras pergi.Bahkan ketika dia membuat dirinya mabuk, tetap saja Meta yang dia pikirkan dan dia sebut dalam racauannya. Pria itu terkapar di hari ketiga dengan beberapa botol minuman bertebaran di lantai.Matanya terasa berat, pikirannya runyam. Lenyap sudah semua rencana yang sudah tersusun rapi untuk membalas dendam pada Rafael. Semua berantakan karena satu nama, Meta.Mata Pras terbuka dengan tangan meraba-raba benda yang berdering, membuat telinga Pras hampir tuli."Apa sih ganggu orang?"Pras bertanya judes, dengan tawa terdengar dari ujung sana. "Kemarilah kalau kau bosan dan galau," ucap seseorang."Ogah aku ganggu family time mu, kau kan sudah lupa padaku," rajuk Pras.Tawa kembali terdengar dengan Pras mendengus geram."Datang saja ke rumah, Deli
Di tempat lain ada Bram yang sedang diinterogasi oleh pihak kepolisian yang semua anggotanya pilihan. Bram hanya bisa memberi keterangan sejauh yang dia bisa beri tahu. Jelas, dia tidak bisa bicara sembarangan. Atau banyak nama lain yang akan terseret kasus ini."Jadi Anda dimutasi ke kantor pusat. Surat mutasi belum turun, tapi Anda sudah disuruh pergi ke sana?"Bram mengangguk, menjawab pertanyaan seorang pria yang sama sekali belum pernah Bram lihat di instansi tempatnya mengabdi."Oke, masalah kecelakaan selesai. Kita akan buka kasus itu jika ada bukti tambahan, sekarang pertanyaan kami kenapa Nyonya Nadine De Angelo bisa bersama Anda?"Glek! Samar terdengar Bram meneguk ludahnya. Kali ini apa yang akan dia katakan sebagai jawaban. Cukup lama terdiam, Bram akhirnya berujar."Saya tidak tahu kalau dia istri tuan De Angelo. Saya hanya menolongnya saat dia saya lihat berkeliaran di luar rumah sakit. Saya tidak berpikir kalau dia salah satu pasien rumah sakit.""Bohong, Pak! Saya puny
"Mau patahin kaki siapa? Mau bejek-bejek muka siapa?"Nadine membeku melihat seseorang berdiri di hadapannya. Dalam hitungan detik, Nadine berlari ke arah sosok yang seketika membuka tangan dengan senyum lebar terkembang di bibir. Jangan lupakan netranya yang turut mengembun berkaca-kaca."Kamu bikin aku takut." Lirih Nadine saat dekap hangat itu kembali dia rasakan. Saat aroma menenangkan itu kembali dia temukan."Aku yang lebih takut. Takut tidak bisa menemukanmu. Takut kehilanganmu, takut kalau kamu tidak ingat lagi padaku."Rafael menangis, memeluk erat tubuh sang istri yang akhirnya kembali padanya. Utuh tidak kurang suatu apa. Tidak masalah Bram sempat memeluk Nadine, yang jelas pria itu tidak menyentuh sang istri. Rafael baru saja memastikannya."Aku minta maaf, aku pergi tanpa pamit. Tapi itu semua karena ...."Aduhhh! Rafael berteriak ketika Nadine menendang tungkainya. Reva yang tadinya turut terharu, hampir menangis di teras, kini berlari memisahkan suami istri yang agak a
Apa tadi katanya? Meta tidak salah dengar kan? Bapaknya menyuruh menggugurkan kandungannya, atau menyuruhnya pergi dari rumah. Bapak mengusirnya?"Pak jangan begitu! Bagaimanapun Meta anak kita. Kita tidak bisa membiarkannya begitu saja." Sang ibu mencegah."Dia memang anak kita, tapi kelakuannya bukan anak kita. Lihat mbakmu sama masmu. Mereka hidup baik sampai sekarang. Tidak suka bikin onar sepertimu." Bapak Meta terus mengoceh.Dengusan ringan terdengar. Hidup baik kata bapaknya. Kakak pertamanya menikah di usia sangat belia, sampai sekarang anaknya banyak, sebab tidak kenal KB, ekonomi mereka morat marit, saat masih bekerja, Meta adalah sasaran jika mereka kekurangan uang. Bukan utang tapi minta, sampai sekarang kalau dikumpulkan, puluhan juta jumlahnya, tapi sang kakak sama sekali tidak punya etika. Jangankan berniat mengembalikan, kemarin Meta pulang pun, kakaknya dan bala tentaranya hanya mencibir padanya.Dan kakak lelakinya yang lain, dia harus menikahi perempuan yang pria
"Selamat malam, dan selamat datang di rumah kami."Nadine merasa ragu untuk melangkah masuk, andai tangan Rafael tidak menggenggam jemarinya lantas membimbingnya masuk ke sebuah hunian dua lantai."Nyonya tahu siapa saya kan? Perkenalkan ini Laras, istri saya dan putri kami, Delia."Nadine menoleh cepat ke arah Rafael yang mengulas senyum tipis. "Kenapa tidak bilang?""Kamu gak pernah tanya!'Keduanya sudah berada dalam perjalanan menuju rumah Hermawan setelah menghabiskan waktu satu jam lebih di rumah Syarif.Satu kondisi yang membuat Nadine malu setengah mati. Ternyata yang dia sebut pelakor adalah istri Syarif. Dan anak yang Nadine benci adalah putri mereka.Sepanjang obrolan, Nadine hanya bisa tertunduk malu. Perempuan itu tidak mampu berkata apa-apa selain mengucapkan maaf."Untung Laras gak marah pernah kamu tuduh pelakor."Ledek Rafael yang membuat Nadine menutup wajahnya dengan telapak tangan. Perempuan itu sungguh malu sekali. Nadine ingat Laras hanya tersenyum mendengar cer
"Gak mau!"Penolakan itu lantang terdengar, sudah berapa kali Meta dibujuk tapi tetap tidak mau. Bapak dan ibunya jelas kesengsem dengan tampilan Pras. Tampan, keren, pasti kaya, itu yang ada di pikiran orang tua Meta. Siapa yang bakal menolak mantu modelan Prasetya Pramudya.Kecuali Meta tentunya. Dia geram, bagaimana mereka malah memintanya untuk menikah dengan berandalan elit pangkat tiga itu. Iya, dia ganteng, kaya, tajir tapi kelakuannya itu loh, amit-amit jabang bayi."Yang kamu cari model apa sih. Sudah jelas dia bapaknya anakmu, masih juga gak mau dinikahi. Aneh kamu, Ta," gerutu si bapak.Meta tambah manyun mendengar desakan ayahnya. Mereka tidak tahu saja Pras itu seperti apa. Andai mereka tahu kalau Pras itu tukang tidur dengan banyak perempuan, apa mereka masih mau memaksa dirinya untuk menikah dengan Pras. "Bapak sama ibu itu tidak tahu dia itu seperti apa. Dia itu brengsek, kurang ajar!""Memang dia brengsek, kurang aja, berani menghamili anak perawane bapak, tapi opo
"Oh ayolah, Nad. Ini tidak seperti yang kamu pikirkan, suer aku cuma kasihan sama dia. Kamu harus lihat bagaimana wajah Meta waktu itu. Aku saja ngeri."Bujuk Rafael saat Nadine ngambek karena pria itu membantu Meta. Sang istri tidur membelakangi Rafael, padahal dia ingin memeluk tubuh Nadine."Jadi selama aku gak ada, kamu main-main sama dia?" Judes sekali ucapan Nadine.Alamak, cemburu lagi. Perasaan Nadine cemburuan sekali akhir-akhir ini."Mana ada aku main sama dia atau sama cewek lain, kagak napsu aku. Emangnya kamu, ngaku sendiri kalau sering dipeluk Bram. Kalau dia tidak penting sudah aku pites sampai mampus. Lagian dari pada main sama Meta, mending aku ngebolang sama Lyli. Lebih seru."Gantian Nadine yang kaget dengan omelan panjang Rafael. Perempuan itu membalikkan badan, menghadap punggung Rafael. Giliran Rafael yang cemburu."Kamu cemburu?" tanya Nadine. Entah kenapa senang rasanya Rafael cemburu pada Bram.Sejak kembali ke ibu kota, kehidupan Nadine dan Rafael memang lebi
"Sah?" "Sah!" Ucapan syukur terdengar melaung di ruang luas kediaman Rafael yang kini disulap jadi sebuah tempat berhias penuh bunga. Area di mana Rionald akhirnya bisa menikahi Dewi kembali. Pria itu tak bisa menahan haru kala melihat Dewi muncul diantar Paramita. "Ingat, Bang. Jangan sia-siakan kesempatan kedua yang sudah diberikan. Jangan sampai kamu sakiti dia lagi. Malu sama cucu yang sudah seabrek dan masih mau nambah lagi." Paramita memperingatkan Rionald yang langsung mengangguk. Diraihnya tangan Dewi, dipandanginya paras perempuan yang kini kembali jadi istrinya. Dalam pandangan Rionald, wajah Dewi masih sama cantiknya seperti tiga puluh tahun lalu. "Ingatkan aku jika aku berbuat salah, pukul kalau perlu." Rionald sungguh ingin memperbaiki semua. Dia hanya ingin menghabiskan sisa hidup bersama Dewi sambil merawat cucu kandung mereka yang lima bulan lagi akan lahir. Dewi mengangguk, dia sangat terharu juga tersentuh, setelah melihat kesungguhan Rionald yang ingin ber
"Cedric Laurent De Angelo dan Celine Laura De Angelo. Intinya mereka adalah sumber kebahagiaan, bukankah surga itu tempat di mana semua orang merasa bahagia. Nama mereka juga bermakna pemenang. Walau perjalanan mereka sejujurnya baru saja dimulai." Nadine tak bisa berhenti tersenyum, menatap dua buah hatinya yang sedang tidur pulas, setelah tadi menjerit karena lapar. Seperti kata Rafael, ASI Nadine memang keluar lebih awal, hingga perempuan itu tak kesusahan pasal ASI. Anugerah lain yang tidak semua perempuan dapatkan. Sita contohnya, ASI-nya baru keluar di hari keempat, dan mulai lancar setelah satu minggu. Nadine sendiri langsung bisa duduk dan berjalan ke kamar mandi, persalinan normal memang lebih cepat pulih. Terlebih perempuan itu melahirkan tanpa jahitan sama sekali. Yang Nadine rasakan tinggal rasa perut yang masih tidak nyaman dan kesulitan jika akan ke kamar mandi. Langkahnya juga masih pelan, belum secepat keadaan normal. Karenanya dia masih memakai kursi roda jika
"Bayinya tidak menangis," gumam seorang staf tanpa sadar. Dirinya baru menyadari kesalahannya saat sang rekan menyenggol lengannya, dan reflek menutup mulutnya.Sementara Reva serta sang dokter langsung memeriksa, dan wajah keduanya seketika berubah pucat berbalut panik. Leher bayi laki-laki Nadine terlilit tali pusat. Bagaimana bisa, padahal USG terakhir tidak menunjukkan hal tersebut.Pertolongan lekas dilakukan . Tali pusat dipotong dengan oksigen segera diberikan. Namun bayi mungil itu tak jua memberi respon, sedangkan saudarinya terus menjerit melengking.Suaranya terdengar sampai ke ruang tunggu di mana hampir semua anggota keluarga De Angelo plus Hermawan dan Heni ada di sana."Pak, kenapa cuma satu yang menangis?" Heni bertanya dengan kecemasan level tinggi pada sang suami. "Berdoa ya, Bu. Semua mohon doanya. Semoga Nadine dan bayinya diberi keselamatan."Semua orang lantas menundukkan, berdoa dalam hati masing-masing. Bahkan David, orang yang tak kenal kata doa ikut trenyuh
"La? Malah sudah pecah. Bukaan baru empat.""Kita masih bisa tunggu, Dok." Reva mengangguk paham, sebagai dokter dia tahu kalau mereka punya waktu dua puluh empat jam setelah ketuban pecah untuk melahirkan bayi, tanpa ada efek samping yang membahayakan bayinya.Meski kehamilan Nadine lemah di awal tapi semakin ke sini, kandungan Nadine menunjukkan kekuatannya. Hingga tidak ada masalah jika mereka harus menunggu lagi, tanpa perlu tindakan sesar."Sabar ya, aku tahu rasanya sakit. Tapi percaya deh, yang sedang kamu perjuangkan melalui rasa sakit ini adalah hal yang tak ternilai harganya."Nadine mengangguk mendengar ucapan Reva. Selang oksigen dan infus sudah terpasang, sebab tadi Nadine mengeluh sesak. Saat itulah ponsel Reva berdering. Perempuan itu melihat siapa penelponnya. Hingga dia menjawabnya di situ, tanpa berpindah tempat."Kenapa, Re?" Tanya Rafael dari ujung sana."Abang cepet ke rumah dah, anakmu tidak sabar ingin segera melihat dunia," balas Reva bersamaan dengan Nadine
"Kok makin kenceng, Re. Aduh sorry." Sita melotot melihat tangannya diremas reflek oleh sang kakak. Suasana mobil berubah panik. Reva yang menyetir bak orang gila turut menambah atmosfer Too Fast Too Furious di dalamnya."Re, slow, Re! Banyak nyawa di dalam sini." Paramita memperingatkan. Perempuan itu mendekap erat dua cucunya. Takut kalau Reva membuat kesalahan fatal."Tenang Ma, Reva punya lisensi balapan F1," Reva menjawab asal. Sebuah wireless blue tooth terpasang di telinganya. Perempuan itu tengah berkoordinasi dengan dokter di rumah sakit."Jangan ngaco kamu. F1 cuma buat kamu doang penumpangnya, ini se-erte penumpangnya." Paramita masih bisa berteriak di sela desis kesakitan Nadine. Perempuan itu dengan cepat kehilangan rona merah di parasnya."Santai Ma. Santai Nad. Jangan jejeritan. Nanti tenaganya habis. Kalau betul kontraksi mungkin itu baru satu atau dua. Aku bisa periksa tapi gak mungkin kan aku lakukan di sini, depan anak-anak pula. Jadi tahan ya, kita cus ke rumah s
Meski bahasanya masih belepotan, belum jelas pengucapannya, tapi Maira yang tadinya ditindih Laiv sampai menjerit melengking, bisa paham apa yang Nadine perintahkan. Bocah yang masih memakai baju tidur itu lekas berlari ke arah dapur, di mana Paramita tadi berada. Tak berapa lama perempuan itu datang dengam seorang ART mengikuti. "Bukan kontraksi kan?" Tanya Paramita. Dia dan sang ART memapah Nadine untuk duduk di sofa."Kayaknya bukan, Nadine cuma kaget, Maira di-smack down Laiv."Paramita melotot pada sang cucu sementara yang dimarah malah pasang muka innocent, tidak bersalah. Laiv kadang bisa kalem, kadang bisa ikutan tantrum macam Maira yang memang hobi ngereog."Maira, bisa tolong panggilkan Tante Reva di kamar. Bilang Tante Nadine perutnya sakit. Laiv tunggu di sini.""Peyut atit," kutip Maira sambil melangkah pergi seraya melompat kegirangan.Sepeninggal Maira, giliran Laiv yang ditatar Paramita. "Laiv, Sayang. Lain kali gak boleh kayak gitu lagi. Maira nanti bisa terluka. Bi
Seminggu sejak kasus Dewi masuk ke ranah pengadilan, persoalan itu justru merembet ke pihak berwajib. Ternyata si Jojo ini spesialias menikahi wanita untuk dikuras hartanya.Modusnya sama, pria itu akan menjerat janda yang dia nilai kaya, lalu istrinya akan menuntut si perempuan karena sudah mengganggu rumah tangganya. Jelas-jelas di sini Jonathan adalah seorang penipu, tapi para korbannya tidak mau melaporkan kejadian ini pada aparat keamanan. Dengan alasan malu. Mereka lebih suka menyerahkan harta bendanya, menanggung rugi dari pada aibnya tersebar luas.Sepertinya petualangan Jonathan bakal berakhir ketika dia berusaha menjerat Dewi. Bukannya untung, dia malah buntung. Jangan sangka jika Rafael akan diam saja, melihat tantenya ditipu mentah-mentah oleh lelaki yang tampang saja tak lebih baik dari satpam dirumahnya."Aku heran deh, dia pakai pelet apa waktu menipu, Tante."Itu komen Rafael yang masih tak habis pikir. Bagaimana bisa Dewi terjerat lelaki macam Jonathan."Tante pikir
"Siapa Jonathan?""Rivalnya Om," timpal Rafael cepat atas pertanyaan sang paman.Rionald lekas berdiri untuk mengintip sosok pria yang disebut Rafael sebagai saingannya. Tampak seorang lelaki mengenakan pakaian yang lumayan mahal, melongok dari luar gerbang. Terlihat kepo sekali dengan kediaman Rafael."B aja. Ganas siapa antara aku sama dia?" Selidik Rionald yang seketika membuat Dewi merona. Kenapa juga mantan suaminya malah menyinggung urusan ranjang. Dewi akui, Jonathan tak selihai Rionald, maklumlah, Rionald mantan player, pengalamannya menyenangkan wanita jangan ditanya lagi. Namun ketika membahasnya langsung dihadapan banyak orang, tentu saja Dewi malu setengah mati."Om, itu kan privasi. Tanyanya waktu di kamarlah, jangan di forum terbuka begini. Bikin malu aja," tandas Rafael seolah tahu apa yang Dewi pikirkan."Oke deh, nanti aku tanya kalau kita sudah sekamar lagi. Jadi, apa ni rencana kita?""Kita samperinlah, kita cari tahu apa maunya si Jojo ini."Tak berapa lama, Rafae
Ha? Suami baru? Kapan Dewi menikah lagi? Mereka tidak ada yang tahu. Dan kini mendadak wanita ayu yang masih diuber Rionald ini muncul di pintu kediaman Rafael. Minta bantuan untuk disembunyikan dari suami barunya. Kenapa?"Emang Tante kapan nikahnya?" Ceplos Nadine sambil menyuapi Rafael."Emm, dua bulan lalu," balas Dewi malu-malu."Terus kenapa kamu lari ke sini? Maaf, bukannya kami tidak menerimamu. Tapi akan jadi runyam urusannya kalau kamu sudah punya suami." Atma berujar pelan, penuh kehati-hatian agar tidak menyinggung perasaan perempuan yang bagaimanapun adalah ibu dari cucunya. Bahkan Rionald masih tergila-gila pada Dewi sampai detik ini. Rionald tidak mau menerima perempuan lain selain mama David."Maaf, Yah. Tapi aku sudah bingung harus cari perlindungan ke mana." Dewi mulai menangis dengan Paramita lekas mendekat untuk menenangkan."Jangan menangis, cerita dulu. Nanti kita lihat kami bisa bantu atau tidak."Paramita membimbing Dewi duduk di sebuah sofa, Arya mengulurkan