Mataku membelalak ketika kakiku turun dari kereta kencana. Tepat setelah Gantara membantuku untuk berpijak di tanah kerajaan asing ini, aku benar-benar terkesima melihat bangunan-bangunan besar serupa di kota metropolitan. Hanya saja, setiap bangunan tanpak berdekatan. Aku melihat kubah-kubah berlapis emas dan perak, dan bangunan rakyat biasa pun tampak mewah sekali. Pemuda-pemudanya tampak tampan dan gagah; tak ada yang berwajah jelek sekalipun di sini. Aku bahkan tak habis pikir. Meski semua dari mereka tidak bisa dibandingkan dengan ketampanan Reynaldi yang terasa lebih berwibawa, mereka semua memiliki keturunan-keturunan sempurna. “I-Ini? Kerajaanmu? A-apa benar aku masih ada di Indonesia?” “Indonesia hanyalah nama yang digunakan oleh bangsa manusia di alam manusia. Ini sudah bukan alam manusia, kekasih. Ini alam kami. Daerah kekuasaan bangsa Gandarawa,” kata Reynaldi tampak memelukku dari belakang. Meski kami ditonton oleh banyak orang, tampaknya Sang Tuan Raja ini sama seka
Aku seperti hidup di negeri dongeng. Ya, itu semua karena aku tak merasa berada di dunia yang selama ini kukenal. Dunia ini terlalu asing; seolah di belahan dunia lain. Terlihat dari cara mereka yang berpakaian yang tampak beda sekali dengan pakaian orang-orang biasa. Juga bahasa mereka, dan budaya mereka. Di sela aku istirahat setelah ditunjukkan kamar tempatku bermalam, aku sempat berjalan-jalan di sekitar istana mewah dan bergermerlapan tersebut. Aku sempat berjalan dikawani dayang-dayang perempuan yang tampak masih sangat muda dan terlihat sangat mematuhiku. Kami berjalan di sebuah pasar yang ramai, di mana aku terkesima tatkala melihat rombongan pemuda dan pemudi saling berjingkrakan dalam balutan tarian kedaerahan. Pakaian mereka mengingatkanku pada kostum penari-penari dari daerah Bali. Belum lagi topeng raksasa bergigi runcing, yang mereka pakai; benar-benar mirip sekali. Warnanya merah, dan bedanya, topeng mereka bisa hidup sendiri. Beberapa kali aku ditunjukkan oleh dayan
Seorang dayang berkata padaku, bahwa satu tahun berada di dunia gaib ini berarti hanya membutuhkan waktu beberapa jam saja di dunia manusia. Malam itu, aku mendengar dongeng tentang manusia-manusia yang tersesat di Gunung Lawu. Ia mengatakan seringkali orang-orang itu kebingungan karena mereka merasa baru saja pergi beberapa waktu, tapi kenyataannya mereka sudah hilang seminggu lebih. Perbedaan waktu di Gunung Lawu dan orang-orang yang hidup di kerajaan Gandarawa ini nyatanya menjadi bahan pertanyaanku pada dayangku yang bernama Ratih. “Apakah dunia ini mengalami perputaran waktu atau karena masalah letak geografis yang saling berjauhan? Misalnya, seperti ada pembagian waktu di dunia manusia. Di negara kita saja, terdapat tiga pembagian waktu,” kataku sembari rebahan di ranjang berkelambu dengan tiang-tiang ranjang yang terbuat dari emas. “Ya, saya tahu itu, Tuan Putri. Dan apa yang dikatakan oleh Tuan Putri ada benarnya.” “Tapi, jarak dari Lawu ke tempat ini kupikir tidak begitu
Malam itu terasa indah bagiku. Udara yang sejuk di dunia asing ini melenakanku. Membuat gairahku memuncak. Untuk sejenak saja, aku melupakan keberadaan Mas Budi, yang barangkali di dunia manusia sana sedang kerepotan mencariku, karena aku pergi begitu saja dari rumah sore itu. Ya, aku melupakan suamiku, demi merasakan sentuhan-sentuhan yang berhasil membuatku gila. Setiap tangan besar dan kasar Reynaldi menelusuri peta tubuhku, aku merasa menggigil. Desahan keluar begitu saja dengan liar. Lenguhan dan desisan tak tahan ingin disodok oleh lelaki kekar ini, membuatku menggelinjang tak keruan. Terutama ketika dengan kuatnya ia menggendongku, lalu merebahkanku di ranjang, lalu menelanjangkiku, lalu menyapu sekujur tubuhku dengan bibirnya lembut. Aku mengerang bahagia. Senyum binal tanpa sadar kutorehkan ke arahnya. Mataku menyipit sayu, merasakan setiap sentuhannya. Birahi telah mengepungku. “Ah! Aaaah! Ah! Aku suka... yaaa!” “Tubuhmu indah sekali, Wirda... alangkah bodohnya suamimu t
“Sayang...” kataku. “Kau sudah bangun?” “Ya... aku merasakan bendamu kembali menggeliat. Mengeras seperti batu,” selorohku sembari menggesek-gesekkan pahaku ke arah benda yang kini mengacung bebas di dalam selimut. Aku merasakan benda itu melata di pahaku seperti ular yang hendak mencari sarangnya. “Mmmmh...sssh... “ Tanpa terasa tanganku merengkuh benda itu. Membelainya, dan itu membuatnya makin membesar dan mengeras. Kulihat paras Reynaldi pun tampak keenakan. “Kau suka?” “Ya.” Begitulah, pagi itu pun kami memulai permainan kembali. Aku menungganginya, dan duduk bercinta di atas pangkuannya. Erangan binalku kembali menguasai ruangan itu. Sampai tiba para dayang tiba membawa bak pemandianku. Dan Reynaldi sudah harus mengurus hal-hal kerajaan yang tak kupahami. Menjelang siang, Reynaldi mengajakku bertemu dengan kedua orangtuanya. Kami bercengkerama banyak, terutama membahas rencana pernikahan kami. Ibu dari Reynaldi yang tampak baik serta terdengar berwibawa sekali itu, terus
Ratih, dayangku dari bangsa Gandarawa itu memiliki kemampuan unik. Selain kemampuan memijatnya kupikir nomor wahid, kemampuan lainnya adalah ia bisa menerawang suatu peristiwa dari jarak yang cukup jauh. Dan kini, Ratih sedang menunjukkan keahliannya itu di hadapan para bangsawan istana raja Gandarawa. Kulihat ayah dan ibu Reynaldi atau Raja Gandarakala yang tampak sudah sepuh, terlihat khawatir tatkala mendengarkan peristiwa peperangan yang cukup menyedihkan di perbatasan. Aku pun agak menggigil mendengarnya, ketika Ratih baru saja berucap salah satu prajurit bangsa Gandarawa tewas dengan leher tersula oleh prajurit bangsa peri. Belum lagi beberapa jantung prajurit Gandarawa dicabik dan dibawa lari, untuk selanjutnya akan dijadikan persembahan Dewi Kali, yang merupakan sesembahan bangsa peri. “Mereka akan membawa jantung-jantung prajurit Gandarawa itu kepada penguasa bangsa peri di Kamalayu, untuk dipersembahkan kepada Dewi Kali,” kata Ratih, yang kini kedua matanya memutih semua.
Perang dimenangkan oleh Gandarawa. Meski mereka telah kehilangan lima desa di perbatasan akibat serangan bangsa peri Kamalayu, Raja Gandarakala alias Reynaldi berhasil memertahankan wilayah kerajaan. Ratih berkata melalui penerawangannya, calon suamiku itu menempatkan ribuan prajurit Gandarawa dan dedemit lain yang mengabdi pada bangsa Gandarawa untuk menjaga perbatasan. “Kini, mereka sedang berjalan pulang menuju kota utama kerajaan. Membawa lima komandan peri yang cantik-cantik.” Sorak-sorai pun menggema di dalam aula kerajaan itu. Berita pun cepat menyebar ke penjuru kota, membuat para pemuda bergembira mendengar hal itu. Tentu saja, itu akan menjadi kesempatan untuk mereka bisa menggiliri peri-peri ini hingga nafsu mereka terpuaskan. Aku ngeri mendengar obrolan pemuda-pemuda itu, karena mereka tak ubahnya sekumpulan lelaki-lelaki brengsek yang ada di duniaku. Tapi, aku segera mengingat lagi ucapan Anjani. Ini adalah kerajaan Gandarawa. Di mana hal itu merupakan bagian dari ad
“Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa Ibu Athania berada di Gandarawa?” tanyaku suatu waktu, yang mana hari itu aku tidak banyak kegiatan di dalam istana kerajaan bangsa jin ini. Salah satu dayang pribadi Ibu Athania, ibu dari Reynaldi atau lelaki yang dikenal sebagai raja gandarawa atau Raja Gandarakala itu memanggilku agar aku senantiasa masuk ke kamarnya. “Aku hidup di tahun 70-an, saat itu aku menempati sebuah rumah tua bersama keluargaku...” “Ibu Athania sudah menikah?” “Belum? Kenapa? Kau ingat akan legenda klasik perihal istri yang ditinggal suaminya bekerja, akan tetapi tiba-tiba si suami malah berbalik pulang, dan belakangan kita menganggap lelaki yang menyerupai suaminya itu adalah bangsa Gandarawa? Apa itu yang ada di dalam pikiranmu?” jelas Athania tampak tersenyum. Perempuan itu rupanya bisa membaca isi pikiranku. “Bagaimana bisa Ibu tahu?” “Aku tahu, sayang. Kau pasti berpikir seperti itu. Jawabanku adalah tidak. Aku sama sekali belum menikah saat itu, dan sepe
“Kau membunuh Sekar?” desakku. Diam. Meski sinyal telepati kami masih saling terhubung. “Jawab,” desakku lagi. “Kalau seandainya iya, kenapa? Lagipula, kau tidak ada urusan lagi dengannya.” “Ada. Bila ia masih hidup, aku punya kesempatan besar untuk mengembalikan kehidupanku. Mengubahnya, dan ...” “Aku membunuhnya tepat setelah kami memulai kehidupan kami... ya, di masa awal-awal, bahkan dalam duniamu, kau masih dalam persiapan pernikahan dengan Gandarakala jelek itu. Aku sudah menyusun rencana dengan memanfaatkan Budiman untuk membunuhnya.” Aku menganga. “B-Bagaimana b-bisa?!” “Mungkin aku tak bisa membunuhnya dengan kekuatanku karena itu hanya akan membunuhku. Tapi, Sekar memiliki banyak celah di hadapan manusia. Dan Budiman yang membunuhnya.” “Tidak!” “Budiman membunuhnya saat ia dan Sekar berencana melaporkan kehidupan kami kepada dokter forensik itu. Sebelum tiba di perjalanan, ia mencekiknya, memukul kepalanya dengan palu yang telah ia siapkan dari rumah.” “B-Bagaiman
“Memang ada suatu hal yang mesti kau lakukan ketika memilih jalan hidupmu. Sama seperti Anakku Athania, pada akhirnya ia memilih jalan keikhlasan, karena di masa mudanya, sama sepertimu... ia memilih jalan hidupnya di sini. Bersama ayah dari Raja Gandarakala. Raja sebelumnya. Dan kini ia bisa menerima kehidupannya sendiri. Ia bisa hidup damai...” kata Ki Subadra terdengar bijak dan cukup menyesatkan. Namun, aku menggeleng, dan masih tetap berusaha mengangkat tubuhku dari atas sebuah meja altar besar di mana kitab tersebut berada di sana. Tanpa sengaja, di saat aku sedang mengendalikan tubuhku, aku menjatuhkan lilin dan api segera tersunut membakar kain yang melapisi meja altar tersebut. Dengan sigap, Ki Subadra lantas menghisap api tersebut seolah sedang menyeruput minuman saja. Sekejap, api pun hilang. Kini, jelaslah seperti apa kesaktian lelaki ini. Mataku membelalak. “Pulanglah ke kamarmu, Anakku. Ini adalah pilihanmu. Dan semua penderitaanmu merupakan akibat dari pilihanmu send
Apa yang tak pernah terpikir olehku adalah ketika aku menemukan namaku di sebuah kitab khusus di sebuah ruangan yang hanya bisa dimasukkan oleh anggota dewan kerajaan, yang mana sekumpulan orang-orang penting pembuat keputusan, dan raja menyakralkan keputusan tersebut. Semua ini berawal dari mimpi burukku suatu malam, yang kemudian mengantarkanku pada penyelundupanku ke sebuah ruangan, usai mengelabui beberapa penjaga dengan menyuap mereka dengan emas-emas juga tubuhku. Ya, aku tidak bohong. Juga dengan tubuhku. Aku seperti wanita malam di dunia manusia. Kupikir bayaran itu setimpal untuknya, karena ruangan itu memang amatlah rahasia bahkan bagi para istri raja sebelumnya—hanya akulah yang pertama kali memasuki ruangan itu. Sebelum mimpi buruk itu datang, sehari sebelumnya aku masih mengingat kata-kata Ibu Athania yang dengan tegas—untuk ke sekian kalinya memberitahunya untuk menghapus namaku. “Sebaiknya kau tidak perlu melakukannya... sudah kubilang. Ini sangatlah berbahaya.” “Ap
Ada rasa sepi yang tak bisa ditahan lagi. Seolah tak ada yang bisa menjelaskan padaku arti cinta itu lagi. Dan artinya semakin jauh kurasa. Apa harus begini. Harus bagaimana lagi aku menghadapi semua ini. Gandarakala agaknya belum mengetahui betapa dirinya telah menghilangkan hasratnya melalui mantera penangkal gendam dari peri itu. Setiap ia datang menghampiriku, dan menggodaku sembari menelusupkan mantera gendam tersebut. Tangannya merayap di sekujur tubuhku, dan bersama itu pula hawa dingin mengepungku. Sementara mulutku terus menggumamkan dusta. Desah dusta, lenguh dusta, erang dusta, juga desisan manja yang tersusun dari kata dusta, Dan mahluk ini masih belum bisa menyadarinya, kendati ia telah menyetubuhi istrinya hampir dua jam lamanya dalam kehidupan manusia. Sampai kakiku mengangkang, dan membiarkan batang panjangnya menghunjam keluar-masuk di selangkanganku, aku tetap berdusta. Hingga ia berkata. “Kau kering... tumben sekali?” “Entah..sssh...” Ya, tak biasanya aku banj
“Dia sama sekali tidak menujukkannya.. Dan entah kenapa kesadaran itu muncul dalam diriku, Kinanti,” kataku pada peri itu dalam telepati yang sudah jarang kami lakukan. Namun, entah apa yang terjadi, suatu hari Kinanti mengabariku, dan di saat itu pula aku menceritakan keadaanku dengan Gantarra. “Lalu, bagaimana selanjutnya?” “Buruk.” “Buruk bagaimana?” “Dia agaknya makin memberi jarak padaku, dan dia sudah dikirim bertugas ke tempat yang lebih jauh lagi,” kataku dengan nada yang lemah. Dan hawa kefrustasian kembali melingkupiku lagi. Seolah kesepian sudah menjadi takdir hidupku. Seolah tak boleh ada yang benar-benar bisa kupercaya bahwa ada orang yang mencintaiku sungguh-sungguh, tanpa embel-embel gendam dan perangkat curang yang membuatku termanipulasi pada sosok siapapun. Tapi, benarkah? Benarkah kalau Gantarra mengirimkan gendam pula padaku. Kenapa aku tidak merasakannya? Sebagaimana aku merasakan setiap mantera gendam yang berusaha dikirim oleh para demit. Tidak hanya Gandara
Desahan itu terus bergulir sepanjang waktu dalam sebuah kamar kecil dan sempit—jika dibandingkan dengan kamar istana—yang selama ini menjadi tempat tinggalku, sekaligus sangkar emas yang membelengguku. Gantarra pun begitu melampiaskan rasa rindu yang sama padaku. Tubuhnya yang kekar terus melingkupiku, yang polos tanpa sehelai benangpun. Peluh kami sudah berjatuhan, membasahi ranjang, bersama itu pula ranjang kami terus berderak tanpa bosan. Bahkan ketika seorang pengurus bangsal kamar yang kerap memeriksa kamar dan membersihkan ruangan dengan seizin penyewa, kami sama sekali tidak membukakan jin itu, dan membiarkan kami terus tenggelam dalam balutan berahi rindu yang tak terahankan. Aku tahu, bila seseorang melihat dan mendengarku pastilah mereka akan melaporkannya kepada raja, itulah menjadi sebab mengapa aku tak membukakan kamar. Gantarra pun setuju akan hal itu. “Ah! Ah! Ah! Uuuh! Uuh! OOOOH!” Tubuh menggeliat dan terangkat. Desahan terus meliar. Sedangkan Gantarra terus meng
Para prajurit itu terus menahan gerakanku yang terus memberontak, hingga akhirnya mau tak mau mereka memasangkan borgol di kedua tanganku. “Mau tidak mau, Permaisuri... Anda mesti diborgol. Ini merupakan bagian dari tugas saya menyelamatkan dan menjaga Permaisuri. Kami tidak ingin ambil risiko dengan membiarkan Tuan Permaisuri pergi sendirian lagi,” katanya tegas sembari menahan kedua tanganku di belakang dan membergol pergelangan tanganku. Di saat kami hendak melewati jalan utama di sanalah aku melihat Gantarra berdiri dengan pakaian resminya. Zirahnya tampak berkilauan dan secara otomatis, semua prajurit itu lantas berlutut seraya menghaturkan sembah kepada sang panglima perang. Itu perlu dilakukan bagi siapapun yang memiliki gelar tinggi—terlebih bukan hanya berupa gelar, Gantarra memang wajib diberikan penghormatan atas jasanya karena ia masih memiliki darah raja gandarawa terdahulu. Kalau tidak menjadi seorang panglima perang, sudah pasti gelarnya adalah pangeran. Namun, Gant
Aku merasa aneh ketika mendengar suara desahku sendiri, apalagi suara lenguh sendiri tatkala Kinanti berhasil mengendalikan tubuhku dan berhasil pula membuat Mas Budi terjebak dalam khayalan gila tentang sosok peri yang selama ini—menurut pemikiran suamiku itu—sudah ditinggalkannya bertahun-tahun.Ya, mereka kini sudah memiliki dua anak yang sama-sama sudah masuk sekolah. Dan seiring berjalannya waktu, anak-anak itu akan membesar. Di saat itu pula keadaan Mas Budi akan nampak. Apakah dia akan bertahan dengan khayalan gilanya, dan lebih gila lagi, aku sungguh tak heran dengan apa yang sedang dipikirkan Kinanti. Bisa-bisanya peri perempuan itu ingin membuat Mas Budi tersuruk kembali dalam jurang kefrustasian—seperti di saat aku masih menghuni jasadku sendiri. “Kau benar-benar gila,” kataku masih dalam sinyal telepati.“Itulah yang harus dilakukan. Bukankah begitu cara manusia menutup suatu kasus dengan kasus lainnya yang lebih rasional. Menurutku itu sangat masuk akal.”“Bagaimana bil
“Apa yang terjadi, Wirda?” tanyanya. “Kau jadi atau tidak... aku sudah menggoda suamimu dan dia tampaknya berniat untuk menyetubuhiku.”“Ya... aku tidak apa-apa,” kataku sembari menyeka air mataku dan segera menutup jendela. “Aku mau... aku tidak apa-apa.”“Apa yang terjadi? Apa Gandarakala pulang dan mengetahui...”“Tidak. Bukan itu.”“Lalu apa?”“Entah... aku hanya terbawa suasana ketika mendengar cerita Bu Athania. Ia menceritakan soal kebenaran tentang jiwa yang terjebak di dimensi ini. Tentang kontrak yang secara tidak langsung harus kujalankan...dan...”“Ya, ya... mereka memang menerapkan sistem seperti itu. Macam kutukan yang tercipta dalam kontrak.”“Tepatnya saat aku memilih hidup di sini... apa itu terjadi juga di dunia peri?”“Sebagian besar dunia demit seperti itu,” kata Kinanti, bersama itu pula, kudengar suara Mas Budi mulai memasuki kamar dan sempat kudengar pula Kinanti berbicara mesra kepada suamiku. Atau mantan suami? “Kecuali...” lanjut Kinanti. “Kecuali apa?”“K